"Jasmine akan pulang denganku." Evano berkata tegas pada Reiner. Saat ini mereka ada di halaman panti.
"Atas dasar apa kamu ingin pulang bersama istriku, Van?" Reiner tak kalah tegas dan datar menatap Evano
"Aku yang sudah mengajak dia. Dan sudah seharusnya aku juga yang mengantarnya pulang."
Mendengar hal itu rahang Reiner menjadi mengeras. "Apa kamu tidak lihat ada suaminya di sini?! Apa pantas mengajak pulang istri orang lain di depan suaminya sendiri?" Reiner berdesis.
Dia benar-benar tidak suka dengan cara Evano yang secara terang-terangan menunjukkan perhatiannya pada Jasmine.
Evano tertawa kecil meningkahi perkataan Reiner. Dia mendekati telinga sepupunya itu, dan berbisik, "Ingat ucapanku sebelumnya, Reiner? Aku akan merebut dia darimu setelah kalian bercerai."
"Tutup mulutmu!"
Jasmine
Reiner mendengus kasar. Mood-nya mendadak buruk ketika teringat dengan Leo yang memeluk Jasmine waktu itu."Dari mana aku tahu nama Leo-Leo itu tidak penting. Yang terpenting bagiku, kamu tidak dekat-dekat dengan Evano atau Leo. Aku tidak mau anak-anakku mendengar suara pria lain selain ayahnya," pungkas Reiner masih lengkap dengan nada tegasnya, yang membuat Jasmine mengerutkan kening penuh kebingungan.**"Kamu sedang membuat apa?"Suara bariton milik Reiner berhasil menarik perhatian Jasmine. Jasmine menoleh, dan mendapati pria itu tengah menghampirinya dengan setelan kerja lengkap dengan jas hitannya."Lagi menyiapkan bekal makan siangku, Reiner.""Untuk makan di cafe nanti?" tanya Reiner lagi sembari mengamati isi dalam kotak makan tersebut. Isinya ternyata nasi, chicken katsu dan tumis sayuran."Iya, aku selalu bawa bekal sendiri setiap hari." Tangan Jasmine meraih penutup kotak makan, lantas menutupnya sampai rapat."Bua
Jasmine menyembunyikan keterkejutannya dalam ekspresi tenangnya "Terserah. Kamu tidak perlu izin dariku dulu, Reiner," ucapnya sebelum meletakkan piring berisi potongan buah apel dan duduk kembali."Kenapa tidak diangkat?" tanya Jasmine saat Reiner membiarkan deringnya mati sendiri."Kalau ada apa-apa, dia pasti meneleponku lagi."Benar saja. Detik berikutnya ponsel Reiner kembali berbunyi. Kali ini dia mengangkatnya dan tak beranjak ke mana-mana."Reiner ... kamu marah padaku gara-gara pesanku yang marah-marah padamu waktu itu?" Suara Nadira terdengar lembut di seberang."Aku tidak marah, Nad. Ada apa kamu meneleponku?""Benar kamu tidak marah?""Iya. Percaya padaku." Reiner sempat melirik Jasmine yang tampak fokus dengan ponselnya.Ada rasa tidak suka saat Jasmine terlihattenang tenang saja, padahal Reiner sedang berbicara dengan Nadira.Harusnya Jasmine cemberut atau berwajah masam, atau ekspresi lainnya yang menunjuk
Jasmine terkesiap saat Reiner meminta persetujuan darinya. Pria itu tersenyum tipis ke arahnya sembari mengelus rambutnya. Jasmine pikir, sikap Reiner ini karena mereka masih berpura-pura mesra di depan orang tua Reiner."Em... Iya. Aku ikut apa pun keputusan kamu."Reiner mengangguk. "Gimana kalau kita ke Singapura saja? Jepang saat ini sedang musim dingin. Lebih baik kita ke Jepang saat musim semi atau musim gugur.""Hm-hm, ke manapun aku setuju."Usai sarapan berakhir, Reiner lebih dulu mengantar Jasmine ke Green Cafe. Jasmine merasa canggung, karena ini pertama kalinya dia diantar oleh pria itu."Berhentilah bekerja, Jasmine Kamu sudah jadi istriku, aku bisa memberi apapun yang kamu mau," ujar Reiner dengan tatapan terfokus pada arah jalanan."Aku tahu. Tapi seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tidak mau terus menerus mengandalkan kamu."Reiner mendengus pelan. Jujur, dia tidak suka Jasmine masih memberi mereka dinding pembatas
Jasmine terbangun pagi itu dalam posisi yang tidak pemah terbayangkan sebelumnya. Tetapi Jasmine pernah mengalami bangun tidur dalam posisi ini satu kali. Pelukan erat yang melingkupi tubuhnya membuat Jasmine sulit bergerakJasmine heran, memangnya apa yang dilakukan tubuhnya saat mereka berada di alam bawah sadar. Sampai-sampai mereka berakhir dalam posisi saling memeluk seperti ini."Reiner bangun, sudah pagi.”Terpaksa Jasmine membangunkan pria itu. Jika tidak, Jasmine akan sulit melepaskan diri dari Reiner. Pagi ini dia harus kembali bekerja di café."Reiner ...," ulang Jasmine saat pria itu tak kunjung bangun."Hmmm ...."Mendengar suara lembut seseorang yang memanggilnya, akhimya Reiner melepas kain penutup mata, kelopak matanya perlahan-lahan terbuka.Dia menyipitkan mata. Baru detik berikutnya Reiner terkejut ketika menyadari posisi mereka saat ini."Ada apa?" tanya Reiner basa-basi dengan suara berat dan s
Reiner mengamati Jasmine lamat-lamat, tangannya kini teralih pada tengkuk perempuan itu dan memijat-mijatnya pelan. Entah kenapa, tetapi Reiner merasa sangat khawatir dan tidak suka melihat Jasmine tersiksa begini."Mau minum air hangat?" tawar Reiner. Dan Jasmine mengangguk."Tunggu sebentar. Aku ambil dulu."Reiner bergegas menuju dapur, dan tak lama kemudian dia kembali dengan segelas air hangat."Ini airnya, Jasmine. Minum dulu."Tangan Jasmine yang gemetar meraih gelas dari tangan Reiner, lantas meneguknya sampai habis setengahnya. Reiner mengambil kembali gelas tersebut dan meletakkannya di dekat wastafel."Terima kasih.” Jasmine merasa sedikit lega setelah minum. Dia juga merasa nyaman ketika Reiner kembali memijat tengkuknya."Kamu mau apa?" tanya Reiner begitu Jasmine tiba-tiba berdiri."Mau kembali ke kamar."Jasmine tak langsung keluar dari kamar mandi. Dia lebih dulu mencuci muka di wastafel.Sed
Usai mendengar kalimat terakhir Jasmine, wajah Reiner tampak menegang "Apa maksudmu?" Suara Reiner mendadak berubah dingin."Apa ucapanku barusan kurang jelas? Kita ... bercerai saja," ujar Jasmine dengan pelan.Reiner menggeleng keras seakan-akan tidak terima dengan keputusan Jasmine. "Apa kamu gila, Jasmine? Kamu sedang mengandung anakku! Kamu mau membawa mereka pergi begitu saja setelah apa yang kamu lakukan padaku dan keluargaku?"Emosi Reiner mulai terpancing, berimbas pada napasnya yang mulai tersengal."Kamu jangan mengkhawatirkan mereka. Aku akan merawatnya sebaik mungkin sampai mereka lahir.”"Dan menyerahkannya padaku?" Reiner menatap Jasmine dengan tajam.Jasmine terdiam. Di satu sisi dia tidak mau berpisah dengan anak-anaknya. Tapi di sisi lain, komitmen Jasmine sejak awal adalah agar anak-anaknya ini memiliki seorang ayah. Namun Jasmine juga tidak bisa hidup lebih lama lagi dengan sikap Reiner yang seenaknya.Saat awal-awal pernikahan Jasmine pikir Reiner tidak akan bersi