Malam itu ponselku tiba-tiba berdering. Alisku bertaut menatap sebaris angka yang tertera di layar ponsel. Feelingku langsung tidak enak. Mungkin karena beberapa hari ini sering diteror.[Halo!] kujawab panggilan tersebut.Terdengar suara kekehan tawa seorang pria di seberang sana. Aku mengenali suaranya. Dia merupakan orang yang tempo hari menerorku. Kebetulan Yessi sedang keluar kamar. Aku bergegas menuju balkon sebelum ia kembali.[Breng*ek!! Aku tau siapa dirimu. Kau jangan macam-macam. Aku bisa melaporkanmu ke polisi!] ancamku.[Silakan. Aku tidak takut. Yang jelas kau harus tau mengenai satu hal, bahwa akulah yang pertama kali meniduri istrimu. Bukan kau! Sepertinya akan jadi menarik kalau aku juga meneror istrimu,] ejeknya seraya terkekeh.[Ba*ing*n! Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!][Haha! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu. Kau harus tau satu hal! Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja! Te
Kudapati mama yang tengah duduk santai di teras sembari membaca majalah. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku. Mungkin heran karena aku pulang cepat hari ini."Mana Yessi, Ma?!" tanyaku tanpa basa-basi."Nggak tau. Di dalem kali,"jawab mama acuh tak acuh. Ia kembali fokus menatap majalah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tampak Bik Inah mendatangiku dengan tergopoh."Mas! Non Yessi nggak ada," ujarnya panik."Kok bisa? Mungkin di kamarnya?!" sahutku sambil bergegas menaiki anak tangga. Baru dua langkah, seruan Bik Inah sontak menghentikanku."Nggak ada, Mas! Bibik barusan ke kamar nggak ada juga. Non Yessi kabur. Tadi Rahma ngeliat Non Yessi keluar dari pintu samping." Bi Inah kembali menangis."Astaga! Kenapa nggak dilarang??!" Nada suaraku meninggi saking paniknya."Bibik juga nggak tau, Mas. Rahma cuman ngeliat sekilas tadi," jawab Bi Inah takut-takut."Mana Rahma?! Panggilkan dia, Bik!" titahku sambil memijat pelipis. Aku benar-benar tak menyangka jika situasinya akan jadi g
POV Yessi."Mas, aku boleh nanya sesuatu sama kamu, nggak?" tanyaku hati-hati."Boleh. Mau nanya apa?" tanyanya seraya mengalihkan tatapan dari ponsel miliknya.Inilah salah satu yang kusukai dari Mas Wira. Sedikit pun tidak pernah merasa keberatan dengan pertanyaan yang hendak kuajukan. Tak peduli jika ia bisa menjawabnya atau tidak, bahkan apabila pertanyaannya itu akan menyinggung perasaannya, ia tak peduli. Yang pasti jika aku meminta izin mau bertanya, ia akan langsung memperbolehkan."Mas kenal sama Bram?" Lelaki itu tak langsung menjawab. Diletakkannya ponselnya di atas meja, lantas sorot matanya menatapku lekat."Kenal. Dia temanku."Jawabannya cukup membuatku terkejut. "Teman? Kok Mas nggak pernah cerita?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi. "Memangnya harus?" Dia malah balik bertanya sambil memamerkan senyum tipis."Eng ... ya nggak harus, sih. Cuman, kan ...." Aku sengaja tak meneruskan kalimatku. Rasa gugup membuatku bingung mengeluarkan kata-kata.Suamiku tertawa melih
Perlahan namun pasti, kedua mataku akhirnya terbuka. Aku lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa aku tengah berada di sebuah ruangan yang tampak sangat asing.Sontak aku pun bangun dan terduduk, sembari berusaha mengingat kejadian yang telah menimpaku.Rasa takut kembali menyergap kala kusadari kedua tanganku sudah dalam kondisi terikat.Aku lantas berteriak meminta tolong, namun hanya suara gumaman yang berhasil keluar, mulutku disumpal kain.'Ya Allah, siapa yang telah tega berbuat jahat terhadapku? Apa salahku sampai orang itu tega memperlakukanku seperti ini?' Batinku menjerit.Air mataku sudah tumpah ruah saking takutnya.Di tengah rasa keputus-asaanku, mendadak terdengar suara pintu berderit, menandakan ada orang yang akan masuk. Seorang laki-laki berkepala plontos serta berpenampilan serba hitam telah berdiri di hadapanku. Perawakan dan gayanya persis seperti pemeran penjahat di film-film. Bibirnya yang berwarna hitam menyeringai kala menatapku. Ia lanta
"Huek!" Aku terus memuntahkan isi perutku hingga kerongkonganku terasa perih. Sarapan yang baru saja kutelan, seakan hanya singgah sebentar di lambungku sebelum akhirnya terkuras kembali hingga isinya telah habis, dan mungkin tak bersisa.Di usia kehamilanku yang masih terbilang muda ini, aku memang kerap kali mengalami morning sickness.Mas Wira hanya melirik sebentar dengan ekor matanya, sambil tangannya terus memasangkan dasi di leher. Tadinya, aku yang hendak memasangkan dasi tersebut. Namun perutku tiba-tiba terasa mual karena mencium aroma parfumnya, maka mau tak mau Mas Wira yang melakukannya sendiri.Setelah puas menguras semua isi perutku dan memastikan rasa mualnya tak ada lagi, aku pun bergegas berkumur dan mengelap mulutku dengan selembar tissu. Setelah itu menghampiri Mas Wira yang sedang mengancingkan lengan kemejanya.Aku berinisiatif hendak membantunya. Namun, baru saja tanganku terulur hendak meraih tangannya, Mas Wira langsung berkelit menghindar."Tidak usah. Ini
"Anak kurang ajar! tak tau malu! beraninya kamu mencoreng nama baik keluarga dengan aib yang kamu lakukan itu!" hardik papi saat itu.Plak! Plak! Belum puas papi mencaciku kini tangannya melayang menampar pipi kanan dan kiriku, membuat mami menjerit histeris karenanya.Sementara Yessa, kakak perempuanku yang karakternya cenderung tomboy, hanya melihatku dari kejauhan dengan tatapan sinis.Abangku yang bernama Yossi terus menenangkan papi yang kalap. Kalau bukan karena ditahan Bang Yossi, mungkin aku sudah mati bersimbah darah karena ditusuk oleh beliau menggunakan pisau. Ya, papi sangat kalap menghajarku sampai berlari ke dapur dan mengambil pisau. Bang Yossi dengan sigap langsung menerjang papi yang hendak melukai putri bungsunya. Abangku yang memang dulunya seorang atlet taekwondo tak menyia-nyiakan kemampuannya itu. Entah bagaimana caranya pisau tersebut dapat terlempar dari tangan papi.Sedangkan mami menjerit-jerit sembari memelukku, berusaha melindungi putri tersayangnya dari
Aku bergegas menoleh ke belakang begitu pintu kamar terbuka. Lalu tersenyum tatkala melihat suamiku masuk. Sembari berusaha menutup lebam di lengan kananku dengan pose yang seharusnya tidak mencurigakan sama sekali. Pria itu kemudian terlihat membuka jasnya."Mestinya tadi kamu nggak usah ngangkatin berat-berat seperti itu," ujarnya.Aku hanya memandangnya dari tempatku berdiri."Kamu tau kan, kalau itu bisa berakibat fatal sama kandungan kamu?" Mas Wira mulai membuka kancing kemejanya dan membuatku seketika membalik badan ketika ia melepasnya.Hmm. Sudah berani rupanya pria itu bertelanjang dada di depanku. Padahal sebelumnya ia akan memilih berganti baju di kamar mandi."Kenapa berbalik? bukankah kamu sudah terbiasa melihat tubuh polos lelaki?" Sindirannya sontak membuat tubuhku menegang. Hatiku serasa dikoyak. Kemudian darahnya mengalir tanpa henti. Luka itu basah lagi.Dadaku bergemuruh hingga tanpa sadar kedua tanganku mengepal. Aku pun memutuskan meninggalkan kamar, tak berni
Siang ini, langit tampak cerah. Semilir angin sepoi-sepoi terasa menyapu ke wajahku. Harusnya aku bisa mengantuk karenanya. Namun lantaran benakku masih dibayangi perihal mimpi buruk semalam, alhasil aku pun menjadi agak sedikit ketakutan, hingga tak terpikir sama sekali agar kedua mataku bisa mengantuk.Sebenarnya, setelah Mas Wira menyelimutiku tadi malam, mataku menolak untuk dipejamkan lagi. Bagaimana tidak, mimpi buruk itu selalu datang setiap mataku mulai terpejam.Sungguh aku sangat takut sekali, namun sebisa mungkin kutahan. Untung Mas Wira tak melihatku sebab posisi tidurku yang membelakanginya. Setelahnya, kedua mataku pun tetap terbuka lebar hingga pagi menjelang."Dicariin ke mana-mana ternyata malah enak-enakan duduk di sini. Kamu ini ya! kerjaannya ngelamun terus tiap hari! jangan berpikir kamu bisa jadi tuan putri di rumah ini! Enak saja!" Lagi. Mertuaku mencerocos tiada henti seraya berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas bangkit dan berjalan mendekatinya."Ada yan