Share

11. Pergi Tanpa Ijin Suami

Tenaga habis terkuras semalam karena marah-marah lalu bersenggama dengan Lucas, membuat aku jadi rakus saat pagi hari. Aku menyantap nasi goreng buatan suamiku dengan lahap dan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata, pria bodoh tukang selingkuh itu bisa juga masak enak.

Aku memegang gelas yang berisi susu murni hangat. Merasa takjub pria macam Lucas mau membuatkan ini untukku. Kerasukan apa dia? Takut kutinggal gara-gara ketahuan sering telepon wanita lain. Mereka sepertinya saling suka, tidak ada alasan yang masuk akal selain cinta mereka tidak direstui orang tua. Aku ingat, Lucas pernah bilang jangan bilang-bilang orang tua masalah penemuan foto wanita lain di laci.

Tapi, itu cuma dugaan dan rasa cemburu butaku loh, ya! Aku harus memastikannya lagi. 

Aku mengacak rambut dengan frustasi. Tidak menyangka, bahwa aku akan mengalami apa yang pernah teman-temanku alami. Dea temanku, menjanda diusia muda karena suaminya pergi dengan wanita lain. Aku takut hal serupa menimpaku, menjada di usia muda bagaikan aib, di mana orang-orang akan mencibir tiada henti, dan aku tak sanggup.

Kalaupun aku bertahan, palingan hanya untuk bersembunyi dibawah status nama Istrinya Lucas Pradipta Putra. Berpura-pura bahagia, karena tidak kuasa tinggal sendiri di luar. Selain itu, cinta bodoh ini kenapa tidak mau lenyap walaupun sepanjang hari aku habiskan untuk marah-marah padanya.

Aku meraih smartphone, mencari kontak bernama Alan kakakku. Semenjak menikah, aku jarang sekali komunikasi dengannya. Dia juga sangat sibuk dengan pekerjaannya. Saat mau menghubunginya, aku tanpa sengaja melihat status WhatsApp milik Alan dia akan pergi  hang out bareng Ririn sahabatnya.

"Kak, Flora boleh ikut? Flora ingin main juga." Tangan ini spontan kirim pesan, sebelum Alan sudah pergi.

"Dikasih ijin gak sama Lucas?" Alan membalas chating.

"Dia lagi kerja, nanti kalau istirahat aku akan telepon dia."

"Chat dulu dia sekarang! Pekerja kantor gak lepas dari handphone, pasti dia baca pesanmu walau gak balas juga."

"Iya, deh iya. Jemput sekarang, ya!"

"Oke kamu siap-siap!"

Aku mencuci mukaku berulang kali, hingga nyaris pedih mata ini. Bukan karena lebay. Tapi sembab di mata tidak mau hilang. Alan pasti ceramah dan memata-matai rumah tangga kami jika tahu ada yang tidak beres antara aku dan Lucas.

Bagaimanapun ini abiku. Aku akan tutup dan menanggungnya sendiri. Oh maaf, bukan sendiri. Maksudku, menanggung bersama Lucas. 

Memakai make-up agak tebal karena tidak ingin ketahuan pucat sehabis menangis. Lumayan lah, agak segar wajahku saat menatap cermin. Tinggal menunggu Alan datang. Karena saat aku melihat chat dia beberapa saat lalu, dia bilang lagi OTW.

***

"Hallo, Dek."

"Kakak gemukan sekarang," protesku dibalas dengan rangkulan dari Alan. Sebenarnya bukan rangkulan, karena lengannya setengah mencekikku.

"Kak Alan mau minum dulu?" tanyaku pada Alan yang masih berada di halaman rumah.

"Gak, nanti aja beli. Yuk, naik ke mobil."

Aku mengangguk, duduk di belakang kemudi. Karena kalau di depan, sudah ada yang menempati dia adalah Ririn,  sahabat yang selalu ada untuk Alan. Entah mengapa mereka gak jadian aja. Padahal mereka cocok.

Aku pasrah aja, mau diajak kemana pun oleh Alan. Toh, hanya numpang. Yang penting, dapat gratis makan dari Alan.

Alan mengajak ke sebuah danau di pegunungan luar kota yang ditempuh dalam waktu dua jam. Dia suka alam terbuka seperti ini, untuk keperluan fotografi di instagramnya. Sepertinya, untuk kepentingan artikel yang dia buat di blognya juga. 

Sementara itu, tidak banyak yang aku lakukan selain numpang makan dan jajan cemilan. Ririn ngajakin foto bareng dengan view yang indah, di belakang kita ada air terjun. Lalu di upload ke status WhatsApp, gitu aja, sih. Simpel banget sebenernya hal yang buat aku bahagia.

Aku sedikit merasa terhibur, hingga menyadari suatu hal, aku belum chat apalagi telepon Lucas untuk minta ijin. Aku raih handphone di dalam tas, padahal sudah lebih dari tengah hari. Baru saja, aku mau telpon dia sudah telepon duluan.

"Kamu di mana?" tanya Lucas.

"Gak ucap salam dulu, Mas?"

"Kenapa kamu bisa ke luar rumah gak minta ijin dulu sama suami? Cepat Pulang!"

"Ya, maaf namanya juga lupa. Aku pergi bareng Alan, kok bukan siapa-siapa juga 'kan?"

"Aku gak mau tahu, kamu harus pulang sekarang, Flo!"

"Gak bisa, lah. Alan motret di sini buat pekerjaan, kalau dia belum selesai mana bisa aku pulang."

"Suruh Alan pulang!"

"Gak mau. Aku ke luar sama Alan, Mas. Masa keluar sama kakak sendiri gak boleh, sih?"

"Sebenarnya boleh aja, Flo, kalau kamu dari awal minta ijin. Salah mu sendiri kenapa gak ijin dulu tadi. Cepat Pulang sekarang juga!"

Aku tutup telepon, seenaknya minta orang lain pulang, aku baru kali ini main itu pun sama Alan. Dia sendiri tidak pernah mengajakku ke mana-mana. Dia bilang aku lancang tidak minta ijin untuk main. Dia lebih lancang, diam-diam teleponan wanita lain. Lucas kembali meneleponku, tapi tidak aku angkat. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mengabaikan keinginan Lucas. 

***

Sebentar lagi Aku dan Alan pulang. Kamu memilih pergi ke Cofee Shop terlebih dahulu yang tidak jauh dari area tempat Alan memotret tadi.

Alan yang dari tadi sibuk dengan kamera tiba-tiba saja menatapku dengan tatapan aneh. Entah apa yang dia pikirkan, bisa-bisanya menatap tajam pada seorang adik yang jarang dia temui. Aku merotasi bola mata menanggapi tatapannya yang bagiku menyebalkan itu.

"Kamu ada masalah sama Lucas?" tanya Alan

"Gak ada."

"Sebenernya dari tadi mau tanya, tapi malu ada Ririn. Wajah kamu, kok sembab gitu?" Ririn saat ini, sendirian memilih oleh-oleh untuk ibunya di toko makanan khas, tidak ikut ngopi sama Alan.

"Flora, kenapa gak dijawab pertanyaan kakak? Kamu kenapa sembab? Abis nangis, ya?"

"Iya, semalam habis nonton drama Korea malam-malam sampe nangis. Udah gitu aja, bukan karena ada masalah sama Lucas kok."

"Beneran?"

Aku mengangguk. 

"Kalau ada apa-apa cerita ya, Flo! Kakak gak mau Lucas nyakitin kamu."

Aaa

"Lucas baik, kok. Kakak gak usah khawatir."

"Tadi Lucas telepon. Nanyain kita pergi ke mana aja. Minta di share location juga tempatnya. Emang kamu  lupa ngasih tahu dia atau gimana, sih? Dia sinis banget ngomongnya pas di telepon."

Aku gelagapan untuk menjawab pertanyaan Alan. Padahal, tadi sudah aku pastikan padanya bahwa aku akan segera minta ijin pada Lucas. "Em, iya, aku lupa. Maaf, Kak."

Alan menggeleng kepalanya, menyesali perbuatanku. "Jangan gitu lagi, Flo. Sekarang giliran kakak yang gak enak sama Lucas. Takut dikira ngajak kamu kelayapan."

Aku merotasi bola mata. "Sudah lah, kak. Gak usah dipikirin omongan manusia yang tidak punya toleransi kaya Lucas. Padahal cuma lupa minta ijin, tapi marah padaku seolah aku orang paling berdosa sedunia. Apa kabar dengan dosa-dosanya?"

"Jangan gitu, Flo. Itu tandanya Lucas sayang sama kamu. Peduli sama sikap kamu. Kamu harus tetap menghormati dia."

Aku termenung. Seandainya saja ucapan Alan benar, aku pasti bahagia. Apa benar Lucas bersikap demikian karena sayang padaku? Atau karena dia gila hormat, inginnya dihargai sepanjang hidup tanpa mau menghargaiku. Coba saja jika dia tidak pernah menelepon mantan. Aku pasti akan selalu patuh padanya seperti dulu, seperti saat pertama awal pernikahan, aku selalu melayaninya walau dia sangat dingin padaku.

"Lucas gila hormat dan angkuh, aku tidak percaya dia benar-benar sayang padaku."

"Kamu jauh-jauh pergi ke sini hanya untuk ngadu yang bukan-bukan sama kakakmu, Flo?"

Aku membulatkan mata, dengan perlahan menoleh ke belakang saat mendengar suara yang sangat aku kenal. Suara pria yang menjadi teman tidurku setiap hari. "Mas Lucas?"

"Aku sengaja ke sini untuk jemput kamu!" 

Lucas menatapku dengan sorot mata tajam, aku dibuat kaku hanya karena sorot matanya yang seperti itu. Sedari dulu selalu berusaha menjaga kehormatan suami sekecil apa pun. Aku keceplosan berkeluh kesah tentang Lucas. Dan Lucas malah mendengar langsung dari mulutku.

Jangan salahkan aku atas sikap ini, suruh siapa menyimpan hati pada wanita lain. Masih untung aku gak bilang pada Kak Alan tentang hal itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status