Keesokan harinya.
Arunika dan Raynar sudah berada di mobil untuk meninggalkan hotel. Mereka kini sedang dalam perjalanan menuju ke mansion yang ditinggali Raynar.
Arunika memperhatikan jalanan yang mereka lewati. Dia melirik pada Raynar yang hanya diam sejak mereka keluar dari hotel, atau lebih tepatnya sejak mereka masih di kamar.
Arunika tidak tahu kapan Raynar kembali ke kamar. Semalam setelah Raynar pergi, Arunika bergegas beristirahat karena sangat lelah.
Saat bangun di pagi hari, Arunika terkejut melihat Reynar sudah kembali ke kamar itu dan sedang berkemas, pria itu lalu memintanya segera bersiap saat melihat Arunika sudah bangun.
Perjalanan itu lumayan lama bagi Arunika, apalagi tidak ada perbincangan sama sekali di antara Arunika dan Raynar. Semuanya terasa begitu canggung, meski mereka suami-istri, tetapi mereka tak mengenal satu sama lain.
Ya, memang begitu juga kondisinya.
Mereka baru saling mengenal satu hari sebelum pernikahan.
Arunika menghela napas kasar, saat itu dia menyadari jika Raynar menoleh padanya.
“Ternyata perjalanannya lumayan lama, ya.” Arunika langsung tersenyum seraya memberi alasan untuk berinteraksi dengan Raynar meski tidak mendapat respon, lalu sedetik kemudian menoleh pelan ke arah luar dengan rasa canggung.
Raynar menatap sejenak pada Arunika yang baru saja mengalihkan pandangan darinya, lalu dia ikut memandang ke luar jendela.
Akhirnya mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman mansion.
Arunika memandang mansion mewah itu, ada beberapa pelayan yang sudah berdiri di depan untuk menyambut kedatangan Raynar dan Arunika.
Ketika mobil sudah berhenti di depan mansion. Raynar melihat Arunika yang malah diam melamun seraya memandangi mansion.
“Turun,” ajak Raynar.
Arunika baru saja tersadar dari kekaguman pada mansion mewah itu. Dia segera melepas sabuk pengaman, lalu buru-buru turun mengikuti Raynar.
Saat berjalan menuju pintu masuk, Arunika melihat para pelayan yang berjajar di sana langsung membungkuk pada Raynar dan dirinya.
Arunika mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan mansion itu, sampai tidak sadar kalau Raynar berhenti melangkah dan membuatnya hampir menabrak punggung Raynar.
“Lakukan apa pun yang mau kamu lakukan di rumah ini.” Raynar menatap Arunika yang tampak terkejut, setelah itu dia memilih kembali melangkah menuju ruang kerjanya.
Arunika mengangguk-angguk pelan, lalu kembali memandangi setiap sudut ruangan di mansion itu. Sekarang dia harus apa? Mungkin membuat sarapan, apalagi dia dan Raynar belum sarapan sejak dari hotel.
Arunika melihat para pelayan berjalan masuk menuju ke arah belakang. Dia menghampiri pelayan paruh baya yang berjalan paling belakang.
“Maaf, Bibi. Dapurnya di mana?” tanya Arunika ke wanita paruh baya itu dengan sopan.
Pelayan paruh baya bernama Sarah itu terkejut. Dia membungkuk sejenak lalu menjawab, “Ada di sebelah kanan ruang makan.”
“Oh ….” Arunika mengangguk-angguk. “Memangnya ruang makan di sebelah mana?”
Wajar jika Arunika bertanya, ‘kan? Dia benar-benar tidak tahu karena ini adalah kali pertamanya dirinya datang ke mansion ini.
Sarah menatap pada Arunika yang berwajah polos.
“Biar saya antar,” kata pelayan itu.
Arunika mengangguk. Dia ingin menjadi istri yang baik dengan membuatkan sarapan, meskipun Raynar sepertinya tidak benar-benar menganggapnya sebagai istri.
Saat akan melangkah lebih jauh, Arunika melihat seorang pelayan menatap aneh padanya. Namun, meski begitu Arunika tak acuh dan memilih segera mengikuti langkah pelayan paruh baya tadi.
“Memangnya Anda mau apa di dapur?” tanya pelayan yang mengantar Arunika. “Jika Anda membutuhkan sesuatu, katakan saja pada saya,” ucap Sarah lagi.
Arunika tersenyum kecil.
“Sebenarnya aku mau membuat sarapan untuk Pa … maksudku untuk Ray,” jawab Arunika sempat meralat panggilannya karena tak ingin pelayan itu berpikiran aneh jika mendengar sebutannya pada Raynar.
“Membuat sarapan itu tugas kami, Nyonya. Biar kami saja,” kata Sarah.
“Tapi aku istrinya, jadi biarkan aku yang membuatnya,” balas Arunika tetap ingin memasak.
Pelayan paruh baya itu bingung, tetapi akhirnya dia mengiyakan saja.
Pelayan itu akhirnya meninggalkan Arunika di dapur. Saat dia pergi untuk melakukan pekerjaan lain, wanita paruh baya itu bertemu dengan Sindy, pelayan lain yang lebih muda.
“Mau apa dia, Bi?” tanya Sindy.
“Oh, katanya mau masak sarapan buat Tuan,” jawab Sarah.
“Harusnya jangan diizinkan, Bi. Bagaimana kalau dia memasak sesuatu yang bisa membahayakan Tuan?”
“Itu tidak ….” Belum juga wanita paruh baya itu selesai bicara, tiba-tiba Sindy masuk dapur, lalu menghampiri Arunika.
Arunika sedang mengeluarkan bahan dari lemari pendingin. Dia menutup pintu, tetapi terkejut saat melihat beberapa pelayan berdiri seraya memandangnya.
“Lebih baik kamu jangan memasak apa pun di sini, kami tidak tahu ‘kan kamu ini bisa masak atau tidak,” cegah Sindy.
“Aku biasa masak kok,” balas Arunika.
Namun, balasan Arunika tidak disambut hangat. Sindy langsung mengambil bahan makanan dari tangan Arunika.
Arunika sangat terkejut. Dia menatap pada pelayan di depannya, kenapa pelayan ini sangat tidak sopan?
“Lebih baik kamu tidak usah melakukan apa pun. Jangan sampai kamu tidak paham lalu malah mencelakai Tuan.” Sindy bicara ketus seraya menatap sinis pada Arunika.
“Tuan tidak bisa makan makanan sembarangan, apalagi dari wanita yang ….” Pelayan itu sengaja menjeda ucapannya, lalu menatap remeh.
“Apa?” balas Arunika cepat. Dia melihat tatapan tak suka dari pelayan di depannya.
Dara dan Nenek Galuh datang bersama Miranda ke rumah sakit begitu mendengar kabar Arunika melahirkan. Tak hanya mereka, Erik dan yang lain juga datang karena tak menyangka Arunika melahirkan lebih awal dari hari perkiraan lahir. “Bagaimana kondisimu?” tanya Dara begitu melihat Arunika masih terbaring lemas di ranjang. “Baik, Ma. Lahirannya normal dan bayinya sehat semua,” ucap Arunika dengan rasa haru. “Kamu pasti capek sekali melahirkan dua sekaligus,” ucap Dara lalu mencium kening Arunika penuh kasih sayang. “Sekarang di mana bayinya?” tanya Erik ingin melihat bayi kembar atasannya. “Masih di ruang bayi, diinkubator karena berat badan mereka dibawah standar,” jawab Raynar. Mereka mengangguk-angguk, lalu perhatian mereka tertuju pada Arunika yang berjuang mati-matian melahirkan bayi kembar secara normal. “Kapan kalian nyusul?” tanya Arunika sambil menatap Winnie dan Briella bergantian. “Tommy masih ingin childfree, katanya ingin puas-puas bebas hanya berdua. Kalau dia siap, ak
Beberapa bulan berlalu. Usia kandungan Arunika sudah memasuki usia tujuh bulan dan terlihat sangat besar karena dia hamil anak kembar.Raynar sudah tak mengalami morning sickness, sehingga Raynar bisa menjalani harinya dengan baik.“Aku besok akan mengajukan cuti kuliah karena aku sudah tak sanggup pulang pergi ke kampus dalam kondisi hamil sebesar ini,” ucap Arunika ketika malam itu bersama Raynar di kamar setelah makan malam dengan Raynar.Raynar duduk di samping Arunika lalu mengusap lembut perut Arunika.“Besok aku temani,” ucap Raynar, “memang lebih baik cuti daripada kamu kelelahan dan mengganggu kesehatanmu. Aku tidak mau terjadi sesuatu padamu dan calon bayi kita.”Arunika mengangguk-angguk. Saat Raynar baru saja selesai bicara, ada gerakan di dalam yang membuat Raynar terkejut karena sedang mengusap perut Arunika.“Mereka gerak?” tanya Raynar dengan ekspresi yang tak bisa dideskripsikan. Bahagia, haru, dan terkejut bercampur jadi satu karena sebelumnya bayi mereka tak pernah
Setelah memberi kabar bahagia itu pada Nenek Galuh dan Dara, Arunika sekarang sudah berada di rumah bersama Raynar.Raynar berbaring berbantal paha Arunika, menghadap ke perut sambil mengusap perut istrinya itu.“Kali ini aku akan menjaga mereka dengan sangat baik. Mereka harus tumbuh dengan sehat sampai lahir, begitu juga denganmu,” ucap Raynar lalu mengangkat pandangan untuk menatap istrinya.Arunika memulas senyum. Dia menunduk untuk bisa menatap suaminya sambil mengusap rambut Raynar.“Aku sehat dan baik-baik saja, tapi aku mencemaskanmu. Kamu yang mengalami morning sickness, apa kamu yakin bisa menghadapi ini? Bagaimana dengan pekerjaanmu nantinya? Pasti akan mengganggumu?” tanya Arunika menatap cemas.“Tidak apa, lagi pula itu terjadi saat pagi atau malam. Aku pasti bisa menghadapinya,” balas Raynar lalu bangun dari posisi berbaring dan duduk menatap Arunika.Raynar mengulurkan tangan, lalu mengusap kepala Arunika dengan lembut dan penuh cinta.“Apa pun yang terjadi, asal kamu d
Arunika mengajak Raynar ke rumah sakit untuk berobat. Anehnya saat sampai di rumah sakit, kondisi Raynar baik-baik saja. “Sepertinya aku tidak jadi sakit,” ucap Raynar. Arunika seketika melotot mendengar ucapan suaminya. “Bagaimana bisa kamu bilang tidak sakit? Sejak semalam sampai pagi ini kamu muntah, masih saja mengelak,” amuk Arunika saat mereka menunggu dokter pribadi Raynar praktek. Raynar memilih menutup bibir daripada salah bicara. Dia diam menunggu sampai akhirnya perawat meminta Raynar masuk ruang pemeriksaan. “Kenapa Anda tidak meminta saya datang ke rumah saja?” tanya dokter itu. “Saya lihat Anda ada jadwal praktek di sini, jadi kami langsung ke sini saja,” jawab Arunika. Dokter itu tersenyum mengangguk-angguk. “Jadi, ada keluhan apa?” tanya dokter. “Suami saya muntah dari semalam, bahkan tadi juga muntah lagi. Tapi begitu sampai di sini, dia malah bilang kalau baik-baik saja, siapa yang percaya, coba?” Arunika yang terus bicara sampai membuat Raynar hanya diam sep
Arunika mengerutkan kening mendengar suara lantang Clara dari seberang panggilan.“Kenapa, sih? Suaramu seperti sedang menolak mentah-mentah tawaran musuhmu?” tanya Arunika keheranan.“Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak mau merepotkanmu, lagian ada Papa yang akan jemput lalu kami mau kumpul dulu.”“Oh … ya bilang saja, nolaknya sampai segitunya, aku berasa patah hati.”Arunika mendengar suara tawa dari seberang panggilan, lalu Clara kembali bicara.“Ya sudah, aku mau mengabarimu itu saja. Besok aku harus siap-siap agar bisa pulang tepat waktu. Sampai ketemu di sana, aku tidak sabar bertemu denganmu.”Arunika tersenyum dan membalas, “Aku juga, aku bahkan punya hadiah untukmu.”“Senangnya, tunggu aku pulang.”Arunika menatap layar ponselnya setelah panggilan itu berakhir. Dia tersenyum penuh kelegaan karena akhirnya Clara akan pulang dan bisa menghabiskan liburan bersama Clara.**Saat malam hari. Raynar baru saja selesai mandi dan membuka laci samping nakas untuk mengambil s
Satu tahun berlalu dengan cepat Arunika menjalani pendidikan lanjutannya dengan baik. Dua tahun lagi dia selesai, sehingga Arunika harus bekerja lebih giat untuk belajar.“Aru.”Arunika menghentikan langkah saat mendengar suara Gio memanggil. Dia membalikkan badan dan melihat Gio berjalan menghampirinya.“Ada apa, Kak?” tanya Arunika saat Gio sampai di hadapannya.“Apa kamu masih ada kelas?” tanya Gio.“Sudah tidak ada,” jawab Arunika sambil menggeleng, “lho, bukannya Kak Gio sudah tidak ada kelas, kan mau persiapan wisuda.”Gio mengangguk, lalu membalas, “Karena itu aku menemuimu, ada yang mau kumintai tolong.”Kening Arunika berkerut halus.“Minta tolong apa?” tanya Arunika memastikan.“Bantu aku milih hadiah,” pinta Gio.“Hadiah? Buat siapa? Teman yang juga wisuda minggu depan?” tanya Arunika memastikan.Gio tersenyum malu-malu lalu membalas, “Bukan, tapi untuk orang yang spesial. Dia bilang mau datang ke wisudaku, jadi aku mau memberinya hadiah juga.”Arunika membentuk huruf O den