Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya

Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya

By:  Ayra N Farzana  In-update ngayon lang
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
43Mga Kabanata
611views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
Leave your review on App

Reina seorang ibu rumah tangga yang dikhianati suaminya. Dia lebih memilih melepaskan suaminya, dari pada pria itu terjerumus dalam dosa. "Bersedih adalah suatu hal yang wajar, tapi jangan sampai kesedihan tersebut melemahkan hatimu, hingga kamu berputus asa." Perkataan sahabatnya Mila, memotivasi dirinya, hingga dia mampu bangkit dalam kesedihan .... Bagaimana dengan nasib Reina setelah di tinggal suaminya? Jawabannya ada di Novel Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya

view more
Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya Novels Online Free PDF Download

Pinakabagong kabanata

Magandang libro sa parehong oras

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments
Walang Komento
43 Kabanata
Kata Tetangga
“Mas, nanti pulang kerja, mampir ke minimarket sekalian ya! Susu anak-anak habis,” pintaku pada Mas Randi, suamiku, yang akan berangkat kerja. Dia hanya mengangguk mengiyakan.Kami menikah, selama lima tahun, dikaruniai dua orang anak perempuan sekaligus. Urusan belanja bulanan memang biasa mas Randi yang melakukannya. Aku hanya berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti sayuran dan lain sebagainya pada tukang sayur yang lewat.Namaku Reina, seorang ibu rumah tangga, Mas Randi tidak mengizinkanku bekerja, dengan alasan tidak ada yang mengurus anak-anak. Dia tidak ingin anak-anak di rawat oleh asisten rumah tangga, karena khawatir kalau mereka tidak memperlakukan anak-anak dengan baik.Terkadang aku merasa bosan, melakukan aktivitas monoton setiap harinya. Namun, kehadiran Nela dan Neli putri kembar kami, sedikit menghiburku.Mas Randi bukan tipe suami yang romantis, dia tergolong suami yang sangat cuek. Terkadang aku merasa kalau dia tidak benar-benar mencintaiku.“Mbak, penampilannya k
Magbasa pa
Pertengkaran
“Reina ....” Entah sejak kapan pria itu ada di hadapanku. Aku lantas menyerahkan HP kepadanya. Mas Randi bergegas pergi, karena waktu juga sudah siang. Aku sedikit berlari menghampiri si kembar mengendong mereka, bergegas untuk mengikuti pria itu. Tak lupa aku menyambar dompet diatas meja. Aku menitipkan si kembar Nela dan Neli ke rumah Mila, tetangga sekaligus sahabat terbaikku.Aku berlari menuju ke pangkalan ojek. Aku ingin melihat sendiri siapa sebenarnya Raya, dan ada hubungan apa dia dengan Mas Randi?“Bang, ke jalan laut ya!” Aku naik ke boncengan motor sambil mengenakan helm. Tanpa banyak tanya tukang ojek langsung melajukan motornya. “Cepat sedikit ya, Bang!” perintahku. Abang tukang ojek menjawab dengan menganggukkan kepala. Aku memilih langsung menuju kantor Mas Randi, karena dia pasti menjemput wanita bernama Raya ke rumahnya, jadi aku putuskan untuk menunggu di depan kantornya saja.Tepat jam delapan aku sampai di kantor Mas Randi. Aku duduk menunggu di sebuah warung
Magbasa pa
Benarkan Kata Tetangga
Aku menarik koper keluar kamar, melemparnya ke arah Randi yang sedang duduk di kursi. “Apa-apaan ini Rei!” teriaknya. “Apa?! Apa kamu bilang!” jawabku, aku mendorong tubuh pria yang sudah mengisi hari-hariku beberapa tahun ini. “Pergi kamu dari sini, Mas! Aku sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!” “Apa kamu bilang?!” ucapnya marah.Dia mendekat, menarik rambutku yang tergerai. “Kamu pikir bisa hidup tanpa aku! Kamu itu cuma seorang istri dalam sangkar emas, yang tidak tahu dunia luar, mana mungkin kamu bisa bertahan tanpa seorang suami!” Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.“Lepaskan! Bila menyakitiku bisa membuatmu bahagia, maka lakukanlah itu, tanpamu aku pasti bisa! Ceraikan saja aku!” Aku berusaha melepaskan tangannya dari rambutku. Dia menghempaskan lalu mendorongku, hingga aku terjerembap ke lantai.“Kau mau berpisah denganku?” Dia berdiri membelakangiku. Mas Randi berubah, tidak lagi seperti suami yang aku kenal, suami yang penuh dengan kasih sayang.“Ceraikan saja aku, M
Magbasa pa
Mulai Bangkit
Hingga larut malam, aku belum bisa tidur, berdiri di samping jendela, memandang keluar, menikmati indahnya gelap malam. Semilir angin membelai wajah, lalu masuk ke dalam kamar, bulan berbentuk sabit, menyubangkan sedikit sinarnya agar gelap malam tak terlalu mencekam.Kelelawar nampak beterbangan berpindah dari dahan ke dahan lainnya, mencari buah yang mulai masak. Tak terasa tetes-tetes air mulai berjatuhan membasahi pipi, mengingat kebersamaan kami.***Pagi menjelang, mataku bengkak sisa tangis semalam, si kembar masih tampak nyenyak dalam mimpi mereka.Aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan, membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa aku masak, tapi tidak ada apa pun di sana. Sayup-sayup suara tukang sayur terdengar. Aku keluar untuk berbelanja. Tampak empat ibu mengerumuninya.“Pak, bayam, sama cabainya mana?” tanyaku.“Ini, Bu,” ucap tukang sayur, menunjuk barang yang aku pinta.Aku lihat Bu Mirna dan Bu Anna sedang berbisik, sesekali melirik ke arahku.“Kami sudah bilang
Magbasa pa
Glow up
“Assalamualaikum.” Aku mengucap salam sebelum masuk ke dalam rumah Mila.“Wa’allaikum salam,” jawab Mila. “ Kamu, enggak mandi dulu?” tanyanya.“Enggak akh ... aku sudah kangen sama anak-anak,” ucapku menghampiri mereka. Mana mungkin aku bisa dengan santai saat anak-anak masih ada di rumahnya, dia sudah terlalu banyak membantu, jadi aku tidak mau terlalu merepotkannya.“Mil, kalau aku bekerja mengenakan jilbab gimana?” tanyaku memandang Mila.“Enggak apa-apa sih! Itu kan hak kamu,” jawabnya yang sedang duduk di lantai bermain lego bersama kedua putriku.“Aku takutnya, kalau aku berjilbab akan mempengaruhi pelanggan kafe kamu,” terangku sambil membereskan mainan yang berserakan di lantai.“Enggaklah ... terserah kamu yang penting kamu nyaman,” ucapnya yang juga membantu membereskan mainan.“Terima kasih ya, Mil.” Aku memeluk Mila. Aku ingin menutup aurat, mungkin kejadian di kafe adalah teguran dari Allah, mereka menggodaku karena auratku yang masih terbuka. Kejadian di kafe tidak ak
Magbasa pa
Tetap Berusaha Apa pun Hasilnya
“Mas Randi,” ucapku kaget melihatnya berada di kafe. Jarak kantor tempatnya bekerja, memang agak jauh dari kafe, jadi hampir tidak pernah dia ke kafe ini saat jam istirahat.Raya berdiri. “Jadi, kamu sekarang bekerja sebagai pelayan!” hinanya dengan intonasi tinggi, membuat semua mata tertuju padaku.“Iya, tak ada yang salah dengan pekerjaan ini,” jawabku. “Dasar rendahan,” makinya mempermalukanku di hadapan semua orang.Aku memang wanita miskin, tidak sekaya dan secantik dirinya. Ibarat jatuh tertimpa tangga, begitulah nasibku, Mas Randi sudah di ambilnya dan kini dia mempermalukanku. “Lebih mulia menjadi pelayan, dari pada menjadi perebut suami orang!” sungutku kesal.“Apa kamu bilang!” ucap Raya tak terima seraya menggebrak meja.“Ada apa ini?” tanya Pak Herman yang berjalan menghampiri kami.“Pelayan ini, telah menghina saya!” fitnah Raya menunjukku.“Dia ....” “Reina, kamu ke dalam!” Perintah Pak Herman sebelum aku menjawab.“Baik, Pak.” Dengan perasaan kesal berjalan meningga
Magbasa pa
Pria Lagi
“Mas Randi!” ucapku kaget.“Oh, jadi begini kelakuan Kamu, di belakangku! Dasar murahan!”Aku hanya terdiam, mendengar segala ucapannya. Justru, dia yang berkhianat, mengapa sekarang dia menyalahkanku.“Apa kamu bilang? Bukankah kamu yang menghianati Reina!” Pak Herman mendekati Mas Randi, mendorongnya.“Kamu siapa? Berani melawan saya! Dia itu masih istri saya!” kata Mas Randi menantang Pak Herman.“Suami macam apa yang tega menduakan istrinya, demi perempuan lain yang lebih kaya! Ceraikan Reina, karena dia tak pantas untuk pria sepertimu!” Pak Herman menonjok wajah Mas Randi.Mas Randi seketika memegang wajahnya yang melebam.“Hentikan!” teriakku saat Mas Randi ingin membalas pukulan Pak Herman.“Apa-apaan kalian ini! Pergi Mas, aku sudah tak sudi lagi melihat wajahmu! Jangan pernah kembali lagi dalam kehidupanku!” Aku mengusirnya pergi. Sudah cukup segala derita yang dia torehkan di hati. Aku tidak ingin dia kembali di saat diri ini telah mampu menghapus namanya dalam hati.“Maaf,
Magbasa pa
Malasnya Bertemu Mantan
“Reina, maafkan saya,” ucap Pak Herman menghampiriku yang baru keluar dari sekolah.Entah, mau apalagi dia menemuiku. Aku merasa tidak dengan kehadirannya. Apalagi beberapa kali dia mengutarakan keinginannya untuk menikah.“Bapak tidak salah, tidak perlu meminta maaf.” Aku berjalan meninggalkannya.Pria itu tetap kekeh berjalan mengikutiku.“Saya antar pulang,” tawarnya.“Maaf, Pak. Saya tidak ingin ada fitnah di antara kita karena saya masih berstatus istri orang. Sekali lagi maaf.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada.“Baiklah, tunggu sebentar.” Pria itu berlari menuju mobilnya, tak lama dia kembali menghampiri kami membawa sebuah kantong keresek yang berisi penuh. Dia mendekati putriku, berjongkok dan berbicara pada mereka. “Kalian mau es krim tidak?” tanyanya.“Mau, Om, tapi ....” Nela memandangku. Begitu juga Pak Herman.“Jangan takut, Om, teman mama kamu kok!” akunya pada anak-anak.“Boleh enggak, Bunda?” tanya Neli memandangku.Aku mengangguk mengiyakan.“Hore ... makasih ya
Magbasa pa
Tutup Panci Penyok
“Reina!” teriak Raya berjalan mendekatiku. “Jauhi Randi atau akan aku membuat perhitungan denganmu!” ancamnya.“Tidak perlu teriak, insya Allah sebentar lagi aku akan menggugat cerai, Mas Randi,” ucapku menahan amarah. “Kalau sudah tidak ada yang akan dibicarakan, silahkan pergi!” perintahku.“Ayo pulang!” Mas Randi menarik tangan Raya. “Maaf,” pintanya sebelum meninggalkanku.Aku masih terpaku memandangnya pergi. Tak perlu lagi kusesali ataupun tangisi, biarlah yang terjadi, semua sudah takdir Illahi. Aku kembali ke dalam, ternyata kedua Nela berdiri di pintu.“Bunda, siapa tante tadi, kenapa, dia ajak Ayah pergi?” tanyanya.Aku memeluk Nela, tidak menjawab pertanyaannya. Dia masih terlalu kecil, belum saatnya dia untuk tahu. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipi.“Ayo, Sayang sudah malam bobok.” Aku melepas pelukan, menggendong Nela masuk ke dalam, merebahkannya di atas tempat tidur dan membelainya hingga dia tertidur lelap.Aku duduk memandang foto pernikahan kami yang m
Magbasa pa
Cinta Lagi
“Maukah kamu menemaniku ke rumah, Ayna?” pintanya.“Baik, Pak.”Aku menerima tawarannya. Biasanya ada Pak Mahmud bersama kami, jadi aku tidak harus berjalan berdua saja dengannya.Seminggu lagi adalah hari pernikahan Ayna—sahabat Pak Hasan. Mendengar nama Ayna, aku kembali teringat dengan nama Humaira. Ayna tempo hari pernah membicarakannya. Siapakah Humaira—wanita yang membuat Pak Hasan tak mampu pindah ke lain hati? Sebegitu spesialkah wanita itu untuknya.“Baiklah, Pak saya buatkan kopi sebentar.” Pria itu menganggukkan kepala.Aku bergegas ke dapur untuk membuatkannya kopi. Aku masih ingat takaran kopi yang biasa Meisa buatkan untuknya. Setelah selesai aku bergegas kembali ke ruangan.“Ini, Pak.” Aku meletakan kopi di hadapannya.“Suruh, Meisa untuk menyiapkan gaun Ayna. Setelah ini kita akan ke sana,” perintahnya.“Biar saya saja yang menyiapkan gaun Ayna. Meisa sedang sibuk di depan.” Aku bergegas mengemas gaun Ayna.“Sudah siap semua, Rei?” Pak Hasan menghampiriku yang sedan
Magbasa pa
DMCA.com Protection Status