Perjalanan kembali ke Istana Bunga Es adalah kebalikan dari prosesi pemakaman beberapa jam yang lalu. Sepuluh Pengawal Kerajaan yang sama masih mengelilingiku dalam formasi kotak yang kaku, tetapi atmosfernya telah berubah secara fundamental. Keheningan mereka tidak lagi terasa mengancam, melainkan protektif.
Kapten Pengawal berwajah bekas luka itu kini berjalan sedikit di depanku, bukan lagi sebagai seorang sipir, melainkan sebagai seorang pengawal kehormatan. Tatapannya lurus ke depan, memastikan jalan di depanku bersih. Saat kami berpapasan dengan para bangsawan dan pejabat di koridor, tatapan mereka tidak lagi berisi cemoohan. Kini yang kulihat adalah kebingungan, keterkejutan, dan secercah rasa takut yang baru. Berita menyebar lebih cepat daripada api di istana ini. Permaisuri Terbuang yang seharusnya dihukum, justru keluar dari Ruang Takhta dengan sebuah dekrit kekuasaan dari Kaisar sendiri. Aku tidak lagi dianggap sebagai mangsa; aku telah menjadi anomali, sebuah variabel tak dikenal yang membuat mereka semua waspada. Aku menikmati setiap tatapan bingung itu. Di dunia korporat, rasa takut dan kebingungan dari para pesaingmu adalah metrik kesuksesan. Itu berarti rencanaku bekerja. Saat kami tiba di gerbang Istana Bunga Es, para penjaga yang tadinya bermalas-malasan langsung berdiri tegak, wajah mereka pucat pasi saat melihat rombongan Pengawal Kerajaan. Kapten Pengawal menatapku, menunggu perintah. "Tugas kalian selesai," kataku dengan nada datar. "Laporkan pada Yang Mulia Kaisar bahwa asetnya telah kembali dengan selamat." Sang Kapten tampak sedikit terkejut dengan istilah "aset" itu, tapi dia hanya membungkuk dalam-dalam. "Baik, Yang Mulia." Dia dan pasukannya berbalik dan berbaris pergi, meninggalkan aku sendirian di depan pintu istanaku yang terbengkalai. Penjaraku. Proyekku. Aku mendorong pintu itu terbuka. Di dalam, aula utama terasa sunyi. Beberapa pelayan yang melihatku langsung membeku, seolah melihat hantu. Mereka jelas mengharapkanku kembali dalam keadaan menangis, atau bahkan tidak kembali sama sekali. Elara adalah yang pertama berlari menghampiriku, matanya yang besar dipenuhi kecemasan. "Yang Mulia! Anda... Anda baik-baik saja?" "Lebih dari baik-baik saja, Elara," jawabku, sebuah senyum tipis yang dingin tersungging di bibirku. Aku menatap melewati bahunya, ke arah para pelayan lain yang mulai berkerumun dari kejauhan, berbisik-bisik ketakutan. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Perubahan harus dimulai dari atas dan harus diumumkan dengan cara yang tidak meninggalkan keraguan sedikit pun. "Panggil Delia," perintahku, suaraku menggema di aula yang sunyi. "Suruh dia mengumpulkan semua staf di aula utama. Semua orang. Dari penjaga gerbang hingga tukang kebun. Aku beri waktu sepuluh menit." Sepuluh menit kemudian, aula utama yang luas dan berdebu itu dipenuhi oleh lebih dari seratus orang staf Istana Bunga Es. Mereka berdiri berkerumun dengan gugup, menghindari tatapanku, saling berbisik dengan cemas. Mereka tampak seperti sekumpulan domba yang ketakutan, tidak tahu apakah gembala baru mereka adalah seorang penyelamat atau serigala. Aku berdiri di puncak tangga utama, memberiku posisi yang lebih tinggi. Elara berdiri beberapa langkah di belakangku, memegang sebuah perkamen kosong dan pena, siap untuk mencatat. Di barisan paling depan, berdiri Delia. Wajahnya pucat, matanya dipenuhi ketidakpastian saat dia mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku membiarkan keheningan berlangsung selama satu menit penuh, membiarkan ketegangan mereka mencapai puncaknya. Lalu, aku berbicara. "Selamat pagi," kataku, suaraku yang tenang menggema di seluruh aula. "Bagi kalian yang belum sadar, telah terjadi pergantian manajemen di fasilitas ini." Beberapa orang saling berpandangan bingung mendengar istilah "manajemen" dan "fasilitas". "Mulai hari ini," lanjutku, "Istana Bunga Es bukan lagi tempat pengasingan atau peristirahatan. Tempat ini sekarang adalah sebuah proyek. Proyek dengan satu tujuan: mencapai efisiensi dan profitabilitas maksimum dalam tiga puluh hari. Kalian semua bukan lagi pelayan. Kalian adalah personel proyek." Aku berhenti sejenak, membiarkan kata-kata aneh itu meresap. "Akan ada aturan baru. Pertama: semua personel diharapkan berada di pos mereka tepat saat fajar. Keterlambatan tidak akan ditoleransi. Kedua: setiap kepala departemen—dapur, kebersihan, taman, penjaga—akan memberikan laporan harian tertulis kepadaku melalui Puan Delia. Ketiga: akan ada evaluasi kinerja mingguan. Mereka yang bekerja dengan baik akan diberi imbalan. Mereka yang tidak memenuhi standar..." Aku membiarkan kalimat itu menggantung di udara. "Akan dianggap sebagai aset yang tidak produktif dan akan direlokasi." 'Direlokasi' adalah kata yang jauh lebih menakutkan daripada 'dipecat'. Itu terdengar final dan tanpa ampun. "Tugas kalian sederhana," kataku, menyapu pandanganku ke seluruh kerumunan. "Bekerja keras, ikuti perintah, dan laporkan setiap kejanggalan atau pemborosan yang kalian lihat. Loyalitas kalian adalah pada keberhasilan proyek ini. Jika kita berhasil, tempat ini akan makmur. Jika kita gagal, istana ini akan ditutup, dan kalian semua akan berakhir di jalanan." Itu adalah campuran antara ancaman dan janji—sebuah taktik motivasi standar. Aku mengakhiri pidatoku dengan menatap lurus ke satu orang: Delia. Semua mata kini tertuju padanya. "Puan Delia," kataku dengan suara yang bisa didengar semua orang. "Sebagai Kepala Pelayan, Anda kini juga menjabat sebagai Manajer Operasional Proyek. Tugas pertama Anda di bawah manajemen baru ini sederhana." Aku menatapnya dengan dingin. "Berikan aku daftar lengkap inventaris istana ini. Setiap paku, setiap karung gandum, setiap sendok perak, dan setiap koin yang tersisa di kas. Aku tidak mau laporan yang sudah ada. Aku mau kau dan timmu menghitungnya kembali secara manual, satu per satu." Delia tampak seolah baru saja disambar petir. Itu adalah tugas yang mustahil. "Aku ingin laporan itu sudah ada di mejaku..." Aku berhenti sejenak untuk memberikan dampak maksimal. "...sebelum fajar besok." Keheningan yang pecah di aula itu bukan lagi karena kebingungan. Itu adalah keheningan yang lahir dari keterkejutan dan rasa ngeri. Rapat umum pertama baru saja selesai. Dan semua orang kini tahu, di bawah tatapan dingin sang Permaisuri Gila, neraka baru saja dimulai.Fajar menyingsing di atas Istana Bunga Es, bukan membawa kehangatan, melainkan cahaya abu-abu dingin yang menyoroti kelelahan dan kekacauan dari malam yang panjang. Di balkon kantor darurat Rania, Delia berdiri dengan bahu merosot, napasnya masih terengah-engah. Di atas meja, tergeletak setumpuk tebal perkamen—laporan inventaris yang ditulis dengan tergesa-gesa, penuh dengan coretan dan noda tinta."Sudah... sudah selesai, Yang Mulia," kata Delia, suaranya serak. "Setiap paku. Setiap sendok. Semuanya." Dia telah menyelesaikan tugas yang mustahil itu, dan kini menunggu putusan dari sang Ratu Iblis di hadapannya.Rania melirik tumpukan laporan itu, lalu menatap Delia. Mata kepala pelayan itu merah, rambutnya berantakan, dan ada noda jelaga di pipinya. Dia tampak hancur, tetapi dia tidak patah. Dia telah menyelesaikan tugasnya."Kerja bagus, Manajer Operasional," kata Rania datar, menggunakan kembali gelar yang ia berikan. "Kau memenuhi target."Delia tampak terkejut. Dia jelas mengharap
Perintah itu menggantung di udara aula yang dingin, terasa lebih berat daripada keheningan itu sendiri. Selama beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Seratus pasang mata menatapku dari puncak tangga, lalu beralih ke Delia, yang wajahnya kini sepucat kain kafan.Menghitung ulang seluruh inventaris istana—secara manual—dalam waktu kurang dari dua belas jam bukanlah tugas yang sulit. Itu adalah tugas yang mustahil, dan semua orang di ruangan itu tahu. Itu adalah sebuah hukuman, sebuah pertunjukan kekuasaan yang dirancang untuk menghancurkan semangat mereka sebelum pekerjaan dimulai.Delia adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Di hadapan seluruh staf yang selama ini ia tindas, ia membungkuk dalam-dalam, suaranya bergetar karena campuran antara ketakutan dan kebencian yang tertahan."Akan... akan saya laksanakan, Yang Mulia.""Bagus," jawabku, nadaku dingin dan tanpa emosi. "Rapat selesai. Kembali bekerja."Kerumunan itu bubar dalam kekacauan y
Perjalanan kembali ke Istana Bunga Es adalah kebalikan dari prosesi pemakaman beberapa jam yang lalu. Sepuluh Pengawal Kerajaan yang sama masih mengelilingiku dalam formasi kotak yang kaku, tetapi atmosfernya telah berubah secara fundamental. Keheningan mereka tidak lagi terasa mengancam, melainkan protektif.Kapten Pengawal berwajah bekas luka itu kini berjalan sedikit di depanku, bukan lagi sebagai seorang sipir, melainkan sebagai seorang pengawal kehormatan. Tatapannya lurus ke depan, memastikan jalan di depanku bersih. Saat kami berpapasan dengan para bangsawan dan pejabat di koridor, tatapan mereka tidak lagi berisi cemoohan. Kini yang kulihat adalah kebingungan, keterkejutan, dan secercah rasa takut yang baru.Berita menyebar lebih cepat daripada api di istana ini. Permaisuri Terbuang yang seharusnya dihukum, justru keluar dari Ruang Takhta dengan sebuah dekrit kekuasaan dari Kaisar sendiri. Aku tidak lagi dianggap sebagai mangsa; aku telah menjadi anomali, sebuah variabel tak d
Keheningan yang ditinggalkan Lysander terasa berat dan dingin. Selama beberapa saat, satu-satunya suara di kantor pengurus yang pengap itu adalah isak tangis tertahan dari Elara, yang kini merosot di lantai, terlalu takut untuk berdiri. Rania sendiri tidak bergerak. Matanya terpaku pada ruang kosong tempat Lysander lenyap. Tangannya, yang beberapa saat lalu memegang buku catatan hitam yang menjadi kunci kemenangannya, kini terasa ringan dan kosong secara absurd. Senjatanya telah dicuri, tepat di depan matanya, oleh hantu yang tersenyum. Otaknya berpacu lebih cepat dari sebelumnya, mencoba memasukkan data yang mustahil ini ke dalam kerangka logis. Sihir itu nyata. Itu adalah fakta pertama yang harus ia terima. Entitas dengan kekuatan tak terukur ada di istana ini. Itu fakta kedua. Dan yang paling mengerikan, entitas itu mengetahui rahasianya. Fakta ketiga. "Yang Mulia..." rintih Elara, suaranya pecah. "Si-siapa itu? Hantu? Iblis?" Rania akhirnya bergerak. Dia berjongkok di depan El
"Cordelia." Nama itu keluar dari bibir Rania dalam bisikan yang nyaris tak terdengar, namun terasa seperti guntur di keheningan kantor yang pengap. Udara di sekitarnya seolah membeku. Elara, yang berdiri di sampingnya, menatap dengan bingung dan takut pada perubahan ekspresi Permaisurinya. Bagi Elara, nama itu hanyalah nama seorang Selir yang kuat. Tapi bagi Rania, nama itu adalah kunci yang membuka ruang arsip berisi penderitaan Aurelia. Semua kepingan puzzle yang tadinya berserakan kini menyatu dengan presisi yang brutal. Senyum manis Cordelia yang palsu, hadiah-hadiah kecil yang seolah penuh perhatian, bisikan-bisikan simpati yang ternyata adalah racun. Semuanya adalah bagian dari sebuah kampanye penghancuran karakter yang panjang dan terencana. Aurelia yang asli pasti akan hancur, dilumpuhkan oleh rasa sakit pengkhianatan dari seseorang yang ia anggap teman. Tapi Rania tidak merasakan itu. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang jauh lebih dingin dan lebih berbahaya: kejelasan. Kem
Tengah malam tiba seperti kain beludru hitam yang membekap Istana Bunga Es. Keheningan begitu pekat hingga Rania bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang tenang dan terukur, kontras dengan napas Elara yang terdengar cepat dan gugup di sampingnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, mereka berdua tampak seperti bayangan yang terbuat dari kegelapan itu sendiri, mengenakan gaun paling gelap yang bisa mereka temukan. "Waktunya," bisik Rania. Suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh dengan otoritas yang membuat Elara langsung mengangguk. Misi mereka dimulai. Bergerak menyusuri koridor yang dingin terasa seratus kali lebih berbahaya di malam hari. Setiap embusan angin terdengar seperti bisikan, setiap bayangan dari obor yang berkedip-kedip tampak seperti penjaga yang bersembunyi. Rania berjalan di depan, langkahnya ringan dan penuh perhitungan, mengandalkan denah mental yang telah ia bangun. Elara mengikuti di belakangnya, membawa lentera yang ditutup kain tebal, setiap derit papan la