“Dia sendiri yang jatuh dan kehilangan anaknya. Padahal anak itu juga darah daging keluarga Pamungkas.” Saat Russel tidak sedang tinggal di keluarga Pamungkas dan Yenny sedang mengandung, Rita tidak banyak protes meski dalam hati dia tidak menyukai Yenny. Yenny saja yang bernasib malang. Dia terjatuh dan mengakibatkan anak dalam kandungannya itu meninggal. Padahal jika ada satu cucu lagi saja, Rita tidak perlu selalu meminta Russel untuk pulang. Mungkin inilah karmanya rita. “Ma, itu sudah berlalu. Sekarang aku baik-baik saja. Anak hilang ya sudah, berarti memang anak itu yang nggak mau sama kita. Gimanapun juga Yenny itu tetap istriku. Sudah seharusnya aku jengukin dia di penjara. Kalau bukan gara-gara aku juga yang memancing dia, dia nggak bakal jadi begini. Ini semua salahku.” Saat bekerja sebagai sekretaris Roni, Yenny masih bersifat polos dan tidak ada niat sedikit pun untuk menggoda Roni. Roni yang duluan menyukai Yenny. Setelah melahirkan Russel, tubuh Odelina jadi membesar d
Sayangnya, penyesalan selalu datang terlambat. “Dengar-dengar dari Russel, sebentar lagi kamu mau menikah sama Daniel, ya. Rencananya kapan?” Rita berusaha sebisa mungkin untuk membuat ucapannya terdengar datar. “Sebentar lagi aku sudah mau berangkat ke kantor catatan sipil.” Mendengar itu, Rita langsung terdiam seketika. Beberapa saat kemudian baru dia kembali berbicara, “Oh, hari ini, ya. Kalau begitu selamat, ya, Odelina. Semoga kamu terus langgeng sama Daniel sampai kalian tua.” “Terima kasih.” Sebenarnya banyak hal yang ingin Rita bicarakan, tetapi setelah mengetahui di hari itu juga Odelina akan menikah dengan Daniel, semua itu tidak bisa lagi terucap keluar dari mulutnya. Dikatakan pun sudah tidak ada artinya juga. Tak lama, percakapan antara mereka berdua pun usai. Melihat pembicaraan telah berakhir, Andi yang dari tadi menyimak di sebelah pun bertanya, “Gimana? Odelina setuju Russel menginap di sini?” Di kala itu Rita masih termangu dan tidak segera menjawab pertanyaan
“Kak Daniel nggak keberatan, ‘kan?” tanya Olivia. “Nggak akan. Dia sudah bilang, sampai mati pun Roni tetap papa kandungnya Russel. Russel nggak akan ganti marganya ke Lumanto. Dia tetap memakai marga Pamungkas sesuai kesepakatan aku dan Roni waktu cerai.” Berhubung di surat perjanjian sudah tertulis demikian, Odelina harus menepatinya. Ganti marga pun tidak akan mengubah fakta bahwa Russel adalah cucu keluarga Pamungkas. Karena alasan itu, untuk apa juga Russel harus mengubah marganya. “Kak Daniel orangnya terbuka juga, ya.” “Kriing~” Di tengah percakapan mereka, tiba-tiba ponsel Odelina berbunyi mendapat panggilan dari mantan ibu mertuanya. Setelah mendengar suara Rita, Odelina berbisik kepada Olivia. “Baru saja kita ngomongin mereka, kebetulan banget mantan mertuaku telepon.” “Odelina, kamu bilang apa?” Rita dapat mendengar suara bisikan Odelina meski tidak begitu jelas. Lantas dia pun bertanya apa yang baru saja diucapkan oleh Odelina. “Tante, aku tadi lagi ngobrol sama adik
“Dia, ya … dia sih bilang nggak mau anak lagi. Russel saja sudah cukup.” Daniel tidak peduli apakah Russel itu anak kandungnya atau bukan, dan Odelina percaya Daniel mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. Yang Daniel pedulikan hanya Odelina seorang. Jika Odelina tidak perlu mengambil alih keluarga Gatara, mungkin Odelina membutuhkan waktu bertahun-tahun mempertimbangkan untuk memiliki anak kedua. Akan tetapi demi Daniel dan cintanya yang begitu dalam, Odelina memutuskan untuk memiliki anak lagi dengannya. Bagaimanapun juga dia ingin Daniel punya anak kandungnya sendiri. Odelina tidak bisa bersikap egois dengan hanya memikirkan diri sendiri dan Russel. “Oh ya, aku mau minta bantuan kamu,” kata Odelina. “Kakak kok kayak orang nggak kenal begitu. Kita kan kakak beradik, kalau butuh apa, tinggal bilang saja.” “Tahun depan aku masih harus pergi ke Cianter. Aku mau Russel tetap bersekolah di Mambera. Kalau aku di sana sudah stabil, baru aku minta pendapatnya Russel, apakah dia mau ikut
“Eh, Kakak sudah bangun. Bibi bilang Kakak belum bangun tadi, aku jadi nggak enak mengganggu pagi-pagi,” ucap Olivia seraya berdiri dan tersenyum melihat kakaknya menghampiri. “Aku langsung bangun begitu kamu sampai. Russel masih tidur, kita ngobrolnya di bawah saja, atau sambil temani aku jalan-jalan sebentar juga boleh.” “Kakak sama Kak Daniel nanti mau berangkat jam berapa?” Olivia bertanya, khawatir kakaknya akan terlambat di hari besarnya ini. “Mau paling cepat pun masih harus tunggu sampai kantor sana buka. Aku janjinya jam sembilan pagi, itu saja sudah pagi banget.” Mereka bertiga pun keluar dari kamar anak dan turun ke lantai bawah. Stefan tetap di dalam rumah sementar Odelina dan Olivia keluar berjalan-jalan di halaman. Vila yang Odelina tempati saat ini awalnya dimiliki atas nama Stefan, tetapi Stefan membaginya separuh dengan Odelina. Odelina bersikeras ingin membeli vila ini dari Stefan seutuhnya, dia tidak ingin diberi secara cuma-cuma. Stefan akhirnya setuju dengan i
“Kulit anak-anak halus banget, ya,” kata Olivia. “Kak Henry, ayo sini kejar aku. Hehehe ….” Bahkan di dalam mimpinya pun, Russel masih sempat tertawa riang. Di bermimpi sedang bermain kejar-kejaran dengan Henry. Ketika Henry mengejarnya, Russel membalikkan badan dan berlari sambil tertawa bahagia. Russel tertawa dengan begitu senang memimpikan aktivitas yang seru itu, tanpa menyadari kalau dia sendiri sedang bermimpi. “Kak Henry, aku punya dua papa …,” ujar Russel. Mendengar itu, Olivia tersenyum masam dan berbicara kepada Stefan yang ada di sampingnya, “Kemarin Russel pasti main seharian, ya. Bahkan mimpinya saja masih nggak jauh-jauh dari bermain.” Olivia mencubit lembut wajah keponakannya. “Iya, kamu punya dua orang papa yang sayang sama kamu.” Tak peduli apakah Russel bisa mendengarnya atau tidak, Olivia mencium pipinya dan berkata lirih, “Makanya, kamu harus hidup bahagia selamanya. Tante berharap kamu nggak perlu merasa sedih lagi seumur hidup kamu.” Semoga Russel bisa tumb