Ruang gerakku semakin hari semakin sempit, kaki terasa berat untuk sekadar melangkah. Saat berbaring pun semakin tidak nyaman, sudah mencoba berbaring ke kiri dan ke kanan rasanya pegal di panggul tidak juga hilang. Aku beranjak dari kasur, mencoba berjalan kaki ke depan kontrakan supaya otot tidak kaku.
Di depan kontrakan seorang wanita muda mondar-mandir meneliti tempat tinggalku. Rautnya tidak ramah sama sekali, aku menghampiri ingin mengetahui siapa dia. Setelah kuingat-ingat lagi, aku tahu orang itu dia Serly teman sekelasku. Kami tidak akrab sejak dulu, kenapa dia bisa ada di sini?
"Kamu Serly, kan?" tanyaku memberanikan diri.
Serly mengibas rambutnya, kegerahan. "Iya."
Serly masuk ke pekarangan kontrakanku seolah mencari sesuatu atau mungkin mencari seseorang.
"Kamu ada di sini cari siapa? Cari aku bukan? Mau masuk dulu? Akan aku buatkan minum."
Serly merotasi bola mata, lalu membuang muka padaku. Menjengkelkan, memangnya apa salahku.
Hallo pembaca, jangan lupa kasih ulasan ya 💞💞💞💞💞
Aku sedang membuat masakan di dapur. Jarang-jarang aku masak, karena kali ini ada tamu yang tidak diundang, pria yang menyebalkan dan selalu aku hindari. Lebih menyebalkan lagi saat dia memaksaku menghidangkan sup ayam untuknya. Aku terpaksa menuruti maunya karena dia terlalu berisik, minta berkali-kali seperti anak kecil. Padahal sudah jadi mantan.Sekarang ini dia masih terlelap di kamarku. Dia kecapean setelah aku setuju melakukan induksi alami yang disarankan oleh dokter. Tapi otakku tidak ingin mengingat kejadian tadi. Aku malu setengah mati, seakan-akan menjilat ludah sendiri karena sudah menolak hingga memaki, tapi ujung-ujungnya setuju juga.Tapi sungguh, aku melakukan hubungan pasutri karena ingin lancar dalam persalinan, selain karena saran dari dokter, aku terpengaruh oleh artikel yang sempat kubaca juga. Sebenarnya saat hamil tua seperti ini, boro-boro ingin hal semacam itu, malas rasanya. Badan pegal semua aku malah ingin menangis saat melakukannya w
Tengah malam, mata enggan terpejam karena sibuk mengatur posisi yang nyaman, tapi separuh kenyamanan itu sudah habis. Hanya bisa pasrah dalam gelisah, ingin ada seseorang yang memijat bahukku atau mengambilkan segelas air hangat di tengah malam yang terjaga, tapi nyatanya aku hidup di sini seorang diri. Aku bangun lagi, kembali berjalan menuju toilet yang entah berapa kali bolak-balik karena semakin sering ingin buang air kecil.Beberapa hari ini kondisiku seperti itu, namun belum ada tanda mulas sama sekali. Aku tidak pernah menjauhkan handphone dan juga tidak lupa mencharger-nya. Aku usahakan baterai selalu terisi penuh, karena sewaktu-waktu harus menghubungi Alan jika sudah mulai ada tanda-tanda akan melahirkan.HPL satu Minggu lagi, tapi tidak menjamin waktunya akan mundur atau maju. Aku hanya bisa berwaspada.Sementara pria itu, Lucas. Dia tidak ke sini lagi, mungkin sudah lelah menggangguku atau mungkin urusan kita sudah tidak ada lagi. Dia sudah menitipkan p
Rasa sakit di badan sirna saat mendengar suara tangisan bayi yang baru saja aku lahiran. Aku terisak dalam tangis bahagia, sementara Alan yang sedari tadi menemani di sampingku mengelus rambutku halus, dia tersenyum ikut bahagia.Tangisnya kencang, setelah bayiku dimandikan dan rapi, Alan mengazaninya. Aku melirik ke arah bayiku, walau dalam posisi agak jauh jelas terlihat dia memiliki hidung ayahnya. Aku seakan melihat potret Lucas saat bayi ketika bayi itu berada di sampingku. Aku pun pelan-pelan memegang hidungnya gemas.Baiklah, aku kena jahitan, tidak masalah! Sakit yang kualami belum juga usai tapi setidaknya hati sudah lega jikalau buah hati sudah dapat kusentuh secara langsung. Rasa khawatir yang mendera lenyap dan yang kurasakan adalah bahagia."Kamu sudah siapkan nama, Flo?" tanya Alan saat aku sedang berbaring setelah semua rangkaian pengobatan kujalani."Sudah. Masalah nama aku menyerahkan sepenuhnya pada ayahnya. Dia lebih berhak, kak."
Renata lapar di tengah malam, dia menangis minta susu. Aku beranjak dari tempat tidur, dan saat aku duduk Lucas memberikan Renata ke tanganku. Pria itu belum juga pulang rupanya. Aku risih, saat memberi ASI Lucas menatap wajahku lekat-lekat. Untuk apa dia menatapku? Apa hanya untuk menyaksikan seberapa payahnya aku tanpanya. Kurang puas kah dia membuatku seperti ini.Aku tidur di ruang tengah bersama ibu dan Cherry. Hadirnya Lucas di sini malah membuat ruangan makin pengap, karena kontrakan ini tidak luas."Kamu bisa tidur di kamar bareng Alan, di ruang ini semua perempuan," ucapku pada Lucas tanpa menatap wajahnya."Aku ingin berjaga di sini untuk kalian.""Kamu ada di ruangan ini malah bikin suhu ruangan jadi panas, tahu gak?""Di sini panas gara-gara tidak dipasang AC, bukan karena aku ada di sini. Lagipula jika aku temui Alan, aku khawatir Alan mengusirku."Aku tidak menanggapi Lucas, bisa habis waktu istirahatku jika menanggapi orang yang tid
Aku menyisir rambut warna coklat milik Renata. Lalu menguncir rambut tersebut dengan pita warna merah muda kesukaannya. Dia kini sudah berusia empat tahun, berarti sudah sekitar empat tahun pula aku berpisah dengan Lucas.Setelah aku pulih, dan bisa beraktivitas secara mandiri. Aku memilih lebih menjauh lagi dari Lucas supaya bisa fokus membesarkan Renata. Tapi kami punya kesepakatan, setiap hari-hari tertentu akan membawa Renata mengunjungi ayahnya. Yaitu saat hari raya idul Fitri, hari ulang tahun Renata dan hari ulang tahun Lucas.Renata sekurang-kurangnya akan bertemu dengan ayahnya tiga kali dalam satu tahun. Bisa lebih dari tiga kali, contohnya waktu itu saat Lucas sakit, Lucas meminta Renata untuk datang sebagai penghibur hati, katanya.Renata berlari ke sana ke mari saat dirinya sudah merasa cantik hanya karena aku menata rambutnya lebih indah. Dia paling suka pakai gaun warna merah muda seperti sekarang ini jika main di taman. Terkadang, dia akan mem
Lucas menatapku dengan lekat. Entah lah, mungkin dia memberi kode agar aku ikut atau pergi bersamanya, atau ada hal lain yang dia pikirkan. Nafas yang berembus dengan berat, mengartikan bahwa hatinya tidak sedang baik-baik saja. Namun tidak ada satu patah kata pun terucap darinya, membuat jiwaku tidak mempunyai jawaban pasti atas reaksi yang samar-samar dari Lucas. Dia begitu penuh misteri, bahkan setelah berpisah pun aku bisa merasakan bahwa dia memiliki banyak rahasia. Begitu pun dengan aku, lidah terasa kaku meski sekadar bertanya hal apa yang menggangu benaknya selama ini. Lucas kini menatap Renata. "Renata, ibumu pasti ada alasan kenapa dia tidak bisa ikut bersama kita. Dia mungkin sedang sibuk. Kita bisa jalan-jalan bersama bertiga lain kali. Sekarang, kamu pergi berdua dulu sama ayah, Oke?" Renata tidak menjawab, bibirnya bergerak-gerak, dia sering melakukannya jika akan menangis, atau menahan tangis. Renata yang masih balita memeluk kaki Lucas d
Dari kejauhan, aku memantau anakku yang sedang bermain dengan ayahnya setelah acara ulang tahun selesai. Aku menyendok salad buah di tanganku sambil melihat ada gelak tawa antara ayah dan anak yang tidak bisa kudengar karena jarak membatasi pendengaran. Namun aku mampu merasakannya, bahwa saat ini Renata sedang bahagia.Aku melirik arloji, sudah cukup sampai di sini bermain bersamanya. Karena aku tidak ingin ambil resiko kemalaman di jalan. Bisa-bisa, itu dijadikan alasan Lucas untuk mengajak kami menginap di hotel. Pria itu bilang tidak akan berbuat tidak senonoh, mana aku percaya pada seorang pria plin plan seperti dia.Aku menghampiri Lucas dan Renata, dengan terpaksa semua keseruan harus berakhir sore ini dan kami akan menjalani hidup masing-masing seperti biasa, sepulangnya dari tempat ini."Lucas, Renata, ayo kita pulang sekarang! Kalian sudah cukup lama menikmati hari dan harus beristirahat."Renata murung, dia tahu akan menunggu lama lagi un
Aku ketiduran sepulang dari rumah mamahnya Lucas, dan menatap jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Tanganku meraba-raba sekitar karena seingatku aku sedang berbalas pesan dengan supplier bahan baku pembuatan pastry untuk keperluan di Cofee Shop. Tapi nyatanya tidak ketemu walaupun aku sudah berjongkok takut hapeku terjatuh, dan hasilnya nihil hapenya tidak ketemu.Ah, bukan hanya handphone, rupanya Renata yang tadi rebahan di sisiku juga tidak ada. Aku tersenyum sendiri karena tidak ada kemungkinan lain selain handphone-ku diambil Renata.Aku melangkah menuju ruang keluarga, mengedarkan pandangan mencarinya. Ada rambut cokelat yang timbul dibalik sofa dekat jendela. Saat aku hampiri dia sedang duduk di lantai seolah sedang bersembunyi dibalik sofa tersebut. Namun suaranya yang cempreng dan bawel malah membuat persembunyiannya gagal total.Dia tertawa terbahak sambil menatap layar handphone di mana ada wajah ayahnya di situ. Entah apa yang mereka bica