Share

Bab 7

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2022-07-21 07:37:40

Ibu melirik Dara sambil melotot, sedangkan Dara merenggut menahan jengkel, sesekali menatap kesal calon suaminya.

"Berarti kamu bohongi kami selama ini ya, Alvin, kamu bilangnya punya usaha, ke sini suka bawa makanan mahal, suka bawa mobil lagi," gerutu ibu, bibir merahnya seperti komat-kamit saat bicara.

Sedangkan kedua orang tua Alvin saling lirik keheranan, mungkin baru tahu kelakuan besannya seperti mahluk jadi-jadian.

"Bohong apa, Bu? 'kan emang bener saya punya usaha, usahanya bikin cilok, abis itu saya nyuruh orang buat jual keliling, Ibu berdoa saja biar usaha saya makin sukses setelah nikah nanti," sahut Alvin biasa saja.

Benar juga lelaki itu, sekecil apapun usaha yang kita miliki tetap saja kita akan dibilang pengusaha.

"Lalu itu mobil yang kamu pakai punya siapa?" tanya ibu lagi.

Bapak geleng-geleng kepala menahan malu dengan kelakuan ibu yang matrenya ga ketulungan.

"Ibu jangan banyak tanya ke mana-mana, sekarang kita pokus ke pernikahan, ga usah ngadain pesta segala, kayak Naura aja kemarin gitu," jawab Alvin.

Lelaki itu sekarang berubah, dulu sangat berwibawa dan berkelas, dari segi bicara dan penampilan, sekarang setelah mau menikah ia jadi kelihatan buriknya.

Ibu cemberut sambil meraih amplop coklat pemberian besannya, mata bulat ibu hampir keluar dari tempatnya saat ia berhasil menghitung uang pemberian Alvin.

"Kamu ga salah ngasih uang lima juta?" tanya ibu sambil melempar amplop itu ke atas meja.

"Hah lima juta? yang bener aja, Vin." Kali ini Dara bersuara.

Aku mengulum senyum, rasanya puas sekali melihat Dara terjatuh dari langit, karena biasanya ia selalu sombong dan merasa di atas awan.

Pendidikan tinggi dan memiliki kekasih yang royal menjadikannya sombong, ditambah dengan sikap ibu yang selalu memanjakan.

Walaupun lulus kuliah dengan nilai pas-pasan, tapi wanita itu enggan bekerja, ijazahnya nganggur di lemari, karena setiap bulan Alvin selalu memberikannya uang jajan.

Berbeda denganku, lulus SMA langsung bekerja di garmen, berangkat pagi pulang kadang malam, dan jika waktu gajian maka ibu sudah standby minta bagian.

Bukan minta bagian lebih tepatnya merampas bagian, jika aku tak sembunyi-sembunyi nyimpan uang mungkin pertengahan bulan aku sudah tak memegang uang.

"Uangku 'kan selalu dikasih ke kamu tiap bulan, masa uang yang sering kukasih ga pernah ditabung buat tambahan biaya pernikahan kita," sahut Alvin tak mau kalah.

"Enak aja, itu jatah uang jajanku. Harusnya kamu inisiatif nabung sendiri, aku ga mau ya pernikahan kita diadakan sederhana." Dara mendelik angkuh.

"Halaah banyak gaya, kamu itu udah hamil sudah untung mau kunikahi, ga usah banyak minta!" tegas Alvin.

Aku menganga, baru pertama kali lihat Dara diremehkan, oleh calon suaminya pula, salah dia sendiri sih tak bisa jaga kehormatan, jadinya begitu ujung-ujungnya direndahkan lelaki.

"Cukup, Alvin! Kamu menghina anak saya?! Kamu lupa dia itu berkelas, pendidikannya tinggi, cantik. Jangan macam-macam kamu ya!" Ibu menunjuk wajah calon menantunya.

"Ngapain pendidikan tinggi tapi ga punya akhlak, harusnya dia hargai saya yang berjuang mau menikahinya, bukan kaya gini, ditinggalin baru tahu rasa." Alvin terlihat kesal.

Kulihat bapak menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, acara lamaran Alvin tak semulus waktu lamaran Mas Feri, lebih banyak perdebatan dan penghinaan.

"Sudah sudah, Alvin benar, Bu, Dara itu sedang hamil jadi ga usah neko-neko, sudah untung Alvin mau tanggung jawab," sahut bapak menengahi perdebatan memalukan ini.

"Loh kok malah bela dia, bukannya bela Dara anak Bapak sendiri." Ibu ngotot tak terima.

Aku geleng-geleng kepala, jika aku yang di posisi Dara mungkin sudah habis dicaci olehnya, bahkan bisa jadi ibu mengusirku dari rumah.

"Jadi ini mau gimana, Bu besan? jadi ga nikahnya? kalau Anda ga mau nerima uang masak segitu ya ga apa-apa, kita ambil kembali, dan silakan cari lelaki lain yang mau tanggung jawab terhadap bayi yang dikandung Dara," sahut bapaknya Alvin.

Aku langsung menelan saliva, Dara yang cantik dan berpendidikan benar-benar hina sekarang.

"Gimana ini, Dara? kamu sih mau aja dibodohi lelaki?" Ibu melirik putri kesayangannya.

"Tau ah, Bu, aku mau nikah secepatnya tapi ga mau sederhana mauanya adakan pesta mewah." Dara cemberut sambil melipat tangan di dada.

"Beneran kamu mau nikah sama Alvin yang hanya jualan cilok?" tanya ibu, seketika Alvin dan keluarganya melirik tak suka.

"Iya lah, gimana lagi mana ada lelaki yang mau nikah sama aku sekarang, tapi tetep aku mau nikahnya ada pesta, harus mewah dan ada hiburan orkes dangdut juga," jawab Dara keukeuh

Aku memijat kening, entah apa isinya otak Dara, sudah hamil malah mikirin pesta mewah, kalau aku jadi dia udah malu sama tamu-tamu.

"Ya sudah kalau gitu ini uang lima jutanya saya terima, soal mas kawin kamu tambahin lagi jangan segitu," ujar ibu ketus.

Padahal saat masih pacaran ia selalu baik dan bersikap lebay jika Alvin datang membawa makanan enak dan mobil bagus.

"Baik, nanti Ibu kabari saja tanggal pernikahannya," sahut bapaknya Alvin.

"Terus pesta resepsinya gimana, Bu?" tanya Dara dengan nada manja.

"Aku ga mau acara nikahannya sederhana kaya Naura."

Ah ia memang tak pernah memanggilku kakak, sekali pun di hadapan orang lain, dasar adik minim akhlak.

"Iya Dara, pernikahan kamu tetep akan ada pesta besar-besaran seperti yang kamu inginkan, soal biaya 'kan ada Naura." Ibu melirikku.

Aku langsung melotot tanda protes, selalu seperti itu ibu menjadikan aku mesin ATM untuk anak kesayangannya.

"Ya sudah kalau gitu kami pulang sekarang, nanti kabari saja ya, Bu."

"Iya," jawab ibu ketus.

Keluarga Alvin pulang, bapak memaksa ibu mengantarkan ke depan, sambil ogah-ogahan wanita itu berjalan menuruti titah bapak.

Tiba-tiba suamiku datang dengan motor maticnya, ini sudah masuk waktu istirahat, karena letak pabrik garmen berdekatan dengan rumah bapak makanya ia bisa menyusul kemari, karena tadi kami sempat saling kirim pesan.

Aku tersenyum melihatnya turun dari motor.

"Loh Pak Anwar," ucap suamiku sambil nunjuk calon besan ibu.

"Mas kamu kenal sama calon mertua Dara ini?" tanyaku, bapak dan ibu sepertinya tertarik dengan pertanyaanku.

"Tentu aja kenal, Pak Anwar ini sopir papa. Dan ini mobilnya, kenapa ga dibawa pulang, Pak? papa nungguin loh."

Semua mata menatap penuh tanya pada suamiku itu termasuk aku yang ikutan penasaran.

"Ma-maksudnya ini ... bukan mobil Alvin gitu?" tanya Dara sambil jalan dua langkah.

"Iya bukan, ini mobil papaku dan Pak Anwar sering minjem kalau mau pulang ke rumahnya."

Wajah ibu dan Dara langsung pucat, sukurin kena tipu kalian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Tamat

    "Kecuali apa!" bentakku sambil menatapnya tajam."Loh, Sayang, kok kamu bentak-bentak Pak Bagas gitu? Ada apa?" tanya Mas Dari yang tiba-tiba datang dari arah belakang.Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lantas berdiri dan menatap tajam wajah Bagas."Mas, lebih baik tolak bantuan dari lelaki ini!" telunjukku mengarah ke wajah Bagas.Lelaki itu sedikit panik dan ketakutan, ia pikir aku akan diam saja ditekan olehnya, jangankan menggertak mencoba membunuhnya saja aku berani.Ya, tepat dua tahun yang lalu Bagas mencoba melecehkanku di vilanya yang berada di puncak Bogor, mereka sengaja memberikan obat tidur pada ketiga temanku lalu dengan santainya menggodaku hingga berusaha melecehkanku di tempat itu.Namun, aku tak Sudi disentuh olehnya, saat itu aku melawan sekuat tenaga hingga berhasil memukul kepalanya dengan bangku, kepala Arvin berdarah, tetapi lelaki itu tak menyerah terus menyerangku untuk mengoyak diri iniHingga akhirnya aku kalap lalu menancapkan pisau daging ke perut dan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 44

    Naura mematung dengan tangan mengepal erat, di dadanya ada amarah yang membuncah hebat.Ia benci embusan napas itu, ia juga benci seringai menjijikkan itu yang hampir merenggut kesuciannya beberapa tahun silam, andai Naura tak pandai bela diri tentu sekarang dirinya sudah menjadi sampah."Maaf sekali, Pak Burhan, sepertinya saya berubah pikiran.""Maksud Anda?" Pria berjas silver bernama Burhan itu mengerenyitkan dahinya."Ya, tanah ini tidak jadi saya jual, mohon maaf ya, Pak."Lelaki bernama Burhan itu melirik Naura dengan intens, lalu melirik kliennya yakni Bagas."Maaf kalau boleh tahu apa alasan Bu Naura membatalkan jual beli tanah ini? Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat soal harga? Di depan kita sudah ada pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi loh, Bu."Naura terdiam sejenak menatap lelaki bernama Bagas yang sangat ia benci setengah mati."Alasannya karena saya tidak menyukai dia." Naura menunjuk dada Bagas dengan tatapan dingin.Sontak saja Bu Nendah dan Pak Burhan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 43

    "Pak Polisi?" Tenggorokan Dara tercekat.Bagaimana tak panik teman-teman yang digadang -gadangkan akan melindunginya malah hilang entah ke mana. Sekarang ia mendapati dirinya dalam keadaan mengkhawatirkan."Ini surat penangkapan Anda, saya harap Anda bisa diajak kerja sama." Polisi itu menyerahkan secarik kertas yang membuat Dara kian panik."Tapi ... saya ga bersalah kok, Pak polisi." "Ikut saja ke kantor ya. Ayo." Pimpinan aparat itu menyuruh bawahannya yang berjenis kelamin wanita agar membawa Dara."Sial!""Sial!"Ke mana Yopi, Clara dan yang lainnya? Lalu ada apa dengan tubuhku? Apa yang mereka lakukan semalam?Selama digiring pihak kepolisian Dara terus bertanya-tanya dalam hatinya, tiba-tiba ia langsung teringat Yopi.Apa jangan-jangan lelaki itu sudah menj*mah tubuhku? Kurang ajar kau Yopi, lihat saja nanti.Di ruang penyelidikan Dara terus di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi karena pertanyaan tersebut hanya itu-itu saja dan dilontar

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.B

    "Soal itu kami masih menyelidikinya Pak Feri jangan khawatir kita akan menemukan pelakunya secepat mungkin."Usai berbincang dengan aparat kepolisian jenazah Pak Bagus pun diperbolehkan pulang, seluruh keluarga besar Bu Nisya dan Pak Bagus datang kembali ke rumah itu.Mereka tak menyangka Pak Bagus akan meninggal dalam waktu berdekatan dengan istrinya, ada yang menganggap ini cinta sejati antara mereka ada juga yang menganggap karma."Fer, apa kamu melihat Dara?" tanya Farhan."Tidak, aku sudah menelpon Pak Endang mungkin dia di perjalanan sekarang," jawab Feri.Benar saja beberapa menit kemudian Pak Endang dan Bu Rita datang memakai pakaian serba hitam."Saya ikut berduka cita, Nak Feri," ucap Pak Endang."Terima kasih.""Oh ya mana anakmu si Dara itu? Kenapa dia ga ke sini?" tanya Jeni yang duduk di dekat suaminya.Saat ini jenazah Pak Bagus sedang dimandikan di belakang rumah.Pak Endang tak menjawab ia malah melirik istrinya."Mungkin sebentar lagi," jawab Bu Rita, karena sebenarn

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.A

    "Hah!" Napas Dara terengah-engah melihat suaminya tergeletak di lantai dengan wajah penuh kesakitan, sedangkan dari dalam dadanya keluar darah dengan derasIa baru tersadar jika tindakannya barusan memang dikuasi setanDara beringsut mundur sambil menutup mulutnya, tubuh kurus itu bergetar ketakutan."Mas." Dara menggoncangkan tubuh suaminya menggunakan kaki.Tapi Pak Bagus tak bergerak, bahkan matanya melotot tanpa berkedip.Dara semakin panik, matanya liar melihat ke sekeliling ruangan, beruntung tak ada yang menyaksikan karena sanak saudara Bu Nisa telah pulang tadi malam.Perempuan itu pun mundur perlahan lalu pergi dengan berlari kencang, keluar dari perumahan itu baru ia bisa berhenti berlari karena napasnya terengah-engah."Ya Tuhan, apa Mas Bagus meninggal?" Seluruh tubuhnya bergetar hebat.Ia pun segera naik angkot lalu pulang ke rumah melewati ibunya yang sedang mengemas barang dagangan."Gimana, Ra? Pak Bagus ngasih uang?" tanya Dara.Bahkan ia lupa jika dompet suaminya ya

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42

    Dara melotot sambil melirik suaminya, tak menyangka Pak Bagus yang bucin bisa menuduh sekejam itu, ya walaupun tuduhan itu benar, pikir Dara."Apaan sih kamu ga jelas banget, aku mana ngerti begituan, jangan mentang-mentang istri kamu meninggal terus kamu merasa bersalah dan mencampakkan aku gitu aja ya, Mas." Dara berusaha memutar balikkan fakta."Seminggu yang lalu saya dirukiyah sama Feri dan saya muntah, setelah itu tiba-tiba aja rasa cinta saya ke kamu jadi hilang, itu apa artinya kalau kamu ga melet saya hah." "Apa?! Cuma masalah kaya gitu Mas berani nuduh aku." Dara tersenyum getir."Bilang aja nyesel nikah sama aku karena istri kamu udah meninggal sekarang, ga usah nuduh aku macam-macam karena Mas ga punya bukti." Dara masih tak ingin kalah Pak Bagus terdiam berdebat dengan anak ingusan memang takkan pernah menemukan titik penyelesaian."Saya ga nuduh kamu, tapi saat ini perasaan saya ke kamu udah ga ada, Dara, terus kamu mau kaya gimana?" Pak Bagus pasrah, sudah terlalu ban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status