"Foto ini akan jadi milikku." Reiner mengambil selembar kertas foto yang dipenuhi dengan gambar kemesraan mereka.
"Curang. Aku juga mau, Reiner." Jasmine berusaha mengambil foto tersebut, tetapi Reiner tidak mengizinkannya.
"Kalau begitu kita bisa memilikinya berdua."
"Tidak bisa. Kita harus punya masing-masing. Jadi kalau kita berjauhan, kita bisa memegang sendiri-sendiri," protes Jasmine.
Reiner yang sudah menyalakan mesin mobil pun seketika menoleh pada Jasmine. Raut wajahnya berubah menjadi serius. "Memangnya kenapa kita harus saling berjauhan, hm?"
"Ya ... kan bisa jadi suatu saat kamu ada perjalanan bisnis ke luar kota atau ke luar negeri. Kamu bawa foto itu, dan aku juga memegang di rumah."
Jasmine tidak tahu kenapa dia harus membahas hal-hal kekanakkan seperti ini. Mulutnya tiba-tiba lancar melontarkan kalimat tersebut.
Reiner tersenyum. Kemudian dia menyerahkan foto di tangannya pada Jasmine. "Kalau begitu bagi dua saja. Biar
Barulah saat itu Jasmine mencampakkan ponsel Reiner, lalu menoleh pada lelaki di sampingnya yang berada begitu dekat."Aku ... aku belum bisa memutuskannya sekarang. Bisa beri aku waktu untuk berpikir?" Jasmine meragu.Reiner mengangguk, tersenyum. "Oke. Tidak apa-apa. Kamu bisa pikir-pikir lebih dulu. Atau mau cari Psikiater lain juga boleh, nanti aku carikan untuk kamu," ujar Reiner pelan. Dia tidak ingin memaksa Jasmine."Bukan masalah siapa Psikiaternya, Reiner," jawab Jasmine lengkap dengan ketenangannya seperti biasa. "Tapi kesiapan dari diriku sendiri. Aku butuh waktu."Reiner kembali mengangguk. Dia baru akan berbicara, saat suara ketukan high heels menyapa indera pendengaran mereka dari arah belakang."Reiner ... aku sudah selesai. Pulang yuk!" Nadira menyembunyikan kekesalannya begitu melihat posisi Reiner dan Jasmine yang terlihat mesra. Seharusnya, dia yang ada di posisi Jasmine saat ini.Jasmine yang lebih dulu melepaskan diri d
"Foto ini akan jadi milikku." Reiner mengambil selembar kertas foto yang dipenuhi dengan gambar kemesraan mereka."Curang. Aku juga mau, Reiner." Jasmine berusaha mengambil foto tersebut, tetapi Reiner tidak mengizinkannya."Kalau begitu kita bisa memilikinya berdua.""Tidak bisa. Kita harus punya masing-masing. Jadi kalau kita berjauhan, kita bisa memegang sendiri-sendiri," protes Jasmine.Reiner yang sudah menyalakan mesin mobil pun seketika menoleh pada Jasmine. Raut wajahnya berubah menjadi serius. "Memangnya kenapa kita harus saling berjauhan, hm?""Ya ... kan bisa jadi suatu saat kamu ada perjalanan bisnis ke luar kota atau ke luar negeri. Kamu bawa foto itu, dan aku juga memegang di rumah."Jasmine tidak tahu kenapa dia harus membahas hal-hal kekanakkan seperti ini. Mulutnya tiba-tiba lancar melontarkan kalimat tersebut.Reiner tersenyum. Kemudian dia menyerahkan foto di tangannya pada Jasmine. "Kalau begitu bagi dua saja. Biar
“Gimana keadaanmu sekarang, Jasmine” tanya Evano.“Sudah baikan. Aku boleh pulang siang ini.”“Syukurlah. Aku sempat khawatir kemarin saat dengar kamu harus dilarikan ke rumah sakit.”Jasmine tersenyum tipis. “Terima kasih sudah menjengukku, Van.”Kemudian meletakkan bunga pemberian Evano di atas rak, bahkan di sana sudah ada beberapa ikat bunga pemberian ibu mertua, Feli dan Kanaya yang datang silih berganti tadi pagi.“Di mana attitude-mu, Van? Memberi bunga pada istri orang lain di depan suaminya sendiri?” berang Reiner tidak suka.“Reiner ... Evano cuma mau menjengukku saja. Kamu jangan verlebihan begitu ah.” Jasmine berusaha menenangkan Reiner. Dia tahu suminya itu pasti akan meradang setelah melihat dia menerima bunga dari Evano
Reiner mengernyitkan dahi ketika samar-samar dia mendengar ponselnya bergetar cukup lama. Tanpa membuka mata, Reiner menjulurkan tangannya untuk meraih ponsel dari rak di samping ranjang.“Ada apa? Kalau tidak ada hal penting yang ingin kamu bicarakan, gajimu akan kupotong. Pagi-pagi kamu sudah menggangguku,” desis Xavir setengah berbisik begitu mengangkat panggilan telepon dari Bayu.Reiner kesal. Untuk apa pagi-pagi begini menelepon? Bayu hampir saja membuat Jasmine terbangun dari tidur lelapnya.“I-iya maafkan saya, Pak. Saya Cuma mau kasih tahu terkait kejadian di restoran itu,” ujar Bayu takut-takut dari seberang.Mata Reiner sontak terbuka nyalang. “Katakan padaku, apa yang kamu temukan?”“Kejadiannya ternyata memang disengaja, Pak. Saya sudah datang menemui pengelola restoran dan meminta rekaman CCTV. Ternyata ada seorang pelayan yang sengaja mengunci pintu toilet, dan membuat lampu di toilet seolah-
“Sebenarnya Jasmine kenapa, Kak? Apa dia punya trauma dengan ruangan sempit atau ....”“Dia phobia gelap, Nay.”Leica dan Kanaya sontak terkejut mendengar fakta yang baru kali ini mereka ketahui.“Jasmine tidak boleh terlalu lama ada di ruangan gelap, atau akibatnya akan seperti ini.” Telapak tangan Reiner mengelus-elus puncak kepala Jasmine dalam posisi berdirinya di samping Leica.“Maafkan Mama. Seharusnya Mama menemani Jasmine tadi kalau tahu akan begini.” Leica menatap Jasmine dengan tatapan nanar.“Bukan salah Mama,” ralat Reiner, “Mama tidak perlu menyalahkan diri sendiri, kalau Jasmine tahu, dia pasti tidak akan suka.”Ya, satu hal yang paling menonjol dalam diri Jasmine adalah perasaannya yang lembut dan kebaikan hatinya. Reiner menyesal karena dulu telah menyia-nyiakan wanita sebaik Jasmine.“Toiletnya terkunci dan lampunya mati?” tanya Reiner
Reiner mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benci situasi seperti ini, sungguh. Di satu sisi, perasaannya pada Jasmine telah berkembang.Dan Jasmine adalah istrinya, ibu dari anak-anaknya. Tapi di sisi lain, Reiner merasa bersalah pada Nadira.“Kamu lihat itu, Reiner?!”Reiner mengikuti arah telunjuk Nadira ke salah satu sudut ruangan. Di sana menumpuk barang-barang milik Nadira pemberian dari Reiner.Tas, parfum, pakaian, sepatu bahkan beberapa foto dalam bingkai kecil hingga besar. Semua itu adalah Reiner yang memberikannya sewaktu mereka sering mengunjungi negara lain bersama-sama.“Miniatur drum itu ... kamu ingat janji yang kamu ucapkan sebelum kamu benar-benar pergi meninggalkan panti asuhan dulu?” Nadira mengelap air matanya dengan punggung tangan. “Kamu janji akan selalu melindungiku! Tapi sekarang apa buktinya?”Reiner menatap Nadira dengan sorot mata lelahnya. Semua yang Nadira katakan adalah bena