Ini tempat umum, Lucas masih saja berdiri menatapku dengan tatapan tajam dan menghakimi. Seolah aku istri yang bandel, beberapa pasang mata menatap penuh cibir pada kami. Membuat aku menjadi kaku, tidak bisa membela diri. Aku takut saat membela diri suara Lucas akan meninggi di sini. Walaupun kemungkinan kejadian seperti itu kecil, karena Lucas biasanya akan menjaga wibawa di hadapan umum. Entah jika dia sedang terlalu kesal, atau kesabarannya sedang runtuh.
"Duduk dulu, Lucas!" Alan berkata pada Lucas membuatku sedikit lega.
"Gak usah, Kak. Gak apa-apa. Kami harus langsung pulang."
"Flora bisa balik bareng gua, kok. Gua kan kakaknya."
"Gak apa-apa. Flora biar pulang sama gua aja, Kak."
"Aku tidak mau. Aku mau pulang bareng Kak Alan aja."
Alan menatap ke arahku, memberi kode lewat mata supaya aku pulang bersama Lucas. Aku tidak mau, aku malas.
"Kenapa gak mau, Flo? Ini sudah sore, nanti kita bisa kemalaman di jalan."
"Gak apa-apa, justru aku ingin lihat suasana jalan raya saat malam hari."
"Kamu ada-ada aja, apa anehnya lihat jalan raya malam hari. Aku tiap hari malas lihat jalan raya malam hari."
"Ya, itu bagimu. Tidak bagiku yang sudah menghabiskan waktu hanya di rumah saja selama setahun. Kaya jin penunggu rumah aja."
Lucas tertegun. Entah memikirkan apa. Sukur-sukur kesindir. Tiap Minggu pergi bersama teman-temannya lalu membuat weekend-ku sepi sendiri. Jangankan buah tangan. Paling-paling cuma bawa satu set pakaian kotor habis jalan.
"Ya sudah, kamu ingin menikmati malam di mana? Biar aku temani." Kata Lucas, setelah cukup lama dia melamun.
"Aku ingin melihat gemerlap lampu pusat kota dari atas bukit dekat sini. Tapi pengen bareng Alan."
"Bareng aku aja."
"Tidak mau, aku ingin sama Alan."
Alan menatap sendu ke arahku. Dia pasrah, tidak ikut campur dalam diskusi kami.
Lucas lebih mendekat, tampangnya galak sekali. Aku menyesal sudah membantahnya, apa aku akan ditampar olehnya di hadapan banyak orang? Aku memejamkan mata saat melihat tangan kekar Lucas bergerak ke arahku. Tubuhku merespon lain stelah itu, secara tak sadar tangan ini melingkar pada leher Lucas karena takut jatuh, saat tahu-tahu Lucas sudah menggendongku.
"Kami pulang dulu, Kak." Lucas berkata pada Alan.
"Ya, hati-hati, Bro. Jaga adik gua baik-baik. Mohon maaf jika dia masih kelanak-kanakan. Tolong dimaklum, ya."
Alan so tahu. Dia mana tahu kisah kami yang sebenarnya. Aku yang selalu menjaga kehormatan Luas.
Aku memendamkan wajah pada leher Lucas. Merasa malu saat menyadari tatapan orang di sekita padaku. Tatapan mereka beragam, ada yang berbinar-binar, mungkin baginya kami romantis. Namun ada pula yang memasang wajah ingin muntah, pasti dia geram dengan tingkah laku kami. Selanjutnya, aku tidak berani menatap orang-orang karena terlanjur menyembunyikan wajah di leher Lucas.
Lucas menggendongku sampai parkiran mobil. Dia menurunkan aku dengan kasar.
"Dasar manja," umpatnya
Huh, padahal saat ada Alan sikap Lucas berubah sedikit manis. Sekarang, barulah ketahuan aslinya. Lucas menaiki mobil, aku pun demikian. Saat di dalam mobil, aku lihat tangan Lucas sibuk mengetik sesuatu. Aku menggeser badan berniat mengintip, rupanya dia sedang membuka Google map. Apa dia tidak tahu arah jalan pulang? Mustahil karena dia bukan butiran debu.
"Kamu lupa jalan pulang, Mas?" tanyaku.
"Enggak. Aku lagi cari penginapan sekitar sini yang bisa lihat gemerlap lampu kota dari bukit. Bukannya katamu ingin lihat."
"Enggak, tadi aku asal bicara aja. Pulang, yuk! Kamu besok harus kerja."
"Jatah cutiku masih banyak."
"Duh, pulang aja, deh."
"Aku udah dapet tempatnya. Udah aku pastikan ada kamar kosong di penginapan itu." Lucas mulai mengemudi, setelah bicara demikian.
"Aku gak bawa baju ganti, gak usahlah ke penginapan segala."
"Kayanya tidur gak pakai baju lebih sehat. Kita bisa saling menghangatkan."
"Oh, My God. Otakmu, Mas."
"Why? Kamu istriku. Bebas, lah."
"Mending cari aja baju ganti di pusat perbelanjaan. Baju buat pulang besok gimana? Masa pulang berlibur stelan ke kantor. Bajunya bekas pakai lagi, duh."
Lucas menautkan alis. "Iya, ya. Kok, kamu kepikiran sampai situ, sih?"
"Semua istri pikirannya sama, penuh perencanaan," jawabku bangga.
Lucas tersenyum. "Oke, kita ke toko pakaian dulu."
***Berbagi malam bersama Lucas di tempat wisata adalah hal yang asing bagiku. Aku menatap gemerlap lampu dari kejauhan, dari bukit saat malam hari sesuai permintaanku. Aku harus berterimakasih pada Lucas akan hal ini.
"Flo, kamu beneran cuma ingin lihat lampu doang, gak niat melakukan hal lain. Cari makanan misalnya." Lucas berkata seperti itu sambil menyodorkan jagung bakar padaku.
"Makasih, Mas."
Dia merangkulku kemudian menarik ke dalam dekapannya dari samping. Sementara, aku sibuk makan jagung yang diberikan Lucas tadi. Udara dingin di tempat ini membuat tubuhku merespon dengan cepat apapun yang Lucas minta. Seolah, tubuhnya adalah kehangatan paling ampuh, mampu menghangatkan sampai ke hati yang selama ini sepi.
Malam hitam pekat, kilau bintang menjadi penerang terindah di sepanjang luasnya langit. Lucas berada di sampingku kini, membuat malam indah semakin sempurna karena kehadirannya. Tapi sayangnya, dia sumber rasa sakitku.
Sejenak, aku bisa melupakan sikapnya yang semena-mena, tapi semuanya sementara. Luka itu hadir kembali saat ponsel Lucas berbunyi dan memperlihatkan gambar seorang wanita melakukan panggilan. Mataku masih awas, walau dari samping aku tahu itu foto profil Amanda.
"Gak di angkat?" tanyaku.
"Biarkan saja."
"Gak apa-apa angkat aja. Terus bilang kita lagi ada di sini."
Lucas terdiam seperti patung. Kalau beneran patung sudah aku hancurkan dia menggunakan palu. Untung dia Lucas suamiku.
"Kenapa? Gak berani bilang gitu sama dia?" tanyaku, aku ingin beranjak pergi. Dan sialnya, Lucas malah mempererat pelukannya.
"Biarkan saja, dia hanya kepo soal Novelku."
"Apa dia kurang kerjaan?"
"Tolong jangan bahas dia, Ok! Kita ke kamar sekarang, aku ingin istirahat."
"Yuk!"
Kami berdua berdiri, menuju kamar kami. Lucas berbaring terlebih dahulu kemudian aku berbaring di sampingnya. Dia dengan sigap memeluk, sambil mengusap-usap perutku.
"Mas Mau?"
"Enggak. Sekarang bukan jadwalnya."
Aku tertegun, dia masih saja patuh pada jadwal dokter kandungan. Walaupun, selama satu tahun ini usaha kami belum ada hasil. Apa dia sangat ingin punya anak?
Aku jadi teringat, saat kumpul keluarga. Dia sering tersenyum saat melihat anak saudara ketika bermain. Bahkan, tidak segan untuk menggendong lalu mengajak jalan-jalan anak balita dari saudaranya tersebut. Aku tersenyum ketika ingat hal itu. Apalagi jika mengkhayal Lucas mengajak bermain anak kami kelak. Rasanya pasti luar biasa.
"Kamu kenapa tiba-tiba senyum sendiri, Flo?"
Aku menggeleng pelan. "Bukan apa-apa, kok."
"Oh."
"Mas, kamu ingin banget ya, punya anak dariku?"
"Ya iyalah, sayang. Aku ingin jadi seorang ayah. By the way, kamu masih belum mual-mual juga?"
Aku menggeleng.
"Nanti kalau ada kerasa keluhan yang aneh, langsung di tes, ya!"
"Iya."
Aku tertunduk. Sebenarnya, sejak dulu aku pun sama ingin memiliki anak. Memberi anak untuk Lucas adalah impian paling indah yang aku punya. Akan tetapi, jujur saja aku berubah pikiran. Aku takut, di saat aku mampu memberi seorang anak untuk Lucas. Amanda malah datang merebut Lucas dariku.
Banyak berita seperti itu di media. Membuatku merasa ketakutan. Takut mengalami hal serupa. Dicampakan saat hamil.
***Satu Minggu berlalu semenjak aku pergi ke luar bersama Alan. Seminggu kemarin Lucas selalu mewanti-wanti supaya aku harus ijin ke manapun. Bukan hanya itu, walaupun tidak ke luar aku wajib mengirim share location setiap jam 12 siang, sebagai bukti bahwa aku stay at home. Sudah kaya tahanan dalam kota aja, padahal hanya tidak ijin satu kali, itupun gak sengaja. Dasar Lucas, nyebelin.Ada paket masuk, rupanya buku yang waktu itu Lucas buat sudah selesai proses cetak. Aku membuka paketnya, menyimpan puluhan tumpukan buku yang masih tersegel ke meja kerja suamiku. Lalu memfoto tumpukan buku tersebut kemudian mengirimnya pada Lucas sebagai laporan. "Paket datang, nih!""Makasih sudah dirapikan, Flo.""Sama-sama, Mas. Kamu beneran pilih cover sesuai pilihanku, ya, Mas?" tanyaku lewat pesan WhatsApp, karena merasa senang sampul warna Salem yang kupilih waktu itu menjadi sampul buku Lucas."Pilihan kamu yang terbaik, sayang."Kata Lucas, sebagian lagi dibe
Aku mencari keberadaan Lucas. Aku abaikan kondisi kesehatan yang kurang baik ini demi mengetahui fakta yang sesungguhnya. Kaki sudah semakin letih berjalan, tapi tetap saja belum melihat keberadaanya di mana. Apa orang yang memberitahu Lucas ada di pantai ini berkata jujur? Jangan-jangan, aku kena prank lagi oleh nomer Gaje itu.Semakin lelah, aku pun jongkok. Pasir putih ini, membuat kaki merasa sedikit terbebani. Aku kembali berdiri setelah beberapa detik termenung, berniat akan pulang karena tidak mendapat apa pun di sini, kecuali rasa letih.Aku tidak jadi pulang, saat melihat di depanku ada pria mirip Lucas.Dari jarak beberapa meter, aku melihat seorang pria sedang menggendong wanita muda. Wanita itu, nampak bahagia berada di punggung pria. Adegan yang aku lihat mirip drama Korea stairway to heaven. Aku menghampiri mereka, karena merasa kenal dengan t-shirt yang dipakai pria itu. T-shirt yang kemarin malam baru aku strika dan di simpan di lemari pada
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku berada malam-malam di luar tanpa Lucas. Aku masih akan menjadi istri yang penurut, berkomitmen tidak akan keluar malam tanpa suami jika saja Lucas tidak berselingkuh. Sia-sia saja jika aku terus yang berjuang mempertahankan rumah tangga ini. Sialnya, aku berada di tempat ini bersama pria lain.Sebisa mungkin, aku tidak terlalu dekat dengan Dean. Walaupun niat Dean hanya murni menolongku.Aku mengunyah burgers yang dibelikan Dean dengan lahap. Beruntung, perutku bisa menerimanya. Walaupun rasa dagingnya menjadi aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, biasanya aku suka daging, dan sekarang malah memilih bagian roti dan sayurannya saja."Makan yang banyak, Flo. Bukannya katamu belum makan dari pagi."Aku hanya mengangguk sambil mengambil kentang goreng karena burgernya sudah habis. Pria di hadapanku melongo, melihat aku menandaskan makanan dengan cepat. Maklum, mencari Lucas di pantai membuatku kelel
Terbangun pukul setengah lima dini hari, saat pertama membuka mata rasanya memilukan. Ini bukan di kamarku, rasanya masih belum ikhlas walaupun aku yang memilih pergi dari Lucas. Biasanya Lucas akan mengajakku shalat berjamaah saat subuh, tapi sekarang tidak ada dia. Semua itu hanya ada di dalam khayalan saja sepertinya.Semalam, Ririn pergi ke mini market hanya untuk membeli alat tes kehamilan. Dia takut aku salah minum obat. Dia melarangku minum obat mag sebelum aku tes kehamilan.Aku tahu waktu yang paling akurat adalah pagi hari. Aku pun pergi ke kamar kecil untuk memastikan apakah ada nyawa di dalam perutku atau tidak. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, mungkin jika hasilnya positif, akan aku rahasiakan bahwa aku telah mengandung demi menghindar dari Lucas.Beberapa menit menunggu hasil, jantungku berdebar untuk melihat benda itu. Kakiku melemas, dada terasa sesak dan dihimpit kepasrahan saat kutahu hasil tesnya positif. Aku menjatuhkan diri di lant
Lucas membawaku masuk ke dalam mobilnya, aku tidak meronta karena ingat sedang hamil. Hanya bisa minta dia menurunkan secara baik-baik. "Tolong turunkan aku!""Suruh siapa tidak menurut kalau diajak pulang.""Aku lagi nunggu cemilan via kurir. Aku mau ngemil sekarang. Gak mau pergi ke mana-mana.""Kita akan beli cemilan lain di jalan."Gerak tubuhku menolak saat masuk mobil, tapi Lucas mendorongku hingga tubuh terasa sakit. Dia tidak cinta padaku, dia hanya mencintai harga dirinya. Harga dirinya pasti terusik jika istri sendiri sampai kabur. Aku melihat wajah arogan Lucas saat memaksaku masuk.Aku duduk di jok depan, berpikir hal lain. Bagaimana kalau sekalian saja ambil pakaian ganti dan beberapa uang di laci. Bukankah saat pergi aku hanya membawa baju yang menempel di badan. Aku bisa pergi kapan pun, bahkan ke tempat yang jauh jika dibekali uang."Kamu lagi mikirin apa?" tanya Lucas, dia sadar rupanya aku melamun."Gak ada. Aku hanya ingin
Setelah semua yang telah terjadi, aku malas satu kamar dengan Lucas. Aku pura-pura nonton televisi sampai larut, menunggu Lucas terpejam duluan, lalu memilih tidur di sofa sendirian. Namun kenyataannya tidak terjadi, karena Lucas malah menungguku untuk pergi ke kamar bersamanya."Kamu besok harus kerja 'kan? Sana, tidur duluan aku masih mau nonton televisi.""Acaranya sampah, tidak bermutu dan lebay lebih baik kita ke kamar karena malam ini adalah jadwal untuk berhubungan badan kita.""Aku lagi menonton realiti show, kalau aku nonton sampah saat ini dihadapanku tong sampah bukan TV.""Ya sudah terserah kamu saja, suka-suka. Tapi yang jelas, layani aku sekarang! Buka bajumu!"Aku tahu, Lucas sulit untuk ditentang keinginannya. Semakin ditentang semakin dia memaksaku, kalau tidak dia akan marah besar nantinya. Daripada cape-cape melawan, lebih baik aku pura-pura mendengkur biar dia ilfil dan menjauh. Soalnya, aku gak tahu juga hubungan badan saat hamil mu
Tadinya aku akan pergi pagi hari, akan tetapi jam sudah menunjukan pukul 1 siang. Di luar cuaca sedang terik-teriknya sedikit menyesal kenapa tidak berangkat pagi saja sesuai rencana.Aku bingung dengan hatiku, padahal sudah mau pergi. Namun masih saja teringat baju kotor Lucas yang dua hari belum dicuci, aku pun mencuci bajunya dulu, menjemur dan menunggu hingga kering. Sementara menunggu kering, aku menyetrika baju yang ada di bak strikaan. Selain itu, kupastikan tanaman sudah disiram tadi, semoga nanti setelah pergi, Lucas tidak mengabaikan mereka.Atau mungkin saja Amanda punya ide lebih bagus tentang konsep taman yang asri. Rasanya tak rela saat membayangkan ular itu menggantikanku merawat taman kecil ini. Bahkan lebih tak rela, saat membayangkan Amanda memasak untuk Lucas, semoga masakan Amanda tidak enak dan membuat Lucas keselek tiap hari sampai keracunan.Setelah semua selesai, barulah aku meraih tas yang kusiapkan dari pagi. Aku melangkah ke l
Aku masih termenung mengingat bagaimana Aku dan Lucas bisa kenal satu sama lain, dipersatukan oleh takdir yang singkat ini. Masih lekat dalam ingatan bagaimana cara dia memintaku jadi istrinya satu tahun lalu.Aku pikir, Lucas hanya basa-basi menanyakan kapan aku main lagi bertemu dengan Cherry, adiknya. Aku memang saat itu sedang jenuh sehabis ikut lomba desain grafis dan ilustrasi, membuat otak mumet ingin bercanda bersama Cherry seperti waktu dulu, maka aku pun berkunjung ke rumah Cherry lagi.Tanpa ada prasangka apa pun, tiba-tiba Lucas duduk di sampingku sambil mulutnya penuh dengan cemilan yang kubuat untuk Cherry dan mamahnya, bukan untuk Lucas, loh itu ."Kamu yang bikin?" tanya Lucas yang masih mengunyah kue pastry buatanku."Iya." Aku deg-degan, kalau tahu Lucas ikut makan, aku pasti bikin pakai bahan premium semua biar makin mantap."Enak banget.""Makasih." Aku tersipu hanya dengan satu kalimat pujian pendek."Pintar masak