Share

Bab 8

 

Kudengar ibu ngomel-ngomel di kamar Dara, wanita itu tak terima memiliki menantu tukang cilok, apalagi mobil Alvin yang selama ini dibanggakan ternyata bukan miliknya membuat ibu makin murka

 

Sementara aku Mas Feri dan bapak makan nasi Padang karena sudah waktunya makan siang, Feri kemari membawa lima bungkus nasi sengaja ingin makan bersama di sini

 

"Jadi Dara mau nikah secepatnya?" tanya Feri

 

Di bibir belahnya yang merah ada cabai hijau yang menempel sebesar biji beras, membuatku gemas ingin mencoleknya tapi malu sama bapak

 

"Iya, Mas," jawabku

 

"Oh ya nanti kita pulang bareng aja ya, kamu di sini dulu sampai aku pulang."

 

Usai makan ia salat di kamarku yang dulu, lalu ia keluar dengan wajah yang begitu segar, ada desiran halus yang kurasa, entah kenapa aku jadi pengen cepat-cepat malam.

 

"Dih, biasa aja kali lihatin orang ganteng sampe segitunya." Ia terkekeh kepedean.

 

Aku hanya mengulum senyum tak punya kemampuan untuk menggoda dengan kata-kata.

 

"Gimana? masih sakit ga?" tanyanya sambil berbisik di telinga.

 

Aku menghirup napas mengusir rasa aneh yang tiba-tiba menjalar dari atas ke bawah.

 

"Ya masih lah, kamu sih tega." aku mendelik.

 

"Sakit tapi mau lagi 'kan?"

 

Aku menepuk lengannya dengan keras, tentu saja mau ucapku dalam hati.

 

"Udah ah pergi sana." Aku mulai salah tingkah.

 

"Dosa loh ngusir suami." Bibir belahnya itu terlihat manyun.

 

"Ini udah mau jam satu, Mas, bukannya balik kerja ih." 

 

"Iya iya aku balik, tapi kiss dulu ya."

 

Untung di ruang televisi ini tak ada orang, tapi tetap saja aku malu.

 

"Kalau ada Bapak gimana? aneh-aneh aja ih." Pipiku mulai panas saking malunya.

 

"Ya biarin, palingan suruh masuk kamar." Ia terkekeh.

 

"Engga ah, sana!"

 

"Kiss dulu."

 

Terpaksa aku mendaratkan bibir di pipi kanannya, di luar dugaan ia malah membalas lebih bringas, bahkan bibirku pun tak luput dari sasaran.

 

"Hadeuh! Di kamar aja napa sih!"

 

Seketika tubuh Feri langsung menjauh, di dekat pintu yang menghubungkan dapur dan ruang televisi Dara berdiri dengan tatapan benci memandang kami.

 

"Hehe maaf." Feri terkekeh merasa bersalah, Dara langsung mendelik.

 

"Bukannya cepet balik kerja, mau dipecat?" tanya Dara begitu sinis.

 

"Aku balik kerja dulu ya, Yang."

 

Aku mengangguk.

 

Sambil memandang kepergiannya aku menerka-nerka jika pabrik itu milik keluarga Feri, entahlah aku selalu tak memiliki kesempatan untuk bertanya.

 

"Naura, kamu harus bantuin adikmu ya, dua puluh juta aja, kasihan adikmu kalau nikah ga ada pesta," ucap ibu tiba-tiba.

 

Entah kenapa nada suaranya melembut sekarang.

 

"Aku aja kemarin ngadain acara sederhana, bahkan Ibu sama Dara ga mau bantu masak sama sekali, masa iya sekarang aku harus bantu dua puluh juta lagi."

 

Ibu dan Dara saling lirik, sepertinya kata-kata barusan kena di hatinya.

 

"Bu, coba hargai perasaanku, sejak kecil aku diperlakukan ga adil sama Ibu, masa iya udah gede masih begitu."

 

"Naura, Dara ini adikmu pergaulannya luas ga kaya kamu, teman-temannya ini bukan orang sembarangan, apa kata mereka kalau dia ngadain pernikahan sederhana, dia itu adikmu, masa kamu tega," balas ibu 

 

"Uangmu itu satu milyar masa ngasih dua puluh juta aja perhitungan, dia itu adik kamu," ujar ibu lagi.

 

Aku menyunggingkan bibir, teringat beberapa tahun lalu saat masih kecil, bapak bekerja merantau ke luar kota dan setiap bulan selalu transfer uang banyak. Akan tetapi,ibu dan Dara hanya menikmati berdua sedangkan aku hanya diberi sisa itu pun kalau ada.

 

"Emang Dara nganggep aku kakak, Bu? tanya sama dia, dia anggap aku siapa? udah ah aku males bahas pernikahan Dara, kalau mau bikin pesta usaha sendiri jangan cuma minta." Cepat aku pergi

 

"Naura!"

 

"Naura!"

 

Ibu terus teriak tapi tetap kuabaikan.

 

"Naura sini." Aku yang hendak masuk kamar urung karena bapak memanggil.

 

"Ini sertifikat tanah warisan untukmu, simpan aja ya kalau perlu kamu bangun rumah di sana, selain dekat sama Bapak, juga dekat dengan tempat kerja Feri," ucap bapak sambil menyerahkan amplop coklat.

 

Aku menerima benda berharga itu dengan sungkan, tak dapat dipungkiri aku memang membutuhkan tanah ini dan secepatnya membangun rumah, bagaimanapun juga aku tak ingin lama-lama tinggal dengan mertua.

 

"Terima kasih, Pak, soal bangun rumah di sana aku akan bicara dulu sama Mas Feri."

 

"Iya silakan, semoga rezeki kalian lancar dan berkah ya."

 

"Oh ya satu lagi, kalau ibumu minta uang untuk acara nikahan Dara jangan kamu kasih."

 

Aku mengangguk paham.

 

Sore harinya ada teman-teman ibu yang datang, tiga orang perempuan tengah baya itu memang sering kulihat di pabrik hanya saja kami tak saling mengenal, entah mereka karyawan bagian apa.

 

"Naura! Ambilin minum sama buah yang ada di meja dapur!"

 

Aku yang sedang rebahan di kamar terpaksa bangkit dan ke dapur.

 

"Duh pengantin baru ada di sini, bukannya udah pindah?" tanya ibu-ibu yang mengenakan kemeja batik.

 

"Iya, lagi main aja ke sini sekalian ambil barang yang ketinggalan." Aku tersenyum sungkan.

 

"Terus suamimu mana? kenalin dong sama Tante."

 

"Lagi kerja, Tan, sebentar lagi jemput ke sini," jawabku, mau melangkah jadi urung karena mereka terus bertanya.

 

"Oh kerja di mana suamimu?" 

 

"Iya nikah kok ga ngundang-ngundang," celetuk salah satu diantara mereka.

 

"Maklum lah, Mita, suaminya Naura ini cuma buruh pabrik sama kaya dia ga beda jauh, uang masak yang dikasih suaminya juga cuma enam juta mana cukup buat undang-undang kerabat, maklum keluarganya bukan dari kalangan berada," sahut ibu.

 

Ia kembali ketus padaku, mungkin dendam karena tak dikasih uang untuk pesta anaknya.

 

"Beda dong ya sama calon suami Dara yang pengusaha," sahut perempuan yang bernama Mita.

 

Ibu hanya mengatupkan kedua bibirnya tanpa mengiyakan.

 

"Iya jelas beda, saya sebenarnya udah nolak dia nikah sama lelaki pas-pasan, bukan apa-apa takutnya dibawa hidup susah, 'kan sebagai Ibu kita suka kasihan, eh tapi dianya ngeyel dengan alasan cinta."

 

"Padahal zaman sekarang cinta aja ga cukup ya, Ta," timpal salah satu temannya ibu.

 

"Nah makanya itu, sekarang aja dia tinggal numpang sama mertuanya, semewah apapun rumah mertua tetep aja ga nyaman 'kan?" Ibu mendelik ke arahku.

 

"Oh kamu pindah ke rumah mertua, Ra? kirain ke rumah Feri sendiri."

 

"Bukan lah, suaminya mana ada duit buat beli rumah," celetuk ibu lagi.

 

Aku terdiam merasa sakit hati terus dijelek-jelekkan oleh ibu sendiri, entah salahku apa kepadanya.

 

Kudengar suara motor Mas Feri di depan rumah, aku lega akhirnya akan pergi juga dari mereka, Mas Feri masuk sambil mengucap salam, dan kami pun menjawab serempak.

 

"Loh Pak Feri? mau apa ke sini?" tanya perempuan bernam Mita tampaknya mereka saling kenal.

 

"Bu Mita." Suamiku tersenyum.

 

"Ini mau jemput istri." Mas Feri menunjukku menggunakan jempolnya.

 

"Apa?" Perempuan bernama Mita itu bengong menatapku.

 

"Ya ampun, Rita! Anakmu ini keren sekali. Dia mendapatkan suami seorang bos yang rendah hati."

 

"Bos apaan sih?" tanya ibu yang terlihat seolah tak peduli walaupun sebenarnya aku tahu dia penasaran setengah mati.

"Masa kamu ga tahu, Rita, suami anakmu ini pemilik PT Citra Unggul Perkasa, bukan buruh di sana, duh kamu benar beruntung, Nuara." Bu Mita mengelus daguku.

'Deg'

"Hah? PT Citra Unggul Perkasa? Itu 'kan tempat aku dan Mas Feri bekerja," batinku.    

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Pajar Sendi
seru ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status