Sedang di ruang kelas, suguhan pemandangan tumpukan kertas menambah denyut ketir pada kepala Maven, betapa ia membenci keadaan saat ia harus terjebak pada cinta masa lalunya, gerakan tangannya didominasi oleh perasaan menggebu-gebu namun pikiran nya seperti mati rasa, perasaan janggal yang setiap hari dalam setahun hidupnya selalu tentang gadis itu, telah enam tahun berlalu namun gadis itu tetap diposisi yang sama di dalam pikiran Maven.
Seorang gadis berambut sebahu mencuri perhatian Maven yang tak begitu peduli dengan keadaan sekitar, suara lantang yang dikeluarkan gadis itu, tampak seperti preman yang sedang menguasai papan pengumuman, gadis yang tak tahu aturan dengan segala ambisi dan kekecewaan yang menyatu pada wajahnya menarik perhatian Maven.
"Maaf, bisakah aku yang duluan membaca?" Meskipun terdengar kata maaf, gadis itu tak segan mendorong mundur siswa lain. wajah oval nya tertutup setengah oleh rambut coklat pirangnya.
"Lagi dan lagi aku tidak lulus." Ia mundur beberapa langkah, membiarkan siswa lain menerobos masuk ke arah papan pengumuman, ia tak lagi bersemangat, kekecewaan terpancar jelas di wajahnya.
Ini yang keempat kali Rona mendaftar di sekolah menengah atas, namun kriteria yang diajukan untuk ukuran Sekolah Menengah Atas dianggapnya terlalu berlebihan, sekolah menengah pertama yang dia lalui di desa tak memungkinkan dia harus bersaing dengan anak-anak kota di ujian masuk SMA kali ini. Gadis itu menarik napas kemudian tersenyum, wajahnya dipenuhi aura manis saat ia mengembangkan senyumnya, kekecewaan yang tampak beberapa menit lalu seketika sirna, sesuatu yang terlihat sama saat pertama kali ia mencari tahu jawaban di papan pengumuman, gadis itu menggebu-gebu. Maven tersenyum geli betapa gadis itu sangat berbeda dari gadis lain yang pernah ia temui.
Maven menunduk ketika wajahnya tak sengaja berpapasan dengan gadis itu, gadis yang memiliki manik mata yang tajam terlihat seperti mengintimidasi Maven, langkah nya pongah tampak seperti tak terjadi apapun dalam hidupnya hari ini.
Maven melirik sekilas seragam batik yang digunakan gadis itu, tampak asing untuk sekolah menengah pertama yang ia ketahui di kota, dia berasumsi cepat bahwa gadis itu bukanlah berasal dari kota yang sama dengannya.
Dibiarkannya gadis itu berlalu, tak sedikitpun kata dapat keluar dari tenggorokan Maven seperti seseorang yang sedang sakit tenggorokan yang parah, suaranya parau bahkan napasnya pun terdengar begitu berat.
Hari-hari yang dilewati Maven tak ayal membuat ia begitu penasaran dengan nasib gadis itu, jika ia tak diterima disekolah Maven, apakah dia mendapat sekolah yang layak di kota, ataukah gadis itu akan kembali ke kota asalnya untuk melanjutkan sekolah disana, pikiran-pikiran yang menghantui Maven perihal kecemasannya pada gadis itu semakin membesar, di lewatinya semua Sekolah Menengah Atas yang ada di kotanya setiap ia pulang sekolah.
Satu semester telah berlalu pencarian Maven terhadap gadis itu belum juga membuahkan hasil, hanya tinggal satu semester lagi ia punya kesempatan untuk mencari gadis itu sebelum ia harus sibuk berkutat dengan Ujian akhir Sekolah nya di SMA.
Di Penghujung pencarian Maven ia tak lagi terlalu berharap, baginya gadis itu nyata namun kehadirannya semu, tak ada yang dapat diharapkan dari gadis yang ia temui sekali dan tak sengaja membuatnya jatuh sedalam-dalamnya pada kerinduan yang membuatnya tak berkutik setiap hari.
Sekolah Menengah Atas terakhir yang ia datangi adalah sekolah yang terbilang eksklusif, hanya siswa-siswi terbaik yang dapat masuk ke sekolah itu, Maven tak banyak berharap, baginya gadis itu saja tak diterima di sekolahnya apa lagi sekolah yang dia datangi sekarang. Dalam keputusasaan nya mencari, ujung matanya menemukan gadis yang tak asing dalam pikirannya, gadis yang telah memporak-porandakan hidupnya dalam enam bulan terakhir. senyumnya mengembang, dinyalakannya mesin motornya, senandung kecil tak terduga keluar dari bibirnya, betapa hari ini ia dapat tidur dengan nyaman.
Hari-hari terlewati begitu saja Maven tak lagi sibuk mencari tahu gadis itu sekolah dimana, perasaan lega yang ia rasakan tercermin pada wajahnya setiap hari, kali ini fokusnya pada ujian sekolah yang sebentar lagi akan dia hadapi, namun sesekali dia sempatkan untuk mendatangi sekolah tempat gadis itu bersekolah, meskipun sering ia temukan sekolah itu telah kosong sebab ia harus terlambat pulang serta jarak antara sekolah nya dan sekolah gadis itu memakan waktu lima belas menit, sedang jam pulang sekolah mereka sama.
Hanya tersisa beberapa siswa yang sibuk mengobrol di depan gerbang sekolah, Maven pulang dengan wajah sedikit kecewa, lagi-lagi ia tak dapat mengobati rindunya pada gadis itu. Maven tersadar ada yang berbeda pada hatinya, rasa panas dan lonjakan yang begitu cepat pada jantungnya setiap ia mengingat wajah gadis itu, Maven telah jatuh cinta.
Lima baris kursi telah disiapkan keluarga Samos untuk menyambut kedatangan Maven beserta keluarganya, senyum mengembang di setiap insan yang berada disana.Desas-desus gadis seratus juta menjadi buah bibir hangat bagi ibu-ibu bermulut besar di kampung itu."Kau tahu? Gadis itu dilamar lagi!""Yah, aku juga mendengar itu, lebih nya mereka menyiapkan uang seratus juta full!!!""Kasihan sekali, mereka tak tahu bahwa gadis itu sudah tak suci."Obrolan-obrolan panas yang dibuat wanita-wanita kampung di sela-sela ramai dan khidmat nya acara lamaran Rona
Sesaat setelah Maven kembali kerumah, Radi langsung menanyakan perihal pelayarannya kali ini, setelah dua bulan mereka tak pernah berbincang sedikitpun."Bagaimana dengan pelayaranmu kali ini?""Lumayan melelahkan, ombak Februari masih terbilang tinggi,'' Maven menjawab seadanya."Apa kamu mau menikah?"Pertanyaan Radi begitu mendadak membuat Maven terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan cepat, "yah""Baguslah, umurmu sudah masuk dua puluh lima tahun, Ayah harap kamu sudah cukup matang untuk menikah""Tapi, aku belum punya apa-apa."
"Maaf Rona aku harus kembali ke Makassar, aku tidak enak kalau terlalu lama ditempat ini, sesuatu yang mau kupastikan sudah terjawab, aku mohon tunggu aku yah beberapa saat lagi, aku pasti datang jemput kamu."Kata-kata perpisahan Maven membuat Rona menanggung rasa yang sama saat ditinggalkan oleh Gavin, akan tetapi perbedaan terbesarnya adalah, Maven menjelaskan dengan detail bahwa dia akan kembali sedang Gavin pergi tanpa menjelaskan apapun."Aku akan tunggu," tak terasa air mata Rona menetes yang disambut cepat oleh tangan Maven untuk menghapusnya."Aku janji gak akan lama, tapi bersabarlah.""Iya!" Rona mengangguk.Perpisah
Peluh yang keluar dari pori-pori Lucas membat Maven bergidik jijik, "Luar biasa keringatmu teman, sepertinya bisa dijadikan air mandi untuk seminggu!" Maven mengejek dengan gaya Khas Lucas yang tengil.Lucas terengah-engah, napasnya yang dikumpulkan di rongga paru-parunya keluar dengan paksa lewat mulutnya."Kamu harus mencobanya besok! Udara disini sangat bagus untuk berolahraga," tukas Lucas.Andrew menilik keluar, melihat Lucas yang baru saja pulang berolahraga membuat dia tersenyum bangga, anak itu memang pantas disebut anaknya.Lucas masuk lewat pintu belakang, peluhnya bisa saja menetes ke dalam ruangan yang sudah dibersihkan ibunya. Sedang Rona menunggu dengan tak sabar, tak biasanya A
Andrew tak menjemput Lucas seperti biasanya, Lucas yang meminta, dia akan naik angkutan kota jika itu diperlukan, namun ojek motor adalah pilihan yang paling pas."Dari tadi kamu bengong dan terus melamun,'' Lucas menyadarkan Maven yang masih mempertahankan lamunannya."Maaf." Maven terkesiap dengan cepat ucapan itu keluar dari mulutnya."Sudah aku bilang, gak usah kamu pikirin, lama-lama kamu bisa stres, sekarang pikirkan bagaimana caranya Rona membalas cinta kamu!" Ucapan Lucas yang terakhir membuat Maven tersadar, peran penting dalam sebuah hubungan adalah mendapat balasan yang baik dari pasangan baik itu perasaan maupun perhatian.Maven tergesa-gesa mengangkat ransel yang ditandainya seba
Angin Desember, ritual pemanggil flu paling alami, setelah terombang-ambing selama tiga bulan lebih di atas kapal yang melaju di antara ombak dan perpisahan di setiap pelabuhan, Maven menyunggingkan senyumnya, kini waktunya kembali, meski kepalanya masih terasa berdenyut tak mengurungkan niatnya untuk datang menemui Rona."Kamu mau langsung pulang?" Maven bertanya pada Lucas yang mengangkat barangnya di sela-sela ramainya siswa yang baru saja turun dari kapal."Iya, aku sangat rindu ibuku!" Lucas menjawab tak seperti biasanya, pengalaman yang dialaminya selama berlayar terus mengingatkannya pada ibunya, pelayaran yang terasa ingin membunuhnya pelan-pelan."Aku ikut!" Maven mengacungkan telunjuk nya seperti anak kecil yang ingin memberi jawaban di dalam kela