Stefan terlihat sangat sabar menghadapi Russel. Dia akan melakukan apa pun yang Russel suruh. Dia bahkan mengajari Russel beberapa permainan baru.Olivia spontan berpikir, kelak Stefan punya anak, dia pasti bisa menjadi ayah yang baik dan bertanggung jawab.“Ada apa?”Junia melihat Olivia menatap sesuatu sambil melamun, dia pun menghampiri Olivia dan mengikuti arah tatapan sahabatnya itu. Kemudian, dia menyadari kalau Olivia sedang menatap Stefan. Dia spontan tertawa dan menyenggol bahu Olivia, “Apakah kamu lagi merasa kalau suamimu sangat tampan?”“Nggak perlu aku rasa. Dia selalu menjadi pria yang sangat tampan.”“Sudah, cepat taklukkan dia. Kamu lihat saja sendiri, betapa baik dan sabarnya dia pada Russel. Jangan lihat dia biasanya sedingin es. Sebenarnya, di dalam hatinya dia sangat lembut. Dia pasti sangat suka dengan anak-anak. Kamu taklukkan dia, dengan begitu kamu bisa lahirkan satu anak yang mirip dia. Keren banget, sih.”Olivia tertawa dan berkata, “Kamu ngomongnya seperti ak
“Kakakku nggak bilang mau datang untuk makan. Agak jauh dari sini, dia bilang terlalu repot bolak-balik ke sini, nggak ada waktu untuk istirahat lagi. Lagi pula, di kantornya ada kantin, dia makan di kantor saja.”Stefan hanya menggumam pelan.“Nanti malam Kak Odelina pulang, kamu coba tanyakan padanya terbiasa nggak di sana, ada yang ganggu dia nggak. Aku bisa bicara dengan Pak Daniel. Kalau ada yang ganggu dia, aku akan minta Pak Daniel dukung dia.”Olivia menoleh untuk menatap Stefan lagi, “Pantas saja kakakku sayang banget sama kamu. Dia selalu beri tahu aku harus perlakukan kamu dengan baik.”Stefan langsung sedikit tersipu. Dia memang selalu berperilaku sangat baik di depan kakak iparnya.Karena keterbatasan waktu, Olivia hanya bisa menyiapkan makan siang yang sangat sederhana. Untung saja, Stefan tetap makan dengan lahap, tidak merasa risih sama sekali. Olivia berpikir, selain tidak makan jeroan, bawang merah, bawang putih dan daun ketumbar, sebenarnya sangat mudah untuk memberi
Stefan menatap Olivia sejenak. Pada akhirnya, dia langsung pergi tanpa berkata apa-apa. Olivia membuka mulut hendak memanggil pria itu, tapi tidak jadi. Stefan tidak ingin mengatakannya. Sekalipun Olivia membuka mulut Stefan lebar-lebar, pria itu tetap saja tidak akan mengatakannya.“Paling kesal sama orang yang mau ngomong tapi nggak jadi. Memangnya nggak bisa langsung katakan saja, ya?”Olivia langsung mengomel karena kesal dengan Stefan yang hanya tahu diam. Semua orang bisa merasa penasaran. Stefan yang ragu untuk bicara itu justru membangkitkan rasa penasarannya. Olivia terus bertanya-tanya apa yang ingin Stefan katakan padanya.Belum dua menit, pria yang ragu-ragu untuk bicara itu kembali lagi, kali ini dengan sebuket bunga di tangannya.Olivia menatap pria itu sambil tercengang, tidak berani percaya Stefan akan datang sambil membawa buket bunga. Olivia bahkan menggosok matanya dan melihat pria itu lagi. Pria di hadapannya saat ini memang asli suaminya.Apakah Stefan memberinya b
“Suamiku yang kasih ke aku. Cantik, kan? Aku rasa cantik sekali, aku suka banget,” ujar Olivia.Setelah Olivia mengambil banyak foto buket bunga itu, dia meletakkan ponselnya, lalu mengambil buket bunga itu dan menciumnya, “Wangi banget.”Tentu saja, Albert melihat semua itu, termasuk ekspresi di wajah Olivia. Pemandangan itu sangat menusuk baginya.“Ternyata Kak Stefan yang kasih ke Kak Oliv. Ada hari spesial apa hari ini? Aku belum pernah lihat dia kasih bunga ke Kak Oliv sebelumnya.” Senyum di wajah Albert terlihat kaku. Dari kata-katanya ada sedikit nada cemburu, juga sedikit nada menyindir.Olivia langsung menatapnya dan berkata, “Di antara suami istri, harus tunggu ada hari spesial baru boleh kasih bunga? Kalau aku suka, suamiku bisa kasih aku bunga setiap hari. Dulu, aku sayang uang. Sebuket bunga begini harganya juga nggak murah, kan. Lagi pula nggak bisa dimakan. Aku bilang daripada kasih aku bunga, mending uangnya kasih aku beli makanan. Makanya dia nggak pernah kasih aku bun
“Kamu percaya kalau Pak Stefan nggak ada maksud lain? Oliv, seandainya kalian sama-sama punya rasa, aku rasa kamu harus manfaatkan kesempatan ini baik-baik. Aku tunggu undanganmu. Aku mau jadi bridesmaid di pernikahan kamu,” goda Junia.“Kamu berpikir terlalu jauh,” ujar Olivia.“Aku rasa nggak jauh, kok. Hahaha. Oliv, aku tadi suruh Albert tunggu aku di luar. Kami mau pergi minum kopi sebentar. Kamu mau minum apa? Nanti aku bungkuskan untuk kamu.”Olivia berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku mau milk tea rasa taro.”“Oke.” Junia langsung menjawab, “Kamu jaga toko dulu, aku pergi minum kopi, ya.”“Iya, pergi sana.”Lagi pula, tidak ada orang yang datang ke toko saat ini. Biasanya di saat seperti ini, Olivia akan tidur di meja kasir sebentar atau membuat barang kerajinan tangannya.Junia keluar dari toko, Albert masih menunggunya di luar. Begitu keluar dari toko, senyum di wajah Junia seketika menghilang.“Ayo pergi,” ujarnya pada Albert.Junia langsung masuk ke mobil Albert. Begitu meli
Stefan pernah bilang ingin membuat keluarga Hermanus menderita, sampai untuk mengemis pun susah.Reiki berkata sambil tertawa pelan, “Kalau buat mereka mati sekaligus, pertunjukan jadi nggak seru, dong.”Raut wajah Stefan seketika menjadi muram.“Untuk menghadapi orang-orang seperti itu, kita nggak perlu terburu-buru. Pelan-pelan saja, biar mereka kehilangan semua yang pernah mereka miliki sedikit demi sedikit. Perasaan ingin menyelamatkan tapi hanya bisa pasrah kehilangan adalah perasaan yang paling menyiksa.”Reiki mengakui kali ini dia sedikit mengalah. Dia tidak terburu-buru menyiksa orang-orang dari keluarga Hermanus.“Tapi Bos, nggak usah khawatir. Kamu pasti akan puas dengan hasil akhirnya. Sekarang Bobby sudah dipecat dari perusahaan. Popularitas pencarian teratas waktu itu sangat tinggi, reputasi Bobby di tempat kerja juga jadi jelek. Cukup sulit baginya untuk temukan pekerjaan yang bagus lagi sekarang.”Begitu mendengar Bobby benar-benar telah kehilangan pekerjaannya, wajah S
Di kafe.Junia memilih tempat duduk yang agak di pojokan. Sementara itu, Albert langsung duduk di depannya.“Albert, kamu mau minum apa?”“Terserah. Kakak minum apa, aku ikut saja.”Junia berkata kepada pelayan kafe, “Pesan dua cangkir kopi tanpa gula.”“Kak Junia, kopi tanpa gula kan pahit, nggak enak.”Junia menatapnya, Albert spontan berkata dengan canggung, “Kopi tanpa gula saja.”Setelah pelayan kembali dan membawakan kopi tanpa gula pesanan mereka, Junia langsung bertanya pada adik sepupunya itu, “Albert, aku mau tanya sama kamu. Apakah kamu jatuh cinta dengan Olivia?”Albert terkejut. Dia menatap kakak sepupunya sambil tercengang, lalu bergumam, “Kak Junia ....”“Katakan yang sejujurnya!” perintah Junia.Wajah Albert perlahan-lahan memerah. Apakah dia sudah ketahuan?“Kak Junia, aku ... a-aku suka Kak Olivia?”“Sejak kapan?”Albert menjawab dengan suara pelan, “Aku juga nggak tahu kapan rasa itu mulai ada. Mungkin saat aku berusia 14 atau 15 tahun yang baru mulai mengerti tentan
“Justru karena aku kakak sepupumu, aku baru ajak kamu keluar untuk beri tahu kamu soal ini. Jangankan Olivia nggak suka sama kamu. Sekalipun dia suka sama kamu, aku juga nggak akan setuju kalian bersama.”“Kenapa?” tanya Albert kebingungan.“Karena keluargamu, Albert. Aku tahu jelas orang seperti apa tanteku. Kalau dia tahu kamu suka sama Olivia, kamu kira dia akan tetap senyum dan baik pada Olivia? Dia hanya akan cari segala cara untuk cegah kalian bertemu. Bahkan dia bisa saja melakukan hal yang lebih ekstrem kepada Olivia.”“Tante sudah berbaur dalam masyarakat kelas atas selama lebih dari 20 tahun, sifat arogan sudah lama tertanam dalam dirinya. Kamu anak tunggal, satu-satunya harapannya, juga penerus keluarga Pratama. Dia menaruh harapan terlalu tinggi padamu. Dia ingin kamu menikah dengan anak orang kaya, seenggaknya sederajat dengan keluarga kalian.”“Olivia sangat baik, tapi latar belakang keluarganya menjadi kekurangannya. Hal ini nggak ada hubungannya sama kamu. Demi aku, tan
“Terima kasih banyak atas perhatiannya, Non Yohanna. Nenekku sudah berumur 80 tahun lebih, tapi badannya masih segar bugar dan nggak masalah bepergian naik pesawat. Tapi masalahnya anggota keluargaku terlalu banyak, rasanya nggak enak kalau kami semua datang,” kata Ronny. “Atau begini saja, aku coba bilang ke mereka kalau tahun ini aku nggak pulang. Kurasa mereka pasti bisa mengerti.” Sebelum menginjakkan kaki di Aldimo, Ronny sudah memikirkan soal ini. Begitu pun dengan para senior di keluarga Adhitama yang juga sudah mempersiapkan diri andaikan Ronny tidak bisa pulang untuk melewati tahun baru bersama. Di tahun depan, Ronny berniat untuk membawa Yohanna ke pulang ke Mambera untuk mengurus pernikahan mereka. Nenek Sarah memberi waktu satu tahun kepada Rony dan saudara-saudaranya. selama mereka memperlakukan calon istri mereka dengan baik, satu tahun sudah cukup untuk meluluhkan hati seorang wanita. “Soal gaji kerja di libur tahun baru, Non Yohanna sesuaikan saja dengan hari kerjaku
Christian tidak bersuara saat dia ditendang oleh Tommy, tetapi raut wajahnya tidak bisa menutupi rasa sakitnya. Christian mengira Tommy memang ingin belajar,bukan karena paksaan dari kakaknya. Yohanna sangat tegas dalam mendidik mereka, bahkan lebih tegas dari guru-guru mereka di sekolah. Para senior di keluarga saja sampai tidak berani ikut campur ataupun berkomentar di hadapan Yohanna. Tommy melampiaskan kekecewaannya ke nafsu makan. Dia makan banyak sekali, sampai-sampai Yohanna harus menghentikannya karena khawatir akan sakit perut. Tommy sengaja ingin membuat diri sendiri kekenyangan sampai sakit perut, karena dengan begitu dia punya alasan untuk kabur dari tugasnya. Setelah makan, Yohanna berkata kepada Ronny, “Ronny, habis istirahat siang, kamu bikinin dessert untuk bocah-bocah, ya. Oh ya, sisain sedikit untuk Dira juga. Dia paling suka sama dessert buatan kamu. Nanti malam aku nggak makan di rumah, kamu bebas mau pulang atau tetap di sini. Oh ya, aku mau diskusi tentang jadw
Yohanna menyudahi percakapan dia dengan teman baiknya dan masuk ke ruang makan. Dua adik dan ibunya sudah duduk di tempat mereka masing-masing. Di depan mereka sudah tersedia semangkuk sup hangat yang menunggu untuk segera dinikmati. Di tempat duduk yang biasa Yohanna tempati juga sudah tersedia semangkuk sup, sama seperti yang diberikan untuk yang lain, yang disajikan langsung oleh Ronny. Setelah Ronny memanggil Yohanna untuk makan, dia langsung kembali ke dapur karena di dapur masih ada dua lauk lagi yang harus dia masak agar hidangannya lengkap. Seusai makan siang, Yohanna beristirahat sejenak karena sebentar lagi dia harus segera kembali ke kantor. Sejujurnya Ronny juga sedikit lelah, tetapi dia masih harus melayani tunangannya itu, dan baru bisa benar-benar beristirahat ketika Yohanna sudah berangkat kerja. Di malam harinya, jika Yohanna tidak makan di rumah, Ronny diberi kebebasan untuk bekerja atau terus beristirahat karena keluarga Pangestu masih memiliki koki yang lain untuk
“Bawa juga suami kamu biar dia nggak salah paham. Takutnya nanti dia pikir kamu datang ke rumahku untuk selingkuh.” “... oke. Aku bakal ajak dia juga. Aku mau lihat cowok kayak apa sih yang punya suara merdu begitu. Seharusnya nggak jelek, ‘kan?” Setelah sejenak terdiam, Yohanna membalas, “Kayaknya mending kamu nggak usah datang, deh. Takutnya kalau kamu datang dan ketemu dia, kamu bakal menyesal sudah menikah karena kamu sudah nggak bisa lagi ngejar-ngejar cowok ganteng.” “Wah, berarti dia pasti ganteng banget, nih. Aku jadi makin nggak sabar main ke rumah kamu. Bisa bikin kamu ngomong begitu berarti dia pasti punya muka yang menarik. Yohanna, kalau kamu sudah nggak mau pakai koki yang ini lagi, jangan lupa kabari aku, ya. Biar aku yang pakai dia. Selama ada koki ganteng di rumahku, aku nggak bakal pernah kelaparan lagi.” “Untuk sekarang, aku masih bisa makan masakannya dia, masih belum muak. Dia memang dari dulu hobinya memasak. Mungkin di zaman dulu dia sempat hidup jadi koki bu
Masalahnya, dengan harta dan kedudukan yang ketua kelas miliki sekarang pun, jarak antara dia dan Yohanna masih terlalu jauh. Yohanna berpikir sejenak dan menjawab, “Ketua kelas kita mukanya yang kayak gimana? Aku nggak ingat sama sekali.” Ketika masih bersekolah, ada banyak sekali kaum pria yang berusaha mendekati Yohanna, tetapi Yohanna sedikit pun tidak memiliki perasaan terhadap mereka. Jadi setiap hari dia hanya memasang wajah yang kaku dan dingin. Dari situ dia mendapat julukan “Ice Princess”, dan makin sedikit orang yang berani mendekatinya. Karena terlalu banyak pria yang menyukainya, Yohanna tidak ingat seperti apa wajah mereka semua. Itu karena Yohanna tahu, mereka bukanlah pria yang dia inginkan. Jadi tidak aneh jika Yohanna tidak ingat seperti apa paras ketua kelasnya. “... ketua kelas kita itu dianggap sebagai cowok terganteng di kelas. Masa kamu nggak ingat? Kita kan sekelas sama dia selama dua tahun, lho,” ujar Ruth. “Cowok yang sekelas sama aku selama dua tahun kan
“Sebentar lagi kan tahun baru, yang tua-tua setiap hari kerjanya telepon aku minta aku cepat pulang. Makanya sekarang aku sudah pulang.” Setelah Ruth menjawab pertanyaan Yohanna, sekarang gantian giliran dia yang bertanya, “Kamu kan baru pulang dari perjalanan bisnis, masa sudah langsung ke kantor lagi tanpa istirahat? Kamu terlalu keras kerjanya, kan kamu punya banyak adik-adik yang bisa bantu kamu. Bagi saja tugas kamu sebagian ke mereka. Jangan semuanya kamu tanggung sendiri. Nggak perlu bikin capek diri sendiri.” Ruth sangat memedulikan Yohanna. Mereka berdua adalah teman baik, tetapi semenak Yohanna mengambil alih bisnis keluarga, mereka jadi jarang bertemu karena Yohanna terlalu sibuk. Sering kali mereka hanya berhubungan melalui chat untuk tetap menjaga pertemanan. Untung saja mereka adalah teman sekelas sejak SD. dengan pertemanan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun, tentu tidak akan putus hanya karena Yohanna sibuk bekerja. Yohanna juga sering menjalin hubungan kerja
Yohanna harus membahas masalah pendidikan adiknya dengan kedua orang tuanya. Dia hanya punya satu adik kandung, jadi dia akan sangat mementingkan pendidikan adiknya. Sesibuk apa pun pekerjaan Yohanna, dia akan selalu meluangkan waktu untuk bertanya tentang kegiatan belajar adiknya. Apabila Tommy melakukan kesalahan dan malah dimanja oleh orang tuanya, maka Yohanna yang mau tidak mau harus memarahinya. Tidak peduli Tommy menangis atau merengek manja, kalau sampai Yohanna tahu adiknya bersalah, dia akan memberi pelajaran tegas agar kesalahan itu tidak terulang lagi. Lalu Yohanna juga akan menyuruh Tommy untuk menuliskan apa saja kesalahannya di atas kertas. Apabila orang tua atau om tante juga melindungi Tommy, mereka juga harus ikut menulis kesalahan mereka. Lihat saja siapa yang masih berani melindungi Tommy ketika dia berbuat kenakalan. Namun tentu Yohanna tidak akan menegur jika Tommy melakukan kenakalan kecil yang masih bisa diterima. Sebagai anak kecil, khususnya anak lelaki, waj
Yohanna spontan tersenyum mendengar ucapan manis adik-adiknya. “Berhubung kalian berdua sudah berbaik hati, kalau begitu aku panggil kakak-kakak yang lain untuk pergi belanja bareng. Siapkan dompet kalian, ya. Aku sudah lama nggak pergi belanja, lho. Kalau sudah pergi belanja nanti, apa pun yang aku suka langsung kubeli.” Kedua kakak beradik itu mengangguk, dan Tommy menyahut, “Biasanya Kak Yohanna sibuk kerja, jadi nggak ada salahnya sesekali belanja. Anggap saja waktu untuk bersantai.” Di antara semua anggota keluarga Pangestu, Yohanna memiliki pekerjaan yang paling sibuk dan paling melelahkan. Sejauh yang bisa Tommy ingat, dia tidak pernah satu kali pun melihat kakaknya pergi berbelanja atau pergi berlibur. Setiap hari dia harus bekerja di kantor, menemui klien, dan pergi dinas ke luar kota. Bahkan di akhir pekan pun Yohanna belum bisa bersantai. Terkadang dia masih harus menemani partner bisnis bermain golf, memancing atau berenang. Namun, hanya partner bisnis penting yang bisa
“Oke! Nanti aku beliin Kakak baju baru,” ucap Tommy. Tommy sama sekali tidak kekurangan uang saku. Ketika tahun baru tiba, para orang tua akan memberikan sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam amplop merah. Sebagian yang itu Tommy serahkan kepada ibunya, dan sebagian lagi dia pakai sendiri untuk membeli barang apa pun yang dia inginkan. Dia juga sangat pandai dalam mencatat keuangannya, dia ingat untuk apa saja uangnya dipakai, atau barang-barang apa saja yang dia beli. Yohanna membungkukkan badannya sedikit dan mencubit pipi adiknya. Mata dan alisnya membentuk setengah lingkaran seperti sedang tersenyum. “Kamu belajar yang benar dan harus nurut sama aku saja aku sudah senang. Nggak perlu beliin aku baju baru. Aku punya uang untuk beli baju baru sendiri.” Di lemari baju Yohanna masih banyak baju baru yang bahkan belum sempat dia kenakan. Biasanya dia sehari-hari mengenakan jas kerja, dan hanya mengenakan pakaian santainya di akhir pekan atau ketika sedang beristirahat di rumah. Ibu