Lucas membatalkan rencana liburan kami. Selain itu, dia membiarkan aku tidur sendiri tadi malam. Aku tidak kenal temannya, tidak bisa menilai temannya itu apa benar-benar penting, atau hanya alasan saja supaya Lucas bisa weekend terbebas dari istri.
Kuakhiri prasangka ini. Khawatir jiwa ini semakin tidak sehat jika mengingat-ingat sakit hati yang kudapat berulang kali.
Aku menyibukkan diri di dapur. Merubah rencana berlibur menjadi eksekusi resep yang tersimpan lama di catatan, tapi baru sempat dibuka sekarang. Kubuka catatan resep di smartphone, kemudian mulai menimbang bahan untuk membuat cheese garlic bread. Cherry, adiknya Lucas, dia sempat meminta dibuatkan cemilan itu, aku baru punya mood membuatnya sekarang.
Pintu depan terbuka, aku tahu itu adalah Lucas. Namun, sejak dia membatalkan liburan kami, aku tidak ada niat menyapanya duluan.
Aku melirik ke sisi kanan, sambil tangan masih menguleni adonan roti. Ada Lucas sedang mengambil air di dispenser. Entah mengapa, dia juga tidak menyapaku. Mungkin dia sebal padaku karena menyindirnya lewat telepon. Biarkan saja, aku lebih sebal padanya.
Aku juga tidak membuatkan teh ataupun kopi yang biasa aku buatkan saat dia pulang. Biarkan saja kami seperti ini. Tidak ada hal lain yang aku pikirkan, selain menumpahkan kekesalan dengan cara mendiamkannya.
Aku sudah selesai membuat Korean Bread. Membawa makanan itu beberapa biji di piring untuk aku nikmati bersama teh tawar hangat. Ada Lucas di sofa, aku duduk di kursi lain, dan menaruh Korean Bread di meja. Aku tidak melarang jika Lucas ingin mencoba, tapi tidak disentuh juga tidak mengapa. Tidak rugi buatku.
"Flo!" Suara Lucas menyapa, lemah.
Aku terpaksa melirik, pada pria yang ternyata sedang bersandar sambil memejamkan mata. Satu tangannya dia simpan di perut, sambil meremas pelan di area situ.
"Mas kenapa? Sakit?" Aku mendekat, mengabaikan cemilan yang baru kucoba satu gigit, menaruhnya di piring tadi.
"Ya, begitulah." Lucas meringis.
"Asam lambung?"
Lucas tersenyum, perlahan membuka mata dan menatap ke arahku. "Aku makan sembarangan di kantor. Minum kopi berlebihan, ditambah malah mulai merokok lagi. Emang salahku juga, sih!"
"Tunggu! Aku buatkan ramuan rempah untuk Mas, ya!"
"Rempahnya masih kumplit?"
"Ada, masih kumplit, dong." Aku berdiri beranjak menuju dapur.
Aku mengingat minuman rempah yang pernah Lucas ajarkan padaku. Sudah lama tidak membuatkan untuknya, karena selama ini lambungnya baik-baik saja.
Kuambil dua batang serai, satu ruas jahe, tiga sendok ketumbar, satu jari kayu manis Kemudian memasukan air dua gelas mug tinggi. Merebusnya selama sepuluh menit, kemudian menunggu sampai dingin barulah disaring pada gelas.
Lucas menatapku yang sedang berjalan tergesa membawa satu gelas minuman rempah, yang sekilas mirip dengan warna air teh. Lucas tersenyum. "Makasih banyak, Flo. Aku ingin minta dibuatkan tadi, cuma lihat kamu lagi sibuk buat kue makannya gak jadi bilang."
"Sama-sama, diminum dulu, Mas."
Aku melihat alis Lucas bertaut saat meminumnya, dapat aku bayangkan pasti minumannya tidak enak. Hanya karena ingin mendapat kondisi lebih baik, Lucas dengan sigap meminumnya sampai habis. Lucas menyimpan gelas di meja, kemudian bersandar kembali di sofa, wajahnya masih pucat.
Aku mendekat, menemaninya duduk berdampingan. Kemudian, tangan Lucas menggenggam tanganku. Aku bahagia, hanya karena sudah berguna buat Lucas.
Kami tidak terlalu emosional selama ini, genggaman tangan Lucas membuatku lupa akan luka yang bersemayam di hati. Se-simple ini membuat hatiku membaik.
"Makasih, Flo."
"Sama-sama. Mas sudah bilang makasih tadi."
"Aku memang gak punya kata-kata lain. Sepertinya berterimakasih sebanyak apapun rasanya tidak cukup."
"Kenapa bilang kaya gitu? Aku bukan seorang istri yang perhitungan, kok."
Lucas tidak menjawab, dia melamun. Entah sedang merasakan sakit di badannya atau ada hal lain yang dia pikirkan. Mungkin dia punya rahasia lain.
Lucas merubah tatapan menjadi ke arahku. Dia sadar aku menatapnya tajam. "Kenapa melihatku kaya gitu, Flo?"
Aku menggeleng, bukan waktu yang tepat untukku mengatakan bahwa aku mencurigainya. "Oh iya, hari ini aku mau ke rumah Mamah. Katanya Cherry pengen makan Korean Bread."
"Mau aku antar ke rumah Mamah?"
"Gak usah. Kamu lagi sakit kaya gitu. Lebih baik istirahat aja di rumah."
"Pakai apa ke sana?"
"Pakai motor aja."
"Mendung, loh. Kamu bawa mobil aja takut gerimis, aku gak kemana-mana ini 'kan? Mobil juga nganggur."
"Ya sudah kalau diijinkan, aku pinjam mobilnya, ya, Mas."
Lucas merogoh tas kerjanya meraih kunci mobil, gerakan badannya pelan. Aku yakin, perutnya sakit. "Ini kuncinya, hati-hati di jalan, Flo."
"Iya. By the way, Mas dari rumah sakit 'kan? Gak sekalian aja berobat?"
"Iya, udah. Aku udah beli obat di apotek. Ya walaupun, aku lebih suka minum ramuan rempah buatanmu, sih."
"Cepat sembuh."
"Nanti juga bakal mendingan, kok."
"Oh, gitu. Temanmu masih di rawat?"
"Iya."
"Siapa yang ganti jaga? Keluarganya sudah pada datang?"
"Bukan, tapi Dean. Dia gantian jaga denganku dan malam ini katanya mau nginap."
"Oh, oke. Aku pergi sekarang kalau gitu. Jaga diri Mas baik-baik, ya."
"Kamu juga hati-hati di jalan."
Aku menggigit bibir bawah, ada satu kalimat yang ingin aku utarakan, tertahan di lidah selama ini. Entah mengapa, tidak mampu terucap. Dan sekarang aku ingin mengatakannya. "Mas Lucas!"
"Kenapa, Flo?
"I Love you!"
Lucas tersenyum lebar. Dia tidak bilang i love you too. Ya, sudah, lah.
Aku berjalan menuju area parkir mobil di depan rumah, menaiki mobil dan mengemudi menuju rumah ibu mertuaku. Aku bisa menyetir sebelum menikah, diajarkan oleh kakak laki-lakiku, Alan.
Sudah 15 menit, aku sampai. Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu gerbang, aku pun masuk ke area pekarangan memarkirkan mobil. Cherry sudah ada di teras, aku memang mengirim chat via WhatsApp tadi padanya, memberitahu sudah berada di perjalanan.
"Hallo, Kak!"
"Hay! Mana mamah?"
"Di dalam, lagi nonton tivi kayanya. Masuk, yuk!"
Cherry, lebih muda dariku satu tahun. Kami sering komunikasi lewat WhatsApp. Dan aku mengenalnya, sebelum kenal Lucas. Bisa dibilang, Lucas mengetahui tentang diriku dari Cherry.
Aku ingat waktu itu, beberapa kali ke rumah Cherry untuk main, aku berpapasan dengan seorang pria tinggi, tegap, dan tampan. Tidak terpikir sedikitpun olehku untuk dekat dengannya, meskipun dia kakak kandung Cherry. Dia tidak pernah mengakrabkan diri jika aku datang, hanya sedikit sapaan basa-basi dan senyum tipis, setelah itu dia bersikap dingin.
Setelah itu, secara kebetulan aku dan Lucas pernah bekerja di perusahaan yang sama. Aku jadi semakin tahu karakternya karena dia adalah atasan di divisiku sekaligus orang yang berpengaruh penting juga di sana. Tapi sepertinya dia dia tidak tahu banyak tentang karyawan biasa sepertiku.
Aku menutup lamunan tentang Lucas, kemudian beralih fokus pada Cherry yang tersenyum melihat box makanan yang kubawa.
"Ini untukmu dan mamah."
Senyum Cherry melebar, semenjak aku menikahi kakaknya, dia lebih manja padaku. Dia menyambar bungkusan yang kubawa lalu berjalan ke arah ruang tengah, di mana katanya, mamah mertuaku sedang ada di sana nonton televisi.
"Mamah, lihat! Kak Flora bawa apa?"
Aku mendekat, mencium tangan mamah mertuaku. Sementara aku melirik, melihat Cherry menyimpan bungkusan tadi di meja, dan membuka isinya.
"Flora, sehat kamu, Nak? Gimana kabar Lucas?"
"Alhamdulillah, Mah. Tadinya Mas Lucas mau ikut ke sini, cuma dia kurang sehat dan langsung istirahat."
"Lucas kenapa, Flo?"
"Sakit lambung, Mah."
"Lucas biasanya suka minta dibuatkan rebusan rempah, Flo."
"Iya, aku udah bikinin juga, tadi."
Flora dari samping Mamah tahu-tahu sudah membawa sepotong makanan yang kubawa. "Cobain, deh, Mah."
Ibu membuka mulut, menyambut tangan putrinya yang menyodorkan makanan. Perilaku Cherry pada Ibu menurutku begitu manis, aku tersenyum saat melihat interaksi mereka.
"Gurih, ya? Ini bahannya keju? Mamah pikir tadinya manis. Maklum lah, baru pertama kali ini makan."
"Tapi enak, kan, Mah?" tanya Cherry
"Enak, sih."
***Aku setengah berbaring di ranjang milik Cherry memainkan smartphone, sambil mendengarkan dia bercerita tentang hidupnya. Aku merespon seperlunya, menjadi pendengar yang baik. Karena untuk memberi solusi aku tidak pandai.
"Dean!"
"Kenapa, Cher?"
Aku tahu Cherry suka pada sahabat kakaknya Dean. Pria yang betah menjomblo, entah untuk tujuan apa. Padahal wajahnya tampan. Pria tampan tapi jomblo di usia 30 sedikit tidak masuk akal.
"Aku lihat di insta story' Kak Dean lagi di rumah sakit. Siapa yang sakit, ya? Jadi kepo." Flora bertanya dengan raut resah.
"Temannya yang sakit."
"Oh gitu. Kak Flo, kok bisa tahu?"
"Ya, karena itu teman Lucas juga. Lucas kemarin juga pergi ke Rumah Sakit. Katanya, sekarang giliran Dean yang jaga."
Wajah Cherry berseri. "Serius kan cuma teman?"
"Emang kenapa?"
"Tadinya kupikir ceweknya Dean."
Aku diam-diam menggeser badan mendekati Cherry yang berada di sampingku, demi melihat story' Dean seperti apa? Namun, tidak jelas. Aku pun memberanikan diri bertanya, karena kaget saat tahu teman yang Lucas maksud adalah perempuan. "Coba mana story-nya, Cher? Aku mau lihat."
Cherry menyerahkan hapenya. Aku melihat foto wajah Dean. Di belakangnya, ada wanita berambut panjang warna coklat sedang berbaring di ranjang Rumah Sakit. Wajahnya tidak kelihatan karena sedang membelakangi kamera, hanya terlihat rambut saja.
Aku kesal, Lucas ternyata menginap di rumah sakit dan membatalkan liburan demi teman wanita. Kupikir teman pria.
"Cepat sembuh 'Nda."
Hatiku memanas membaca caption Dean. Prasangka mendekap hati. Nda? Siapa sih itu? Amanda?
***Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha
Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul
Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal
Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati
Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan
Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan