Siang berganti menjadi sore. Cahaya matahari yang tadinya hangat kini memanjang dan menajam, menciptakan bayang-bayang yang dalam di koridor Istana Bunga Es. Bagi Rania, waktu yang merangkak lambat ini adalah sebuah siksaan. Dia duduk di meja kerjanya, di hadapannya terbentang peta kasar tata letak istana yang ia gambar dari ingatan Aurelia. Namun, matanya tidak benar-benar melihat gambar itu. Pikirannya berada di tempat lain, mengikuti sesosok gadis kurus yang kini menjadi tumpuan dari seluruh strateginya.
Dia sedang menunggu data dari agen lapangan pertamanya. Ini adalah bagian terburuk dari setiap operasi: saat kau sudah mendelegasikan tugas dan tidak ada lagi yang bisa kau lakukan selain menunggu dan percaya pada personelmu. Rania benci perasaan ini. Di dunianya, dia bisa memantau kemajuan lewat email atau pesan singkat. Di sini, dia buta dan tuli. Dia menganalisis kemungkinan. Probabilitas keberhasilan Elara: 40%. Probabilitas kegagalan dan ketahuan: 35%. Probabilitas Elara akan terlalu takut dan menyerah: 20%. Probabilitas Elara akan berkhianat dan melaporkannya pada Delia: 5%. Angka-angka itu tidak menenangkan. Elara adalah aset yang belum teruji, sebuah investasi berisiko tinggi. Jika dia gagal, Rania harus memotong kerugiannya dan mencari pion lain. Emosi tidak punya tempat dalam perhitungan ini. Tepat saat itu, pintu kamarnya diketuk dengan sopan. "Masuk," kata Rania, suaranya datar. Delia yang masuk, membawa nampan berisi teh sore. Sikapnya telah berubah total. Tidak ada lagi cemoohan, hanya kepatuhan yang kaku dan penuh ketakutan. Dia meletakkan cangkir teh di atas meja tanpa menimbulkan suara. "Apakah ada lagi yang Anda butuhkan, Yang Mulia?" tanya Delia, matanya tertuju ke lantai. "Pastikan persediaan arang untuk pemanas ruangan diperiksa setiap malam," perintah Rania tanpa menatapnya. "Saya tidak ingin terbangun karena kedinginan lagi. Kau bisa pergi." "Baik, Yang Mulia." Delia membungkuk dalam-dalam dan keluar. Kepatuhan Delia adalah kemenangan kecil, bukti bahwa kekuasaannya yang baru—meskipun dibangun di atas pemerasan—itu nyata. Tapi itu adalah kekuasaan yang rapuh. Tanpa bukti yang lebih kuat, tanpa sekutu yang sesungguhnya, dia hanya menunda waktu. Segalanya bergantung pada Elara. Sementara itu, di sayap pelayan yang lembap dan ramai, Elara bergerak seperti hantu. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia takut orang lain bisa mendengarnya. Perintah Permaisuri terus terngiang di kepalanya: *Cari tahu di mana Delia menyembunyikan kunci duplikat.* Ini adalah misi bunuh diri. Delia adalah wanita yang teliti dan kejam. --- Elara menghabiskan berjam-jam melakukan tugasnya seperti biasa—membersihkan debu di lorong, mengganti air di vas bunga—tetapi matanya tidak pernah jauh dari sosok Delia. Dia mengamati setiap gerakan, setiap kebiasaan kepala pelayan itu. Dia melihat Delia menghardik seorang pelayan dapur karena sup yang terlalu asin. Dia melihatnya menerima sekantong kecil koin dari seorang pedagang yang datang mengantar kain. Setiap detail ia rekam dalam benaknya. Rasa takut yang mencekiknya perlahan mulai bercampur dengan sesuatu yang lain: kemarahan. Kemarahan melihat ketidakadilan yang terjadi setiap hari. Dan di tengah kemarahan itu, muncul bayangan wajah Permaisuri. Matanya yang dingin, suaranya yang tenang, dan janjinya yang mustahil: "...kau tidak akan lagi menjadi pelayan junior. Kau akan berdiri di sisiku." Harapan adalah racun yang berbahaya, tetapi saat ini, itu adalah satu-satunya hal yang membuat Elara terus bergerak. Kesempatan itu akhirnya datang saat Delia pergi ke taman belakang untuk memeriksa persediaan herbal. Elara tahu Delia memiliki satu set kunci utama yang selalu tergantung di pinggangnya, tapi Permaisuri menyebut 'kunci duplikat'. Itu berarti ada kunci cadangan yang disembunyikan. Di mana seseorang menyembunyikan sesuatu yang berharga? Di tempat yang mereka lewati setiap hari tapi tidak akan pernah dicurigai orang lain. Elara bergegas ke koridor barat, tempat kamar Delia berada. Dengan berpura-pura membersihkan sebuah permadani dinding yang sudah usang, matanya memindai sekeliling. Lantai batu? Tidak. Di balik lukisan? Terlalu klise. Lalu matanya menangkapnya. Sebuah pot terakota besar berisi tanaman pakis yang setengah mati berdiri di sudut. Pot itu tampak berat dan tidak pernah dipindahkan selama bertahun-tahun. Tapi di dasarnya, ada bekas goresan baru di lantai yang berdebu. Dengan jantung berdebar, Elara mendekati pot itu. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggesernya sedikit. Di bawahnya, ada sebuah papan lantai yang sedikit lebih longgar dari yang lain. Dia mencongkelnya dengan ujung jarinya yang gemetar. Dan di sana, terbungkus kain beludru kusam, terbaring sebuah kunci besi besar. Kunci duplikat. Dia mengambilnya dengan cepat, menyembunyikannya di balik celemeknya, dan mengembalikan semuanya seperti semula tepat saat dia mendengar langkah kaki Delia kembali. Saat senja tiba, Rania masih menunggu di kamarnya. Kecemasan mulai merayapinya. Apakah Elara tertangkap? Apakah dia menyerah? Tiba-tiba, pintu berderit pelan. Elara menyelinap masuk. Pakaiannya sedikit kotor, wajahnya pucat karena tegang, tapi matanya... matanya berkilat dengan cahaya yang belum pernah Rania lihat sebelumnya. Campuran antara teror dan kemenangan. Tanpa berkata apa-apa, Elara berjalan ke meja dan meletakkan sebuah benda logam berat di atasnya. Kunci besi itu tampak gelap dan mengancam di bawah cahaya lilin. Rania menatap kunci itu, lalu menatap Elara. Gadis ini telah melampaui ekspektasinya. Dia tidak hanya patuh, dia juga cerdas dan berani. "Bagus," kata Rania, dan nada persetujuan yang tulus dalam suaranya membuat Elara merasa semua risiko yang ia ambil hari ini sepadan. "Kau telah membuktikan nilaimu." Rania mengambil kunci itu, merasakan bobotnya yang dingin di telapak tangannya. Ini bukan hanya sepotong logam. Ini adalah kunci menuju persenjataan pertamanya. Dia menatap Elara. "Sekarang, istirahatlah dan makan malammu. Pekerjaan kita yang sebenarnya dimulai tengah malam ini."Perintah itu menggantung di udara aula yang dingin, terasa lebih berat daripada keheningan itu sendiri. Selama beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Seratus pasang mata menatapku dari puncak tangga, lalu beralih ke Delia, yang wajahnya kini sepucat kain kafan.Menghitung ulang seluruh inventaris istana—secara manual—dalam waktu kurang dari dua belas jam bukanlah tugas yang sulit. Itu adalah tugas yang mustahil, dan semua orang di ruangan itu tahu. Itu adalah sebuah hukuman, sebuah pertunjukan kekuasaan yang dirancang untuk menghancurkan semangat mereka sebelum pekerjaan dimulai.Delia adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Di hadapan seluruh staf yang selama ini ia tindas, ia membungkuk dalam-dalam, suaranya bergetar karena campuran antara ketakutan dan kebencian yang tertahan."Akan... akan saya laksanakan, Yang Mulia.""Bagus," jawabku, nadaku dingin dan tanpa emosi. "Rapat selesai. Kembali bekerja."Kerumunan itu bubar dalam kekacauan y
Perjalanan kembali ke Istana Bunga Es adalah kebalikan dari prosesi pemakaman beberapa jam yang lalu. Sepuluh Pengawal Kerajaan yang sama masih mengelilingiku dalam formasi kotak yang kaku, tetapi atmosfernya telah berubah secara fundamental. Keheningan mereka tidak lagi terasa mengancam, melainkan protektif.Kapten Pengawal berwajah bekas luka itu kini berjalan sedikit di depanku, bukan lagi sebagai seorang sipir, melainkan sebagai seorang pengawal kehormatan. Tatapannya lurus ke depan, memastikan jalan di depanku bersih. Saat kami berpapasan dengan para bangsawan dan pejabat di koridor, tatapan mereka tidak lagi berisi cemoohan. Kini yang kulihat adalah kebingungan, keterkejutan, dan secercah rasa takut yang baru.Berita menyebar lebih cepat daripada api di istana ini. Permaisuri Terbuang yang seharusnya dihukum, justru keluar dari Ruang Takhta dengan sebuah dekrit kekuasaan dari Kaisar sendiri. Aku tidak lagi dianggap sebagai mangsa; aku telah menjadi anomali, sebuah variabel tak d
Keheningan yang ditinggalkan Lysander terasa berat dan dingin. Selama beberapa saat, satu-satunya suara di kantor pengurus yang pengap itu adalah isak tangis tertahan dari Elara, yang kini merosot di lantai, terlalu takut untuk berdiri. Rania sendiri tidak bergerak. Matanya terpaku pada ruang kosong tempat Lysander lenyap. Tangannya, yang beberapa saat lalu memegang buku catatan hitam yang menjadi kunci kemenangannya, kini terasa ringan dan kosong secara absurd. Senjatanya telah dicuri, tepat di depan matanya, oleh hantu yang tersenyum. Otaknya berpacu lebih cepat dari sebelumnya, mencoba memasukkan data yang mustahil ini ke dalam kerangka logis. Sihir itu nyata. Itu adalah fakta pertama yang harus ia terima. Entitas dengan kekuatan tak terukur ada di istana ini. Itu fakta kedua. Dan yang paling mengerikan, entitas itu mengetahui rahasianya. Fakta ketiga. "Yang Mulia..." rintih Elara, suaranya pecah. "Si-siapa itu? Hantu? Iblis?" Rania akhirnya bergerak. Dia berjongkok di depan El
"Cordelia." Nama itu keluar dari bibir Rania dalam bisikan yang nyaris tak terdengar, namun terasa seperti guntur di keheningan kantor yang pengap. Udara di sekitarnya seolah membeku. Elara, yang berdiri di sampingnya, menatap dengan bingung dan takut pada perubahan ekspresi Permaisurinya. Bagi Elara, nama itu hanyalah nama seorang Selir yang kuat. Tapi bagi Rania, nama itu adalah kunci yang membuka ruang arsip berisi penderitaan Aurelia. Semua kepingan puzzle yang tadinya berserakan kini menyatu dengan presisi yang brutal. Senyum manis Cordelia yang palsu, hadiah-hadiah kecil yang seolah penuh perhatian, bisikan-bisikan simpati yang ternyata adalah racun. Semuanya adalah bagian dari sebuah kampanye penghancuran karakter yang panjang dan terencana. Aurelia yang asli pasti akan hancur, dilumpuhkan oleh rasa sakit pengkhianatan dari seseorang yang ia anggap teman. Tapi Rania tidak merasakan itu. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang jauh lebih dingin dan lebih berbahaya: kejelasan. Kem
Tengah malam tiba seperti kain beludru hitam yang membekap Istana Bunga Es. Keheningan begitu pekat hingga Rania bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang tenang dan terukur, kontras dengan napas Elara yang terdengar cepat dan gugup di sampingnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, mereka berdua tampak seperti bayangan yang terbuat dari kegelapan itu sendiri, mengenakan gaun paling gelap yang bisa mereka temukan. "Waktunya," bisik Rania. Suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh dengan otoritas yang membuat Elara langsung mengangguk. Misi mereka dimulai. Bergerak menyusuri koridor yang dingin terasa seratus kali lebih berbahaya di malam hari. Setiap embusan angin terdengar seperti bisikan, setiap bayangan dari obor yang berkedip-kedip tampak seperti penjaga yang bersembunyi. Rania berjalan di depan, langkahnya ringan dan penuh perhitungan, mengandalkan denah mental yang telah ia bangun. Elara mengikuti di belakangnya, membawa lentera yang ditutup kain tebal, setiap derit papan la
Siang berganti menjadi sore. Cahaya matahari yang tadinya hangat kini memanjang dan menajam, menciptakan bayang-bayang yang dalam di koridor Istana Bunga Es. Bagi Rania, waktu yang merangkak lambat ini adalah sebuah siksaan. Dia duduk di meja kerjanya, di hadapannya terbentang peta kasar tata letak istana yang ia gambar dari ingatan Aurelia. Namun, matanya tidak benar-benar melihat gambar itu. Pikirannya berada di tempat lain, mengikuti sesosok gadis kurus yang kini menjadi tumpuan dari seluruh strateginya. Dia sedang menunggu data dari agen lapangan pertamanya. Ini adalah bagian terburuk dari setiap operasi: saat kau sudah mendelegasikan tugas dan tidak ada lagi yang bisa kau lakukan selain menunggu dan percaya pada personelmu. Rania benci perasaan ini. Di dunianya, dia bisa memantau kemajuan lewat email atau pesan singkat. Di sini, dia buta dan tuli. Dia menganalisis kemungkinan. Probabilitas keberhasilan Elara: 40%. Probabilitas kegagalan dan ketahuan: 35%. Probabilitas Elara