Share

12. Lucas adalah Kehangatanku

Ini tempat umum, Lucas masih saja berdiri menatapku dengan tatapan tajam dan menghakimi. Seolah aku istri yang bandel, beberapa pasang mata menatap penuh cibir pada kami. Membuat aku menjadi kaku, tidak bisa membela diri. Aku takut saat membela diri suara Lucas akan meninggi di sini. Walaupun kemungkinan kejadian seperti itu kecil, karena Lucas biasanya akan menjaga wibawa di hadapan umum. Entah jika dia sedang terlalu kesal, atau kesabarannya sedang runtuh.

"Duduk dulu, Lucas!" Alan berkata pada Lucas membuatku sedikit lega.

"Gak usah, Kak. Gak apa-apa. Kami harus langsung pulang."

"Flora bisa balik bareng gua, kok. Gua kan kakaknya."

"Gak apa-apa. Flora biar pulang sama gua aja, Kak."

"Aku tidak mau. Aku mau pulang bareng Kak Alan aja."

Alan menatap ke arahku, memberi kode lewat mata supaya aku pulang bersama Lucas. Aku tidak mau, aku malas.

"Kenapa gak mau, Flo? Ini sudah sore, nanti kita bisa kemalaman di jalan."

"Gak apa-apa, justru aku ingin lihat suasana jalan raya saat malam hari."

"Kamu ada-ada aja, apa anehnya lihat jalan raya malam hari. Aku tiap hari malas lihat jalan raya malam hari."

"Ya, itu bagimu. Tidak bagiku yang sudah menghabiskan waktu hanya di rumah saja selama setahun. Kaya jin penunggu rumah aja."

Lucas tertegun. Entah memikirkan apa. Sukur-sukur kesindir. Tiap Minggu pergi bersama teman-temannya lalu membuat weekend-ku sepi sendiri. Jangankan buah tangan. Paling-paling cuma bawa satu set pakaian kotor habis jalan.

"Ya sudah, kamu ingin menikmati malam di mana? Biar aku temani." Kata Lucas, setelah cukup lama dia melamun. 

"Aku ingin melihat gemerlap lampu pusat kota dari atas bukit dekat sini. Tapi pengen bareng Alan."

"Bareng aku aja."

"Tidak mau, aku ingin sama Alan."

Alan menatap sendu ke arahku. Dia pasrah, tidak ikut campur dalam diskusi kami.

Lucas lebih mendekat, tampangnya galak sekali. Aku menyesal sudah membantahnya, apa aku akan ditampar olehnya di hadapan banyak orang? Aku memejamkan mata saat melihat tangan kekar Lucas bergerak ke arahku. Tubuhku merespon lain stelah itu, secara tak sadar tangan ini melingkar pada leher Lucas karena takut jatuh, saat tahu-tahu Lucas sudah menggendongku.

"Kami pulang dulu, Kak." Lucas berkata pada Alan.

"Ya, hati-hati, Bro. Jaga adik gua baik-baik. Mohon maaf jika dia masih kelanak-kanakan. Tolong dimaklum, ya."

Alan so tahu. Dia mana tahu kisah kami yang sebenarnya. Aku yang selalu menjaga kehormatan Luas. 

Aku memendamkan wajah pada leher Lucas. Merasa malu saat menyadari tatapan orang di sekita padaku. Tatapan mereka beragam, ada yang berbinar-binar, mungkin baginya kami romantis. Namun ada pula yang memasang wajah ingin muntah, pasti dia geram dengan tingkah laku kami. Selanjutnya, aku tidak berani menatap orang-orang karena terlanjur menyembunyikan wajah di leher Lucas.

Lucas menggendongku sampai parkiran mobil. Dia menurunkan aku dengan kasar.

"Dasar manja," umpatnya

Huh, padahal saat ada Alan sikap Lucas berubah sedikit manis. Sekarang, barulah ketahuan aslinya. Lucas menaiki mobil, aku pun demikian. Saat di dalam mobil, aku lihat tangan Lucas sibuk mengetik sesuatu. Aku menggeser badan berniat mengintip, rupanya dia sedang membuka Google map. Apa dia tidak tahu arah jalan pulang? Mustahil karena dia bukan butiran debu.

"Kamu lupa jalan pulang, Mas?" tanyaku.

"Enggak. Aku lagi cari penginapan sekitar sini yang bisa lihat gemerlap lampu kota dari bukit. Bukannya katamu ingin lihat."

"Enggak, tadi aku asal bicara aja. Pulang, yuk! Kamu besok harus kerja."

"Jatah cutiku masih banyak."

"Duh, pulang aja, deh."

"Aku udah dapet tempatnya. Udah aku pastikan ada kamar kosong di penginapan itu." Lucas mulai mengemudi, setelah bicara demikian.

"Aku gak bawa baju ganti, gak usahlah ke penginapan segala."

"Kayanya tidur gak pakai baju lebih sehat. Kita bisa saling menghangatkan."

"Oh, My God. Otakmu, Mas."

"Why? Kamu istriku. Bebas, lah."

"Mending cari aja baju ganti di pusat perbelanjaan. Baju buat pulang besok gimana? Masa pulang berlibur stelan ke kantor. Bajunya bekas pakai lagi, duh."

Lucas menautkan alis. "Iya, ya. Kok, kamu kepikiran sampai situ, sih?"

"Semua istri pikirannya sama, penuh perencanaan," jawabku bangga.

Lucas tersenyum. "Oke, kita ke toko pakaian dulu."

***

Berbagi malam bersama Lucas di tempat wisata adalah hal yang asing bagiku. Aku menatap gemerlap lampu dari kejauhan, dari bukit saat malam hari sesuai permintaanku. Aku harus berterimakasih pada Lucas akan hal ini.

"Flo, kamu beneran cuma ingin lihat lampu doang, gak niat melakukan hal lain. Cari makanan misalnya." Lucas berkata seperti itu sambil menyodorkan jagung bakar padaku.

"Makasih, Mas."

Dia merangkulku kemudian menarik ke dalam dekapannya dari samping. Sementara, aku sibuk makan jagung yang diberikan Lucas tadi. Udara dingin di tempat ini membuat tubuhku merespon dengan cepat apapun yang Lucas minta. Seolah, tubuhnya adalah kehangatan paling ampuh, mampu menghangatkan sampai ke hati yang selama ini sepi.

Malam hitam pekat, kilau bintang menjadi penerang terindah di sepanjang luasnya langit. Lucas berada di sampingku kini, membuat malam indah semakin sempurna karena kehadirannya. Tapi sayangnya, dia sumber rasa sakitku. 

Sejenak, aku bisa melupakan sikapnya yang semena-mena, tapi semuanya sementara. Luka itu hadir kembali saat ponsel Lucas berbunyi dan memperlihatkan gambar seorang wanita melakukan panggilan. Mataku masih awas, walau  dari samping aku tahu itu foto profil Amanda.

"Gak di angkat?" tanyaku.

"Biarkan saja."

"Gak apa-apa angkat aja. Terus bilang kita lagi ada di sini."

Lucas terdiam seperti patung. Kalau beneran patung sudah aku hancurkan dia menggunakan palu. Untung dia Lucas suamiku.

"Kenapa? Gak berani bilang gitu sama dia?" tanyaku, aku ingin beranjak pergi. Dan sialnya, Lucas malah mempererat pelukannya.

"Biarkan saja, dia hanya kepo soal Novelku."

"Apa dia kurang kerjaan?"

"Tolong jangan bahas dia, Ok! Kita ke kamar sekarang, aku ingin istirahat."

"Yuk!"

Kami berdua berdiri, menuju kamar kami. Lucas berbaring terlebih dahulu kemudian aku berbaring di sampingnya. Dia dengan sigap memeluk, sambil mengusap-usap perutku.

"Mas Mau?"

"Enggak. Sekarang bukan jadwalnya."

Aku tertegun, dia masih saja patuh pada jadwal dokter kandungan. Walaupun, selama satu tahun ini usaha kami belum ada hasil. Apa dia sangat ingin punya anak?

Aku jadi teringat, saat kumpul keluarga. Dia sering tersenyum saat melihat anak saudara ketika bermain. Bahkan, tidak segan untuk menggendong lalu mengajak jalan-jalan anak balita dari saudaranya tersebut. Aku tersenyum ketika ingat hal itu. Apalagi jika mengkhayal Lucas mengajak bermain anak kami kelak. Rasanya pasti luar biasa.

"Kamu kenapa tiba-tiba senyum sendiri, Flo?"

Aku menggeleng pelan. "Bukan apa-apa, kok."

"Oh."

"Mas, kamu ingin banget ya, punya anak dariku?"

"Ya iyalah, sayang. Aku ingin jadi seorang ayah. By the way, kamu masih belum mual-mual juga?"

Aku menggeleng. 

"Nanti kalau ada kerasa keluhan yang aneh, langsung di tes, ya!"

"Iya."

Aku tertunduk. Sebenarnya, sejak dulu aku pun sama ingin memiliki anak. Memberi anak untuk Lucas adalah impian paling indah yang aku punya. Akan tetapi, jujur saja aku berubah pikiran. Aku takut, di saat aku mampu memberi seorang anak untuk Lucas. Amanda malah datang merebut Lucas dariku. 

Banyak berita seperti itu di media. Membuatku merasa ketakutan. Takut mengalami hal serupa. Dicampakan saat hamil.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status