Satu Minggu berlalu semenjak aku pergi ke luar bersama Alan. Seminggu kemarin Lucas selalu mewanti-wanti supaya aku harus ijin ke manapun. Bukan hanya itu, walaupun tidak ke luar aku wajib mengirim share location setiap jam 12 siang, sebagai bukti bahwa aku stay at home. Sudah kaya tahanan dalam kota aja, padahal hanya tidak ijin satu kali, itupun gak sengaja. Dasar Lucas, nyebelin.
Ada paket masuk, rupanya buku yang waktu itu Lucas buat sudah selesai proses cetak. Aku membuka paketnya, menyimpan puluhan tumpukan buku yang masih tersegel ke meja kerja suamiku. Lalu memfoto tumpukan buku tersebut kemudian mengirimnya pada Lucas sebagai laporan. "Paket datang, nih!"
"Makasih sudah dirapikan, Flo."
"Sama-sama, Mas. Kamu beneran pilih cover sesuai pilihanku, ya, Mas?" tanyaku lewat pesan WhatsApp, karena merasa senang sampul warna Salem yang kupilih waktu itu menjadi sampul buku Lucas.
"Pilihan kamu yang terbaik, sayang."
Kata Lucas, sebagian lagi dibeli langsung dari penerbit. Berarti cukup Laris juga bukunya ini. Aku mengambil satu buku, membaca bagian belakang sampul buku tersebut. Agak baper juga sama tulisan Lucas. Dia menceritakan tokoh Livia yang hidup kesepian di kursi roda. Bahkan, pacarnya tidak tahu dia mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa Livia, sehingga pacarnya tersebut sudah terlanjur menikah dengan wanita lain. Sad Story'.
Aku tidak minat membaca buku karya Lucas yang itu, karena feeling-ku bakal sedih banget. Aku pasti lelah baca buku sedih, karena hidupku saja sudah sedih. Ngapain ngurusin kesedihan orang. Mending baca buku Lucas yang berjudul Danger Line, gara-gara tulisan Lucas yang itu, membuatku jadi ketagihan baca gendre thriller.
Ada notifikasi masuk, kubuka dan ternyata ada pesan masuk dari nomer yang pernah menerorku dengan cara mengirim foto Lucas sedang berciuman. Mending jika isinya penting, isinya hanya huruf P. Membuat aku menyesal, membuka pesan. Dulu, aku akan memblokir nomer ini tapi tidak jadi, jaga-jaga kalau Amanda mengganggu, aku ingin cari informasi lebih lanjut tentang mantan Lucas itu. Bahkan, bisa saja ini nomer Amanda yang gabut kirim fotonya sendiri saat masih bersama suamiku dulu.
"Kamu Amanda bukan, sih?" Aku coba kirim pesan.
"Bukan, saya seseorang yang peduli sama kamu. Cuma mau kasih tahu, suamimu beberapa kali menemui Amanda."
"Aku udah tahu. Dan maaf, kalau kamu niat bantu jangan kasih info setengah-setengah. Nanti jatuhnya kamu fitnah Lucas."
"Saya janji, kalau Amanda dan Lucas bertemu lagi. Bakal kirim update lokasinya sama kamu."
"Ya udah, terserah kamu aja, lah."
Aku sebenarnya sangat penasaran, tapi tidak aku perlihatkan. Berpura-pura masa bodoh dan memiliki hati yang kuat, walau sebenarnya hatiku sudah remuk dari kemarin-kemarin. Aku khawatir dia benar-benar Amanda, pasti dia menertawakan aku, dengan kebodohanku bertahan dengan pria yang tidak menaruh hati.
Oh iya, aku sudah melihat foto profil WhatsApp milik Amanda di smartphone milik Lucas. Wajahnya blasteran, dengan tatanan rambut kekinian dan style fashionable. Tidak sulit baginya mendapatkan pria single. Namun sayangnya, dia memilih merendahkan derajat dengan mendekati Lucas.
***Setelah shalat subuh, aku meringkuk kembali di kasur, lelah menerpa sehingga aku ingin berlama-lama tiduran. Padahal aktifitas kemarin tidak banyak. Namun, energiku seolah terkuras seluruhnya. Beruntung, hari ini Lucas libur, aku tidak harus cepat-cepat pergi ke dapur.
Aku melihat Lucas berada di sampingku. Tapi bukan menghadap ke arahku, melainkan sedang merapikan perlengkapan, seolah dia akan pergi pagi hari.
"Aku belum buat sarapan, Mas."
"Gak apa-apa, aku bisa beli di luar."
Aku bangkit dari kasur, mendekat ke arahnya walau pun tubuh terasa letih. "Aku gak enak badan. Malas ngapa-ngapain. Boleh gak bikinin nasi goreng dulu, bentar?"
Lucas mengecup puncak kepalaku. "Sorry, mungkin lain kali. Temenku udah nungguin, nih. Kita ada janji pagi-pagi."
Aku menggigit bibir bawah, entah mengapa pagi ini aku manja sekali padanya. Aku bersandar di bahunya, memeluk tubuhnya supaya dia tidak bisa kemana-mana. "Temani beli makan, yuk!"
"Flo, kamu bisa delivery order dulu sarapan kalau lagi malas masak dan malas beli makanan di luar. Atau aku pesankan bentar, ya!"
Lucas membuka aplikasi Go Mamam, aku melihatnya dari samping. Kemudian, dia menyuruhku memilih menu sarapan. Aku klik salah satu yang aku mau, beserta cemilan lain.
"Aku pergi sekarang, Sorry!" Lucas melirik jam di dinding. Sepertinya dia benar-benar ada janji. Kemudian, dia mengecup kepalaku kembali. "Hati-hati di rumah, jangan kelayapan."
"Iya, iya. Gak akan, kok."
Lucas pergi. Sementara aku menunggu pesanan makanan sambil tiduran di sofa. Tanganku bergerak memainkan smartphone. Pekerjaan rumah menumpuk, tapi aku abaikan. Selang beberapa menit, sarapanku datang. Aku membuka bungkusan bubur ayam spesial tersebut. Akan tetapi, mendadak aku hilang selera karena aromanya yang tidak aku sukai. Aku hanya mengaduk, dan lama-lama dimakan juga hanya karena takut mubazir.
Sepertinya aku harus berobat. Ada yang salah dengan lidahku dan juga tubuhku.
Aku menyisir rambut, berdandan secukupnya, memilih pakaian yang nyaman dan tertutup. Tak lupa, aku mengirim pesan pada Lucas. "Aku ijin mau berobat ke klinik. Aku yakin pekerjaan rumah bakalan terbengkalai kalau gak segera berobat."
"Ya, jangan naik motor. Pesen grab aja, ya, sayang!"
"Oke."
Ada kendaraan motor di rumah, khusus digunakan kalau pergi jarak dekat atau belanja ke mini market. Lucas menyuruhku naik grab karena kliniknya memalui jalan raya utama. Mungkin, dia khawatir jika aku jalan sendiri pakai motor. Aku menyetujui sarannya.
Belum sempat aku pesan grab. Akan tetapi, perutku bergejolak. Aku ingin mengeluarkan isi di dalam perut. Aku segera berlari ke kamar mandi, karena rasa mual sudah naik ke tenggorokan. Aku ingin muntah, tapi perut masih dalam keadaan kosong sehingga hanya air yang keluar. Melihat wajah diri sendiri pucat saat menatap kaca depan Wastafel, membuatku menaruh kedua tangan di atas pipi. Menguatkan diri, bahwa aku baik-baik saja.
Aku berlari ke kamar dan kembali meringkuk, tidak jadi pergi ke mana-mana karena malas.
***"Cepat pulang! Aku gak ingin sendiri di rumah. Anterin berobat dulu, dong! Aku tadi pagi gak jadi ke klinik. Malas."
Pesan itu kukirim jam 15.30. Lucas tidak menjawabnya walau sudah satu jam berlalu karena ceklis satu dari tadi. Aku kesal padanya, aku tahu dia senang menghabiskan waktu di luar. Namun, saat aku gak enak badan kaya gini, harusnya dia pulang lebih awal.
Ada notifikasi masuk. Aku terlanjur girang duluan. Tadinya kupikir Lucas menghubungi ternyata nomer yang kuberi nama Gaje itu mengirim chat.
"Flora, sesuai janjiku. Aku kirim lokasi suamimu. Dia menemui Amanda lagi hari ini. Kamu bisa cek sendiri, tapi jangan bar-bar, ya! Jika kamu mau labrak mereka."
Teks selanjutnya, ada link di mana kontak tersebut mengirim lokasi sebuah pantai yang bisa ditempuh dalam waktu 45 menit jika tidak macet.
Ada-ada aja Lucas, aku lagi sakit gini malah nambah-nambah penyakit. Kakiku gemetar, dadaku berdegup kencang hanya karena membaca pesan tersebut. Tadinya, aku masih positif thinking bahwa kontak Gaje hanya menerorku saja. Tapi nyatanya, dia kirim lokasi di mana Lucas berada.
Aku tidak ingin perasaan ini digantung lagi. Ini adalah kesempatanku untuk tahu segalanya. Bukan lewat prasangkaku saja. Walaupun kaki lemas hanya sekadar untuk melangkah, aku paksakan pergi juga.
Aku juga begitu penasaran, ingin lihat langsung tampang wanita yang dicintai Lucas. Apa reaksi dia saat melihat aku datang. Apakah so manis seperti di telepon?
***Aku mencari keberadaan Lucas. Aku abaikan kondisi kesehatan yang kurang baik ini demi mengetahui fakta yang sesungguhnya. Kaki sudah semakin letih berjalan, tapi tetap saja belum melihat keberadaanya di mana. Apa orang yang memberitahu Lucas ada di pantai ini berkata jujur? Jangan-jangan, aku kena prank lagi oleh nomer Gaje itu.Semakin lelah, aku pun jongkok. Pasir putih ini, membuat kaki merasa sedikit terbebani. Aku kembali berdiri setelah beberapa detik termenung, berniat akan pulang karena tidak mendapat apa pun di sini, kecuali rasa letih.Aku tidak jadi pulang, saat melihat di depanku ada pria mirip Lucas.Dari jarak beberapa meter, aku melihat seorang pria sedang menggendong wanita muda. Wanita itu, nampak bahagia berada di punggung pria. Adegan yang aku lihat mirip drama Korea stairway to heaven. Aku menghampiri mereka, karena merasa kenal dengan t-shirt yang dipakai pria itu. T-shirt yang kemarin malam baru aku strika dan di simpan di lemari pada
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku berada malam-malam di luar tanpa Lucas. Aku masih akan menjadi istri yang penurut, berkomitmen tidak akan keluar malam tanpa suami jika saja Lucas tidak berselingkuh. Sia-sia saja jika aku terus yang berjuang mempertahankan rumah tangga ini. Sialnya, aku berada di tempat ini bersama pria lain.Sebisa mungkin, aku tidak terlalu dekat dengan Dean. Walaupun niat Dean hanya murni menolongku.Aku mengunyah burgers yang dibelikan Dean dengan lahap. Beruntung, perutku bisa menerimanya. Walaupun rasa dagingnya menjadi aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, biasanya aku suka daging, dan sekarang malah memilih bagian roti dan sayurannya saja."Makan yang banyak, Flo. Bukannya katamu belum makan dari pagi."Aku hanya mengangguk sambil mengambil kentang goreng karena burgernya sudah habis. Pria di hadapanku melongo, melihat aku menandaskan makanan dengan cepat. Maklum, mencari Lucas di pantai membuatku kelel
Terbangun pukul setengah lima dini hari, saat pertama membuka mata rasanya memilukan. Ini bukan di kamarku, rasanya masih belum ikhlas walaupun aku yang memilih pergi dari Lucas. Biasanya Lucas akan mengajakku shalat berjamaah saat subuh, tapi sekarang tidak ada dia. Semua itu hanya ada di dalam khayalan saja sepertinya.Semalam, Ririn pergi ke mini market hanya untuk membeli alat tes kehamilan. Dia takut aku salah minum obat. Dia melarangku minum obat mag sebelum aku tes kehamilan.Aku tahu waktu yang paling akurat adalah pagi hari. Aku pun pergi ke kamar kecil untuk memastikan apakah ada nyawa di dalam perutku atau tidak. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, mungkin jika hasilnya positif, akan aku rahasiakan bahwa aku telah mengandung demi menghindar dari Lucas.Beberapa menit menunggu hasil, jantungku berdebar untuk melihat benda itu. Kakiku melemas, dada terasa sesak dan dihimpit kepasrahan saat kutahu hasil tesnya positif. Aku menjatuhkan diri di lant
Lucas membawaku masuk ke dalam mobilnya, aku tidak meronta karena ingat sedang hamil. Hanya bisa minta dia menurunkan secara baik-baik. "Tolong turunkan aku!""Suruh siapa tidak menurut kalau diajak pulang.""Aku lagi nunggu cemilan via kurir. Aku mau ngemil sekarang. Gak mau pergi ke mana-mana.""Kita akan beli cemilan lain di jalan."Gerak tubuhku menolak saat masuk mobil, tapi Lucas mendorongku hingga tubuh terasa sakit. Dia tidak cinta padaku, dia hanya mencintai harga dirinya. Harga dirinya pasti terusik jika istri sendiri sampai kabur. Aku melihat wajah arogan Lucas saat memaksaku masuk.Aku duduk di jok depan, berpikir hal lain. Bagaimana kalau sekalian saja ambil pakaian ganti dan beberapa uang di laci. Bukankah saat pergi aku hanya membawa baju yang menempel di badan. Aku bisa pergi kapan pun, bahkan ke tempat yang jauh jika dibekali uang."Kamu lagi mikirin apa?" tanya Lucas, dia sadar rupanya aku melamun."Gak ada. Aku hanya ingin
Setelah semua yang telah terjadi, aku malas satu kamar dengan Lucas. Aku pura-pura nonton televisi sampai larut, menunggu Lucas terpejam duluan, lalu memilih tidur di sofa sendirian. Namun kenyataannya tidak terjadi, karena Lucas malah menungguku untuk pergi ke kamar bersamanya."Kamu besok harus kerja 'kan? Sana, tidur duluan aku masih mau nonton televisi.""Acaranya sampah, tidak bermutu dan lebay lebih baik kita ke kamar karena malam ini adalah jadwal untuk berhubungan badan kita.""Aku lagi menonton realiti show, kalau aku nonton sampah saat ini dihadapanku tong sampah bukan TV.""Ya sudah terserah kamu saja, suka-suka. Tapi yang jelas, layani aku sekarang! Buka bajumu!"Aku tahu, Lucas sulit untuk ditentang keinginannya. Semakin ditentang semakin dia memaksaku, kalau tidak dia akan marah besar nantinya. Daripada cape-cape melawan, lebih baik aku pura-pura mendengkur biar dia ilfil dan menjauh. Soalnya, aku gak tahu juga hubungan badan saat hamil mu
Tadinya aku akan pergi pagi hari, akan tetapi jam sudah menunjukan pukul 1 siang. Di luar cuaca sedang terik-teriknya sedikit menyesal kenapa tidak berangkat pagi saja sesuai rencana.Aku bingung dengan hatiku, padahal sudah mau pergi. Namun masih saja teringat baju kotor Lucas yang dua hari belum dicuci, aku pun mencuci bajunya dulu, menjemur dan menunggu hingga kering. Sementara menunggu kering, aku menyetrika baju yang ada di bak strikaan. Selain itu, kupastikan tanaman sudah disiram tadi, semoga nanti setelah pergi, Lucas tidak mengabaikan mereka.Atau mungkin saja Amanda punya ide lebih bagus tentang konsep taman yang asri. Rasanya tak rela saat membayangkan ular itu menggantikanku merawat taman kecil ini. Bahkan lebih tak rela, saat membayangkan Amanda memasak untuk Lucas, semoga masakan Amanda tidak enak dan membuat Lucas keselek tiap hari sampai keracunan.Setelah semua selesai, barulah aku meraih tas yang kusiapkan dari pagi. Aku melangkah ke l
Aku masih termenung mengingat bagaimana Aku dan Lucas bisa kenal satu sama lain, dipersatukan oleh takdir yang singkat ini. Masih lekat dalam ingatan bagaimana cara dia memintaku jadi istrinya satu tahun lalu.Aku pikir, Lucas hanya basa-basi menanyakan kapan aku main lagi bertemu dengan Cherry, adiknya. Aku memang saat itu sedang jenuh sehabis ikut lomba desain grafis dan ilustrasi, membuat otak mumet ingin bercanda bersama Cherry seperti waktu dulu, maka aku pun berkunjung ke rumah Cherry lagi.Tanpa ada prasangka apa pun, tiba-tiba Lucas duduk di sampingku sambil mulutnya penuh dengan cemilan yang kubuat untuk Cherry dan mamahnya, bukan untuk Lucas, loh itu ."Kamu yang bikin?" tanya Lucas yang masih mengunyah kue pastry buatanku."Iya." Aku deg-degan, kalau tahu Lucas ikut makan, aku pasti bikin pakai bahan premium semua biar makin mantap."Enak banget.""Makasih." Aku tersipu hanya dengan satu kalimat pujian pendek."Pintar masak
Sudah tiga bulan aku tinggal di kontrakan ini sendirian, Ririn terkadang menginap jika dia tidak sibuk. Usia kandunganku pun sudah menginjak 5 bulan. Perut ini mulai membesar tapi wajah makin tirus, mungkin karena banyak pikiran. Aku sudah berusaha menstabilkan hati, demi buah hati. Namun ternyata, pura-pura bahagia itu sulit. Kita bisa saja tersenyum di depan dunia tapi hati siapa yang tahu.Aku pergi ke mini market sore hari, membeli satu box coklat seduh dan teh celup. Selain itu, aku juga membeli susu Ibu hamil untuk nutrisi buah hati. Aku melirik ke arah samping, ada pria tegap tampan tapi jomblo sedang berbelanja juga. Aku memalingkan wajah, sebisa mungkin menghindar. Kenapa juga dia belanja di sini. Perasaan kontrakanku jauh dengan jangkauan keluarga dan teman."Flora? Flora tunggu! Kamu Flora 'kan?" Dean mengikuti dan menegurku, aku tidak kuasa membalikan badan."Aku tahu kamu Flora dari pakaianmu." Dean memberi jarak, dia menungguku mengaku duluan.