Detak jantung berdegup kencang saat melihat ayahnya Lucas. Aku tidak menyangka akan bertemu dia di sini, karena setahuku dia jarang berada di rumah kalau siang. Tenggorokan seakan tersekat sesuatu, aku tak bisa mengeluarkan suara saat dia menyapaku. Bayangan dia pernah menghinaku saat berbalas pesan dengan Lucas, membuatku terpukul dan tak ingin melihat dirinya lagi.
Dia menyuruh Lucas menceraikan aku, dan menghinaku wanita miskin. Aku tidak terima karena aku masih punya cukup uang untuk dijejalkan ke dalam mulutnya. Sayangnya, aku masih tahu sopan santun.
"Aku mau bertemu mamah, dia memintaku membuat makanan untuknya," ucapku setelah mengumpulkan keberanian terlebih dahulu.
"Dia ada di dalam," kata Marco dengan suara datar.
Aku jarang berinteraksi dengannya, ternyata dari dekat dia lebih menyeramkan. Dan lagi, ada bekas luka yang dalam di lengannya, aku kurang memperhatikannya. Itu seperti luka bekas kecelakaan.
"Kamu lihatin apa? Kenapa kamu begitu ti
"Lucas, aku harus pulang sama Renata.""Renata aman sama tantenya. Dia Tante yang baik. Lagipula jarang sekali mereka main bareng. Kasih lah mereka waktu lebih lama. 'Kan gak setiap hari ini. Kamu jadi Ibu jangan terlalu kejam 'lah. Masa main sama saudara sendiri dibatasi." Lucas berkata demikian sambil menarik tanganku ke arah parkiran."Aku tidak mau masuk." Aku berdiri mematung saat Lucas membuka pintu mobil."Kenapa tidak mau? Ayo cepat masuk, sebelum aku berubah pikiran. Aku hanya ingin memberimu hadiah, kok.""Hadiah? Justru kedengarannya aneh tiba-tiba kamu ingin beri aku hadiah. Jangan-jangan setelah kasih aku mobil kamu suruh aku yang macam-macam?"Lucas tersenyum. "Macam-macam kaya gimana? Ngajak kamu ke karauke? Gak mungkin lah, aku tahu suara kamu buruk."Aku mengepalkan tangan dengan kuat. "Kamu tahu? Rasanya aku ingin sekali menjambak rambutmu hingga rontok semua."Menyebalkan, Lucas malah tertawa. Dia mendekatkan
Aku tertegun dengan apa yang Lucas ucapkan, sesaat ada rasa bahagia dan terharu menyelimuti hati. Namun aku abaikan semua perhatian dari Lucas karena mengingat sudah tidak ada hak lagi bagiku. Semua yang dia lakukan memang indah tapi tidak berarti apa-apa, yang ada hanya akan membuat luka baru.Aku tahu rasanya sakit hati seperti apa? Mana mungkin aku begitu bodoh mengulangi rasa sakit yang sama dengan orang yang sama. Sekarang dia bisa so perhatian padaku. Padahal, saat jadi suamiku dia sangat cuek menjadikan aku pajangan rumah yang bertugas memasak dan mengurus taman saja.Lucas kelihatanya kecewa akan responku. Tidak mengapa. Ingin sekali saja aku membuat dia menyesal atas perbuatannya di masa lalu."Kamu tidak suka semua ini Flora?""Suka, sih. Tapi coba kamu pikir! Untuk apa semua ini kamu lakukan? Untuk membuat luka baru, setelah puas melukai aku? Aku sudah berdamai dengan hatiku, menerima kehadiranmu hanya sebatas ayah dari Renata yang mungki
"Aku sangat sebal, Kak. Aku sudah berdoa seharian supaya bisa melihat wajah jodohku di mimpi. Aku berharap yang muncul wajah Andrean kenapa malah wajah Lucas yang muncul?" Aku berkeluh kesah pada Alan yang sedang berkunjung ke rumahku.Alan menaruh gelas di bibir. Dia tidak jadi minum teh hangat yang kusuguhkan hanya untuk melepas tawa. Tehnya dia simpan kembali di meja. Duh, aku menjadi merasa bersalah pada Alan baru saja mau minum gagal gara-gara aku ajak curhat. Terlanjur tidak jadi minum, aku pun lanjut bercerita."Mana di mimpi itu dia lagi masak nasi goreng untuk Renata, lagi. Aku kesal ayam di kulkas habis hanya untuk campuran nasi goreng dia, dasar serakah, pemborosan bahan. Untung cuma mimpi."Alan menggaruk kulit kepala yang tidak gatal. "Bahkan di dalam mimpi pun kalian masih bertengkar. Ajaib!""Entahlah, aku tidak ingin melihat wajahnya sama sekali, namun sulit karena dia ayah dari Renata. Bahkan foto profil WA-nya selalu ada di urutan paling ata
Tak terasa sudah larut malam, hati berdecak gelisah menunggu Andrean menghubungi, menunggu pernyataan cinta darinya tapi tidak ada. Aku masih duduk di kasur dengan harapan terlalu jauh, sambil ditemani Renata yang sudah terbuai di alam mimpi.Benar kata Alan, Andrean sangat santai dan tanpa beban. Jiwanya mengalir bagai air tapi alirannya seret tidak deras, jika ditimpa kemarau akhirnya kering juga. Aku menurunkan ego, yang tadinya menunggu menjadi maju duluan. Mungkin, aku bisa mengawali kisah kami dengan mengajaknya menengok neneknya Renata.Aku mengirim pesan. "Selamat malam, Dean. Besok kamu ada waktu? Aku mau mengajakmu nengok neneknya Flora, Tante Lusi.""Malam, Flora. Kebetulan besok aku ke luar kota, gimana kalau lusa kita nengoknya?""Oh gitu, tapi biasanya Tante Lusi suka ngomel kalau aku gak segera datang menemuinya. Kalau aku pergi aja besok tanpamu, gak apa-apa 'kan?""Iya, gak apa-apa. Lusanya kamu bisa datang lagi denganku."
Aku masih duduk sembari menahan sakit akibat ditarik paksa oleh Marco, di dalam hati menahan segala rasa takut. Otakku berkelana liar memikirkan kemungkinan yang terburuk. Saat tangan Marco mencengkram kuat pipiku hingga perih, air mataku pun jatuh. Kedua matanya melotot mengerikan, bagaikan mata setan. Jika aku punya kekuatan ingin sekali mencolok sepasang iris warna Hazel itu. "Jangan harap kamu bisa pergi dari sini sebelum bersumpah tidak akan mengatakan apa pun pada Lucas." Marco mengancam kembali. "Aku ke sini untuk mencari Cherry. Aku gak dapat keuntungan apa pun jika menceritakan yang barusan aku lihat, Pak. Urusan Lucas bukan urusanku, mana aku peduli sama dia." Aku meyakinkan Marco. Namun aku tidak berani bersumpah apa pun. Walaupun memang aku tidak peduli pada Lucas tapi aku sayang sama Mamah Lusi. Yang lebih penting saat ini, aku hanya ingin pergi dari tempat ini. Aku berkata kembali, agar Marco percaya. "Lucas sudah mencampakkan aku. Aku t
"Maaf, Mah. Mungkin aku lancang bertanya seperti ini. Sejak kapan Amanda dan papah memiliki hubungan? Apa karena terlalu sering mengurus Amanda hingga mereka kebablasan." Mamah menggeleng. "Sudah lama, semenjak Amanda dan Lucas masih pacaran. Sebelum putus Amanda sering berselisih paham dengan Lucas. Sejak saat itu Amanda sering mengadu pada papah Lucas. Dan entah mengapa mamah merasa mereka jadi dekat." "Mamah tahu dari mana? Apa ada yang laporan?" "Ada. Kalau bukan teman Lucas yang laporan, mamah juga hanya anggap Amanda cuma cari perhatian saja pada Marco." "Teman Lucas?" "Iya, teman dekat. Kamu juga kenal 'lah. Jadi menurut kesaksian dia, Amanda kecelakaan karena mengendarai kendaraan saat mabuk." Lidahku terkunci tak tega untuk menanggapi takut salah bicara. Sementara, perkataan mamah pun juga menggantung di udara. Dia nampak akan melanjutkan ucapannya hanya isak tangis menunda ucapan itu. Hingga akhirnya, butiran bening di sudut
Angin sore menerpaku, aku duduk di bangku salah satu food court yang berada di daerah pegunungan ditemani Andrean, dia mengajakku ke tempat ini. Beraneka jenis pohon yang berjejer, nampak indah dilihat dari kejauhan tapi tidak menghilangkan rasa risau yang membalut di dalam diri. Malahan, alam terbuka membuat aku semakin terlena, mengingatkan aku betapa pedihnya kesepian."Kamu kenapa, Flo. Gak suka tempat ini? Padahal, menurutku tempat ini begitu indah, udaranya yang sejuk membuat pikiranku tenang.""Aku suka, kok, aku sedang menikmatinya."Ya, Dean benar. Tempat ini memang tenang dan sunyi. Akan tetapi, entah mengapa pikiranku saat ini malah mengingat tempat sunyi yang abadi, sehingga aku malah gelisah. Sebetulnya simpel saja, aku hanya ingin membalas pesan dari mamah Lusi yang dengan terpaksa aku abaikan karena Andrean tadi siang merebut paksa ponselku.Dia tidak suka aku terlalu dekat dengan mamah Lusi karena menurut pendapatnya, hal itu hanya akal-
Aku masih duduk di lantai. Hati seakan terhimpi pahitnya kenyataan saat mendengar Marco mengatakan bahwa Mamah Lusi sudah tiada. Aku mengharapkan kesembuhan beliau. Namun ternyata malah perpisahan abadi seperti ini yang terjadi. Masih berasa mimpi, bahwa dia telah pergi dengan membawa luka.Orang yang berada di depanku yang menciptakan luka itu. Aku melirik ke arahnya dia sedang menatapku dengan ekspresi datar."Kamu mau ikut ke rumah bersama saya? Saya mau ke sana?" tanya Marco.Walaupun dalam keadaan sedih, aku masih punya akal sehat, mana mau pergi bersamanya yang ada nanti aku celaka. "Tidak, saya bisa pergi sendiri, Pak.""Kamu yakin? Dengan kondisi kamu yang payah kaya gitu mau ke rumah sendiri?""Pergi saja! Jangan banyak tanya, Pak."Marco mengangkat ke dua alis. Dari raut wajahnya, dia memang tidak berniat mengajakku, dia hanya tertarik untuk mengata-ngataiku.Aku perlahan berdiri. Sementara pria