Rona menghabiskan makanannya dengan lahap, pandangan mata Gavin yang hanya tertuju padanya membuat Rona memasang muka penuh tanya. Pelabuhan saat ini benar-benar sesak dan penuh.
"Ada apa?" Rona menaikkan alisnya mendapati Gavin tak henti-hentinya memandangnya
"Tidak apa-apa, aku bahagia bisa bersama kamu seperti sekarang," Gavin berkilah sembarangan, akan tetapi di dalam lubuk hatinya ada sesal yang begitu besar, bisa saja dia tak dapat membahagiakan Rona, atau bisa saja Rona menderita karena ikut bersamanya.
Setelah berjam-jam tak membuahkan hasil sedikitpun, Samos memasang muka datar namun kecewa, tak ada jawaban kemana perginya Rona. Rasa gelisah yang tertahan di hati Nam dan Sora membuka pikiran Rena sedikit, dia sedikit bersimpati dengan apa yang terjadi dan dia mulai tersadar itu bukanlah sebuah permainan.
"Kita belum mencoba ke pelabuhan, bisa saja Rona ada di sana, bukannya dia ingin tinggal di kota besar, besar kemungkinan dia akan ke Jakarta," Rena memberi pendapat..
"Rona tak mungkin senekat itu!" Nam menyanggah pendapat Rena.
"Kita tak akan tahu isi pikiran Rona," Sora menimpali, dia tahu bisa saja mereka menemukan titik cerah di pelabuhan.
Samos mengangguk menyetujui dengan cepat, titik harapan terakhir adalah pelabuhan.
Sementara itu, di pelabuhan. Rona memejamkan mata beberapa kali dalam sedetik, Gavin yang memperhatikan Rona terlihat khawatir dengan keadaan gadis itu. "Apa yang kamu rasakan Rona?" Gavin memeriksa tubuh Rona dengan menyentuh dahi nya dengan pelan. "Bagian mana yang sakit?" Rasa bersalah Gavin menyelinap masuk rongga dadanya.
"Aku tak apa-apa, hanya sedikit mengantuk."
"Tidurlah, aku akan menjagamu." Gavin mengelus rambut Rona dengan baik, diperhatikan gadis itu dari rambut hingga hidungnya, gadis yang memberikan seluruh hidupnya itu, tak akan ia sia-siakan.
Gavin melongok ke arah sekelompok buruh panggul, ia bertekad mencari pundi-pundi uang sebagai bekal ke Jakarta, Gavin meletakkan kepala Rona dengan hati-hati di atas kursi alumunium yang panjang dan kembali mengelus pelan rambut gadis itu.
"Tunggu sebentar, aku akan mencoba peruntungan pertama agar dapat menghidupimu," Gavin berbisik pada telinga Rona yang merah, gadis itu tidur terlalu lelap.
Lima belas menit bernegosiasi dengan kepala rombongan buruh panggul, akhirnya membuahkan hasil, Gavin dengan sigap menawarkan jasanya pada para penumpang kapal hari itu. Matanya coklat pekat setara dengan kulitnya yang memiliki warna Mahogany yang merata, rasa lelahnya terbalas oleh uang pecahan dua puluhan yang digenggamnya, senyumnya sumringah terbayang wajah Rona di kepalanya, betapa jatuh cinta telah menghilangkan sebagian kewarasannya.
Rona mendapati Gavin yang tak ada disampingnya, dia menunggu dengan sabar, perasaan takut ditinggalkan menyelinap di hatinya, akan tetapi Gavin tak mungkin meninggalkan ranselnya begitu saja. Pasti ada sesuatu yang dilakukan Gavin. Sudah empat jam Rona menunggu Gavin tak juga kembali, sekarang sudah pukul tujuh malam, perutnya merintih lagi meminta makanan.
"Gavin!" pekik Rena dari kejauhan.
Gavin yang sibuk mengangkat satu tas besar dan satu koper kecil terkejut bukan main. Rena berlari mendekat, dengan berbisik dia bertanya keadaan Rona, dan dimana dia.
"Kamu kenapa bisa sampai disini?" Gavin melotot melihat Rena berada lima senti darinya.
"Ini adalah bagian dari pencarian kami kepada Rona" Rena berbisik pelan, sedang dia tak sadar orang tua nya serta bibi Nam telah memperhatikan gerak geriknya.
"Sedang apa kamu disini?" Samos memberi pertanyaan tanpa memberi sapaan terlebih dahulu, ekspresi yang diperlihatkan mengandung kecurigaan yang begitu mendalam.
"Bekerja." Gavin menjawab pelan dan singkat, gemuruh hatinya tak henti.
"Apa kamu melihat Rona di sekitar sini? " Sora menimpali.
"Tidak!"
"Kuharap kau tak menyembunyikan apapun, Rona bisa saja bersamamu, kau tahu alasan kami tidak menerima mu bukan?" Samos mengerang, naluri nya berkata ada sesuatu antara Rona dan Gavin, begitu pula dengan Nam yang tau pasti Rona berharap bisa hidup bersama Gavin.
Gavin tak menanggapi, dia sibuk memilah barang yang akan dia panggul terlebih dahulu. Rasa geram di dada Samos terlihat jelas pada kepalan tangannya.
"Kau tak memperdulikan kami, kau pikir kau siapa?" Samos kembali bertanya, kali ini dia begitu kewalahan dengan sikap Gavin yang seakan mengacuhkan mereka.
"Maaf, aku sedang bekerja," Gavin menjawab pedas.
Keluarga Samos meninggalkan Gavin begitu saja, Sora sudah tahu tabiat suaminya, jika Samos tak menyukai sesuatu maka ia tak akan segan-segan memukul Gavin dan membuat keributan di sana, sebelum itu terjadi Sora menarik paksa suaminya untuk mencari Rona di bagian utara pelabuhan.
Gavin yang melihat keluarga itu pergi, seketika mengambil langkah seribu, dia harus memberitahu Rona terlebih dahulu dan membawa Rona pergi secepat mungkin sebelum mereka menemukannya.
"Rona, kita harus pergi dari sini!" Gavin berbisik cepat di telinga Rona, rasa kesal di dada Rona karena telah menunggu lama dan Gavin datang tanpa ada penjelasan membuat Rona semakin dilanda kejengkelan.
"Ada apa, kamu dari mana?" Rona kesal, kemudian melanjutkan ucapannya, "Kamu tahu, aku sudah menunggu empat jam lebih disini." Rona menyilangkan tangannya di atas perutnya.
"Keluargamu ada disini, sedang mencarimu!" Gavin tergesa-gesa membereskan semua barang mereka dan menarik Rona yang kaku karena terkejut.
"Bukannya itu Gavin dan Rona?" Sora menunjuk dari kejauhan, namun cukup terdengar di telinga Gavin bahwa seseorang telah mengetahui keberadaan mereka.
Gavin menarik kencang tangan Rona yang masih belum sepenuhnya bisa menggerakkan kakinya dengan baik, mereka berlari tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.
Samos mengambil langkah seribu, keahliannya dalam berlari tak dapat diragukan meski telah memasuki umur separuh abad, dia mengumpat-ngumpat tertahan, "Gadis tak tahu malu, beraninya dia melarikan diri bersama pria yang tak disukai keluarganya, gadis mana yang dapat mempertahankan kesuciannya jika telah melarikan diri bersama pria!" Samos tak tahan.
Mereka berlari menaiki beberapa tangga pada gedung tua, menjatuhkan rak reyot, menyenggol pembatas kayu dari bangunan yang seutuhnya belum sempurna, kemudian tak sengaja menendang bekas kaleng cat yang tercecer di lantai, setelah itu mereka saling pandang. Petugas keamanan malam itu, mendengar kegaduhan tersebut, dia berlari ke arah suara bising itu dan mendekati mereka dengan rahang menegang, mengerang lirih tapi bengis, sebelum mulai memuntahkan ancaman hukuman bagi pengganggu di area itu.
Melihat seseorang mendekat, Gavin menarik Rona masuk ke sebuah ruangan sempit tampak seperti lift yang belum sempurna, dia mengencangkan rahangnya, menutup mulut Rona dengan satu telunjuk, pertanda jangan berisik. Rona mengangguk pelan.
Hening, tempat persembunyian mereka dingin dan berkabut.
"Kamu lelah?" Gavin membuka suara yang seharusnya lebih baik tidak dilakukan, "Apa kakimu terluka?" Rona menatap langit-langit putih penuh jaring laba-laba, pikirannya kalut bercampur ketakutan.
Jawaban Rona atas pertanyaan-pertanyaan Gavin didominasi oleh satu suku kata "Yah.'' Dia benar-benar tak berselera menjawab pertanyaan lelaki itu. Rasa takutnya mengalahkan kebahagiaannya bisa bersama Gavin, bahkan kebahagiaan itu tampak semu sekarang.
Gavin tahu ketakutan Rona, Gavin menjajarkan semuanya dan menghitung satu demi satu kemungkinan-kemungkinan terburuk jika Rona ikut bersamanya, bagaikan butiran pasir yang menggunung, pelarian Rona bersamanya membuat gadis itu begitu menderita.
"Maaf Rona, aku tidak bisa membiarkanmu begini, aku pengangguran dan aku tidak tahu kedepannya, apa aku bisa menghidupimu atau tidak," Rasa sesal Gavin terasa mencekik lehernya, "bagaimanapun keluargamu benar, aku tidak pantas untuk menjadi suamimu" Gavin melanjutkan.
"Yah" Rona menjawab singkat, Rona tak begitu mendengar ucapan lelaki itu, dia lebih banyak berkonsentrasi pada ketakutan dan kesalahannya telah meninggalkan Ibu dan keluarganya di desa.
Rasa perih seperti teriris belati menjalari seluruh ulu hati Gavin, jawaban Rona melukai hatinya, gadis dihadapannya akan lebih sulit dia tinggalkan begitu saja.
"Tunggu disini, jangan keluar! Aku mau memastikan keadaan diluar." Gavin memberikan jaket jeans nya kepada Rona yang duduk memeluk lutut.
Gavin keluar dengan menahan amarah dan kesal dalam dadanya.
Rena mendapati jejak gantungan kunci miliknya yang terjatuh dari tas kecil beruangnya yang digunakan Rona, sebelum kedapatan oleh ibunya Rena menimbun gantungan itu dengan sedikit pijakan di gunungan pasir.
"Gavin!" Rena berteriak namun terdengar berbisik, "Larilah! Mereka akan kesini!" Rena menunjuk dibalik tumpukan kayu orang tuanya yang sedang berjalan ke arahnya.
"Maaf, aku tidak bisa bersama Rona lagi, sampaikan maafku dan katakan pada bibi Nam dan orang tuamu aku sangat menyesal, dia ada di pintu berwarna abu di dalam gedung itu." Gavin berjalan gontai, berbalik arah meninggalkan Rena yang tercengang tak percaya.
Di tempat lain, Mateo mengangkat tangan dengan gestur putus asa sekaligus naik darah, gadis yang beberapa hari lalu ia pinang, melarikan diri bersama pria lain, amarah yang membuncah di ubun-ubun Mateo dia lepaskan dengan satu pukulan keras pada tembok rumahnya."Kita batalkan saja rencana pernikahannya!" Giri membuat suasana bertambah panas dan tak menentu."Tentu saja, gadis itu telah mempermalukan aku," Mateo mengepal tangannya. "Bagaimanapun juga dia harus menerima ganjarannya.''Bagian yang tak bisa hilang dari pandangan adalah Mateo seseorang yang berkuasa di desa itu, barang tentu akan memalukan Rona dengan sangat keji.Desas-desus tentang Rona yang lari bersama pria menjadi berita terhangat
Suara pekikan dan tawa bergantian memenuhi ruangan kelas. Lucas berdongeng seperti biasanya. Betapa dia telah terpukau kepada gadis yang ditemuinya di dalam bus, Gadis yang menutup kepala dan sebagian wajahnya menggunakan Scarf tampak begitu misterius, dengan lagak seorang pendongeng handal Lucas mendekatkan wajahnya yang berjerawat kepada wajah Maven."Kamu tidak tahu gadis itu, dia benar-benar menantang!" Lucas berbisik namun terdengar seperti angin yang bergerak lambat."Jangan dengar bualan gila itu Maven!" Loa menyela, "dasar pemimpi gila!" Loa tertawa begitu keras hingga memperlihatkan gigi gerahamnya yang paling akhir. Lucas tak terima, ia memutar balik wajahnya dan memasang muka menyeringai seperti hendak menelan Loa hidup-hidup.Suasana kelas semakin pan
Di kamar Rona, buku-buku yang sedari tadi telah disiapkan Rona bertumpuk memenuhi meja riasnya, cahaya mentari yang masuk melewati kisi-kisi jendelanya, berpendar transparan saat Rona menyentuhnya perlahan. perasaan yang tak dapat dijelaskan memenuhi rongga dadanya, perasaan bersemangat melebihi apapun menjalari seluruh sumsum tulangnya.Nam mengetuk pintu perlahan, memastikan bahwa putri semata wayangnya telah terjaga, "apa kamu masih tidur?" Suara lembut memasuki rongga telinga Rona, tak biasanya ibunya bersuara lembut seperti itu, seketika perasaan bergidik dan pikiran-pikiran negatif tentang pernikahan berputar-putar di kepalanya.''Rona, pamanmu mau berbicara,tolong keluarlah!" Nam mendorong pintu dengan pelan, manik matanya menangkap Rona sedang bersenang-senang dengan cahaya yang ia coba genggam.
Sedang di ruang kelas, suguhan pemandangan tumpukan kertas menambah denyut ketir pada kepala Maven, betapa ia membenci keadaan saat ia harus terjebak pada cinta masa lalunya, gerakan tangannya didominasi oleh perasaan menggebu-gebu namun pikiran nya seperti mati rasa, perasaan janggal yang setiap hari dalam setahun hidupnya selalu tentang gadis itu, telah enam tahun berlalu namun gadis itu tetap diposisi yang sama di dalam pikiran Maven.Seorang gadis berambut sebahu mencuri perhatian Maven yang tak begitu peduli dengan keadaan sekitar, suara lantang yang dikeluarkan gadis itu, tampak seperti preman yang sedang menguasai papan pengumuman, gadis yang tak tahu aturan dengan segala ambisi dan kekecewaan yang menyatu pada wajahnya menarik perhatian Maven."Maaf, bisakah aku yang duluan membaca?" Meskipun terdengar kata maaf, gadis
Rencana kepergian Rona untuk menghindari cacian buruk tetangga terhadapnya, terdengar di telinga Mateo. Awan belum sempat menggantung, cuaca sedang tak mendukung namun bara di hati Mateo memanaskan wajah dan telinganya."Berani-beraninya gadis itu meninggalkan desa ini, sedang aku yang harus menanggung malu akibat ulahnya" Mateo merasa sangat dirugikan atas tindakan Rona yang pergi bersama pria lain sedang lamarannya telah masuk ke keluarganya, betapa gadis itu juga telah memberi senyum manis kepadanya ketika ia datang melamar. Cibiran para tetangga yang menyangkut pautkan dirinya telah mencoreng nama baik Mateo, seseorang yang berkuasa ditolak mentah-mentah oleh seorang gadis yang terbilang tak terlalu terpandang darinya.Kekesalan Mateo tak dapat ia tahan lagi, perasaan panas yang menjalar di sekujur tubuhnya tak dapat
Keesokan harinya Rona, Samos dan Nam berangkat menuju kota Baru. Rona terdiam melihat setiap keindahan yang ada, kemudian termenung. Benar yang dikatakan ibunya kepadanya, pamannya memilihkan tempat tinggal dan pekerjaan yang nyaman bagi Rona, Rona tak sabar merapikan dan menyusun ulang kamar baru dirumah keluarga sahabat pamannya itu.Suasana baru dan hiruk pikuk perkotaan mengembangkan senyum Rona sedari perjalanan, ia membayangkan segala sesuatu yang belum terjadi dengan hal-hal yang lebih mengarah kesenangan. Samos mengenalkan satu persatu tempat yang mungkin saja akan membantu Rona kedepannya."Disini minimarket terdekat!" Samos menunjuk sebuah minimarket berlogo merah di sebelah kanan mobil mereka sedang mobil tetap melaju dengan lambat.Rona mengangguk set
Rona tersentak sehingga sebuah bingkai foto di depannya hampir lepas dari genggamannya, ia membenamkan keterkejutannya dengan matanya yang mencari-cari kebenaran.''Lelaki yang kulihat di bus, apakah dia putra sulung paman Andrew?" Rona bertanya sendiri, menimbang jawaban sendiri dan mencoba mengkorelasikan wajah Paman Andrew dan bibi Linka pada foto lelaki di hadapannya."Itu Lucas, putra pertama bibi," Linka menjawab pertanyaan dalam benak Rona membuat Rona tersentak yang kedua kalinya. Dia mengingat betul lelaki yang sibuk bertanya kepadanya di dalam bus dan dia tak menanggapinya dengan baik."Umurnya berapa bi?" Rona menanyakan sesuatu yang sesungguhnya dia telah tahu jawabannya, dia pasti seumuran dengan Gavin
Rambu lalu lintas menandakan mobil yang mereka tumpangi harus berhenti, Rona membuka ransel yang dibawanya, dikeluarkan buku catatan yang dibawanya dari rumah, coretan-coretan beserta foto Gavin yang menempel pada halaman pertama buku itu membuat Rona kembali mengingat kesenangan-kesenangan besar pada hal-hal kecil yang dilaluinya bersama Gavin, meski harus menjalin kasih tanpa restu ibunya, Rona masih bisa merasakan kehangatan dari Gavin, lelaki pekerja keras yang ditemui pertama kali pada lokasi pembangunan infrastruktur desa membuat Rona jatuh cinta pada sekali pandang, Gavin yang acuh dan gigih tak berkutik saat disapa oleh Rona. Rona yang tampak malu dan menyembunyikan wajahnya di balik kepala yang menunduk membuat Gavin menahan senyum di pangkal bibirnya."Perkenalkan ini Rona, kakak sepupuku!" Rena menarik tangan Gavin agar dapat menyambut tangan Rona yang sedari tadi membentuk s