Bayu tak terlalu heran dengan ekspresi Reiner. Dia lalu berkata, "Hotel Bali, tiga bulan yang lalu."
Ucapan Bayu berhasil mengembalikan ingatan Reiner tentang malam panas antara dirinya dengan putri dari perusahaan kompetitornya tiga bulan lalu.
"Ah... baiklah. Biar aku yang urus. Kamu boleh pergi."
Selepas kepergian Bayu, Reiner menyalakan ponselnya yang sedari pagi dia matikan. Bukan apa-apa, Reiner hanya tidak suka diganggu saat dirinya sedang meeting dengan klien penting.
Dan benar saja. Saat ponselnya telah menyala, muncul puluhan panggilan tak terjawab dan juga pesan dari Alisa.
Alisa Anderson memang cantik dan punya postur tubuh yang seksi. Reiner menghabiskan satu malam dengan Alisa di hotel Bali saat sedang melakukan perjalanan bisnis. Alisa sendiri yang datang menawarkan tubuhnya pada Reiner.
Bagaimanapun juga Reiner adalah lelaki normal yang tidak akan menolak suguhan menggiurkan yang nampak di depan mata.
Alisa: Aku sudah
Memasuki rumah Reiner, Jasmine cukup bingung apa yang harus ia lakukan saat berhadapan dengan pria itu.Reiner pasti marah padanya karena tidak menurutinya untuk pulang Jasmine kemudian menggeleng. Berusaha menepis perasaan bersalah yang tiba-tiba menyapa hatinya."Pak Reiner sedang keluar, Non," ujar Mbak Ninik saat mendapati Jasmine tengah mengedarkan pandangan, seolah-olah sedang mencari Reiner."Oh... keluar ke mana, Mbak?""Saya kurang tahu, Non. Tapi sepertinya Pak Reiner sedang ada masalah. Saya takut buat nanya kalau wajahnya sudah keras begitu." Mbak Ninik meringis sambil garuk-garuk tengkuknya.Jasmine jadi tersenyum tipis mendengarnya. Benar, kemarahan Reiner pasti akibat dirinya tadi.Sebuah mobil sport berwarna putih melaju kencang di jalanan. Reiner marah. Dan dia melampiaskan kemarahannya dengan kebut-kebutan.Dibanding marah pada Evano dan Jasmine, dia lebih kesal pada dirinya sendiri yang mulai memedulikan perempuan i
Reiner bergegas pergi ke rumah Evano lewat jalan setapak di belakang rumahnya. Langkahnya terburu-buru dan tidak sabaran.Rumah Evano terasa sepi. Dan Reiner bisa mendengar suara sekecil apa pun di sana, termasuk suara orang sedang berbincang di dapur.Jantung Reiner tiba-tiba berpacu begitu cepat. Tubuhnya menegang. Jasmine dan Evano sedang berdua di dapur?Kedua belah telapak tangan Reiner terkepal erat. Dia tidak bisa menyembunyikan lagi kemarahannya dalam ekspresi mengerasnya.Hatinya mendadak bergejolak saat kini dia melihat Jasmine dan Evano persis seperti sepasang suami istri yang tengah bersenda gurau di dapur."Waah ... aku tidak menyangka kamu pandai membuat roti." Evano berdecak kagum melihat roti hasil panggangan Jasmine."Kenapa? Apa sebelumnya kamu meragukan kemampuanku?" Mata Jasmine memici
Cengkeraman jemari Nadira di ujung kemeja Reiner semakin mengerat seiringan dengan semakin derasnya dia menangis. Sejak dulu, berada di dekat Reiner adalah tempat ternyamannya."Dia yang bersalah, 'kan?" ujar Nadira di tengah isak tangisnya."lya. Dia yang bersalah.""Benar, seharusnya aku tidak perlu merasa ketakutan lagi seperti ini Aku punya kamu. Kamu mempercayaiku dan akan selalu ada untuk aku, kan, Reiner?"Reiner sempat terdiam sesaat seolah merasa ragu. Tetapi detik berikutnya dia mengangguk. "Kamu tidak perlu khawatir, Nad. Aku akan menepati janjiku."Nadira kembali tersenyum meski air matanya masih terus mengalir. Setelah beberapa saat dan merasa sedikit tenang, Nadira segera pergi ke kamar mandi.Dan Reiner mengekori langkah Nadira, sebab dia masih mengkhawatirkan kondisi wanita itu.Dengan tangan yang masih bergetar, Nadira memutar kran wastafel lalu mencuci mukanya.Sedangkan Reiner berdiri dengan bahu bersandar di
"Jadi maksudmu, kamu berduaan dengan Nadira di pesta malam itu adalah sesuatu yang pantas? Sedangkan aku dengan pria lain itu tidak?!" balas Jasmine tak ingin kalah."Kenapa kamu membahas sesuatu yang sudah berlalu? Yang kita bahas ini sekarang, Jasmine!"Jasmine kembali menarik napas lelahnya. "Tinggalkan aku sendiri di sini.""Tidak!" tolak Reiner mentah-mentah."Reiner .... Kumohon. Aku ingin mendapat ketenangan sebentar saja.”Mendengarnya, Reiner mendengus pelan. Dengan malas dia menjauhi Jasmine dan duduk di sebuah kursi taman tak jauh dari gadis itu.Namun, baru beberapa detik Reiner duduk, ponselnya tiba-tiba bergetar.Sejak kemarin, dia telah mengubah pengaturan nada dering menjadi getaran. Sebab dia tidak suka melihat Jasmine tiba-tiba terbangun dari tidurnya, saat mendengar nad
Reiner mendengus dan tiba-tiba merasa geram karena Jasmine tidak patuh. "Pokoknya tidak ada bekerja apalagi pulang malam, kamu harus tahu batasanmu sebagai istriku.""Batasan apa?" Jasmine tidak mau kalah namun berusaha menjaga suaranya tetap tenang."Setahuku, dalam pernikahan kita tidak ada batasan seperti itu. Dalam perjanjian juga tidak ada larangan aku jangan bekerja saat malam.""Ingat poin satu. Pihak pertama atau aku, berkuasa penuh atas perjanjian tersebut," pungkas Reiner dengan tegas seolah-olah tidak ingin menerima bantahan dari Jasmine.Jasmine menahan tawa pahitnya, dia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Reiner yang selalu bersikap egois."Aku tetap akan bekerja. Lagi pula, aku tidak akan merepotkanmu, bukan?" Jasmine bersikeras.Dengusan Reiner semakin terdengar kasar, matanya menghujam ke arah Jasmine. "Berani kamu membantahku?""Reiner ... tolong dengarkan aku. Aku sangat membutuhkan pekerjaan itu dan aku tida
"Mama jangan khawatir, aku tidak apa-apa kok, Ma." Jasmine berusaha meyakinkan ibu mertuanya yang terlihat begitu khawatir dengan kondisinya.Namun detik itu juga Jasmine dikejutkan oleh Reiner yang tiba-tiba menggenggam tangannya, seraya memasang wajah agak ramah."Iya. Mama tidak usah terlalu khawatir. Dokter sudah bilang bahwa kondisi Jasmine dan janinnya kuat. Tidak ada masalah yang serius." Reiner menatap Jasmine sembari tersenyum.Lagi-lagi Jasmine sempat terkejut melihat Reiner tersenyum ke arahnya.Ah, ya ... kini Jasmine sadar bahwa Reiner melakukan hal ini agar terlihat mesra di depan ibunya. Jasmine pun mulai mengikuti permainan Reiner dengan membalas senyumannya dan mengangguk."Dan dokter juga bilang aku kemungkinan dirawat sampai lusa, Ma.”Pada akhirnya Leica menghela napas lega mende