Share

Pria Lagi

“Mas Randi!” ucapku kaget.

“Oh, jadi begini kelakuan Kamu, di belakangku! Dasar murahan!”

Aku hanya terdiam, mendengar segala ucapannya. Justru, dia yang berkhianat, mengapa sekarang dia menyalahkanku.

“Apa kamu bilang? Bukankah kamu yang menghianati Reina!” Pak Herman mendekati Mas Randi, mendorongnya.

“Kamu siapa? Berani melawan saya! Dia itu masih istri saya!” kata Mas Randi menantang Pak Herman.

“Suami macam apa yang tega menduakan istrinya, demi perempuan lain yang lebih kaya! Ceraikan Reina, karena dia tak pantas untuk pria sepertimu!” Pak Herman menonjok wajah Mas Randi.

Mas Randi seketika memegang wajahnya yang melebam.

“Hentikan!” teriakku saat Mas Randi ingin membalas pukulan Pak Herman.

“Apa-apaan kalian ini! Pergi Mas, aku sudah tak sudi lagi melihat wajahmu! Jangan pernah kembali lagi dalam kehidupanku!” Aku mengusirnya pergi.

Sudah cukup segala derita yang dia torehkan di hati. Aku tidak ingin dia kembali di saat diri ini telah mampu menghapus namanya dalam hati.

“Maaf, Pak, sebaiknya Bapak pulang saja, saya butuh waktu untuk menyendiri.”

“Rei!” panggil Pak Herman. Namun, aku terus melangkah meninggalkannya yang masih berdiri.

Aku menangis menumpahkan segala luka. Hanya sedikit bahagia yang kudambai, tapi mengapa selalu duka yang kurasakan.

***

“Reina, tolong kamu ambil gaun ungu yang ada di sana.” Meisa menunjuk sebuah lemari kaca. “Kamu, pakaikan pada manekin yang ada di depan,” perintahnya.

“Baik, Kak,” ucapku.

“Meisa, saja. Aku kan lebih muda darimu,” katanya, selain cantik dia juga baik hati.

“Oke, Meisa,” ucapku mengacungkan jempol.

Aku bergegas mengambil gaun memakaikannya dengan hati-hati pada manekin yang terletak  di dekat pintu. Hari pertama rasanya berdebar-debar, takut melakukan sebuah kesalahan.

Tugas pertama selesai, aku bergegas kembali ke dalam, menjahit sebuah gaun mewah, dengan desain yang luar biasa. Aku tidak menyangka Meisa sangat ahli dalam mendesain pakaian.

“Aduh!” pekikku tanpa sengaja menabrak seorang pria. “Maafkan saya, Pak.”

Pria itu hanya mengangguk, berjalan meninggalkanku.

“Mei, gaun untuk pernikahan Ayna sudah kelar belum?” ucapnya menghampiri Meisa.

“Belum, empat puluh persen lagi kelar, tuh!” Meisa menunjuk gaun yang sedang aku jahit.

Pria itu tak asing, aku seperti pernah melihatnya. Pria yang menabrakku kemarin, mungkin gaun yang aku jahit ini milik calon istrinya.

Dia berjalan mendekatiku, memegang gaun yang sedang aku jahit. “Ayna

terus saja menanyakan gaun ini.”

“Iya, Kak, bentar lagi juga kelar,” ucap menghampiri kami. “Kak Hasan, perkenalkan dia karyawan baru kita, Reina.” Meisa memegang pundakku.

“Jangan khawatir, jahitannya rapi dan bagus kok!” Meisa berjalan menghampiriku. “Reina, ini Hasan kakakku satu-satunya.”

Aku menangkupkan tangan di dada. Aku kembali melanjutkan menjahit gaun. Pak Hasan duduk di sofa yang terletak di samping jendela.

“Assalamualaikum,” salam seorang wanita masuk ke dalam.

“Wa’allaikumsalam,” jawab kami hampir bersamaan.

Wanita itu kelihatan sangat cantik dan elegan. Dia menghampiri Meisa, memeluk dan mencium kedua pipinya.

“Mei, gaunku sudah kelar belum?” tanyanya.

“Tuh!” Meisa menunjuk ke arahku.

“Jadwalmu fiting baju kan masih seminggu lagi, pernikahanmu juga masih satu bulan lagi,” ucap Meisa.

“Aku sudah enggak sabar mau lihat hasil desainmu!” ujarnya. “Hasan, kapan kamu akan menyusulku untuk menikah?” tanyanya mendekati Hasan.

“Sudah jangan  menggoda terus Kak Hasan,” bela Meisya.

Ayna duduk di sofa. “Ayolah bangkit dari kesedihanmu. Move on, ikhlaskan Humaira, tak mungkin selamanya kau hidup sendiri,” nasehat Ayna.

Pria itu hanya diam tak menimpali, bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan mereka. Seperti ada luka yang tak terlihat di dalam hatinya.

Meisa menepuk pundak Ayna pelan.

“Sudahlah ... mungkin suatu saat dia akan menemukan jodohnya.”

“Reina, habis ini temani aku beli kain, ya?” ajak Meisa.

“Baik, Mei,” jawabku mengangguk.

“Ya sudah Mei, aku pergi dulu ya! Ada meetting  soalnya,” pamit Ayna mencium kedua pipi Meisa.

“Hati-hati, jangan ngebut, ngebut bawa mobilnya,” pesan Meisa.

“Jangan khawatir,” jawabnya berlalu meninggalkan kami.

Beberapa saat setelah Ayna pulang, Hasan kembali masuk ke dalam. Dia memeriksa berkas-berkas yang ada di meja Meisa.

“Mei, gimana penjualan bulan ini?” tanyanya.

“Ada peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan bulan lalu si, Kak.” Meisa menatap kakaknya. “Kak, bisa enggak beli bahan sebentar, aku lagi sibuk banget nih!” pintanya.

Pria itu hanya mengangguk mengiyakan.

“Reina, temani kakakku beli bahan-bahan,” pinta Meisa. Dia memandangku penuh harap.

“Baik, Mei,” jawabku mengiyakan.

Aku tak berani membantahnya karena aku hanya karyawan baru.

“Jangan khawatir, ada Pak Mahmud sopir kakak juga yang menemani kalian. Aku mengangguk mendengar penuturan Meisa.

Di butik aku hanya bertugas membantu menjahit di bagian yang mudah-mudah saja, sedang bagian yang sulit Meisa yang mengerjakan. Aku lebih banyak melayani pelanggan atau membantu menyiapkan apa yang dia butuh kan.

Kami hanya terdiam saat berada di dalam mobil. Pak Hasan duduk di depan bersama Pak Mahmud.

“Nak Reina tinggal dimana?” tanya Pak Mahmud memecah keheningan.

“Di Jalan Tentara, Pak,” jawabku.

“Tinggal dengan siapa, Nak?”

“Bersama kedua putri saya, Pak.” Aku memandang ke arah luar saat lampu merah. Ada banyak anak jalanan, menghampiri mobil-mobil yang terparkir menunggu lampu hijau. Ada yang mengamen, ada pula yang menjual koran. Seorang gadis kecil seusia Nela dan Neli menghampiri mobil yang kami tumpangi bersama kakaknya.

Miris saat mendengar mereka menyanyikan lagu yang tak sesuai dengan umur mereka. Aku lantas membuka tas mengambil sedikit uang untuk mereka.

Aku mengurungkan niat untuk  membuka kaca jendela, karena  Pak Hasan telah lebih dulu memberikan selembar uang seratus ribuan untuk mereka. Aku kembali meletakan uang yang tak seberapa banyak kembali ke dalam tas. ‘Tak menyangka orang angkuh seperti Pak Hasan memiliki hati yang baik.

Aku berbasa-basi sama Pak Mahmud selama di perjalanan. Sesekali aku melirik Pak Hasan melalui kaca spion. Aku penasaran dengan sikapnya. Mana mungkin pria semapan dan sebaik dia belum menikah di usia yang sudah cukup matang.

Sesampainya di toko, Pak Hasan membeli Berbagai jenis kain seperti kain Brokat, kain ini paling sering digunakan sebagai gaun pesta, gamis ataupun kebaya. Kain Organza, jenis kain ini biasanya hanya digunakan sebagai pemberi aksen mewah atau bahan tambahan yang di jahit di bagian luar gaun, ada juga kain satin, kain Embrador, lace dan kain lainnya.

Tak memerlukan waktu lama untuk memilih karena semuanya telah dipersiapkan oleh toko. Pak Hasan dan Meisa sudah biasa mengambil kain di toko kain Pak Tarno.

Saat perjalanan pulang pun masih sama hening ... tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

***

Tepat jam empat sore aku pulang menunggu angkutan umum, karena jarak rumah dan butik lumayan jauh. Sebelum pulang ke PAUD Bunda untuk menjemput Nela dan Neli.

“Ayo Nak, Bapak antar,” tawar Pak Mahmud.

“Tapi, Pak.” Aku memandang Pak Mahmud dan Pak Hasan bergantian takut sang pemilik mobil tak setuju.

“Naiklah!” perintah Pak Hasan.

Aku pun ikut pulang bersama mereka.

“Pak Mahmud, saya berhenti di PAUD Bunda saja,” pintaku.

“Loh, kenapa enggak sekalian sampai rumah?” tanyanya melirikku melalui kaca spion.

“Saya mau jemput anak-anak saya dulu, Pak.”

***

“Terima kasih, Pak,” ucapku sebelum keluar dari mobil. Pria itu hanya mengangguk.

Aku bergegas masuk ke dalam.

“Assalamualaikum.” Aku mengucap salam saat masuk ke dalam kelas.

“Bunda!” teriak mereka berhambur memelukku.

“Tadi gimana belajarnya, Sayang?” tanyaku menatap mereka.

“Bunda, tadi kami bikin gambar ini.” Nela menunjukkan buku gambarnya.

“Ini Bunda, Ayah, Nela dan Neli.” Dia menunjuk satu-satu gambar di bukunya.

Aku terharu melihatnya, tak tahu harus bagaimana memberitahu mereka, bahwa ayah dan bundanya kini tak mungkin lagi dapat bersama.

“Bu Reina,” ucap Bu Ayu menghampiri kami.

Aku menjabat tangannya. “Maafkan saya ya Bu, karena terlambat menjemput mereka. Terima kasih juga, karena Ibu, sudah membimbing dan menjaga anak-anak saya.”

“Itu sudah kewajiban saya. Nela dan Neli pintar dan baik dalam mengerjakan tugas, mereka juga tidak rewel,” terangnya.

“Kalau begitu saya permisi, Bu Ayu.” Aku menggandeng  Nela dan Neli berjalan keluar untuk pulang.

“Reina ....”

“Ada apa kamu menemui saya, lagi!”

“Reina, maafkan saya.”

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
for you
jangan di biasakan kalau belum sah cerai negara itu jauhkan dulu dari laki laki ,coba fokus cari kekayaan atau setidaknya menata hati ,baru di talak udah di krumunin laki laki
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status