“Reina!” teriak Raya berjalan mendekatiku. “Jauhi Randi atau akan aku membuat perhitungan denganmu!” ancamnya.“Tidak perlu teriak, insya Allah sebentar lagi aku akan menggugat cerai, Mas Randi,” ucapku menahan amarah. “Kalau sudah tidak ada yang akan dibicarakan, silahkan pergi!” perintahku.“Ayo pulang!” Mas Randi menarik tangan Raya. “Maaf,” pintanya sebelum meninggalkanku.Aku masih terpaku memandangnya pergi. Tak perlu lagi kusesali ataupun tangisi, biarlah yang terjadi, semua sudah takdir Illahi. Aku kembali ke dalam, ternyata kedua Nela berdiri di pintu.“Bunda, siapa tante tadi, kenapa, dia ajak Ayah pergi?” tanyanya.Aku memeluk Nela, tidak menjawab pertanyaannya. Dia masih terlalu kecil, belum saatnya dia untuk tahu. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipi.“Ayo, Sayang sudah malam bobok.” Aku melepas pelukan, menggendong Nela masuk ke dalam, merebahkannya di atas tempat tidur dan membelainya hingga dia tertidur lelap.Aku duduk memandang foto pernikahan kami yang m
“Maukah kamu menemaniku ke rumah, Ayna?” pintanya.“Baik, Pak.”Aku menerima tawarannya. Biasanya ada Pak Mahmud bersama kami, jadi aku tidak harus berjalan berdua saja dengannya.Seminggu lagi adalah hari pernikahan Ayna—sahabat Pak Hasan. Mendengar nama Ayna, aku kembali teringat dengan nama Humaira. Ayna tempo hari pernah membicarakannya. Siapakah Humaira—wanita yang membuat Pak Hasan tak mampu pindah ke lain hati? Sebegitu spesialkah wanita itu untuknya.“Baiklah, Pak saya buatkan kopi sebentar.” Pria itu menganggukkan kepala.Aku bergegas ke dapur untuk membuatkannya kopi. Aku masih ingat takaran kopi yang biasa Meisa buatkan untuknya. Setelah selesai aku bergegas kembali ke ruangan.“Ini, Pak.” Aku meletakan kopi di hadapannya.“Suruh, Meisa untuk menyiapkan gaun Ayna. Setelah ini kita akan ke sana,” perintahnya.“Biar saya saja yang menyiapkan gaun Ayna. Meisa sedang sibuk di depan.” Aku bergegas mengemas gaun Ayna.“Sudah siap semua, Rei?” Pak Hasan menghampiriku yang sedan
“Terima kasih, Pak,” ucapku saat kami tiba di depan Paud Bunda untuk menjemput anak-anakku.“Aku tunggu di sini, nanti aku antar kalian pulang,” ucap Pak Hasan saat aku akan turun dari mobil.“Terima kasih, Pak. Biar kami pulang sendiri. Nanti. Bapak telat lagi pertemuannya,” tolakku.“Pertemuan dibatalkan.” Pak Hasan membuka pintu, dia turun terlebih dahulu. Aku pun mengikutinya. Kami masuk ke dalam sekolah untuk menjemput anak-anak. Seperti biasa, Nela dan Neli sudah dalam keadaan bersih dan harum. “Bunda ....” Mereka berlari kecil menghampiriku. Aku berjongkok dan memeluk mereka.“Yuk pulang,” ajakku. Pada saat melihat Pak Hasan, mereka memandang pria itu heran. “Siapa, Bunda?” tanya Neli.“Teman kerja, Bunda.” Aku mengusap rambut Neli.“Sama kaya Om Herman ya, Bunda?” tanya Nela.Aku menoleh ke belakang, memandang Pak Hasan yang berdiri di belakangku.“Beda, Sayang. Om Herman itu teman Bunda waktu bekerja di tempat yang dulu. Kalau Pak. Hasan ini, atasan Bunda di tempat kerja y
Setelah dua bulan akhirnya aku resmi bercerai dengan Mas Randi. Hak asuh kedua putri kami, jatuh ke tanganku. Aku merasa lega, sedih, dan kecewa.Kebersamaan selama delapan tahun kini harus berakhir tragis karena kehadiran orang ketiga. Akan tetapi aku harus tetap bangkit demi kebahagiaan kedua putriku.***Hari ini begitu melelahkan, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kerja sama dengan perusahaan Ekspo yang diterima Meisa membuat butiknya semakin maju, gaun produksinya diekspor keluar negeri.“Rei, masih kurang berapa gaun lagi?” tanya Meisa mendekatiku.“Masih kurang lima lagi, Mei,” jawabku.Setiap model gaun yang diproduksi, Meisa hanya dibuat tiga potong dengan varian warna dan hiasan yang berbeda.“Mbak ada paket.” Tampak seorang kurir masuk ke dalam butik membawa sebuah paper bag berwarna merah muda di tangannya.“Paket untuk siapa ya, Pak?” tanya Sifa—karyawan yang paling lama bekerja di butik Meisa.“Reina Atmaja,” ucapnya.Aku menghampiri kurir saat dia menyebut namak
Malam begitu sunyi, tinggal aku yang masih terjaga seorang diri. Aku mengambil sebuah mushaf, membuka dan membacanya perlahan untuk mengusir rasa sepi. Srek ... srek ...Terdengar suara langkah kaki di seret dari luar rumah. Aku tetap melanjutkan membaca mushaf di tangan. Suara langkah kaki terdengar kembali. Kali ini disertai suara derit benda yang digesekkan pada dinding rumah.Aku begitu khawatir, bila ada orang yang ingin menyakiti kami. Aku bergegas mengambil HP yang berada di atas nakas, mencari nomor Mila, lalu menghubunginya.Satu-dua kali tidak ada jawaban. Aku kembali menekan nomornya. “Halo, Assalamualaikum, Mil.”[Ada apa Rei, malam-malam gini telepon?”]“Ada orang di luar rumah. Aku takut orang itu akan mencelakai kami.” Suara derit itu kembali terdengar, tepat di samping kamar.[Maaf Rei, aku sedang liburan bersama anak-anak kafe ....]Panggilan telepon tiba-tiba terputus. Suara derit terputus, berganti suara ketukan keras di jendela.Aku semakin ketakutan, apalagi
“Rei, selamat ulang tahun.” Pak Hasan menjabat tanganku. “Maaf, aku tidak tahu kalau kamu ulang tahun hari ini, jadi aku tidak bawa kado. Sebagai gantinya besok aku akan mengajak kalian liburan ke pantai.”“Benarkah, Kak!” Meisa tampak berbinar, mendengar pernyataan kakaknya.“Aku mengajak Reina bukan kamu!” Pak Hasan menoel hidung mancung Meisa.“Katanya kalian, berarti aku juga dong!” Meisa memandang kakaknya dengan mata manja.“Maaf, Pak. Saya tidak bisa karena hari minggu biasanya waktu saya bersama anak-anak,” tolakku. Mana mungkin aku pergi liburan dan meninggalkan anak-anak sendiri di rumah.“Ajak mereka. Kita akan liburan bersama besok. Ajak Sifa dan karyawan lain juga,” ucapnya memandang Meisa.Aku merasa tidak enak hati pada Pak Hasan dan Meisa. Tidak ada hubungan apa-apa diantara kami. Akan tetapi, mereka sangat begitu baik padaku. Bahkan, mereka menganggapku seperti keluarga.Setelah memotong kue, aku melanjutkan menjahit gaun pengantin Raya. Gaun berwarna putih gading d
Liburan Bersama Pak Hasan Benar saja Pak Hasan begitu sulit melupakannya. Dia begitu cantik dan anggun. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Pak Hasan dan Humaira berjalan meninggalkan kami.Aku pun mendekati anak-anak, menghentikan permainan mereka. Kami lantas menuju kamar bilas untuk mandi dan berganti pakaian. Waktu juga sudah sore, rombongan kami, sudah berkumpul semua. Kami siap untuk kembali. Namun, Pak Hasan belum kembali, entah ada di mana dia saat ini dan entah apa yang mereka bicarakan.Tiba-tiba hatiku rasanya cemas dan gelisah entah mengapa, dadaku juga rasanya begitu sesak.“Rei, Kak Hasan ke mana?” tanya Meisa mendekatiku.“Tadi dia pergi dengan seorang wanita. Dia memanggilnya Humaira,” terangku.“Humaira!” ucapnya terbelalak kaget. Aku menggelengkan kepala, karena tidak tahu pasti siapa perempuan itu. Meisa tampak kecewa mendengar Pak Hasan bersama dengan Humaira. Aku tidak tahu betul bagaimana hubungan Humaira dan Pak Hasan. Akan tetapi pria itu tampak masi
Aku hanya diam, ‘tak menimpali perkataannya. Aku bergegas menuju kamar untuk menidurkan Neli, lalu kembali ke depan, mengambil alih Nela yang berada dalam gendongan Pak Hasan.“Terima kasih, Pak. Terima kasih juga untuk liburan hari ini.” Aku tidak mempersilakan Pak Hasan masuk ke dalam. Aku takut akan timbul fitnah kalau ada tetangga yang melihat.“Jangan berterima kasih. Justru aku bahagia saat bersama kalian. Rei, pertimbangkanlah permintaanku. Aku akan menunggumu, hingga kau siap untuk kembali menikah. Aku pulang dulu. Assalamualaikum.”Tanpa menunggu jawabanku, Pak Hasan berjalan menuju mobilnya. Aku pun masuk ke dalam.***Selesai mandi dan Salat Isya, aku merebahkan diri di samping Nela dan Neli.Pernyataan Pak Hasan terus saja berputar di pikiranku. Aku bingung harus memberi jawaban apa padanya. Dia memang pria yang baik dan penuh tanggung jawab. Namun, hatiku masih ragu untuk memulai cinta yang baru.***