Share

BAB 1

Sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di Seoul membuat Irene tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan apapun selain bekerja, bekerja, dan terus bekerja. Belum lagi, sebagai seorang dokter, terkadang shift nya tidak menentu, jam malam, dan juga ponsel yang harus siap 24 jam non-stop.

Apakah Lelah? Sangat, tapi Irene ingat perjuangan orang tua tunggalnya yang menaruh banyak harapan kepada anak perempuan satu-satunya. Keputusan sang mama untuk pindah ke negara gingseng ini ada kaitan dengan luka yang tak akan pernah sembuh, bahkan seiring berjalannya waktu.

Secerah cuaca Seoul siang hari ini, Irene sedang menikmati kegiatan bersantainya di salah satu café yang terletak di Gangnam-gu. Tidak ada panggilan dari rumah sakit karena hari ini merupakan hari liburnya—setelah sekian lama dia tidak mengambil hari libur.

“Hei, kau tidak mengatakan apapun jika kau ingin mampir ke café.”

Suara lembut tersebut sangat familiar. Irene yang sedang menoleh ke jendela dan melihat-lihat orang berjalan pun mendongak. Di hadapannya telah berdiri seorang perempuan berambut ginger panjang sepunggung, menggunakan crop-top putih yang dipadukan dengan celana jeans, tangan sebelah kirinya pun menenteng tas Channel.

Tersenyum. “Hanya kunjungan biasa, Jennie. What did you expect to?”

“We can enjoy the weather together and going to the beach I guess?” Jennie memanggil salah satu pelayan di café ini, kemudian memesan salah satu menu kesukaannya, ice blue sky.

“Ah, benar juga.” Irene tampak baru memikirkan kalimat dari sahabatnya. “Maafkan, aku terlalu sibuk hingga melupakan waktu ku untuk bersama mu.”

“Tidak masalah, sebenarnya,” sahut Jennie seraya mengangkat kedua bahu, “Namun Irene, aku berharap kau lebih meluangkan waktu mu untuk dirimu sendiri. Jangan terlalu bekerja terlalu keras, rumah sakit tempat mu bekerja bisa saja mengantikanmu kapanpun yang mereka mau. Akan tetapi, kesehatan mu adalah prioritas utama. Okay?”

Perempuan berambut hitam panjang ini tersenyum cerah. Dibandingkan dengan kehidupan serba sibuknya yang monoton, Irene merasa Jennie merupakan sosok perempuan bebas yang mampu mengekspresikan apa yang dia inginkan. Terkadang, Irene sungguh iri dengan batapa mudahnya Jennie mengekspresikan dirinya sendiri.

“Thank you, bestie.”

Pelayan datang dengan membawa pesanan Jennie. Gadis itu meminum es nya dari sedotan, kemudian tersenyum cerah, “No worries, baby.”

“Café mu semakin ramai, aku senang melihatnya.” Irene berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka yang terkesan membosankan.

“Sesuatu yang aku cita-cita sejak dulu.” Jennie menjawab acuh, “Aku tidak menyesal masuk jurusan bisnis jika café ini adalah hasil dari jerih payah ku. Akan tetapi, aku sangat berharap bahwa aku bisa masuk jurusan fashion designer untuk memuaskan hasrat ku.”

Irene tentu tahu betapa Jennie begitu menggilai fashion. Sayang, semua itu harus kandas karena beberapa hal yang tidak Jennie sebutkan. Keduanya merupakan mahasiswa universitas ternama di Seoul, bertemu saat pembinaan ospek, dan dipisahkan oleh jurusan yang berbeda; Irene jurusan kedokteran umum, sementara Jennie masuk ke dalam jurusan bisnis internasioal.

“Oh, bagaimana dengan dia.”

Irene mengerenyitkan kening. “Dia siapa?”

“Pria yang mengejarmu, siapa namanya?” tanya Jennie.

“Ah, dokter Jungwoon,” ucap Irene. “Entahlah, aku tidak tahu. Memangnya dia mengejarku?”

“….” Jennie tersedak es balok yang sedang digigitnya. Dia menggaruk pipinya yang tak gatal, “Eerr—bagaimana ya, kau sama sekali tidak tahu?”

“Hah?”

Melihat wajah clueless sahabatnya, Jennie hanya bisa menepuk kening. Wajah Jennie jelas menunjukan bahwa dia sedikit frustrasi dengan perempuan cantik di depannya.

“Kau—ah, sudahlah. Intinya, dari pengamatan ku sebagai sahabat mu, tampaknya Jungwoon ingin dekat denganmu.”

“….” Irene menggigit bibir bawah, tidak tahu harus menjawab apa untuk kalimat tersebut. Sejak lahir, dia memang belum pernah ‘mengenal’ pria, dalam artian bahwa sampai dekat dan kejenjang hubungan. Jangankan dekat, peka saja ia tidak—tidak heran sebenarnya apabila Jennie terkadang gemas sendiri.

Menghela napas. “You really … sudahlah, lupakan. Setelah ini, apa jadwal kegiatan mu?”

“Tidak tahu. Aku berniat pergi ke perpustakaan kota.”

“Tumben sekali, tidak biasanya kau ke sana—maksud ku, ya, kau gemar membaca. Akan tetapi, tidak sampai pada tahap di mana kau akan mengunjungi perpustakaan kota.”

Irene tidak mengatakan apapun dan hanya tersenyum. “So, any idea?”

“Ayo jalan-jalan ke mall?”

“Jennie and her little obsession, eh?”

Sementara, perempuan yang merasa tersindir hanya memberikan senyuman lima jari.

> ••• <

Irene memasukan kode apartemen secara perlahan. Dia membuka pintu, dan masuk ke dalam. Melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumahan berbentuk kelinci yang terbuat dari kain lembut. Kulit Irene sedikit sensitif untuk beberapa hal.

Sesampainya di ruang tamu, Irene memiliki kebiasaan. Yakni, memandangi foto sang ibu dan dirinya di masa kecil yang terpajang apik di dinding ruang tamu. Menyatukan kedua telapak tangan seraya memejamkan mata, Irene berdoa untuk kebaikan ibunya yang telah tiada.

Hidup sendirian selama lima tahun membuat Irene terbiasa dengan suasana sepi, sekaligus tidak familiar dengan sumber kehangatan yang tak mampu ia raih lagi.

Rasanya sungguh berbeda. It’s been awhile, but Irene feels like forever—well, indeed forever since her mother already gone.

“Hari ini aku dan Jennie pergi berjalan-jalan. Dia cerewet seperti biasanya, dan tentu saja ceria seperti yang seharusnya.” Sudah menjadi kebiasaan Irene untuk menceritakan kegiatan kesehariannya tepat di depan foto sang ibu dan dirinya yang tengah tersenyum bahagia.

“Don’t ever meet your father, even once in your life, Irene. Mommy begs you, mommy only has you.”

Kalimat itu merupakan kalimat terakhir sebelum sang malaikat penjaga pergi meninggalkan Irene.

“Di mana daddy tinggal, mommy? Apakah beliau sejahat itu pada kita?”

“Mommy will tell you, but first, Irene has to promise—you wouldn’t go there, alright?”

“Maaf, mommy. Aku mengingkari janji.” Irene menelan salivanya, mencoba menghalangi pandangan matanya yang semakin mengabur. Menghembuskan napas dari mulut, Irene beranjak dari tempatnya.

Memasuki kamar, perempuan berambut hitam legam ini mulai memasukan semua pakaian yang ia punya ke dalam koper. Dia juga mulai menyelimuti beberapa ruangan di apartemen ini dengan kain putih.

Ponsel nya bergetar, Irene menoleh sedikit. Dia meraih ponsel layar sentuhnya, dan segera mengangkat telepon tersebut.

“Hallo, dokter.”

“Iya, baik. Terima kasih atas pemberitahuannya dokter Park. Sampai jumpa.”

Wajah yang ditunjukan oleh perempuan itu terlihat lelah, seolah dia telah menekan titik pemasalahan hingga tidak lagi bisa ditampung oleh hatinya.

Alasan kenapa ia bisa membil cuti hari ini adalah tidak lain karena dia telah dipecat, dan dipindah tugaskan ke negara lain. Irene tidak tahu apa yang terjadi tapi, ia berharap semoga negara itu bisa membuatnya berdamai dengan dunia yang gelap ini.

Irene mengelus lembut frame foto, tersenyum miris, dan memasukan ke dalam tas kecil. Sementara sisanya, dia selimuti dengan kain putih. Pelahan, seraya membawa dua koper besar, satu tas ransel, dan satu tas kecil, Irene perlahan meninggalkan kenangannya di dalam.

"Irene pamit, mommy. Wish me luck."

Lalu, ia kunci segala kenangan di dalam sana. Berharap, dengan begitu tidak ada lagi kenangan menyakitkan yang akan terkenang dan terekam oleh otaknya. Dan dia, melangkah dengan pasti meninggalkan semuanya di belakang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status