Share

Harapan Rona

Di tempat lain, Mateo mengangkat tangan dengan gestur putus asa sekaligus naik darah, gadis yang beberapa hari lalu ia pinang, melarikan diri bersama pria lain, amarah yang membuncah di ubun-ubun Mateo dia lepaskan dengan satu pukulan keras pada tembok rumahnya. 

"Kita batalkan saja rencana pernikahannya!" Giri membuat suasana bertambah panas dan tak menentu.

"Tentu saja, gadis itu telah mempermalukan aku," Mateo mengepal tangannya. "Bagaimanapun juga dia harus menerima ganjarannya.'' 

Bagian yang tak bisa hilang dari pandangan adalah Mateo seseorang yang berkuasa di desa itu, barang tentu akan memalukan Rona dengan sangat keji. 

Desas-desus tentang Rona yang lari bersama pria menjadi berita terhangat di desa itu, karangan cerita dari beberapa orang menjadi kisah Rona klimaks dengan konflik yang begitu mengiris hati. 

"Kamu tahu tidak? Rona sudah tak suci lagi! Dia pergi bersama pria ke Makassar kemudian menuju Jakarta. Tapi, sayang lelaki itu malah meninggalkannya karena perempuan lain," Cibiran sinis mengundang suara-suara nakal yang bernada menjengkelkan. 

"Kasihan sekali, bukannya dia sudah dilamar dengan Mateo, kudengar maharnya seratus juta." yang lain menimpali. 

"Gadis seratus juta itu sekarang tak ada harganya, malang sekali keluarga Samos yang perkasa itu"

Rona tak peduli dengan cibiran-cibiran mereka, rasa sakit hatinya beberapa hari yang lalu masih terasa sangat jelas ia rasakan dan rasa itu melumpuhkan pendengarannya.

***

Sementara itu, Gavin melongok keluar jendela, memastikan tak ada lagi perasaan yang tersisa pada Rona, namun sia-sia kepalanya terguncang saat mengingat peristiwa malam itu, perasaan bersalah telah meninggalkan Rona begitu saja tanpa ada kata perpisahan atau kata romantis yang akan menjemputnya kembali, membuat sesal yang begitu mendalam di hati Gavin. Sudah sejak tiga hari ia tak keluar, membuat cemas Sienna neneknya, wanita tua itu mengetuk pintu kamar Gavin dengan seksama, sesekali menempelkan telinga di balik pintu, untuk sekedar mendengar jawaban Ya atau tidak dari cucunya itu. 

"Apa kamu ingin makan Gavin?" Sienna berteriak dari luar kamar. 

"Tidak nek." Singkat Gavin. 

"Kau bisa sakit bila terus-terusan mengurung diri di kamar seperti itu, apa yang telah terjadi kau tak biasanya seperti itu, ini hari ketiga kau datang kesini dan kau belum juga menyapa nenek dengan baik," Sienna kembali membujuk, namun tak ada suara jawaban yang terdengar lagi dari balik pintu. 

Rasa cemas dan peduli Sienna terhadap Gavin semakin menjadi, tak berapa lama ia mendengar suara pukulan keras pada tembok rumahnya, suara itu terdengar jelas berasal dari dalam kamar yang ditempati Gavin. 

"Apa yang terjadi Gavin?" Sienna memastikan dengan memegang sebelah dadanya seolah terjadi hal yang menakutkan, "Apa kau baik-baik saja?"

"Ah iya, maaf nek aku tidak sengaja." suara samar Gavin terdengar menahan suaranya yang gemetar. 

"Katakan sesuatu, mungkin saja aku bisa membantumu." Sienna kembali menawarkan jasanya, meski terlihat seperti memohon, namun Gavin tak begitu peduli. 

"Tidak nek, aku tak apa.''

***

Sedang dirumah Rona, pada ruangan besar yang memiliki ukiran kayu menukik di setiap tiang rumah itu tampak membuat Rona semakin tercekik, perasaan benci dan kesalnya meluap-luap, dia tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Gavin padanya, lelaki itu tak memiliki hati sampai tega meninggalkannya di ruangan sempit dan dingin malam itu. 

"Kamu tak dengar cibiran tetangga ha…?" Nam datang dengan semangkuk sup hangat di tangannya, badan padatnya melewati tiang dengan lihai, seperti telah terbiasa dengan keberadaan tiang besar penyangga rumahnya itu. 

"Tidak." Rona tak berselera menjawab pertanyaan ibunya. 

"Lebih baik kamu intropeksi diri Rona, kamu sudah mempermalukan keluarga!" Nam menyendok sesuap sup porsi besar ke dalam mulutnya, terdengar suara mengecap dan ancaman yang menjengkelkan di telinga Rona, entah sejak kapan ia menderita Misophonia, tetapi kali ini suara mengecap ibunya sangat mengganggu Rona.

"Aku mau tidur." Rona berdiri meninggalkan sofa perpaduan kayu dan bantalan empuk itu dengan wajah kesal. 

"Aku belum selesai bicara!" 

Rona tak peduli, langkah kakinya mantap meninggalkan ibunya yang masih terduduk dan memakan sup di depannya, menimbulkan rasa marah yang tertahan pada tatapan tajam ibunya.

"Kamu harus banyak belajar tata krama!!" Nam berteriak, mata nya melototi pintu kamar Rona yang sudah sepenuhnya tertutup, berair dan panas sebab menahan perih. 

Rona tak benar-benar ingin tidur, ia masih mematut wajahnya di depan cermin, memikirkan hal besar yang bisa ia lakukan, ia masih pada pendirian awal, ia belum ingin menikah meski dengan Gavin pun sekarang. 

Buku-buku catatan yang berisi kemungkinan-kemungkinan pekerjaan yang dapat menerima lulusan Sekolah Menengah Atas kembali ia buka, matanya berbinar. Setidaknya masih ada harapan dibalik kegagalan yang ia alami kemarin.

''Aku akan berusaha sekarang, tak ada yang dapat menghalangi mimpiku" Rona bertekad.

***

Dirumah Sienna, Gavin membuka ranselnya, scarf yang digunakan Rona malam itu terlipat acak di atas pakaian-pakaiannya, penyesalan dan rindu yang begitu besar terhadap gadis itu, menjadikan Gavin seperti lelaki berhati lembut, ia tak segan-segan menumpahkan air matanya. Gadis itu, Rona yang akan selalu ia perjuangkan. 

Suara pintu terbuka, mengagetkan Sienna yang sedang menikmati acara TV sore kesukaannya, senyum tipis dari Gavin membuat ia sedikit bernapas lega. 

"Aku mau mandi nek, handuknya dimana?" kebiasaan buruk Gavin sejak kecil, ia tak pernah ingat membawa handuk bersih jika bepergian. 

"Ambillah di kamarku di lemari bagian atas!" Sienna menahan senyumnya, cucunya tak pernah berubah secara signifikan selain fisik dan cara bicara nya sekarang".

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status