Halo teman-teman, makasih buat yang sudah baca kisah Aru dan Ray, untuk saat ini aku belum bisa up banyak, sehari baru bisa satu bab. meski begitu, mohon dukungannya dengan memberi komentar di setiap bab dan kalau perlu beri ulasan dan bintang 5, ya. makasih banyak(ʘᴗʘ✿)
Di ruang rapat, Nichole menyampaikan hal-hal penting terkait pekerjaan yang tak bisa dia ungkapkan di depan Hendry saat rapat tadi. Dia sudah bekerja untuk keluarga Raynar sejak ayah Raynar masih hidup. Dia berpihak pada Raynar karena dia melihat kemampuan dan ketekunan Raynar, sama seperti mendiang ayahnya."Aku akan pastikan berkas legal untuk pembangunan itu selesai secepatnya," kata Nichole, mengakhiri penjelasannya."Terima kasih," balas Raynar. Dia tak bersikap dingin pada Nichole yang memang setia padanya.Nichole hendak bangkit, tetapi dia kembali duduk dan menatap Raynar.Raynar menunggu dan memerhatikan Nichole. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya."Aku terkejut, kamu meminta HRD menempatkan anak baru itu menjadi asistenku," kata Nichole, akhirnya.Raynar tetap terlihat tenang."Bagaimana kinerjanya?" tanya Raynar menanggapi ucapan Nichole."Apa yang mau dinilai? Dia baru satu setengah hari bekerja di sini," jawab Nichole.Senyum tipis terukir di bibir Raynar
Arunika duduk di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Pikirannya melayang pada Hendry dan Raynar. Arunika penasaran dengan hubungan antara paman dan keponakan itu. Namun, dia masih mencari waktu yang tepat untuk bertanya soal hubungan Raynar dengan pamannya itu.Dia melirik bayangan Raynar di cermin. Pria itu sedang duduk di sofa dengan pandangannya yang fokus pada tablet pintar di tangannya.Arunika masih menyisir rambutnya, tenggelam dalam lamunan. Tatapannya terpaku pada bayangan Raynar."Apa ada masalah di kantor?"Suara Raynar mengejutkan Arunika. Dia baru sadar, Raynar juga sedang menatapnya dari pantulan cermin.Apa pria itu menyadari kalau sejak tadi Arunika sedang mengamati Raynar? Wajah Arunika memanas. Dia salah tingkah, takut Raynar akan salah paham karena dirinya memandang pria itu secara diam-diam.Belum sempat dia menjawab, Raynar sudah berdiri dan berjalan menghampirinya. Jantung Arunika berdebar semakin kencang.Raynar menyentuh rambut Arunika yang masih setenga
Raynar menatap Arunika yang menunggu jawabannya. Dia memutar tumitnya sehingga kembali menghadap pada Arunika yang masih duduk membelakangi meja rias. “Aku hanya merekomendasikan. Urusan diterima atau tidak, itu hasil dari kemampuanmu.” Setelah mengatakan itu, Raynar kembali membalikkan badan dan melangkah pergi meninggalkan kamar. Arunika menatap punggung Raynar yang berlalu pergi dan menghilang dari balik pintu. Arunika sedikit memiringkan kepala, menelaah maksud Raynar. Jika benar direkomendasikan, tetapi tidak menutup kemungkinan ada paksaan agar menerimanya, ‘kan? Jadi, ini artinya Arunika masuk ke perusahaan itu karena ada campur tangan Raynar? Ah, Arunika pusing. Biarlah, yang terpenting tidak ada yang tahu, semoga hanya kepala HRD saja yang tahu. ** Keesokan harinya. Raynar dan Arunika sudah siap untuk pergi bekerja. Arunika mencangklong tas kecilnya menyilang di depan dada. “Aku berangkat dulu,” pamit Arunika saat dia dan Raynar sudah keluar dari rumah. Arunika hend
Arunika sudah berada di ruang Nichole menyiapkan keperluan atasannya itu seperti biasa, setelahnya dia pergi ke pantry membuat kopi untuk Nichole.“Aru,” sapa Winnie yang tiba-tiba muncul di pantry.Arunika menoleh seraya memulas senyum, tangannya sibuk mengaduk kopi yang baru diseduhnya.“Mau buat kopi? Mau kubuatkan sekalian?” tanya Arunika.“Aku belum mau minum kopi, mau buat teh saja,” jawab Winnie lalu mengambil cangkir di rak.Arunika mengangguk-angguk. Dia meletakkan sendok yang baru dipakainya ke dalam washbak, lalu bersiap meninggalkan pantry namun langkahnya terhenti saat Winnie berkata, “Tadi aku melihatmu saat berangkat.”Arunika membeku. Dia menoleh pada Winnie yang sedang mencari-cari kantong teh di lemari penyimpanan.“Kamu melihatku di mana?” tanya Arunika penasaran dan dan nada suaranya sedikit lirih karena panik. Semoga Winnie tidak melihat dirinya turun dari mobil Raynar.Winnie menoleh pada Arunika. Sambil memasukkan kantong teh ke cangkir dan menuangkan air panas,
Arunika terbatuk-batuk karena tersedak. Dia meraih gelas minumnya, lalu menenggak dengan cepat.“Kamu ini kenapa? Bisa-bisanya tersedak sampai seperti itu?” Winnie sempat panik karena melihat wajah Arunika sampai memerah.Arunika mencoba menelan sisa makanan yang ada di mulut, lalu menatap Winnie yang sudah memandang cemas ke arahnya.“Bagian mana yang membuatmu terkejut? Padahal aku hanya bertanya biasa?” tanya Winnie menatap curiga pada Arunika.Arunika menggeleng canggung. Dia berdeham pelan untuk melegakan tenggorokannya yang masih agak panas.“Kamu juga pasti sudah terpesona dengan Presdir kita, ya? Tidak apa, akui saja karena Pak Raynar memang memesona,” ucap Winnie dengan segala kejujuran yang keluar dari bibirnya.Arunika kembali tersenyum garing. Dia bahkan tak berani memandang pada Winnie.“Tapi Aru, meski kamu terpesona dan mengagumi ketampanannya, aku sarankan kamu jangan benar-benar menyukainya,” ucap Winnie lagi.Arunika terkesiap. Dia memandang pada Winnie yang sedang m
Arunika diam sepanjang lift berjalan naik. Dia juga canggung dengan keberadaannya di sana, di antara Raynar dan Erik.Tidak tahu, kenapa Arunika seperti menjadi orang ketiga.“Kamu sudah makan siang?”“Apa?” Arunika tersentak. Dia sampai menatap pada Raynar dan Erik bergantian.Arunika berpikir, apa Raynar bertanya padanya atau pada Erik? Sampai dia melihat kedua pria itu menoleh bersamaan ke arahnya. Arunika baru sadar kalau pertanyaan itu tertuju untuknya.“Sudah,” jawab Arunika lalu segera mengulum bibir.Raynar masih menatap pada Arunika yang ada di sisi samping belakangnya, lalu kembali mengalihkan pandangan dari istrinya itu tanpa bicara lagi.Arunika melihat dua pria itu menghadap ke pintu lift lagi. Dia menatap bergantian pada Raynar dan Erik, tiba-tiba saja Arunika merasa kalau rumor soal Raynar yang memiliki kelainan orientasi seksual benar adanya.Bahkan jika dilihat-lihat, Raynar dan Erik memiliki chemistry yang kuat. Arunika mendadak menggeleng kepala cepat, menepis piki
Arunika sudah pulang bersama Raynar dan kini berada di kamar ganti. Dia membuka salah satu lemari yang ada di sana dan mengambil handuk.Saat Arunika menutup pintu lemari dan menoleh ke kiri, Arunika terkejut sampai kedua bahunya bergidik dan tanpa sengaja menjatuhkan handuk yang dipegang ketika melihat Raynar berdiri di sana.Arunika sempat menyentuh dada karena dadanya berdebar kuat.‘Kenapa dia mendadak di sini, mengagetkan saja,’ batin Arunika lalu berjongkok untuk memungut handuknya.Bagaimana tidak Arunika terkejut? Raynar masuk ruang ganti tanpa suara dan tiba-tiba ada di samping Arunika.Setelah mengambil handuknya dan hendak kembali berdiri, pintu lemari terbuka kembali dan membentur kepala Arunika karena dia tidak sadar kalau pintu lemarinya belum tertutup rapat.“Aduh,” pekik Arunika lalu mengangkat tangan untuk mendorong pintu agar tidak mengenai kepalanya lagi, tetapi ternyata Raynar sudah menahan pintu itu lalu menutupnya rapat.“Ceroboh sekali,” kata Raynar sambil menek
Arunika panik dan salah tingkah. Bola matanya bergerak liar ke kanan dan kiri lalu akhirnya kembali menatap pada Raynar.“Tidak kenapa-kenapa,” jawab Arunika kemudian menggigit bibir bawahnya.“Lalu kenapa melompat dari ranjang seperti itu? Kamu tahu, itu berbahaya.” Raynar membaringkan tubuhnya setelah bicara. “Tidurlah, ini sudah malam.”Arunika diam memandang Raynar yang berbaring miring memunggunginya. Dia melangkah kecil mendekat ke ranjang seraya memastikan Raynar tidak membalikkan badan ke arahnya.“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Raynar tanpa menoleh pada Arunika.Arunika merasa bodoh mengira Raynar akan menerkamnya, padahal selama ini Raynar sama sekali tak pernah menyentuhnya meski mereka tidur dalam satu ranjang.Arunika tahu kalau suaminya tidak tertarik pada wanita, lalu kenapa dia harus takut?Arunika akhirnya duduk di ranjang dengan tatapan tetap waspada ke arah Raynar. Dia tak melihat pergerakan atau mendengar suara Raynar lagi, akhirnya Arunika berani membaringkan tubu
Raynar melihat titik koordinat Arunika yang berhenti. Dia mencoba menghubungi Arunika, tetapi alangkah terkejutnya dia saat mendengar suara otomatis yang memberitahukan kalau nomor Arunika tidak aktif.Kecemasan Raynar memuncak berkali-kali lipat, sampai Raynar melihat status yang dibuat Arunika terakhir kali, bunga mawar dengan caption sebuah keinginan.Rasa bersalah merayap di hatinya, andai Raynar tak menyuruh Arunika pulang lebih dulu, saat ini sang istri pasti masih di sampingnya.Raynar mengepalkan telapak tangan erat saat menyadari kalau titik koordinat itu berhenti di tengah jalan raya.“Pacu mobilnya lebih cepat!” perintah Raynar.Erik menginjak pedal gas semakin dalam, membuat mobil yang mereka tumpangi melesat lebih cepat.“Apa mungkin Arunika dibawa Nathan, Pak?” tanya Erik sambil melirik ke kaca spion tengah untuk melihat ekspresi wajah Raynar.“Aku tidak akan memberi ampun padanya jika terjadi sesuatu pada Aru!” geram Raynar dengan emosi yang meledak.**Di mobil Nathan.
“Cari dan tangkap dia!” perintah Raynar sambil memberikan foto yang Raynar pegang pada Tommy–orang kepercayaannya.Tatapannya begitu tajam penuh amarah karena semua kecurigaan tentang Nathan terbukti. Bahkan Raynar semakin emosi setelah mengetahui kalau wartawan yang menyebar berita buruk tentangnya, terbukti pernah bertemu dengan Nathan.Setelah Tommy menerima foto Nathan, ponsel Raynar berdering dan membuatnya langsung mengecek siapa yang menghubungi.Raynar melihat nama sopirnya terpampang di layar. Dia segera menjawab panggilan itu.“Ada apa?” tanya Raynar begitu ponsek menempel di telinga.“Tu-Tuan.” Raynar mengerutkan kening mendengar suara Pak Dodi terbata.“Ada apa? Kenapa ada suara sirine?” tanya Raynar dengan ekspresi wajah begitu tegang.“Tu-Tuan, kami menga-lami kece-lakaan. Saya bera-da di ambulans menuju rumah sa-kit, tapi saya ti-dak tahu Nyonya ada di ma-na. Saya ti-dak me-lihatnya saat pe-rawat menge-vakuasi saya,” ucap Pak Dodi terbata-bata dari seberang panggilan.
Arunika menyentuh kepalanya yang berdenyut perih. Saat merasakan sesuatu yang basah di keningnya, dia baru menyadari kalau keningnya berdarah.“Pak … Pak Dodi,” panggil Arunika mencoba membangunkan sopirnya yang tak sadarkan diri.Arunika semakin menekan kepalanya yang sakit. Dia menoleh ke luar, melihat banyak orang berkerumun menyaksikan kecelakaan yang terjadi.Arunika sangat lemas dan pusing karena masih syok dengan yang terjadi. Saat dia ingin sekali memejamkan mata, tiba-tiba ada yang membuka pintu mobilnya.“Aru.”Arunika menoleh, dia melihat Nathan membungkuk lalu meraih tangannya agar Arunika keluar dari mobil.“Kak Nathan,” lirih Arunika.Nathan membantu Arunika keluar dari mobil, sedangkan yang lainnya membuka pintu bagian depan untuk melihat kondisi Pak Dodi tetapi tidak ada yang berani mengeluarkannya karena satu kaki Pak Dodi terjepit bagian mobil yang ringsek.“Apa kamu baik-baik saja? Mana yang terluka?” tanya Nathan sambil mengeluarkan sapu tangan lalu menyeka darah d
Saat sore hari. Arunika merapikan meja dan siap untuk pulang. “Aru, aku pulang lebih dulu,” kata Nichole. “Iya, Pak. Hati-hati di jalan,” balas Arunika dengan senyum lebarnya. Setelah Nichole pergi. Arunika mengemas tasnya, saat akan memasukkan ponsel ke tas, Arunika mendapat pesan dari Raynar. [Pulanglah lebih dulu bersama Pak Dodi.] Arunika mengerutkan alis. Dia mendial nomor Raynar untuk bicara langsung dengan suaminya itu. “Ada apa, Ray? Kenapa aku disuruh pulang bersama Pak Dodi? Kamu tidak pulang, atau mau lembur?” tanya Arunika. “Aku harus mengurus sesuatu, jadi pulanglah lebih dulu,” ucap Raynar dari seberang panggilan. Dahi Arunika berkerut halus. “Apa ada masalah lagi?” tanya Arunika cemas. Dia heran kenapa banyak sekali masalah akhir-akhir ini. “Pelayan yang memberimu obat sudah tertangkap, aku mau menemuinya langsung untuk menginterogasinya.” Arunika sangat terkejut, tetapi juga lega karena akhirnya pelaku tertangkap. “Pulang bersama Pak Dodi dan jangan mampir
Keesokan harinya. Arunika sudah berpakaian rapi dan siap berangkat ke perusahaan.Arunika melihat suaminya yang sedang mengancingkan kemeja, lalu dia mendekat dan mengambil dasi untuk suaminya dari laci penyimpanan.“Menghadap ke sini,” kata Arunika.Raynar mengikuti ucapan istrinya. Dia membalikkan badan dan berdiri berhadapan dengan Arunika lalu membiarkan istrinya yang menyelesaikan mengancing semua manik kemeja.Setelah selesai, Arunika memakaikan dasi di kerah kemeja Raynar seperti biasa.“Hari ini jadwalku banyak keluar kantor, selama aku tidak ada di kantor, jangan pernah keluar tanpa izinku apalagi pergi menemui orang,” ucap Raynar memperingatkan, mengingat betapa cerobohnya Arunika.“Iya,” balas Arunika dengan senyum lebar, tak tersinggung sama sekali dengan larangan suaminya. “Aku akan terus di perusahaan, kamu jangan cemas.”Raynar mengecup lembut kening Arunika yang baru saja selesai mengikat dasi, membuat senyum di wajah istrinya kini mengembang sempurna.Mereka segera sa
Arunika menggigit bibir bawahnya setelah memberi izin pada suaminya. Dia melihat senyum lepas Raynar, sebelum suaminya itu merengkuh pinggangnya. Raynar menyentuhkan bibir mereka. Dia mulai melumat perlahan bibir ranum Arunika dengan penuh gairah. Arunika berpegangan pada kedua bahu Raynar dan matanya terpejam saat Raynar terus melumat bibirnya. Ciuman itu memanas, bahkan Raynar mengangkat tubuh Arunika untuk duduk berpindah ke atas pangkuannya dan posisi saling berhadapan. Kedua tangan Raynar mengusap lembut punggung Arunika saat bibir mereka saling memagut. Mereka berbalas lumatan untuk memuaskan satu sama lain. Raynar melepas pagutan bibir mereka, menjeda untuk mengambil napas sambil menatap wajah Arunika yang sudah memerah. Napas mereka memburu, saat saling tatap, keduanya tersenyum penuh arti. “Mau diranjang atau di sini?” tanya Raynar dengan isengnya. Arunika benar-benar malu. Meski ini bukan yang pertama kali, tetapi ini pertamanya dia melakukannya dengan sadar. “Ranjang
Arunika benar-benar di rumah beristirahat karena tubuhnya sangat lelah. Raynar pergi ke perusahaan karena ada urusan yang harus dikerjakan.Saat sore hari, Raynar pulang dan tak mendapati Arunika di lantai bawah.“Di mana Aru?” tanya Raynar.“Nyonya tidur seharian, Tuan. Dia masih di kamar,” jawab Sarah.Raynar pergi ke kamar, sesampainya di sana melihat Arunika yang masih tidur dengan sangat pulas.Dia tersenyum kecil, lalu mendekat ke ranjang dan duduk di tepian ranjang sambil memandang wajah sang istri. Raynar mengulurkan tangan, lalu mengusap lembut pipi istrinya itu.“Euh ….” Arunika melenguh, menggeliat karena sentuhan yang diberikan Raynar.“Ini sudah sore, kamu tidak bangun dan mandi?” tanya Raynar sambil menunggu Arunika membuka mata.Arunika mengerjap-ngerjapkan kelopak mata untuk mengembalikan kesadarannya. Dia menutup permukaan bibir saat menguap, lalu menatap pada Raynar yang ada di sampingnya.“Sudah sore, ya?” Arunika bicara dengan suara parau. Dia bangun perlahan, lalu
Arunika duduk di tepian ranjang sambil memainkan jari. Dia memakai baju yang disiapkan oleh Raynar, wajahnya masih terlihat merona, malu-malu karena akhirnya melakukan malam pertama dengan suaminya.“Apa kamu bertemu seseorang sebelum minum jus?” tanya Raynar yang baru saja keluar dari kamar mandi.“Apa?” Arunika terkejut karena sedang melamun.Saat mengangkat pandangan, Arunika melihat Raynar yang berdiri di depannya, dengan wajah begitu segar dan rambut basah berantakan yang sangat … menggoda.Arunika memejamkan mata sejenak dan mencoba menetralkan jantungnya yang mendadak berdegup dengan sangat cepat lagi.“Ada apa?” tanya Raynar karena Arunika terlihat aneh.Raynar sampai duduk di samping ranjang, lalu menyentuhkan punggung tangan di kening Arunika untuk memastikan apakah istrinya sakit atau tidak.“Tidak panas,” ucap Raynar.“Aku baik-baik saja,” balas Arunika.“Jadi, semalam kamu bertemu dengan seseorang atau tidak? Aku tidak yakin kalau pelayan itu melakukannya begitu saja tanp
Erik menunggu di luar kamar hotel. Dia berdiri bersandar dinding sambil memasukkan kedua tangan di saku celana, sedangkan satu kakinya menapak di dinding.Erik menunggu Raynar untuk memberikan informasi dan mengambil langkah selanjutnya.Tak beberapa lama, Erik melihat pintu kamar terbuka dan dia melihat Raynar keluar dari kamar dan masih memakai bathrobe.Ekspresi wajah atasannya itu begitu datar dan terlihat tak senang.“Bagaimana dengan Arunika, Pak?” tanya Erik langsung berdiri tegap dan menghampiri Raynar.“Menurutmu?”Erik langsung mengulum bibir sesaat, tidak mau salah ucap.“Oh ya, saya sudah mengecek Cctv hotel. Pelayan itu ternyata bukan pegawai hotel, Pak. Bisa jadi dia menyamar. Ini sudah saya konfirmasi langsung dengan manager hotel,” ujar Erik mulai menjelaskan.Ekspresi wajah Raynar berubah dingin. Seperti dugaannya, apa yang terjadi pada Arunika memang sudah direncanakan.“Saya juga sudah menyuruh orang untuk mengejar dan menangkapnya,” ucap Erik lagi.Raynar menganggu