Hallo semuanya, ini Almannie. Terima kasih sudah mampir untuk membaca karya saya di sini. Semoga kalian menikmati setiap chapter yang telah saya tulis. Saya yakin masih banyak sekali kekurangan akan tetapi saya akan tetap belajar dan terus belajar. Sampai jumpa di cerita selanjutnya. Sincerently, Almannie.
New York selalu menjadi kota impian sejuta umat. Hiruk piruk penduduknya yang padat, gaya modis fashion, hingga menjadi tempat tinggal di mana kaum elite berada bukan lagi hal baru. Kota ini terbilang padat, tetapi banyak penduduk yang enggan tuk beranjak. Kebanyakan dari mereka ialah pendatang dari berbagai penjuru; mulai dari negara federasi Amerika Serikat, hingga warganegara asing sangat tertarik untuk tinggal di kota tersebut. Tidak heran, kota ini sejatinya menawarkan banyak hal, kecuali ketentraman dan juga mentalitas dibawah rata-rataㅡNew York City, merupakan kota yang sangat keras. Tidak di siang ataupun di malam hari, mesin-mesin kendaraan bermotor seolah tiada hentinya bergemuruh disepanjang jalan. Di antara mobil taxi kuning khas New York, dan gemerlapnya kota di malam hari, sebuah Misserati melaju dengan kecepatan normal. Atap mobilnya tertutup, dan kaca mobilnya berwarna hitam pekat. Sehingga, tidak memungkinkan bagi pejalan kaki untuk melihat siapa orang yang mengenda
Sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di Seoul membuat Irene tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan apapun selain bekerja, bekerja, dan terus bekerja. Belum lagi, sebagai seorang dokter, terkadang shift nya tidak menentu, jam malam, dan juga ponsel yang harus siap 24 jam non-stop. Apakah Lelah? Sangat, tapi Irene ingat perjuangan orang tua tunggalnya yang menaruh banyak harapan kepada anak perempuan satu-satunya. Keputusan sang mama untuk pindah ke negara gingseng ini ada kaitan dengan luka yang tak akan pernah sembuh, bahkan seiring berjalannya waktu. Secerah cuaca Seoul siang hari ini, Irene sedang menikmati kegiatan bersantainya di salah satu café yang terletak di Gangnam-gu. Tidak ada panggilan dari rumah sakit karena hari ini merupakan hari liburnya—setelah sekian lama dia tidak mengambil hari libur. “Hei, kau tidak mengatakan apapun jika kau ingin mampir ke café.” Suara lembut tersebut sangat familiar. Irene yang sedang menoleh ke jendela dan melihat
Bandara intermasional Washington Dallas, kebanyakan orang Amerika, khususnya wilayah Virginia menyebut bandara tersebut sebagai bandara Dallas, merupakan bandara terbaik yang ada di area Washington.Perempuan berambut panjang dengan hoodie putih tampak menarik dua koper besarnya. Dia tampak kelimpungan karena ukuran tubuh yang sesungguhnya tidak memungkinkan untuk membawa banyak barang. 158 cm mungkin merupakan tinggi badan ideal untuk beberapa negara, akan tetapi di Amerika, ukuran tubuhnya membuat ia tampak lebih mungil.Menurut Dokter Park, seseorang seharusnya menjemput Irene. Oleh sebab itu, perempuan ini tampak melihat ke kanan dan ke kiri barangkali melewatkan tanda atau seseorang yang sedang menunggu.Irene menunggu cukup lama, tapi tak ada satupun tanda-tanda seseorang akan datang menjemput. Dia menghela napas, sedikit kesal dengan koordinasi afiliasi dari rumah sakit yang akan menjadi tempatnya bekerja nanti.Dia meraih ponsel, mencari toko terdekat di bandara yang mungkin s
Tempat rumah sakit Irene bekerja merupakan George Washington University Hospital. Tempat barunya ini lebih nyaman daripada rumah sakit sebelumnya ia bekerja. Rata-rata residen di rumah sakit ini cukup baik, walau beberapa mungkin merasa lebih superior. Seperti Dokter Hans, dokter senior ini sudah berusia 55 tahun. Beliau merupakan orang yang baik dan memberikan Irene banyak pembelajaran di hari pertamanya bekerja di rumah sakit ini. Banyak dari pengalaman beliau yang sebenarnya diluar jangkauan kebiasaan Irene ketika menjadi dokter rumah sakit di Korea Selatan. Mungkin karena dari budaya bekerja di Amerika dan Korea yang berbeda, sehingga ada beberapa hal yang harus Irene lakukan untuk beradaptasi sepecepat mungkin. Pekerjaan di sini dilakukan dengan sangat profesional, mereka tidak mengambil keputusan secara asal-asalan tanpa adanya rapat keputusan. "First time here, in The US?" tanya Dokter Hans. Irene menjawab. "Tidak, dokter." Seraya menggelengkan kepala, "Saya pernah tinggal
Irene menghentikan mobil nya tepat dipintu masuk perumahan mewah yang terlihat sepi. Apalagi dengan hari yang mulai malam, selain lampu yang menyala, dan penjaga perumahan di pintu masuk utama, hanya keheningan yang melanda. Jendela mobilnya diketuk. Menurunkan kaca jendela, mata jernih Irene yang berwarna hazel menatap pria yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Irene bersikap tenang, dia tersenyum seraya menunjukan kalung name tag George Washington University Hospital. "Saya menggantikan dokter Hans menemui pasien di salah satu unit perumahan ini." Tidak lupa, dia menyebutkan nomor unit perumahan yang hendak ditujunya. Penjaga itu segera membukakan pintu seraya mengucapkan kata maaf. Irene hanya memberikan senyuman yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Baru setelahnya, dia mengendarai mobil SUV milik dokter Hans ke salah satu unit perumahan mewah di sini. Irene berhenti di depan gerbang berwarna cokelat tua yang menjulang tinggi. Perempuan itu menekan kl
Malam ini, di apartemen Irene yang sunyi. Suara musik klasik yang berasal dari Vinyl mengalun halus, dengan lembut membelah keheningan dalam ruangan. Sementara, sosok perempuan dengan dress tidur selutut tengah menari pelan. Irene sangat menyukai menari dan menyanyi. Perempuan itu selalu membuat ibunya tersenyum ketika dia menyanyi, sementara menari merupakan kegiatan selingan yang ia lakukan bersama ibunya. Tarian yang Irene lakukan merupakan dansa, tampak aneh karena dia tidak memiliki pasangan pria. Tetapi, dalam gelapnya pejaman mata, Irene hanya ingin berdua bersama kenangan. Kakinya menghentak, gerakannya gemulai, sesekali memutar tubuhnya. Seolah, ia tengah merasakan keberadaan sang ibu. Sejak keluar dari rumah keluarga Levebvè, pikiran Irene tidak lagi waras. Dia kehilangan konsentrasi, terus mengulik apa yang terjadi dengan keluarga Levebvè 18 tahun silam. Sayang, Irene belum memiliki cukup uang untuk menyewa detektif guna mencari tahu. Irene membenci kebisingan, di sanga
Terik mentari di Korea Selatan membuat temperatur suhu setempat naik menjadi 38°C. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi halte bus yang dilengkapi dengan AC, beberapa memutuskan untuk tidak peduli dan berjalan dibawah terik Matahari dengan menggunakan payung. Jennie bukan salah seorang diantara mereka, dia menaiki mobil Audi. Membelah kota Seoul dengan perasaan marah luar biasa. Sudah sebulan sejak sahabatnya pergi dari tanah kelahirannya, tapi dia sama sekali belum menghubungi Jennie. Benar-benar menjengkelkan.Dia menyumpah perapahi siapapun yang membuat sahabatnya menjauh. Sejauh yang Jennie pahami dari polemik permasalahan pekerjaan Irene, perempuan itu bekerja dengan sangat tekun di Seoul University Hospital. Jika saja Irene bertahan sedikit lagi, Jennie yakin sahabatnya itu akan mendapatkan jabatan kepala instansi rawat inap.Sayang, nepotisme di sana masih terlalu kuat. Sehingga, mereka yang kompeten terkadang dibuang dan tidak diapresiasi, sementara mereka yang hanya moda
Irene masih mengamati punggung Jennie yang perlahan menghilang di antara kerumunan banyak orang. Perempuan dengan dress hitam motif ini masih menyesap es cokelatnya dengan tenang. Dia tidak terburu-buru untuk pergi dari cafe ini. Masih banyak waktu, dan ia ingin mengekplor kota New York. Ini masih terlalu siang, dan cuaca sangat panas. Irene mencari destinasi wisata atau tempat hits di sini dengan bermodalkan ponsel. Zaman semakin canggih, dan tranportasi umum di New York pun cukup memadai, sehingga cukup memudahkan Irene untuk tidak mati kebingungan di kota ini. Setelah membayar bill dan memberikan tips sebesar 20% dari harga yang dibayar kepada pelayan, Irene perlahan beranjak dari tempatnya. Berjalan sejauh 20 menit menuju New York Time Square. Tempat ini selalu ramai seperti yang ia lohat di televisi. Akan tetapi, keindahan tempat ini kurang memikat kala mentari masih menyinari. Mungkin, jika Irene pergi pada malam hari, suasananya akan berbeda. Orang-orang berjalan terlalu cepa