“Kamu di mana Nesya?” mengusap wajahnya kasar, sudah seminggu berlalu, tiada hari tanpa mencari adiknya yang hilang entah ke mana. Belum lagi harus terlibat perkara rumah yang akan digusur karena itu bukan tanah miliknya.
Abi benar-benar frustasi, bahkan akhir-akhir ini kondisinya melemah, makan tidak teratur serta keseringan begadang. Kepergian Nesya dan Fariz benar-benar tidak berjejak, sepertinya Fariz telah menyiapkan rencana dengan sangat baik. Laki-laki itu menghela nafas, melihat sekelompok orang yang menghampirinya, Abi tahu jika itu adalah anak buah dari pemilik tanah yang ia tempati saat ini, rencananya sang pemilik akan membangun penginapan karena letaknya sangat strategis.
Pasrah saat mereka meminta Abi untuk mengemasi barang-barangnya, sekuat apapun dia menolak, tetap saja dia tidak bisa menang, apalagi ini adalah bukan miliknya. Rasanya berat meninggalkan rumah yang tersimpan banyak kenangan itu, Abi harap-harap cemas. Bagaimana seandainya Nesya kembali ke rumah itu? Bermodal uang lima ratus ribu, Abi mencari kost untuk sementara sampai dia mendapat pekerjaan baru, pendidikan yang hanya lulus SMA membuatnya hanya bisa bekerja serabutan. Meskipun letih karena berjuang sendirian, namun rasa itu lenyap saat Nesya menyambutnya, tapi kini semua itu hanya sebuah keindahan bertajuk kenangan.
Setelah mendapat hunian baru, Abi merebahkan tubuhnya di kamar yang lumayan sempit dan hanya tersedia kasur, sebuah lemari, dan meja kecil. Saat hampir memejamkan matanya, ponselnya berdering, jantungnya berdegup kencang, darahnya mendidih seketika, hampir saja dia melempar ponselnya yang tidak mahal itu. Dilihatnya beberapa foto seseorang yang selama ini dia rindukan, air matanya menetes, antara ingin marah atau sedih. Hingga beberapa saat kemudian, sebuah pesan singkat yang tertera setelah foto itu.
"Hai, ini aku calon adik iparmu. Bagaimana kejutannya? Hahaha pasti kamu terkejut, lihatlah adikmu. Tenang saja, dia baik-baik saja bukan? Aku akan menjaganya dengan sangat baik, hanya saja aku akan memberi pelajaran jika dia membangkang. Apa kau tahu? Bahkan aku sudah melihat tubuh indah adik kesayanganmu, dan sebentar lagi aku akan memilikinya."
“Nesya...” Abi melempar ponselnya ke tempat tidur, namun ia kembali mengambilnya. Mencoba menghubungi nomor yang tidak dikenal itu, namun jelas jika Abi sudah tahu pemiliknya.
“Arrgghh..!!!” Abi berteriak seraya memukul dinding kamarnya hingga punggung tangannya berdarah, kesal.
Kembali melihat foto adiknya yang bersama Fariz, meskipun Nesya tersenyum, akan tetapi Abi bisa melihat jelas ketakutan serta kesedihan dari sorot matanya. Jelas dari senyumnya dia terpaksa, tangannya mengusap foto Nesya yang terlihat tidak terawat.
“Maafin kakak, ini semua salah kakak..” lirih Abi, tak kuasa melihat tubuh Nesya yang semakin kurus, wajahnya pun pucat, dan terdapat beberapa luka memar di bagian tertentu.
Tak jauh berbeda dengan sang kakak, Nesya tengah duduk di pinggiran kolam renang seraya memikirkan Abi. Gadis itu terisak, perutnya lapar tapi dia tidak berani makan sebelum ada perintah dari Fariz. Ia cukup trauma karena beberapa hari yang lalu, Nesya pernah lancang makan tanpa seizin Fariz, alhasil dia dihukum dan tidak diperbolehkan makan selama satu hari.
“Aaa toloong..!!” teriak Nesya sekuatnya, dilihatnya Fariz yang malah duduk sambil meneguk jus, tanpa peduli dengan Nesya yang sudah hampir tenggelam.
“Kak Fariz..” panggil Nesya namun tak dihiraukan oleh Fariz.
Fariz malah tertawa, melihat Nesya yang sudah kehabisan tenaga.
Duduk seraya menikmati pertunjukan renang gaya batu, Fariz tahu jika Nesya tidak bisa berenang, padahal dulu beberapa kali Fariz pernah mengajarinya. Selang beberapa menit kemudian, ia melepas kausnya kemudian menceburkan diri ke kolam. Mengangkat Nesya yang sudah pingsan, lelaki itu menggerutu.“Menyusahkan saja!” membaringkan Nesya di tepi kolam, Fariz menekan dada Nesya, merasa tak ada pergerakan dari gadis itu, Fariz memberikan nafas buatan kepadanya.Nesya terbatuk, bersamaan dengan air yang keluar dari mulutnya. Sontak dia memeluk tubuh kekar itu, menangis sejadi-jadinya dengan tubuh yang menggigil. Nesya benar-benar takut, jiwanya terasa tertekan. Fariz mendorong tubuh yang basah kuyup itu, ditariknya tangan Nesya agar dia berdiri, kini Fariz benar-benar tak punya hati.“Hentikan kak..” pinta Nesya saat Fariz kembali mengguyurnya dengan air dingin di kamar mandi.“Berapa kali aku bilang hah? Apa telingamu sudah tidak b
Nesya membuka matanya yang terasa sembab, semalaman dia menangis karena menahan perih bercampur gatal yang menjalar di kulitnya. Mengepalkan tangannya, dadanya bergemuruh, kini Nesya sangat membenci Fariz, laki-laki yang telah merenggut kebahagiaannya serta memisahkan dirinya dari sang kakak. Ia malas untuk beranjak dari tempat tidur, tak peduli jika nanti Fariz akan marah karena dia tidak melakukan tugas dan kewajibannya. Hingga akhirnya pintu kamarnya didobrak, terpampanglah manusia berhati iblis yang menatapnya tajam, “beraninya kamu bermalas-malasan! Aku membawamu kemari bukan untuk bersantai, apa kamu berpikir bisa tinggal di rumah mewah ini dengan cuma-cuma?” ujarnya seraya menarik pergelangan tangan Nesya. “Lepas!” Nesya menggigit tangan Fariz membuat dia semakin murka. “Wah.. wah, rupanya adik kesayangan pembunuh telah mengeluarkan taringnya, hebat!” Fariz tersenyum miring seraya menatap tangannya yang terdapat bekas gigitan Nesya. “Kakak buka
Dengan telaten, Fariz memandikan Nesya yang masih belum sadar, sesekali dia memberi pijatan lembut di tubuh Nesya. Setelah terasa cukup, Fariz kembali membopong gadis itu kemudian memakaikan pakaian pada Nesya juga dirinya sendiri. Menidurkan Nesya di tempat tidur kemudian menyelimutinya, meskipun telah dibutakan oleh dendam, tetapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, ada perasaan tidak tega pada gadis itu. Laki-laki itu meninggalkan Nesya, Ia menuju ke dapur untuk membuatkan sesuatu untuk Nesya, lagi-lagi sisi iblisnya keluar, tersenyum sambil mengolah bahan-bahan hingga matang. Fariz kembali ke kamar Nesya, dilihatnya mata gadis itu masih terpejam. Ia duduk di sebelah Nesya, menyandarkan tubuhnya di senderan ranjang. Ia membuka aplikasi berlogo hijau kemudian mencari kontak sang kakak dari gadis yang telah dia renggut kesuciannya, Fariz melakukan panggilan video menggunakan nomor ponsel yang sudah diganti sebelumnya. “Fariz..!!” terdengar lelaki di sebera
Bak sehabis menang undian, Nesya sangat terharu bahkan sampai meneteskan air mata, dilihatnya sosok yang selama ini dia rindukan, wajahnya yang tampan menyiratkan betapa letihnya Abi. Masih dengan posisi yang sama, dimana Fariz juga ikut menyaksikan pertemuan adik dan kakak itu meski hanya via telepon. “Nesya baik-baik aja kak,” jawab Nesya meski hatinya terasa disayat-sayat, apalagi saat tangan Fariz mencubit pahanya agar Nesya tidak membocorkan semuanya. “Tidak, kamu nggak baik-baik saja! Katakan kamu dimana Nesya, kakak akan membantumu agar terlepas dari manusia itu!” tangan Abi menunjuk Fariz. Fariz berdecih, dengan tak tahu malunya dia menghisap leher Nesya, tangannya pun meraba-raba dada Nesya dan meremasnya. Abi melebarkan manik matanya, ia menatap Nesya yang memberontak sambil menangis. “Bangs*t! Hentikan tindakan konyolmu itu Fariz!!” melihat Nesya yang menghadap Fariz karena kaus bagian depannya terangkat, sementara kedua tangannya digenggam
Dengan balutan kebaya putih yang terlihat pas di tubuhnya, apalagi warna kulitnya bisa menyatu dengan warna kebayanya membuat Nesya terlihat semakin cantik, akan tetapi tidak ada yang tahu jika di dalam hati gadis itu tersiksa. Sebuah pernikahan sederhana karena Fariz tidak ingin pernikahannya diketahui orang lain, tidak ada yang namanya resepsi, acaranya pun diselenggarakan secara tertutup.Dan mulai hari ini, Nesya telah sah menjadi istri dari Alfarizki, saat acaranya selesai, gadis itu berlari menuju kamarnya, menumpahkan kesedihannya, ia berteriak sejadi-jadinya seraya menangis. Seketika hidupnya terasa hancur, apalagi sekarang harus setiap hari bersama siluman iblis yang berwujud suaminya.“Bagus! Lempar semuanya, nanti sekalian dirimu yang akan aku lempar!” Fariz bersedekap, dilihatnya Nesya yang mengacak-ngacak kamarnya, belum lagi beberapa barang yang telah berserakan di lantai.“Diam kau!” mata Nesya memandang Fariz dengan tajam.
Suara bariton mengagetkan Nesya yang masih terlelap, pendar matahari menyilaukan matanya. Gadis itu meringis, merasakan sakit dan pegal di sekujur tubuhnya, mata indahnya melihat tubuhnya yang masih terbungkus selimut, lagi-lagi air matanya luruh. Melihat banyak tanda merah keunguan yang sangat kentara di kulit putihnya. Padahal kemarin ia sempat berpikir jika akan tewas karena ulah Fariz yang terlihat seperti orang kesetanan. Setelah mencekik Nesya, laki-laki yang tak lain adalah Fariz memaksa Nesya untuk memuaskan nafsunya. “Kenapa kamu masih diam di sana hah? Apa kamu mau mengulangi yang semalam?” Fariz mendekat, tangannya membuka dua kancing kemejanya membuat Nesya ketakutan. “T-tidak, jangan kak,” Nesya mengusap air matanya kemudian bangkit dengan selimut tebal yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya yang polos. “Tidak perlu menggunakan ini, aku sudah melihat semuanya,” menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh indah Nesya, Fariz tersenyum menyeringai.
Mata Nesya membola, dilihatnya manusia menyebalkan yang selalu menyiksanya, hampir saja Nesya terpana akan pesona Fariz yang bertambah berkali-kali lipat dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. “Masuk!!” titahnya namun Nesya bergeming, dia malah duduk dan mengusap lututnya yang terluka membuat Fariz meradang. “Apa? Mau nampar aku lagi?” Nesya mendongak, menatap lelaki yang berdiri di depannya. “Aku bisa masuk sendiri!” ucap Nesya ketus seraya menghempaskan tangan Fariz, namun sebelum dia memasuki mobil, kaki mungilnya menendang kuda jingkrak kesayangan Fariz. “NESYA..!!” emosi Fariz meluap, melihat bagian mobil yang ditendang Nesya menjadi lecet dan sedikit penyok. Nesya tersenyum puas, “Aku tidak takut mati, karena aku sudah siap mental dari jauh-jauh hari,” ucapnya lagi membuat Fariz yang sudah duduk di sebelahnya menatapnya tajam. Sudut bibirnya terangkat, “baiklah jika itu maumu, berarti aku bebas bisa menyiksa kakak kes
“Sapu dengan benar, setelah ini jangan lupa bersihkan halaman depan dan juga di belakang!”Nesya mengumpat di dalam hati, pagi-pagi buta Fariz membangunkannya dengan cara tak lazim, perlakuan laki-laki itu mirip seperti kisah ibu tiri beserta anak yang tak bersalah.Mengangguk dan tersenyum semanis mungkin, menyembunyikan tangannya yang sudah mengepal kuat. Pagi ini Nesya akan berangkat ke sekolah untuk pertama kalinya, namun Fariz malah memberikan pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya.Selepas dari pekerjaannya, Nesya beranjak ke kamarnya kemudian bersiap. Melihat pantulan dirinya di cermin, gadis itu berdecak kagum dengan kecantikan yang dimilikinya. Wajah polos tanpa polesan make up membuatnya tampil natural. Meraih tas yang terbilang tidak mahal itu kemudian keluar dari kamarnya, raut wajah Nesya nampak berseri-seri.“Mau ke mana kamu?” gerakan tangan Nesya yang memegang gagang pintu terhenti lantaran suara berat yang mengge