Share

Dua puluh dua

Penulis: Mumtaza wafa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 22:00:25

Dingin.

Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain dengan mainannya. Ada banyak kekalutan yang bersarang di kepala. Aku belum tahu harus berbuat apa dengan semua yang terjadi belakangan ini.

Tiba-tiba, suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju pintu. Ketika kubuka, di sana berdiri Mbak Mentari, tersenyum lembut sambil membawa kotak kecil di tangannya.

“Assalamu’alaikum, Esta,” sapanya hangat.

“Wa’alaikumussalam, Mbak. Silakan masuk,” jawabku sambil mempersilakannya masuk. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, entah mengapa aku merasakan suasana hatinya lebih serius dari biasanya.

Setelah Mbak Mentari duduk di sofa, aku segera mengambil minuman untuknya. "Mbak udah nggak mabok? Kangen sama Raya, ya?" tanyaku sambil tersenyum.

Mbak Mentari mengangguk sambil melihat ke arah Raya yang sedang bermain. "Iya, Mbak kangen banget sama bocah kecil ini. Tapi se
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Lima

    Dia berdiri di sana, menatapku dengan wajah datar tanpa ekspresi. Seolah semua yang terjadi antara kami selama ini tidak meninggalkan bekas apa pun baginya. Hanya tatapan kosong, yang membuatku entah merasa lega atau malah semakin sesak. Senyum di wajahku perlahan menghilang, digantikan oleh helaan napas panjang yang keluar tanpa bisa kutahan.Jagad tidak bergerak mendekat, tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berdiri di sana, seperti bayang-bayang masa lalu yang menolak hilang meski aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya. Rasanya ... perih. Aku mencoba menatap ke arah lain, memalingkan pandangan dari mantan suamiku itu. Tapi rasa itu tetap ada. Perasaan tentang betapa salahnya semuanya, betapa aku tidak pernah benar-benar bisa menghapusnya dari hidupku.Mala, yang mungkin menyadari perubahan di wajahku, langsung merangkulku lagi. "Kamu nggak apa-apa, Ta?"Aku hanya mengangguk kecil. "Iya, aku baik-baik aja."Tapi dalam hati,

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Empat

    Jadi bukan Jagad yang akan menikahi Aesha? Tapi kalau bukan Jagad, kenapa aku selama ini merasa semuanya kebetulan?Di daycare, juga Jagad yang bertanya aku kenal Aesha atau tidak. Lalu, nama depan Jagad yang katanya sempat Aesha sebut dan menurut Raisha calon suami Aesha. Lalu saat kami bertemu di supermarket beberapa waktu yang lalu ketika kepulangan Mas Buana. Harusnya aku bertanya langsung saja dengan Aesha. Tetapi sejak selesai kajian beberapa waktu lalu, hubungan kami tidak terlalu bagus. Aesha jadi jarang me nimbrung di grup, mungkin juga sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya. Aku terus memikirkan ini bahkan saat motorku berhenti di depan rumah. Pikiranku terpecah antara apa yang baru saja kudengar dan kenangan masa lalu yang masih terus membayangiku. Aku mematikan mesin dan berdiri sejenak, membiarkan embusan angin sore mengusap wajahku. Lalu, suara tawa kecil terdengar dari halaman depan.Aku menoleh dan menemu

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh tiga

    Seminggu lagi, aku benar-benar akan keluar dari kantor ini. Rasanya masih seperti mimpi, tapi aku tahu ini keputusan terbaik. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusanku untuk resign.Mereka menganggapnya keputusan yang terburu-buru, tapi mereka tidak tahu seperti apa beratnya bekerja di tempat yang sama dengan Jagad, mantan suamiku, setiap hari.Pagi itu, aku sedang merapikan beberapa dokumen terakhir di mejaku ketika tiba-tiba Indra, salah satu rekan kerja yang cukup dekat denganku, muncul dari balik meja. “Ta, beneran kamu mau keluar? Kok tiba-tiba banget sih, padahal kamu salah satu yang paling produktif di sini?” tanya Nadia sambil duduk di meja sebelahku. Dia menatapku dengan pandangan bingung.Memang dia belum tahu, hanya Mala dan Askana yang sudah kuberi tahu soal niatku keluar dari kantor. Aku mencoba tersenyum tipis, meskipun berat. “Iya, Nad. Udah waktunya aku pindah. Rasanya udah nggak cocok lagi di sini,” jawabku sambil

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh dua

    Dingin.Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain dengan mainannya. Ada banyak kekalutan yang bersarang di kepala. Aku belum tahu harus berbuat apa dengan semua yang terjadi belakangan ini.Tiba-tiba, suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju pintu. Ketika kubuka, di sana berdiri Mbak Mentari, tersenyum lembut sambil membawa kotak kecil di tangannya.“Assalamu’alaikum, Esta,” sapanya hangat.“Wa’alaikumussalam, Mbak. Silakan masuk,” jawabku sambil mempersilakannya masuk. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, entah mengapa aku merasakan suasana hatinya lebih serius dari biasanya.Setelah Mbak Mentari duduk di sofa, aku segera mengambil minuman untuknya. "Mbak udah nggak mabok? Kangen sama Raya, ya?" tanyaku sambil tersenyum.Mbak Mentari mengangguk sambil melihat ke arah Raya yang sedang bermain. "Iya, Mbak kangen banget sama bocah kecil ini. Tapi se

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh dua

    Tiba-tiba ruangan terasa lebih sempit. Aku tahu mereka hanya bercanda—atau mungkin tidak. Tapi rasanya ada ketegangan yang perlahan muncul, terutama karena mereka semakin sering mengajukan pertanyaan seperti ini. Aku duduk di kursiku, mencoba mengabaikan tatapan mereka.“Kalau cuma urusan kerja, ya kenapa harus dibesar-besarkan?” balasku, berusaha tetap santai.Askana, yang biasanya paling pendiam, ikut angkat bicara kali ini. “Tapi setahuku kamu nggak ada proyek yang bareng sama Pak Jagad sekarang. Jadi kenapa kamu sering banget dipanggil ke ruangannya?”Aku terdiam sejenak. Memang benar, aku tak sedang terlibat dalam proyek besar dengan Jagad, tapi ada banyak hal yang terjadi di antara kami—hal-hal yang mereka tidak perlu tahu.“Ya, dia cuma mau diskusi beberapa hal soal kerjaan,” jawabku akhirnya, mencoba meyakinkan mereka meskipun suaraku terdengar kurang yakin. “Tapi kan kamu jadi mau resign, Ta?” tanya Mala, nada suaranya lebih ser

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua satu

    Aku menggeleng lemah, masih enggan menatapnya secara langsung. "Maaf, Pak, ini bukan soal kita menyelesaikan masalah atau tidak. Saya cuma ingin tenang."Setiap kali aku melihat dia, semua kenangan itu kembali. Dan aku tidak sanggup terus-terusan terjebak dalam rasa sakit itu."Tenang? Kamu nggak betah kerja di sini sejak ada aku, Ta?"Aku akhirnya mengangkat wajahku dan menatapnya, berharap dia bisa memahami alasan di balik keputusanku. Mata kami bertemu, dan untuk sesaat aku melihat sesuatu di sana—mungkin kepedihan, atau mungkin hanya refleksi dari kesedihan yang selama ini aku pendam.Tapi apapun itu, aku tak bisa membiarkan diriku terus terjebak dalam lingkaran ini."Semesta, kita sudah dewasa. Kita seharusnya bisa mengatasi ini. Aku keberatan dengan keputusanmu untuk resign," ucap Jagad dengan nada serius, mencoba menahan sesuatu yang jelas terasa di antara kami."Saya mohon, Pak," potongku pelan, suaraku hampir bergetar. "

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status