Share

Tiga puluh Tiga

Author: Mumtaza wafa
last update Last Updated: 2025-08-21 01:00:58

"Bagaimana dengan kakak saya? Mas Buana?" suaraku terdengar bergetar saat bertanya.

Ekspresi perawat itu berubah serius. "Kakak Anda mengalami luka berat. Dia saat ini sedang dalam penanganan intensif di ruang operasi. Kami belum bisa memberikan detail lebih lanjut, tapi tim dokter sedang berusaha yang terbaik."

Hatiku mencelos. Tubuhku bergetar hebat, dan seketika aku merasa dunia di sekelilingku menjadi gelap. Aku harus kuat, tapi rasanya seperti semuanya hampir runtuh di hadapanku.

Aku menyerahkan Raya sebentar pada Jagad, dengan tangan gemetar, aku meraih ponsel dan mengetik pesan kepada Mbak Mentari.

[Mbak, Buana kecelakaan. Dia lagi dioperasi sekarang. Raya nggak apa-apa, cuma lecet. Tolong segera datang. Aku nggak tahu harus gimana.]

Pesan terkirim, tapi dadaku terasa semakin sesak. Sementara itu, Jagad menggendong Raya yang masih terisak, mencoba menenangkan anak kami.

Aku melihat bagaimana Jagad membisikkan sesuatu ke te
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pernah Menyesal Menikah   Tiga puluh Empat

    Sore itu, aku dan Mas Auriga duduk berdua di teras rumah, mengawasi Raya yang berlarian di halaman. Dia baru saja selesai bermain dengan Mas Auriga, dan sekarang kembali asyik dengan mainan-mainan kecilnya di dekat kami.Udara sore yang sejuk menambah keheningan di antara kami, tapi aku tahu obrolan serius yang akan terjadi tak bisa dihindari lebih lama lagi.Mas Auriga menghela napas, kemudian menoleh ke arahku. "Ta, aku mau bicara soal ... kita. Masa depan kita."Aku mengangguk, meski hatiku sedikit berdebar. Ini adalah saat yang sudah aku pikirkan berhari-hari."Aku tahu, Mas. Aku juga mau bicara soal itu."Dia menatapku dengan penuh perhatian, seolah mencari jawaban dari ekspresi wajahku."Aku serius, Ta. Aku benar-benar ingin melangkah lebih jauh sama kamu. Aku pengen kamu jadi istri aku, jadi ibu buat anak-anak kita nanti."Perkataannya itu membuat hatiku sedikit bergetar, tapi aku harus jujur."Mas, maaf

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat puluh Tiga

    Raya cemberut lucu. "Bunda main? Mau main sama Bunda." Raya merengek dengan suara khasnya yang cadel. "Ayah Aya mau sama Bunda."Jagad tertawa pelan, kembali melirikku seolah memintaku untuk merespon Raya."Kalau mainnya sama Ayah aja gimana? Main sama Ayah nggak kalah seru, loh.""Mau sama Bunda." Raya mendongak, menatapku dengan mata berkaca-kaca.Aku menghela napas panjang kemudian hanya bisa mengangguk, meski dalam hati sedikit aneh rasanya mendengar percakapan yang begitu ... keluarga. Seolah-olah kami adalah keluarga yang utuh. Padahal kenyataannya, hubungan kami dengan Jagad sudah berakhir bertahun-tahun lalu.Di tengah perjalanan, Jagad memutar lagu anak-anak di radio. Raya langsung ikut menyanyi, menggerakkan tangannya mengikuti irama.Raya mengikuti dengan semangat walaupun pelafalannya belum begitu jelas, suaranya sedikit fals tapi tetap terdengar lucu. Jagad ikut bernyanyi, sesekali melihat ke arah kami dengan senyum

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat puluh Dua

    “Jadi mereka udah sering datang?”Aku menatap Mas Buana sebentar, membuang napas panjang, lalu mengangguk pelan. Mata Mas Buana tak lepas dari Mama Sera dan Jagad yang sedang bermain dengan Raya.“Kamu mau balikan sama dia?” tanya Mas Buana lagi.“Mas, plase.”“Kenapa? Bukannya dia mau nerima Raya? Nggak seperti yang kamu takutkan selama ini. Kamu juga masih cinta sama dia 'kan, Ta?”“Mas ….”“Mas udah nggak bisa jagain kamu lagi, Ta. Tubuh Mas udah nggak sekuat dulu, kalau kamu mau balikan sama dia, Mas nggak akan menghalangi.”Aku mendesah pelan, menoleh pada Jagad dan Mama Sera yang sedang menyuapi Raya makanan. Mas Buana sudah pulang dari rumah sakit sejak seminggu yang lalu, dan selama itu di melihat Jagad yang selalu datang ke rumah setiap kali pulang kerja.Bahkan, minggu kemarin Jagad mengajak Raya dan aku pergi, meski akhirnya aku menolak dan membiarkan Raya pergi dengannya sendiri. Aku masih fokus pada kesembuhan Mas Buana setelah operasinya.Memang, kata dokter tidak ada ko

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat puluh Satu

    Hari ini Mas Buana sudah diperbolehkan pulang. Mbak Mentari tadi yang mengabari, aku membereskan rumah dan menyiapkan makanan untuk Mas Buana. Katanya, Mas Buana harus bed rest untuk beberapa hari lagi ke depan. Baru saja aku melangkahkan kaki ke luar rumah untuk membuang sampah, langkahku terhenti ketika melihat Mama Sera yang berada di depan gerbang. Bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman ketika melihatku keluar rumah. “Esta.” Aku tersenyum canggung. Sejak Mama memintaku memberi kesempatan kedua untuk Jagad, aku jadi sedikit segan dengan beliau. Mama yang mengirimi kami makanan selama berada di rumah sakit, bukan hanya untukku dan Jagad, tapi juga untuk Mbak Mentari dan Mas Auriga yang menemani Mas Buana secara bergantian. “Esta, Mama boleh masuk?” tanya Mama Sera menatapku penuh harap. Aku yang sempat melamun sebentar langsung tersadar, lalu mengangguk. Berjalan ke ara

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat Puluh

    Diingin Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain dengan mainannya. Ada banyak kekalutan yang bersarang di kepala. Aku belum tahu harus berbuat apa dengan semua yang terjadi belakangan ini. Tiba-tiba, suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju pintu. Ketika kubuka, di sana berdiri Mbak Mentari, tersenyum lembut sambil membawa kotak kecil di tangannya. “Assalamu’alaikum, Esta,” sapanya hangat. “Wa’alaikumussalam, Mbak. Silakan masuk,” jawabku sambil mempersilakannya masuk. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, entah mengapa aku merasakan suasana hatinya lebih serius dari biasanya. Setelah Mbak Mentari duduk di sofa, aku segera mengambil minuman untuknya. "Mbak udah nggak mabok? Kangen sama Raya, ya?" tanyaku sambil tersenyum. Mbak Mentari mengangguk sambil melihat ke arah Raya yang sedang bermain. "Iya, Mbak kangen banget sama bocah kecil ini. Tapi sebenarnya, ada hal lain yang ingin Mbak bicara

  • Pernah Menyesal Menikah   Tiga puluh Sembilan

    Setelah memastikan Raya tertidur dengan tenang, aku pamit pada Jagad untuk menjenguk Mas Buana. Dia sudah sadar dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Jagad hanya mengangguk sambil mengelus rambut Raya yang masih terlelap.Aku bisa melihat kekhawatiran di matanya, meski dia tidak mengucapkannya. Aku melangkah keluar kamar Raya, menyusuri koridor rumah sakit yang mulai sepi. Sejak kecelakaan itu, aku jarang sempat berbicara dengan Mas Auriga. Dia lebih banyak berjaga di ruang Mas Buana, mungkin juga karena merasa segan dengan kehadiran Jagad di dekatku dan Raya. Sesampainya di ruangan Mas Buana, aku melihat pintu sedikit terbuka. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara Mas Auriga yang sedang berbicara dengan Mas Buana. Aku mengetuk pelan, lalu masuk.“Semesta ....” Mas Buana tersenyum lemah dari atas tempat tidurnya.Di sebelahnya, Mas Auriga yang duduk di kursi, juga menoleh ke arahku. Dia langsung bangkit dari duduknya, memberi rua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status