Share

Bab 6

Penulis: Ina Qirana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-14 12:56:10

 

 

"Sebenarnya apa, Bu?" tanyaku makin penasaran.

 

Feri yang sedang memakai kemeja pun melirik, ia mengangkat dagunya kode bertanya.

 

"Dara sudah hamil, dia harus secepatnya nikah Ibu malu kalau tetangga tahu hal ini, pokoknya beri Ibu uang, ga mau tahu." Ibu terdengar ngotot.

 

Aneh juga bukannya calon suami Dara itu katanya kaya, kenapa minta uang padaku?

 

"Emang calon suami Dara ga ngasih uang buat acara nikahan, Bu? 'kan dia kaya?"

 

"Banyak tanya kamu ya, uang yang dikasih Alvin itu ga cukup buat pesta besar-besaran, pokoknya sekarang juga kamu transfer!" tegas ibu.

 

Aku mematikan panggilan secara sepihak, benar-benar pusing dengan tingkah laku ibu, ia benar-benar gila pujian.

 

"Kenapa sih?" tanya Feri.

 

"Ibu minta uang, Mas."

 

"Buat?" Dahi Feri mengerenyit.

 

"Acara pernikahan Dara."

 

Feri terlihat menghela napas.

 

"Terus kamu mau ngasih?" tanya Feri sambil menatapku.

 

"Kayaknya engga deh, lagian itu duit juga dipakai foya-foya," jawabku dengan malas.

 

Biarlah ibu semakin membenciku, lelah rasanya selalu menuruti keinginannya sejak dulu.

 

"Ya udah terserah kamu, aku berangkat kerja ya, pulang nanti kamu harus udah wangi." Ia terkekeh lalu mencubit pipiku.

 

Suamiku sudah pergi sambil mengendarai motornya, padahal di rumah ini ada mobil entah itu mobil siapa, yang jelas sejak kenal pertama kali dengannya Feri selalu mengenakan motor ke mana-mana.

 

Rutinitasku pagi ini yaitu mencuci piring usai sarapan, ternyata mama memiliki asisten rumah tangga, tapi ia hanya kerja sampai siang.

 

"Naura, Mama mau bicara."

 

Aku menoleh. Iya, bicara apa, Ma?" 

 

"Mama minta kamu jangan ngadu-ngadu ke Feri ya, jangan buat keretakan antara kami," ucapnya dengan suara pelan.

 

Kegiatanku yang sedang mencuci piring terhenti, karena aku tak merasa melakukan apa yang mama tuduhkan.

 

"Aku ga ngadu kok, Ma, waktu itu aku jelas banget denger Mama ngobrol sama Kak Jeni," jawabku masih lemah lembut juga 

 

Mama menghela napas lalu mengajakku duduk di ruang makan. "Cuci piring biar dilanjutkan Mbak Eka saja."

 

Mama menyebut nama pembantunya.

 

"Waktu itu Mama memang bicarakan kamu sama Jeni, kamu harus tahu sebenarnya Mama setuju-setuju aja Feri ngasih mahar satu milyar, hanya saja Farhan dan Jeni yang keberatan katanya mahar segitu kebanyakan."

 

Aku menelisik wajahnya baik-baik, tak bisa membaca apa isi kepalanya, kemarin saat bicara dengan Kak Jeni ia seolah membenciku, lalu sekarang malah berubah lembut.

 

"Gitu ya, Ma. Aku tanya Mama sebenarnya merestui pernikahanku dan Mas Feri ga sih?"

 

Mama menundukkan kepala, entah apa yang dipikirkannya.

 

"Mama sama papa ngerestui kalian, hanya saja kamu harus hati-hati di rumah ini, Jeni ga suka sama kamu."

 

Dahiku mengerenyit, kenapa mama seolah takut pada Kak Jeni, bukankah ini rumahnya?

 

"Memangnya kenapa kalau Kak Jeni ga suka sama aku, Ma?" tanyaku lagi.

 

"Pokoknya hati-hati saja ya, jangan sampai membuat Jeni marah, dia itu pendendam orangnya," ucap mama lagi.

 

"Dah ya Mama tinggal." Perempuan itu pun segera pergi.

 

Entahlah aku tak mengerti apa yang terjadi diantara mama dan Kak Jeni.

 

Tiba-tiba bapak menelpon, aku segera menggeser gambar gagang telpon berwarna hijau di layar ponsel.

 

"Naura, kamu ke sini ya, Bapak benar-benar ga kuat menghadapi ini sendirian," ucap bapak dengan suara parau.

 

"Emang kenapa, Pak? soal Dara ya?" tanyaku mulai gelisah.

 

"Pokoknya kamu ke sini, bisa 'kan?"

 

"Iya iya, Pak, aku ke sana."

 

Usai menutup panggilan aku menelpon Feri berpamitan, ia pun mengizinkan, karena mama tak ada aku hanya titip pesan pada Mbak Eka

 

Dari rumah mama mertua ke rumah bapak membutuhkan waktu empat puluh lima menit jika naik ojek beda lagi jika naik kendaraan roda empat 

 

Sambil mengucap salam aku nyelonong masuk ke rumah bapak, lelaki itu sedang termenung di kebun belakang rumah, entah ke mana ibu dan Dara.

 

"Assalamualaikum, Pak. Bapak kenapa?"

 

Ia berbalik badan lalu aku mencium punggung tangannya.

 

"Bilang dulu ga sama Feri kamu mau ke sini?" tanya Bapak.

 

"Udah kok, Pak. Emang kenapa?"

 

Lelaki yang berumur lima puluh tahun lebih itu mengembuskan napas.

 

"Bapak ga tahan sama sikap ibumu dan Dara, mereka mau bikin pesta pernikahan besar-besaran, ibumu juga ngotot suruh jual tanah warisan bagian kamu." Bapak tertunduk.

 

Aku menyenderkan punggung ke dinding, kali ini ibu memang keterlaluan, dan aku tak ingin lagi mengalah demi Dara.

 

"Jangan jual dulu, Pak, itu tanah bagianku."

 

Bapak mengangguk, pria ini sejak dulu selalu kalah dengan istrinya, aku jadi heran mengapa ia tak memiliki kekuatan untuk melawan.

 

"Bapak akan serahkan sertifikatnya sama kamu kalau gitu, biar tenang, biar ibumu ga minta terus."

 

Aku menganggukkan kepala, tak lama ibu dan Dara datang, wajahnya merah karena kepanasan, sepertinya mereka habis dari luar.

 

"Pak, sebentar lagi keluarga calon suami Dara mau ke sini, ayo kita bersiap, mereka itu bukan keluarga sembarangan, mereka pengusaha ga kaya besan Bapak yang satu itu." Ibu mendelik ke arahku 

 

"Bu, Dara hamil berapa bulan sih?" tanyaku sambil menatapnya.

 

"Belum periksa, Naura, katanya baru beberapa minggu telat datang bulannya." Kali ini nada bicaranya tak lagi angkuh.

 

"Anak itu, sudah buat keluarga malu!" sahut bapak kesal 

 

Ibu langsung melotot ke bapak. "Yang bikin malu itu Naura, nikah tanpa pesta, kalau Dara keluarga calon suaminya itu kaya mana mungkin ngasih uang masak sedikit."

 

Aku dan bapak geleng-geleng kepala melihat keangkuhan wanita ini.

 

"Anak berzina kamu biasa aja, Bu? harusnya itu anak dicambuk, bukan terus dimanjakan!" tegas bapak

 

"Sudah sudah. Bu, pokoknya nanti kalau anak itu udah lahir Dara harus akad lagi karena menikah dalam keadaan hamil ga sah," sahutku, wajah ibu langsung manyun.

 

"So tahu kamu, ga usah ceramah! Sebagai kakak kamu harus bantu biaya pernikahan adikmu, biar duit satu milyarmu itu berkah."

 

Usai berkata begitu, ibu meninggalkan kami, tak berselang lama keluarga calon suami Dara datang menggunakan sebuah mobil, ibu langsung heboh menyuruhku dan bapak ke depan untuk menyambut.

 

"Soal tanggal biar keluarga di sini saja yang menentukan, kami siap kapan pun acara pernikahannya dilaksanakan," ujar seorang wanita berhijab yang kutaksir ibunya Alvin.

 

"Yang pasti lebih cepat lebih baik, Bu," sahut ibu.

 

"Ya, saya juga maunya begitu," timpal bapaknya Alvin, sedikit lebih tua dari bapak.

 

"Lalu uang masaknya mana? mau saya belanjakan untuk keperluan pesta nanti, oh ya satu lagi Nak Alvin harus kasih mahar yang fantastis, kaya Naura kemarin, maharnya satu milyar, bisa 'kan?" ibu terkekeh sedangkan keluarga Alvin saling pandang.

 

Wajah bapak terlihat malu sekali.

 

"Maaf, Bu, untuk uang masak kita hanya bisa ngasih segini, soalnya buru-buru sih." Bapaknya Alvin menyerahkan sebuah amplop yang tak terlalu tebal.

 

Ibu langsung melongo memandang pemberian besannya itu.

 

"Dan untuk mahar saya cuma bisa kasih lima ratus ribu, ga apa-apa 'kan, Bu? lagian Dara udah hamil ini."

 

Aku mengulum senyum mendengar ucapan kekasih Dara itu, masa pengusaha cuma ngasih mahar lima ratus ribu 

 

"Lima ratus? ya ga bisa, Nak Alvin, Naura aja yang suaminya cuma buruh biasa ngasih mahar satu milyar, kamu ini 'kan pengusaha," sergah ibu dengan melotot.

 

"Tapi usaha Alvin ini belum besar, Bu Besan, masih merintis," sahut ibunya Alvin memancing rasa penasaranku.

 

"Emang Alvin punya usaha apa, Tante?" tanyaku memberanikan diri.

 

Ibunya Alvin melirik suaminya. "Usaha jualan cilok, Nak, masih kecil-kecilan belum memiliki banyak pedagang."

 

"Apa?! Jualan cilok?!" sahut ibu dengan nada tinggi, sejujurnya aku ingin terbahak tapi susah payah ditahan.

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Tamat

    "Kecuali apa!" bentakku sambil menatapnya tajam."Loh, Sayang, kok kamu bentak-bentak Pak Bagas gitu? Ada apa?" tanya Mas Dari yang tiba-tiba datang dari arah belakang.Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lantas berdiri dan menatap tajam wajah Bagas."Mas, lebih baik tolak bantuan dari lelaki ini!" telunjukku mengarah ke wajah Bagas.Lelaki itu sedikit panik dan ketakutan, ia pikir aku akan diam saja ditekan olehnya, jangankan menggertak mencoba membunuhnya saja aku berani.Ya, tepat dua tahun yang lalu Bagas mencoba melecehkanku di vilanya yang berada di puncak Bogor, mereka sengaja memberikan obat tidur pada ketiga temanku lalu dengan santainya menggodaku hingga berusaha melecehkanku di tempat itu.Namun, aku tak Sudi disentuh olehnya, saat itu aku melawan sekuat tenaga hingga berhasil memukul kepalanya dengan bangku, kepala Arvin berdarah, tetapi lelaki itu tak menyerah terus menyerangku untuk mengoyak diri iniHingga akhirnya aku kalap lalu menancapkan pisau daging ke perut dan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 44

    Naura mematung dengan tangan mengepal erat, di dadanya ada amarah yang membuncah hebat.Ia benci embusan napas itu, ia juga benci seringai menjijikkan itu yang hampir merenggut kesuciannya beberapa tahun silam, andai Naura tak pandai bela diri tentu sekarang dirinya sudah menjadi sampah."Maaf sekali, Pak Burhan, sepertinya saya berubah pikiran.""Maksud Anda?" Pria berjas silver bernama Burhan itu mengerenyitkan dahinya."Ya, tanah ini tidak jadi saya jual, mohon maaf ya, Pak."Lelaki bernama Burhan itu melirik Naura dengan intens, lalu melirik kliennya yakni Bagas."Maaf kalau boleh tahu apa alasan Bu Naura membatalkan jual beli tanah ini? Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat soal harga? Di depan kita sudah ada pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi loh, Bu."Naura terdiam sejenak menatap lelaki bernama Bagas yang sangat ia benci setengah mati."Alasannya karena saya tidak menyukai dia." Naura menunjuk dada Bagas dengan tatapan dingin.Sontak saja Bu Nendah dan Pak Burhan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 43

    "Pak Polisi?" Tenggorokan Dara tercekat.Bagaimana tak panik teman-teman yang digadang -gadangkan akan melindunginya malah hilang entah ke mana. Sekarang ia mendapati dirinya dalam keadaan mengkhawatirkan."Ini surat penangkapan Anda, saya harap Anda bisa diajak kerja sama." Polisi itu menyerahkan secarik kertas yang membuat Dara kian panik."Tapi ... saya ga bersalah kok, Pak polisi." "Ikut saja ke kantor ya. Ayo." Pimpinan aparat itu menyuruh bawahannya yang berjenis kelamin wanita agar membawa Dara."Sial!""Sial!"Ke mana Yopi, Clara dan yang lainnya? Lalu ada apa dengan tubuhku? Apa yang mereka lakukan semalam?Selama digiring pihak kepolisian Dara terus bertanya-tanya dalam hatinya, tiba-tiba ia langsung teringat Yopi.Apa jangan-jangan lelaki itu sudah menj*mah tubuhku? Kurang ajar kau Yopi, lihat saja nanti.Di ruang penyelidikan Dara terus di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi karena pertanyaan tersebut hanya itu-itu saja dan dilontar

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.B

    "Soal itu kami masih menyelidikinya Pak Feri jangan khawatir kita akan menemukan pelakunya secepat mungkin."Usai berbincang dengan aparat kepolisian jenazah Pak Bagus pun diperbolehkan pulang, seluruh keluarga besar Bu Nisya dan Pak Bagus datang kembali ke rumah itu.Mereka tak menyangka Pak Bagus akan meninggal dalam waktu berdekatan dengan istrinya, ada yang menganggap ini cinta sejati antara mereka ada juga yang menganggap karma."Fer, apa kamu melihat Dara?" tanya Farhan."Tidak, aku sudah menelpon Pak Endang mungkin dia di perjalanan sekarang," jawab Feri.Benar saja beberapa menit kemudian Pak Endang dan Bu Rita datang memakai pakaian serba hitam."Saya ikut berduka cita, Nak Feri," ucap Pak Endang."Terima kasih.""Oh ya mana anakmu si Dara itu? Kenapa dia ga ke sini?" tanya Jeni yang duduk di dekat suaminya.Saat ini jenazah Pak Bagus sedang dimandikan di belakang rumah.Pak Endang tak menjawab ia malah melirik istrinya."Mungkin sebentar lagi," jawab Bu Rita, karena sebenarn

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.A

    "Hah!" Napas Dara terengah-engah melihat suaminya tergeletak di lantai dengan wajah penuh kesakitan, sedangkan dari dalam dadanya keluar darah dengan derasIa baru tersadar jika tindakannya barusan memang dikuasi setanDara beringsut mundur sambil menutup mulutnya, tubuh kurus itu bergetar ketakutan."Mas." Dara menggoncangkan tubuh suaminya menggunakan kaki.Tapi Pak Bagus tak bergerak, bahkan matanya melotot tanpa berkedip.Dara semakin panik, matanya liar melihat ke sekeliling ruangan, beruntung tak ada yang menyaksikan karena sanak saudara Bu Nisa telah pulang tadi malam.Perempuan itu pun mundur perlahan lalu pergi dengan berlari kencang, keluar dari perumahan itu baru ia bisa berhenti berlari karena napasnya terengah-engah."Ya Tuhan, apa Mas Bagus meninggal?" Seluruh tubuhnya bergetar hebat.Ia pun segera naik angkot lalu pulang ke rumah melewati ibunya yang sedang mengemas barang dagangan."Gimana, Ra? Pak Bagus ngasih uang?" tanya Dara.Bahkan ia lupa jika dompet suaminya ya

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42

    Dara melotot sambil melirik suaminya, tak menyangka Pak Bagus yang bucin bisa menuduh sekejam itu, ya walaupun tuduhan itu benar, pikir Dara."Apaan sih kamu ga jelas banget, aku mana ngerti begituan, jangan mentang-mentang istri kamu meninggal terus kamu merasa bersalah dan mencampakkan aku gitu aja ya, Mas." Dara berusaha memutar balikkan fakta."Seminggu yang lalu saya dirukiyah sama Feri dan saya muntah, setelah itu tiba-tiba aja rasa cinta saya ke kamu jadi hilang, itu apa artinya kalau kamu ga melet saya hah." "Apa?! Cuma masalah kaya gitu Mas berani nuduh aku." Dara tersenyum getir."Bilang aja nyesel nikah sama aku karena istri kamu udah meninggal sekarang, ga usah nuduh aku macam-macam karena Mas ga punya bukti." Dara masih tak ingin kalah Pak Bagus terdiam berdebat dengan anak ingusan memang takkan pernah menemukan titik penyelesaian."Saya ga nuduh kamu, tapi saat ini perasaan saya ke kamu udah ga ada, Dara, terus kamu mau kaya gimana?" Pak Bagus pasrah, sudah terlalu ban

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 41.A

    "Neng, kasian sekali ya Bu Nisya."Hari ini tepat setelah tujuh hari Bu Nisya pergi Naura pulang ke rumahnya dengan sang ibu, tak dapat dipungkiri menginap di sana membuatnya sedikit tak betah oleh sikap Jeni yang sering sekali menyindir."Nasibnya ga jauh beda sama Ibu, sama-sama ditinggalin suami.""Udah ah, Ibu jangan banyak pikiran sekarang istirahat ya.""Neng, kapan Ibu berhenti minum obat? Ibu udah sembuh kok."Naura menatap ibunya dengan tersenyum. "Iya Ibu udah sembuh, tapi minum obat juga harus karena yang suka Ibu minum itu vitamin bukan obat, aku juga suka minum vitamin kok ga hanya Ibu aja." Naura terpaksa berbohong"Oh gitu ya." Bu Nendah masih mikir."Udah istirahat."Setelah ibunya tertidur Naura segera menghampiri Feri di kamarnya."Perusahaan lagi pailit, Ra, uang buat menggaji karyawan dipakai Papa buat nikah kemarin.""Apa, jadi mahar satu milyar itu uang perusahaan?"Feri mengangguk.Bertahun-tahun menjadi karyawan ia faham betul jika perusahaan telat memberi gaji

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 40.B

    Bugh!Dara berhasil membuat Jeni terhuyung ke lantai dengan pukulannya, ia dan ibunya gegas masuk ke dalam rumah.Kebetulan di dalam ada Bu Nendah dan Naura yang sedang mempersiapkan acara tahlilan Bu Nisya."Rita," gumam Bu Nendah sambil mengehentikan aktifitasnya.Naura pun sontak melirik ke arah pandang ibunya."Naura, di mana Mas Bagus? Panggilin sana." Dengan pongah Dara memerintah."Ngapain kamu ke sini, Rita! Pergi sana! Ternyata bukan hanya kamu ya yang suka ngerebut suami orang tapi anakmu juga, emang ibu sama anak ga ada bedanya!" Hardik Bu Nendah.Jeni lah yang memberitahunya jika Dara adalah perusak rumah tangga Pak Bagus dan Bu Nisya."Jangan ikut campur! Kamu juga ngapain di sini sih? Sana balik ke rumah sakit jiwa," ejek Bu Rita tak mau kalah.Sementara Dara masih celingukan ke sekeliling ruangan mencari suaminya."Saya emang gila dan itu karena kamu sudah memisahkan saya dan Naura, dan saya sudah sembuh, saya doakan selanjutnya kamu atau anakmu ini yang gila," balas Bu

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 40.A

    Bu Rita yang sedang maskeran di kamarnya terlonjak kaget mendengar jeritan putri bungsunya, ia bergegas ke luar menemui Dara."Kamu kenapa sih?" "Ini, Bu, duit aku ilang semua." Dara masih sibuk mengecek ponsel berusaha menghubungi costumer servis bank."Kok bisa ilang? 'kan disimpan di ATM." "Aduh, Ibu, aku tuh kena tipu." Dara semakin panik."Kok bisa sih duit disimpan di bank ilang gitu aja," gumam Bu Rita yang minim pengetahuan."Gimana, Dara? Duitnya balik lagi 'kan setelah nelpon tukang banknya?""Ga tahu, pokoknya besok pagi aku diminta ke datang ke bank.""Aduuh gimana ini, Bu, mana duitku masih ada delapan ratus juta lagi di situ." Dara frustasi sambil mengacak rambutnya."Ya ampun! Kamu ini sarjana masa bisa ketipu sih, kamu itu 'kan pinter, Dara! Kok bisa ketipu!" teriak Bu Rita.Pak Endang yang tak tahan dengan suara bising di kamar sebelah pun beranjak menghampiri."Ada apaan sih? Malem-malem teriak?""Pak, duit Dara, Pak. Habis semua kena tipu."Pak Endang merenung sej

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status