LOGIN"Sepertinya kamu seneng banget ngobrol sama istrinya Malik?" Sindir Elena.
"Diamlah! Kalau kamu nggak mau bantu membereskan ini lebih baik masuk kamar!" "Kenapa? Ya, benar. Harusnya kamu izinkan aja tadi Shireen membereskan ini, kan?" Elena menunjuk meja makan yang penuh akan piring kotor. Setelah sama-sama menikmati puding yang manis. Shireen minta izin untuk membantu Elena membereskan piring kotor dan membawanya ke tempat cucian piring. Namun, Zayn mencegah. "Cukup!" Bentak Zayn. Memerah mata Elena. "Kenapa? Yang ku katakan benar, kan? Kamu suka sekali menghabiskan waktumu dengan Shireen?" Bukannya Elena tidak memperhatikan interaksi mereka sedari tadi. Meski Shireen tak menyadari. Elena sadar kalau suaminya seperti tertarik pada Shireen. Dia begitu bersemangat dan lembut saat bicara padanya. Lain hal saat dengan Elena. "Kamu cemburu?" "Tidak!" Jawab Elena cepat. "Lalu?" Zayn menatap Elena tajam. "Aku cuma nggak suka suamiku memandang istri orang lain seperti itu." "Dan aku juga nggak suka memiliki istri yang tidak berbakti sepertimu!" "Tidak berbakti seperti apa, ha?" Suara Elena meninggi. "Kamu nggak pernah menghargaiku sebagai seorang istri?" "Bagaimana caraku menghargaimu sedangkan kamu sendiri tidak menjalankan tugasmu sebagai istri?" Tanya Zayn dingin. "Kamu terlalu bebas, Elena! Sulit kuatur! Semuanya kamu lakukan sesukamu! Bahkan berlama-lama di rumah saja kamu tidak betah!" "Itu karena kamu!" Bentak Elena tak tertahan. Air mata meleleh di matanya. "Kamu membuat rumah ini seperti neraka. Aku terpanggang disini!" Elena memekik. Piring terbang begitu saja dan pecah setelah menabrak dinding. "Cukup, Zayn! Kamu nggak bosan beli piring terus?!" Zayn berjalan mendekat dan mengayunkan tangannya di udara. "Apa? Mau nampar aku? Silahkan! Aku sudah mati rasa!" Tangan yang sudah mengambang di udara berhenti ketika Elena malah menantang dan memajukan wajahnya. "Istri kurang ajar!" Elena menangis mendengar ucapan suaminya. Zayn sendiri masuk ke kamar lalu membanting pintu. Tak peduli jika istrinya menangis disana. "Mau sampai kapan terus begini?" Elena menyugar rambutnya kebelakang dan terduduk di sofa. Dia menghapus sisa air mata di wajahnya. Pintu kamar terbuka. Zayn sudah memakai kemeja lengkap dengan jaket kulit. Parfumnya begitu semerbak membelai telinga. "Mau kemana kamu, Zayn?" Elena sudah bisa menduga kemana suaminya ini akan pergi. "Mencari inspirasi." Zayn tak perduli dengan istrinya. Dia memilih pergi dari rumah menuju club malam. Bersenang-senang dengan wanita cantik sembari menyesapi minuman yang membakar tenggorokan. *** Hari berganti senin. Saatnya para pekerja masuk bekerja kembali. Zayn hari ini bersikap seperti biasa. Seperti tak ada masalah di rumah padahal dia bertengkar dengan istrinya. Begitu pula dengan Malik. Hidupnya juga begitu saja, cenderung membosankan karena monotonnya kehidupan. "Bawa bekal?" Tanya Zayn kepada Malik. "Istriku masak tadi." "Ya sudah." Ucap Zayn. "Aku mau makan siang diluar sekalian mencari udara segar." "Silahkan." Zayn pergi untuk makan siang di luar dengan mengendarai mobilnya. Sementara Malik akan makan bekal yang dibawakan istrinya bersama dengan rekan yang lain di kantin utama. "Elena??" Malik tak salah melihat. Elena terlihat duduk bersandar di sofa lobi kantor. "Kamu cari Zayn? Dia makan siang di luar." "Aku tahu. Tadi aku melihatnya." "Oh.." ucap Malik. "Kalau begitu, aku permisi." "Tunggu, Malik. Boleh minta waktumu sebentar?" "Ada apa, Elena?" Malik meneliti wajah mantan kekasihnya. "Apa tawaran kemarin masih berlaku?" "Tawaran apa?" "Aku ingin menceritakan sesuatu padamu." Malik tertegun atas ucapan Elena. Sepertinya ia mengerti jika wanita ini ada dalam masalah. "Baiklah. Kita keluar saja." Beda arah dan tujuan. Setelah makan siang diluar, Zayn malah menuju jalan yang seharusnya tak ia tuju. Setelah menekan bel beberapa kali, akhirnya pintu rumah ini terbuka. Menampakkan seorang wanita cantik berhijab menutupi dada. "Mas Zayn?" Shireen terkejut atas kedatangan Zayn. "Halo, Shireen." Senyum mengembang di wajah Zayn. Shireen jadi canggung. Saat ini, ia tengah sendirian di rumah. "Mas Malik masih kerja." "Aku tahu." Jawab Zayn cepat. Tangannya lalu mengambil sebuah buku catatan kecil dari saku kemejanya. "Untukmu." "Apa ini?" Shireen menerima buku kecil ini. "Resep steak semalam. Kamu bilang mau buat steak, kan? Nah, ini resepnya." Ucap Zayn dengan senyum manisnya. "Astaga.." Shireen sampai tersipu. "Makasih ya, mas. Repot-repot banget. Harusnya mas titip aja ke mas Malik." "Nggak apa-apa. Sekalian tadi aku makan diluar, jadi aku mampir kesini." "Makasih banyak, loh!" "Tapi ini nggak gratis!" "Apa?" Shireen terkesiap. "Jadi berapa nih harganya?" Zayn tertawa mendengar pertanyaan polos dari Shireen. "Bayar pake puding aja. Puding buatanmu enak." Senyum Shireen mengembang. "Besok aku janji akan membayarnya." *** Malik membawa Elena ke sebuah restoran yang sedikit jauh dari kantor. Sebelumnya, Malik juga sudah izin datang terlambat karena sepertinya masalah Elena yang begitu berat. Selesai memesan makanan, barulah Elena berani membuka mulutnya. "Aku nggak kuat dengan pernikahan ini." Ucap Elena sedih. "Kami cuma bisa saling menyakiti." "Ada apa, Elena? Apa yang Zayn lakukan padamu?" Elena menatap Malik dengan getir. Ia menggeleng dan menangis. "Dia bilang aku istri yang tidak berbakti." Ucapnya terisak. Yang Malik ingat, Zayn memang seringkali mengatakan kesulitan dalam mendidik Elena. Wanita ini begitu keras. Tapi, melihat Elena yang menangis seperti ini. Malik yakin bukan hanya Elena yang salah, Zayn sepertinya lebih bersalah. Malik lalu menepuk bahu Elena perlahan. Membiarkan wanita ini menumpahkan kesedihannya dengan menangis. "Aku lelah, Malik. Aku ingin berpisah darinya.." "Pikirkan matang-matang dulu, Elena. Jangan mengambil keputusan ketika sedang emosi." Malik menasehati. "Kamu nggak ngerti!" Elena terisak. "Sering kali dia menyakitiku! Kamu pasti tahu dia sering ke club malam, kan?" "Aku tahu. Tapi dia tidak bermain wanita. Maksudku, tidak sampai menidurinya." "Kamu membelanya!" Mata Elena melotot. Sepertinya dia sudah salah tempat mencurahkan kesedihannya. "Bukan seperti itu.." Malik jadi bingung karena melihat Elena yang marah lalu menangis tersedu-sedu lagi. Akhirnya, dengan segenap keberanian. Malik merengkuh bahu wanita itu dan membawa kepala Elena kedekapannya. Sebentar saja ia membiarkan Elena menangis di dadanya. Mungkin ini bisa membuatnya lebih tenang. *** "Lama sekali. Dari mana kamu?" Tanya Zayn berbisik dari sebrang mejanya. "Nemuin istriku." Sahut Malik. Salahnya yang datang terlambat. Tak tanggung, jam setengah 4 sore dia baru sampai ke kantor. Padahal jam pulang 30 menit lagi. Dahi Zayn mengernyit. Padahal dia juga baru sampai setelah menemui istri rekan kerjanya ini. Berarti, Malik tengah berbohong. Namun, Zayn tak mengindahkan. Biar saja itu menjadi urusannya. Sementara di sisi lain, Malik terpaksa berbohong. Dia tak mungkin berkata jujur pada Zayn kalau dia baru saja pergi menemui Elena. "Tidak.. aku tadi hanya terbawa suasana." Gumam Malik menenangkan gemuruh di hatinya. *** "Puding untuk Zayn?" Malik sampai mengkerut keheranan. Istrinya menitipkan satu box puding untuk Zayn. "Iya. Kemarin mas Zayn kemari memberi resep steak daging yang dibuat kemarin. Jadi, aku mau kasih balas jasa." Ucap Shireen tersenyum "Zayn kemari? Kemarin?" Malik berharap salah dengar. Shireen mengangguk namun saat matanya bertemu dengan mata suaminya. Dia jadi merasa bersalah. "Maaf aku nggak kasih tahu kamu, mas. Aku lupa.. sungguh! Mas Zayn kesini cuma mau ngasih resep, nggak ada yang lain. Dia juga nggak aku izinkan masuk ke rumah!" Jelas Shireen tak enak hati. Malik terdiam sebentar. Dia lalu teringat sesuatu. Apa benar ini maksudnya? Jadi, itu bukan bualan? Shireen menggoncang lengan Malik yang sedang melamun. "Mas.. maafkan aku.." "Nggak apa-apa, sayang. Aku cuma kaget aja!" Ucap Malik. "Tapi berjanjilah padaku.. kalau Zayn kesini lagi atau dia menghubungimu, kamu harus kasih tahu aku." "Aku janji!" Shireen mengangguk. Dia sungguh patuh pada suaminya. Sesampainya di kantor, Malik lalu memberikan satu box puding tersebut kepada Zayn. Dia meletakannya di atas meja kerja. "Dari istriku. Ucapan terima kasih atas resepnya." Zayn tersenyum dan melihat isi box tersebut. "Harum sekali, pasti rasanya manis." "Jika ada apa-apa, kamu bisa menghubungiku. Maksudku.. kalau kamu ingin berhubungan dengan istriku hanya sekedar untuk membicarakan resep, kamu bisa melaluiku." Zayn mendongak menatap wajah teman kerjanya. "Maafkan aku.. kemarin aku makan di luar jadi sekalian mampir ke rumahmu. Sungguh, istri yang patuh. Dia bahkan nggak mengizinkanku masuk ke rumah. Takut fitnah katanya." "Oleh sebab itu, aku memperingatkanmu." Malik berkata datar. Zayn tersenyum miring yang tak enak dipandang. "Tapi sayang sekali.. suaminya malah mengizinkan wanita lain masuk ke pelukannya." "Maksudmu?" "Kamu dan Elena. Aku melihatnya." Deg! Malik terkejut luar biasa.Shireen lebih banyak diam di liburan siang ini. Matanya hanya sibuk menatap para rekan kerja suaminya yang bermesraan dengan istri mereka. Ada yang sibuk menghabiskan waktu untuk berbelanja dan ada juga yang sibuk menjelajahi pulau. Tapi, Shireen seperti kehilangan minatnya."Dari tadi kamu cuma diam." Tegur Malik menyadari perubahan sikap Shireen.Shireen hanya tersenyum letih."Kamu sakit?" Malik menyentuh dahi yang sedikit panas itu. "Demam, sayang?""Cuma jetlag.""Ya ampun.." Malik jadi merasa bersalah. Harusnya dia tak memaksa istrinya ikut bergabung dengan rekan yang lain tadi."Mau pulang ke kamar?"Shireen mengangguk. "Kalau boleh.""Nggak apa-apa. Istirahat aja. Nanti makan siang, aku pulang."Sekali lagi, Shireen hanya tersenyum. Tak ingin membuang waktu, Shireen memilih pulang ke kamar dan beristirahat. Kepalanya pusing.Elena juga betah berada di kamar. Membuat Zayn jadi gerah saja."Harusnya tidak usah ikut kalau kamu cuma mau bersemedi disini.""Memangnya kenapa? Nggak
Rasa bosan itu akhirnya melanda, dengan menggunakan sweater Elena keluar dari kamar untuk mencari udara segar. Berkeliling pantai di malam hari sepertinya mampu mengusir kalut yang sedang berkutat di hati dan pikirannya.Baru saja keluar dari koridor kamar, Elena ditegur seseorang."Malik?" Elena tak salah mengenali. Walau minim pencahayaan tapi wajah tampan itu tetap bersinar. "Sedang apa kamu disini?""Baru menemui Pak Bram." Kebetulan kamar Bram satu area dengan penginapan Elena."Oh.. sama Zayn?" Elena memastikan."Tidak. Dia lagi ikut pesta barbeque. Kamu mau kemana? Bukannya pesta ada di sebelah sana?"Elena jadi canggung. "Aku cuma mau nyari angin aja.""Kamu nggak apa-apa? Apa kamu dipukuli lagi?"Elena memandang Malik lalu menggeleng."Seharian kamu nggak bergabung dengan yang lain. Sejujurnya aku sedikit khawatir." Jujur Malik.Elena hanya tersenyum pahit. "Aku cuma ingin sendiri. Sudah, ya! Aku mau kesana dulu.."Elena melewati Malik begitu saja dan pria itu hanya bisa mema
"Mas Malik, Jangan!"Mendengar suara Shireen membuat Malik melepas kerah baju yang sempat ditariknya itu. Sontak, Zayn langsung merapikan pakaiannya.Melihat Shireen dan Elena yang terkejut. Malik langsung menuju ke arah Shireen dan menggenggam tangannya."Kita cari tempat lain saja." Malik langsung membawa istrinya pergi dari restoran.Sedangkan Elena tertegun. Ada apa? Kenapa Malik begitu marah hingga hendak memukul suaminya? Mungkinkah itu karena dia telah melihat kondisi Elena yang menyedihkan seperti ini? Sehingga membuat Malik murka dan menyerang Zayn? Elena berkecamuk dibuatnya."Ada apa, mas?" Tanya Shireen lembut saat mereka sedang dalam perjalanan.Shireen memandang suaminya yang tengah fokus menyetir. Setelah menunggu dan tak mendapat jawaban. Pandangan Shireen beralih keluar jendela.Dia dan Elena baru saja keluar dari toilet dan terkejut saat melihat Malik tiba-tiba mencengkram kerah baju suami Elena.Hening. Tak ada percakapan selama di perjalanan. Shireen mengerti mungk
"Silahkan, mas."Dengan anggun Shireen menaruh satu cangkir teh lemon di hadapan Zayn."Terima kasih."Tak peduli teh tersebut masih panas, Zayn menyesap minuman tersebut perlahan."Sungguh menyegarkan. Enak sekali, Shireen." Pujinya."Mas Zayn memang pandai memuji." Senyum Shireen jadi mengembang karena dipuji oleh Zayn."Zayn!" Tegur Malik. Pria ini baru keluar dari kamar.Tadi dia menenangkan dirinya sebentar. Siapa tahu Zayn datang untuk memakinya. Menuduhnya berselingkuh dengan Elena. Jadi, Malik harus menyiapkan jawaban."Hai, Malik!" Sapa Zayn hangat."Ada apa malam-malam kemari?" Malik lalu duduk di hadapan Zayn, tepat di samping istrinya. Dia harus bersikap biasa saja, seolah tidak tahu apa-apa."Aku ingin memberikan ini. Aku sengaja nggak menghubungimu karena aku sekalian keluar."Zayn lalu mengeluarkan sebuah map dari tas kerjanya."Tadi Pak Bram menitipkan ini pada sekretarisnya. Katanya ini untukmu. Tapi, karena kamu pulang terburu-buru jadi berkas ini dititip padaku."Ma
Malik ingin bertanya lagi tapi suara riuh terdengar dari arah luar. Para pegawai mulai berdatangan. Keduanya hanya bisa saling memandang terutama Zayn yang tatapannya sulit diartikan. Malik pun memutuskan untuk kembali ke meja kerjanya.Saat istirahat makan siang, barulah Malik menemui Zayn."Zayn.." tegurnya."Ya?""Ada yang ingin kukatakan padamu."Zayn berbalik menghadap temannya."Aku mendengarkan.""Aku bertemu Elena kemarin.""Oke. Lalu?""Dia bercerita mengenai masalah rumah tangga kalian."Zayn menutup mata sambil memijit pangkal hidungnya. "Lalu?""Aku tidak ingin ikut campur. Sungguh! Tapi, kurasa kalian harus memperbaiki semuanya. Mulai lagi dari awal."Zayn terkekeh. "Tenang saja. Kami akan mengulang semuanya dari awal."Malik berharap demikian. Pernikahan Zayn dan Elena bisa diselamatkan asal keduanya bisa sama-sama saling mengerti."Zayn tahu kita bertemu?" Tanya Elena di ujung telpon."Iya. Dia juga sudah mengatakan kalau dia ingin memperbaiki hubungan kalian dari awal.
"Sepertinya kamu seneng banget ngobrol sama istrinya Malik?" Sindir Elena."Diamlah! Kalau kamu nggak mau bantu membereskan ini lebih baik masuk kamar!""Kenapa? Ya, benar. Harusnya kamu izinkan aja tadi Shireen membereskan ini, kan?" Elena menunjuk meja makan yang penuh akan piring kotor.Setelah sama-sama menikmati puding yang manis. Shireen minta izin untuk membantu Elena membereskan piring kotor dan membawanya ke tempat cucian piring. Namun, Zayn mencegah."Cukup!" Bentak Zayn.Memerah mata Elena."Kenapa? Yang ku katakan benar, kan? Kamu suka sekali menghabiskan waktumu dengan Shireen?"Bukannya Elena tidak memperhatikan interaksi mereka sedari tadi. Meski Shireen tak menyadari. Elena sadar kalau suaminya seperti tertarik pada Shireen. Dia begitu bersemangat dan lembut saat bicara padanya. Lain hal saat dengan Elena."Kamu cemburu?""Tidak!" Jawab Elena cepat."Lalu?" Zayn menatap Elena tajam."Aku cuma nggak suka suamiku memandang istri orang lain seperti itu.""Dan aku juga ngg







