공유

Bab 8

작가: Ina Qirana
last update 최신 업데이트: 2022-07-21 07:46:05

 

Kudengar ibu ngomel-ngomel di kamar Dara, wanita itu tak terima memiliki menantu tukang cilok, apalagi mobil Alvin yang selama ini dibanggakan ternyata bukan miliknya membuat ibu makin murka

 

Sementara aku Mas Feri dan bapak makan nasi Padang karena sudah waktunya makan siang, Feri kemari membawa lima bungkus nasi sengaja ingin makan bersama di sini

 

"Jadi Dara mau nikah secepatnya?" tanya Feri

 

Di bibir belahnya yang merah ada cabai hijau yang menempel sebesar biji beras, membuatku gemas ingin mencoleknya tapi malu sama bapak

 

"Iya, Mas," jawabku

 

"Oh ya nanti kita pulang bareng aja ya, kamu di sini dulu sampai aku pulang."

 

Usai makan ia salat di kamarku yang dulu, lalu ia keluar dengan wajah yang begitu segar, ada desiran halus yang kurasa, entah kenapa aku jadi pengen cepat-cepat malam.

 

"Dih, biasa aja kali lihatin orang ganteng sampe segitunya." Ia terkekeh kepedean.

 

Aku hanya mengulum senyum tak punya kemampuan untuk menggoda dengan kata-kata.

 

"Gimana? masih sakit ga?" tanyanya sambil berbisik di telinga.

 

Aku menghirup napas mengusir rasa aneh yang tiba-tiba menjalar dari atas ke bawah.

 

"Ya masih lah, kamu sih tega." aku mendelik.

 

"Sakit tapi mau lagi 'kan?"

 

Aku menepuk lengannya dengan keras, tentu saja mau ucapku dalam hati.

 

"Udah ah pergi sana." Aku mulai salah tingkah.

 

"Dosa loh ngusir suami." Bibir belahnya itu terlihat manyun.

 

"Ini udah mau jam satu, Mas, bukannya balik kerja ih." 

 

"Iya iya aku balik, tapi kiss dulu ya."

 

Untung di ruang televisi ini tak ada orang, tapi tetap saja aku malu.

 

"Kalau ada Bapak gimana? aneh-aneh aja ih." Pipiku mulai panas saking malunya.

 

"Ya biarin, palingan suruh masuk kamar." Ia terkekeh.

 

"Engga ah, sana!"

 

"Kiss dulu."

 

Terpaksa aku mendaratkan bibir di pipi kanannya, di luar dugaan ia malah membalas lebih bringas, bahkan bibirku pun tak luput dari sasaran.

 

"Hadeuh! Di kamar aja napa sih!"

 

Seketika tubuh Feri langsung menjauh, di dekat pintu yang menghubungkan dapur dan ruang televisi Dara berdiri dengan tatapan benci memandang kami.

 

"Hehe maaf." Feri terkekeh merasa bersalah, Dara langsung mendelik.

 

"Bukannya cepet balik kerja, mau dipecat?" tanya Dara begitu sinis.

 

"Aku balik kerja dulu ya, Yang."

 

Aku mengangguk.

 

Sambil memandang kepergiannya aku menerka-nerka jika pabrik itu milik keluarga Feri, entahlah aku selalu tak memiliki kesempatan untuk bertanya.

 

"Naura, kamu harus bantuin adikmu ya, dua puluh juta aja, kasihan adikmu kalau nikah ga ada pesta," ucap ibu tiba-tiba.

 

Entah kenapa nada suaranya melembut sekarang.

 

"Aku aja kemarin ngadain acara sederhana, bahkan Ibu sama Dara ga mau bantu masak sama sekali, masa iya sekarang aku harus bantu dua puluh juta lagi."

 

Ibu dan Dara saling lirik, sepertinya kata-kata barusan kena di hatinya.

 

"Bu, coba hargai perasaanku, sejak kecil aku diperlakukan ga adil sama Ibu, masa iya udah gede masih begitu."

 

"Naura, Dara ini adikmu pergaulannya luas ga kaya kamu, teman-temannya ini bukan orang sembarangan, apa kata mereka kalau dia ngadain pernikahan sederhana, dia itu adikmu, masa kamu tega," balas ibu 

 

"Uangmu itu satu milyar masa ngasih dua puluh juta aja perhitungan, dia itu adik kamu," ujar ibu lagi.

 

Aku menyunggingkan bibir, teringat beberapa tahun lalu saat masih kecil, bapak bekerja merantau ke luar kota dan setiap bulan selalu transfer uang banyak. Akan tetapi,ibu dan Dara hanya menikmati berdua sedangkan aku hanya diberi sisa itu pun kalau ada.

 

"Emang Dara nganggep aku kakak, Bu? tanya sama dia, dia anggap aku siapa? udah ah aku males bahas pernikahan Dara, kalau mau bikin pesta usaha sendiri jangan cuma minta." Cepat aku pergi

 

"Naura!"

 

"Naura!"

 

Ibu terus teriak tapi tetap kuabaikan.

 

"Naura sini." Aku yang hendak masuk kamar urung karena bapak memanggil.

 

"Ini sertifikat tanah warisan untukmu, simpan aja ya kalau perlu kamu bangun rumah di sana, selain dekat sama Bapak, juga dekat dengan tempat kerja Feri," ucap bapak sambil menyerahkan amplop coklat.

 

Aku menerima benda berharga itu dengan sungkan, tak dapat dipungkiri aku memang membutuhkan tanah ini dan secepatnya membangun rumah, bagaimanapun juga aku tak ingin lama-lama tinggal dengan mertua.

 

"Terima kasih, Pak, soal bangun rumah di sana aku akan bicara dulu sama Mas Feri."

 

"Iya silakan, semoga rezeki kalian lancar dan berkah ya."

 

"Oh ya satu lagi, kalau ibumu minta uang untuk acara nikahan Dara jangan kamu kasih."

 

Aku mengangguk paham.

 

Sore harinya ada teman-teman ibu yang datang, tiga orang perempuan tengah baya itu memang sering kulihat di pabrik hanya saja kami tak saling mengenal, entah mereka karyawan bagian apa.

 

"Naura! Ambilin minum sama buah yang ada di meja dapur!"

 

Aku yang sedang rebahan di kamar terpaksa bangkit dan ke dapur.

 

"Duh pengantin baru ada di sini, bukannya udah pindah?" tanya ibu-ibu yang mengenakan kemeja batik.

 

"Iya, lagi main aja ke sini sekalian ambil barang yang ketinggalan." Aku tersenyum sungkan.

 

"Terus suamimu mana? kenalin dong sama Tante."

 

"Lagi kerja, Tan, sebentar lagi jemput ke sini," jawabku, mau melangkah jadi urung karena mereka terus bertanya.

 

"Oh kerja di mana suamimu?" 

 

"Iya nikah kok ga ngundang-ngundang," celetuk salah satu diantara mereka.

 

"Maklum lah, Mita, suaminya Naura ini cuma buruh pabrik sama kaya dia ga beda jauh, uang masak yang dikasih suaminya juga cuma enam juta mana cukup buat undang-undang kerabat, maklum keluarganya bukan dari kalangan berada," sahut ibu.

 

Ia kembali ketus padaku, mungkin dendam karena tak dikasih uang untuk pesta anaknya.

 

"Beda dong ya sama calon suami Dara yang pengusaha," sahut perempuan yang bernama Mita.

 

Ibu hanya mengatupkan kedua bibirnya tanpa mengiyakan.

 

"Iya jelas beda, saya sebenarnya udah nolak dia nikah sama lelaki pas-pasan, bukan apa-apa takutnya dibawa hidup susah, 'kan sebagai Ibu kita suka kasihan, eh tapi dianya ngeyel dengan alasan cinta."

 

"Padahal zaman sekarang cinta aja ga cukup ya, Ta," timpal salah satu temannya ibu.

 

"Nah makanya itu, sekarang aja dia tinggal numpang sama mertuanya, semewah apapun rumah mertua tetep aja ga nyaman 'kan?" Ibu mendelik ke arahku.

 

"Oh kamu pindah ke rumah mertua, Ra? kirain ke rumah Feri sendiri."

 

"Bukan lah, suaminya mana ada duit buat beli rumah," celetuk ibu lagi.

 

Aku terdiam merasa sakit hati terus dijelek-jelekkan oleh ibu sendiri, entah salahku apa kepadanya.

 

Kudengar suara motor Mas Feri di depan rumah, aku lega akhirnya akan pergi juga dari mereka, Mas Feri masuk sambil mengucap salam, dan kami pun menjawab serempak.

 

"Loh Pak Feri? mau apa ke sini?" tanya perempuan bernam Mita tampaknya mereka saling kenal.

 

"Bu Mita." Suamiku tersenyum.

 

"Ini mau jemput istri." Mas Feri menunjukku menggunakan jempolnya.

 

"Apa?" Perempuan bernama Mita itu bengong menatapku.

 

"Ya ampun, Rita! Anakmu ini keren sekali. Dia mendapatkan suami seorang bos yang rendah hati."

 

"Bos apaan sih?" tanya ibu yang terlihat seolah tak peduli walaupun sebenarnya aku tahu dia penasaran setengah mati.

"Masa kamu ga tahu, Rita, suami anakmu ini pemilik PT Citra Unggul Perkasa, bukan buruh di sana, duh kamu benar beruntung, Nuara." Bu Mita mengelus daguku.

'Deg'

"Hah? PT Citra Unggul Perkasa? Itu 'kan tempat aku dan Mas Feri bekerja," batinku.    

 

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (2)
goodnovel comment avatar
IWALY PUAN
lnjut donk
goodnovel comment avatar
Pajar Sendi
seru ceritanya
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Tamat

    "Kecuali apa!" bentakku sambil menatapnya tajam."Loh, Sayang, kok kamu bentak-bentak Pak Bagas gitu? Ada apa?" tanya Mas Dari yang tiba-tiba datang dari arah belakang.Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lantas berdiri dan menatap tajam wajah Bagas."Mas, lebih baik tolak bantuan dari lelaki ini!" telunjukku mengarah ke wajah Bagas.Lelaki itu sedikit panik dan ketakutan, ia pikir aku akan diam saja ditekan olehnya, jangankan menggertak mencoba membunuhnya saja aku berani.Ya, tepat dua tahun yang lalu Bagas mencoba melecehkanku di vilanya yang berada di puncak Bogor, mereka sengaja memberikan obat tidur pada ketiga temanku lalu dengan santainya menggodaku hingga berusaha melecehkanku di tempat itu.Namun, aku tak Sudi disentuh olehnya, saat itu aku melawan sekuat tenaga hingga berhasil memukul kepalanya dengan bangku, kepala Arvin berdarah, tetapi lelaki itu tak menyerah terus menyerangku untuk mengoyak diri iniHingga akhirnya aku kalap lalu menancapkan pisau daging ke perut dan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 44

    Naura mematung dengan tangan mengepal erat, di dadanya ada amarah yang membuncah hebat.Ia benci embusan napas itu, ia juga benci seringai menjijikkan itu yang hampir merenggut kesuciannya beberapa tahun silam, andai Naura tak pandai bela diri tentu sekarang dirinya sudah menjadi sampah."Maaf sekali, Pak Burhan, sepertinya saya berubah pikiran.""Maksud Anda?" Pria berjas silver bernama Burhan itu mengerenyitkan dahinya."Ya, tanah ini tidak jadi saya jual, mohon maaf ya, Pak."Lelaki bernama Burhan itu melirik Naura dengan intens, lalu melirik kliennya yakni Bagas."Maaf kalau boleh tahu apa alasan Bu Naura membatalkan jual beli tanah ini? Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat soal harga? Di depan kita sudah ada pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi loh, Bu."Naura terdiam sejenak menatap lelaki bernama Bagas yang sangat ia benci setengah mati."Alasannya karena saya tidak menyukai dia." Naura menunjuk dada Bagas dengan tatapan dingin.Sontak saja Bu Nendah dan Pak Burhan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 43

    "Pak Polisi?" Tenggorokan Dara tercekat.Bagaimana tak panik teman-teman yang digadang -gadangkan akan melindunginya malah hilang entah ke mana. Sekarang ia mendapati dirinya dalam keadaan mengkhawatirkan."Ini surat penangkapan Anda, saya harap Anda bisa diajak kerja sama." Polisi itu menyerahkan secarik kertas yang membuat Dara kian panik."Tapi ... saya ga bersalah kok, Pak polisi." "Ikut saja ke kantor ya. Ayo." Pimpinan aparat itu menyuruh bawahannya yang berjenis kelamin wanita agar membawa Dara."Sial!""Sial!"Ke mana Yopi, Clara dan yang lainnya? Lalu ada apa dengan tubuhku? Apa yang mereka lakukan semalam?Selama digiring pihak kepolisian Dara terus bertanya-tanya dalam hatinya, tiba-tiba ia langsung teringat Yopi.Apa jangan-jangan lelaki itu sudah menj*mah tubuhku? Kurang ajar kau Yopi, lihat saja nanti.Di ruang penyelidikan Dara terus di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi karena pertanyaan tersebut hanya itu-itu saja dan dilontar

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.B

    "Soal itu kami masih menyelidikinya Pak Feri jangan khawatir kita akan menemukan pelakunya secepat mungkin."Usai berbincang dengan aparat kepolisian jenazah Pak Bagus pun diperbolehkan pulang, seluruh keluarga besar Bu Nisya dan Pak Bagus datang kembali ke rumah itu.Mereka tak menyangka Pak Bagus akan meninggal dalam waktu berdekatan dengan istrinya, ada yang menganggap ini cinta sejati antara mereka ada juga yang menganggap karma."Fer, apa kamu melihat Dara?" tanya Farhan."Tidak, aku sudah menelpon Pak Endang mungkin dia di perjalanan sekarang," jawab Feri.Benar saja beberapa menit kemudian Pak Endang dan Bu Rita datang memakai pakaian serba hitam."Saya ikut berduka cita, Nak Feri," ucap Pak Endang."Terima kasih.""Oh ya mana anakmu si Dara itu? Kenapa dia ga ke sini?" tanya Jeni yang duduk di dekat suaminya.Saat ini jenazah Pak Bagus sedang dimandikan di belakang rumah.Pak Endang tak menjawab ia malah melirik istrinya."Mungkin sebentar lagi," jawab Bu Rita, karena sebenarn

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.A

    "Hah!" Napas Dara terengah-engah melihat suaminya tergeletak di lantai dengan wajah penuh kesakitan, sedangkan dari dalam dadanya keluar darah dengan derasIa baru tersadar jika tindakannya barusan memang dikuasi setanDara beringsut mundur sambil menutup mulutnya, tubuh kurus itu bergetar ketakutan."Mas." Dara menggoncangkan tubuh suaminya menggunakan kaki.Tapi Pak Bagus tak bergerak, bahkan matanya melotot tanpa berkedip.Dara semakin panik, matanya liar melihat ke sekeliling ruangan, beruntung tak ada yang menyaksikan karena sanak saudara Bu Nisa telah pulang tadi malam.Perempuan itu pun mundur perlahan lalu pergi dengan berlari kencang, keluar dari perumahan itu baru ia bisa berhenti berlari karena napasnya terengah-engah."Ya Tuhan, apa Mas Bagus meninggal?" Seluruh tubuhnya bergetar hebat.Ia pun segera naik angkot lalu pulang ke rumah melewati ibunya yang sedang mengemas barang dagangan."Gimana, Ra? Pak Bagus ngasih uang?" tanya Dara.Bahkan ia lupa jika dompet suaminya ya

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42

    Dara melotot sambil melirik suaminya, tak menyangka Pak Bagus yang bucin bisa menuduh sekejam itu, ya walaupun tuduhan itu benar, pikir Dara."Apaan sih kamu ga jelas banget, aku mana ngerti begituan, jangan mentang-mentang istri kamu meninggal terus kamu merasa bersalah dan mencampakkan aku gitu aja ya, Mas." Dara berusaha memutar balikkan fakta."Seminggu yang lalu saya dirukiyah sama Feri dan saya muntah, setelah itu tiba-tiba aja rasa cinta saya ke kamu jadi hilang, itu apa artinya kalau kamu ga melet saya hah." "Apa?! Cuma masalah kaya gitu Mas berani nuduh aku." Dara tersenyum getir."Bilang aja nyesel nikah sama aku karena istri kamu udah meninggal sekarang, ga usah nuduh aku macam-macam karena Mas ga punya bukti." Dara masih tak ingin kalah Pak Bagus terdiam berdebat dengan anak ingusan memang takkan pernah menemukan titik penyelesaian."Saya ga nuduh kamu, tapi saat ini perasaan saya ke kamu udah ga ada, Dara, terus kamu mau kaya gimana?" Pak Bagus pasrah, sudah terlalu ban

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 41.A

    "Neng, kasian sekali ya Bu Nisya."Hari ini tepat setelah tujuh hari Bu Nisya pergi Naura pulang ke rumahnya dengan sang ibu, tak dapat dipungkiri menginap di sana membuatnya sedikit tak betah oleh sikap Jeni yang sering sekali menyindir."Nasibnya ga jauh beda sama Ibu, sama-sama ditinggalin suami.""Udah ah, Ibu jangan banyak pikiran sekarang istirahat ya.""Neng, kapan Ibu berhenti minum obat? Ibu udah sembuh kok."Naura menatap ibunya dengan tersenyum. "Iya Ibu udah sembuh, tapi minum obat juga harus karena yang suka Ibu minum itu vitamin bukan obat, aku juga suka minum vitamin kok ga hanya Ibu aja." Naura terpaksa berbohong"Oh gitu ya." Bu Nendah masih mikir."Udah istirahat."Setelah ibunya tertidur Naura segera menghampiri Feri di kamarnya."Perusahaan lagi pailit, Ra, uang buat menggaji karyawan dipakai Papa buat nikah kemarin.""Apa, jadi mahar satu milyar itu uang perusahaan?"Feri mengangguk.Bertahun-tahun menjadi karyawan ia faham betul jika perusahaan telat memberi gaji

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 40.B

    Bugh!Dara berhasil membuat Jeni terhuyung ke lantai dengan pukulannya, ia dan ibunya gegas masuk ke dalam rumah.Kebetulan di dalam ada Bu Nendah dan Naura yang sedang mempersiapkan acara tahlilan Bu Nisya."Rita," gumam Bu Nendah sambil mengehentikan aktifitasnya.Naura pun sontak melirik ke arah pandang ibunya."Naura, di mana Mas Bagus? Panggilin sana." Dengan pongah Dara memerintah."Ngapain kamu ke sini, Rita! Pergi sana! Ternyata bukan hanya kamu ya yang suka ngerebut suami orang tapi anakmu juga, emang ibu sama anak ga ada bedanya!" Hardik Bu Nendah.Jeni lah yang memberitahunya jika Dara adalah perusak rumah tangga Pak Bagus dan Bu Nisya."Jangan ikut campur! Kamu juga ngapain di sini sih? Sana balik ke rumah sakit jiwa," ejek Bu Rita tak mau kalah.Sementara Dara masih celingukan ke sekeliling ruangan mencari suaminya."Saya emang gila dan itu karena kamu sudah memisahkan saya dan Naura, dan saya sudah sembuh, saya doakan selanjutnya kamu atau anakmu ini yang gila," balas Bu

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 40.A

    Bu Rita yang sedang maskeran di kamarnya terlonjak kaget mendengar jeritan putri bungsunya, ia bergegas ke luar menemui Dara."Kamu kenapa sih?" "Ini, Bu, duit aku ilang semua." Dara masih sibuk mengecek ponsel berusaha menghubungi costumer servis bank."Kok bisa ilang? 'kan disimpan di ATM." "Aduh, Ibu, aku tuh kena tipu." Dara semakin panik."Kok bisa sih duit disimpan di bank ilang gitu aja," gumam Bu Rita yang minim pengetahuan."Gimana, Dara? Duitnya balik lagi 'kan setelah nelpon tukang banknya?""Ga tahu, pokoknya besok pagi aku diminta ke datang ke bank.""Aduuh gimana ini, Bu, mana duitku masih ada delapan ratus juta lagi di situ." Dara frustasi sambil mengacak rambutnya."Ya ampun! Kamu ini sarjana masa bisa ketipu sih, kamu itu 'kan pinter, Dara! Kok bisa ketipu!" teriak Bu Rita.Pak Endang yang tak tahan dengan suara bising di kamar sebelah pun beranjak menghampiri."Ada apaan sih? Malem-malem teriak?""Pak, duit Dara, Pak. Habis semua kena tipu."Pak Endang merenung sej

좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status