Arunika menahan napasnya ketika Raynar hanya menatapnya tanpa ekspresi hingga Arunika tidak bisa menebak pikiran pria itu.
Apa seharusnya Arunika tidak bertindak gegabah seperti tadi, ya?
“Bukankah kamu sudah tahu soal rumor itu. Lalu, apa yang kamu harapkan?” tanya Raynar datar.
Arunika gelagapan ketika Raynar justru melangkah perlahan, mengikis jarak di antara dirinya dengan Raynar.
“Wanita bukan prioritas utamaku,” kata Raynar pelan.
Arunika tertegun. Tatapan mata pria itu mengisyaratkan sesuatu, tetapi kenapa seperti tak sejalan dengan sikap dan cara bicaranya?
Dia meremat jemarinya dengan bola mata bergerak ke kanan dan kiri tak beraturan, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk membalas perkataan Raynar.
Arunika benar-benar tidak bisa menebak sebenarnya apa yang Raynar pikirkan tentang dirinya?
Akan tetapi, Arunika tidak boleh ceroboh! Dia harus hati-hati, karena satu kalimat yang menyinggung bisa membuat nyawa ibunya melayang. Arunika juga menguatkan sikap, dia tidak boleh terlihat takut atau risih di hadapan pria ini.
“Pak Ray pasti tahu, menikah denganku bukankah bisa membuat rumor buruk itu meredup?” Arunika mulai berbicara dengan tenang. “Pernikahan ini tentunya sangat menguntungkan untukmu. Setidaknya orang-orang akan berpikir jika kamu tidak seperti yang dibicarakan di luar sana.” Suara Arunika lembut meski jantungnya berdetak cepat menghadapi pria di depannya ini. “Dan, karena itu aku merasa kamu jangan pergi, apalagi jika sampai ada yang tahu kalau kamu meninggalkan pengantinmu di malam pertama.”
Satu sudut alis Raynar tertarik ke atas. Dia menatap pada manik mata Arunika dalam.
Raynar melangkah pelan, merapat pada Arunika.
Arunika terkesiap melihat Raynar terus melangkah ke arahnya. Secara impulsif dia juga mundur meski hanya sebuah langkah kecil. Dia tetap ingin memberikan jarak di antara mereka karena saat ini Arunika begitu panik ditatap intens sedalam itu oleh pria ini.
Untuk apa pria itu mendekat ke arahnya? Apakah mungkin dia berubah pikiran dan akan menghabiskan malam bersama Arunika? Tetapi, apa itu mungkin?
Atau, rumor itu memang benar adanya?
Arunika refleks menutup mata, ketakukan mengingat bahwa Raynar memang tidak pernah tertarik pada wanita dan akan menyiksanya.
Jika itu benar, bagaimana hidup Arunika setelah ini?
“Ah!”
Arunika jatuh terduduk pada kursi berlengan dan pandangannya langsung tertuju pada Raynar yang begitu dekat di hadapannya.
Kedua tangan Raynar berpegangan pada lengan kursi, mengurung Arunika di dalamnya.
Raynar kembali menaikkan satu sudut alisnya dan senyum tipis tersemat di bibirnya melihat ekspresi ketakutan di wajah Arunika.
Raynar memandang wajah Arunika yang hanya berjarak sejengkal darinya, menelisik wajah wanita itu. Dilihat sedekat ini, wajah istrinya ternyata lebih cantik. Lalu pandangan Raynar berpindah memandang tubuh Arunika yang langsing tetapi tetap terlihat menarik.
Raynar meneguk ludahnya.
Pandangan Raynar kembali terangkat menatap wajah Arunika. “Jika kamu berpikir kita akan melakukannya malam ini.” Ucapan Raynar terhenti sementara kepalanya menggeleng kecil. “Kita tidak melakukannya jika tanpa persetujuan apalagi paksaan. Itu juga berlaku untukku.”
Entah berapa lama Arunika menaha napasnya. Tetapi, ketika Arunika menghembuskan napas, aroma musk dari tubuh Raynar tercium di hidungnya dan membuatnya ingin kembali menahan napas.
Terlebih ditatap begitu intens dan sedekat ini membuat Arunika tidak tahu harus berbuat apa.
“Satu lagi.” Raynar kembali bersuara dengan pelan dan tegas, lalu matanya melirik lengannya, seolah mengingatkan akan kejadian tadi di saat Arunika menahan lengannya. “Jangan menyentuhku tanpa seizinku.”
Seolah terhinoptis, Arunika mengangguk begitu saja. Arunika baru bernapas lega ketika Raynar menjauh dari dirinya, memandang Arunika sejenak sebelum pria itu tetap pergi meninggalkan dirinya sendirian di kamar hotel di malam pertama mereka.
Bahu Arunika luruh lalu menjatuhkan tubuh di sandaran kursi di belakangnya. Arunika menatap lama pintu kamar hotel mereka yang tertutup.
Apakah dirinya sudah salah bertindak? Tetapi, semoga ini tak berimbas pada keputusan Raynar untuk membiayai pengobatan sang mama.
“Pria itu menyeramkan,” gumam Arunika.
Arunika diam berpikir. Dia menggigit ujung kuku ibu jarinya saat mengingat apa yang Raynar katakan.
“Jadi benar? Meski dia tidak tua, tapi dia memang penyuka sesama jenis?”
Dara dan Nenek Galuh datang bersama Miranda ke rumah sakit begitu mendengar kabar Arunika melahirkan. Tak hanya mereka, Erik dan yang lain juga datang karena tak menyangka Arunika melahirkan lebih awal dari hari perkiraan lahir. “Bagaimana kondisimu?” tanya Dara begitu melihat Arunika masih terbaring lemas di ranjang. “Baik, Ma. Lahirannya normal dan bayinya sehat semua,” ucap Arunika dengan rasa haru. “Kamu pasti capek sekali melahirkan dua sekaligus,” ucap Dara lalu mencium kening Arunika penuh kasih sayang. “Sekarang di mana bayinya?” tanya Erik ingin melihat bayi kembar atasannya. “Masih di ruang bayi, diinkubator karena berat badan mereka dibawah standar,” jawab Raynar. Mereka mengangguk-angguk, lalu perhatian mereka tertuju pada Arunika yang berjuang mati-matian melahirkan bayi kembar secara normal. “Kapan kalian nyusul?” tanya Arunika sambil menatap Winnie dan Briella bergantian. “Tommy masih ingin childfree, katanya ingin puas-puas bebas hanya berdua. Kalau dia siap, ak
Beberapa bulan berlalu. Usia kandungan Arunika sudah memasuki usia tujuh bulan dan terlihat sangat besar karena dia hamil anak kembar.Raynar sudah tak mengalami morning sickness, sehingga Raynar bisa menjalani harinya dengan baik.“Aku besok akan mengajukan cuti kuliah karena aku sudah tak sanggup pulang pergi ke kampus dalam kondisi hamil sebesar ini,” ucap Arunika ketika malam itu bersama Raynar di kamar setelah makan malam dengan Raynar.Raynar duduk di samping Arunika lalu mengusap lembut perut Arunika.“Besok aku temani,” ucap Raynar, “memang lebih baik cuti daripada kamu kelelahan dan mengganggu kesehatanmu. Aku tidak mau terjadi sesuatu padamu dan calon bayi kita.”Arunika mengangguk-angguk. Saat Raynar baru saja selesai bicara, ada gerakan di dalam yang membuat Raynar terkejut karena sedang mengusap perut Arunika.“Mereka gerak?” tanya Raynar dengan ekspresi yang tak bisa dideskripsikan. Bahagia, haru, dan terkejut bercampur jadi satu karena sebelumnya bayi mereka tak pernah
Setelah memberi kabar bahagia itu pada Nenek Galuh dan Dara, Arunika sekarang sudah berada di rumah bersama Raynar.Raynar berbaring berbantal paha Arunika, menghadap ke perut sambil mengusap perut istrinya itu.“Kali ini aku akan menjaga mereka dengan sangat baik. Mereka harus tumbuh dengan sehat sampai lahir, begitu juga denganmu,” ucap Raynar lalu mengangkat pandangan untuk menatap istrinya.Arunika memulas senyum. Dia menunduk untuk bisa menatap suaminya sambil mengusap rambut Raynar.“Aku sehat dan baik-baik saja, tapi aku mencemaskanmu. Kamu yang mengalami morning sickness, apa kamu yakin bisa menghadapi ini? Bagaimana dengan pekerjaanmu nantinya? Pasti akan mengganggumu?” tanya Arunika menatap cemas.“Tidak apa, lagi pula itu terjadi saat pagi atau malam. Aku pasti bisa menghadapinya,” balas Raynar lalu bangun dari posisi berbaring dan duduk menatap Arunika.Raynar mengulurkan tangan, lalu mengusap kepala Arunika dengan lembut dan penuh cinta.“Apa pun yang terjadi, asal kamu d
Arunika mengajak Raynar ke rumah sakit untuk berobat. Anehnya saat sampai di rumah sakit, kondisi Raynar baik-baik saja. “Sepertinya aku tidak jadi sakit,” ucap Raynar. Arunika seketika melotot mendengar ucapan suaminya. “Bagaimana bisa kamu bilang tidak sakit? Sejak semalam sampai pagi ini kamu muntah, masih saja mengelak,” amuk Arunika saat mereka menunggu dokter pribadi Raynar praktek. Raynar memilih menutup bibir daripada salah bicara. Dia diam menunggu sampai akhirnya perawat meminta Raynar masuk ruang pemeriksaan. “Kenapa Anda tidak meminta saya datang ke rumah saja?” tanya dokter itu. “Saya lihat Anda ada jadwal praktek di sini, jadi kami langsung ke sini saja,” jawab Arunika. Dokter itu tersenyum mengangguk-angguk. “Jadi, ada keluhan apa?” tanya dokter. “Suami saya muntah dari semalam, bahkan tadi juga muntah lagi. Tapi begitu sampai di sini, dia malah bilang kalau baik-baik saja, siapa yang percaya, coba?” Arunika yang terus bicara sampai membuat Raynar hanya diam sep
Arunika mengerutkan kening mendengar suara lantang Clara dari seberang panggilan.“Kenapa, sih? Suaramu seperti sedang menolak mentah-mentah tawaran musuhmu?” tanya Arunika keheranan.“Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak mau merepotkanmu, lagian ada Papa yang akan jemput lalu kami mau kumpul dulu.”“Oh … ya bilang saja, nolaknya sampai segitunya, aku berasa patah hati.”Arunika mendengar suara tawa dari seberang panggilan, lalu Clara kembali bicara.“Ya sudah, aku mau mengabarimu itu saja. Besok aku harus siap-siap agar bisa pulang tepat waktu. Sampai ketemu di sana, aku tidak sabar bertemu denganmu.”Arunika tersenyum dan membalas, “Aku juga, aku bahkan punya hadiah untukmu.”“Senangnya, tunggu aku pulang.”Arunika menatap layar ponselnya setelah panggilan itu berakhir. Dia tersenyum penuh kelegaan karena akhirnya Clara akan pulang dan bisa menghabiskan liburan bersama Clara.**Saat malam hari. Raynar baru saja selesai mandi dan membuka laci samping nakas untuk mengambil s
Satu tahun berlalu dengan cepat Arunika menjalani pendidikan lanjutannya dengan baik. Dua tahun lagi dia selesai, sehingga Arunika harus bekerja lebih giat untuk belajar.“Aru.”Arunika menghentikan langkah saat mendengar suara Gio memanggil. Dia membalikkan badan dan melihat Gio berjalan menghampirinya.“Ada apa, Kak?” tanya Arunika saat Gio sampai di hadapannya.“Apa kamu masih ada kelas?” tanya Gio.“Sudah tidak ada,” jawab Arunika sambil menggeleng, “lho, bukannya Kak Gio sudah tidak ada kelas, kan mau persiapan wisuda.”Gio mengangguk, lalu membalas, “Karena itu aku menemuimu, ada yang mau kumintai tolong.”Kening Arunika berkerut halus.“Minta tolong apa?” tanya Arunika memastikan.“Bantu aku milih hadiah,” pinta Gio.“Hadiah? Buat siapa? Teman yang juga wisuda minggu depan?” tanya Arunika memastikan.Gio tersenyum malu-malu lalu membalas, “Bukan, tapi untuk orang yang spesial. Dia bilang mau datang ke wisudaku, jadi aku mau memberinya hadiah juga.”Arunika membentuk huruf O den