Nesya membuka matanya yang terasa sembab, semalaman dia menangis karena menahan perih bercampur gatal yang menjalar di kulitnya. Mengepalkan tangannya, dadanya bergemuruh, kini Nesya sangat membenci Fariz, laki-laki yang telah merenggut kebahagiaannya serta memisahkan dirinya dari sang kakak. Ia malas untuk beranjak dari tempat tidur, tak peduli jika nanti Fariz akan marah karena dia tidak melakukan tugas dan kewajibannya.
Hingga akhirnya pintu kamarnya didobrak, terpampanglah manusia berhati iblis yang menatapnya tajam, “beraninya kamu bermalas-malasan! Aku membawamu kemari bukan untuk bersantai, apa kamu berpikir bisa tinggal di rumah mewah ini dengan cuma-cuma?” ujarnya seraya menarik pergelangan tangan Nesya.
“Lepas!” Nesya menggigit tangan Fariz membuat dia semakin murka.
“Wah.. wah, rupanya adik kesayangan pembunuh telah mengeluarkan taringnya, hebat!” Fariz tersenyum miring seraya menatap tangannya yang terdapat bekas gigitan Nesya.
“Kakak bukan pembunuh! Kamu salah paham!” entah keberanian dari mana, Nesya menunjuk wajah Fariz.
Fariz menaikkan sudut bibirnya, namun jelas amarahnya semakin berkobar, dia mendorong Nesya hingga terlentang di tempat tidur kemudian membuka kausnya. Nesya langsung gelagapan, saat dia mencoba lari, namun tubuh kekar Fariz menahannya.
“Ada apa? Kenapa panik? Mumpung aku mengundur waktu pernikahan kita, bagaimana kalau aku mencicipi tubuhmu dulu?” menjilati telinga Nesya, tangannya pun mulai tak terkondisikan.
“Jangan berani kamu menyentuhku bajing*n!” teriak Nesya dengan nafas tercekat karena Fariz menindihnya.
Fariz semakin geram, dia membuka pakaian Nesya kemudian melemparnya sembarangan, mulutnya membungkam bibir Nesya yang terus berteriak, tangannya mencengkeram kedua tangan Nesya. Mengabaikan air mata Nesya yang membasahi pipi gadis itu, melepas tautannya dan beralih ke leher jenjang Nesya, aksi Fariz benar-benar brutal, menghisap bahkan sesekali menggigit di bagian yang dia suka, tangannya meraba punggung Nesya, ia melepas pengait bra yang menutupi pemandangan indah itu.
Menelan ludah kasar meskipun sudah sering dia lihat belakangan ini, tangannya meremas benda sintal itu, mulutnya pun tak ingin menyia-nyiakan hal tersebut. Nesya menjerit, meronta, bahkan terus berteriak meminta tolong.
“Kakak jangan lakukan itu, aku mohon..” Nesya ketakutan saat Fariz melepaskan semua pakaiannya, kini keduanya sudah sama-sama nak*d.
Namun Fariz seakan tuli, setelah puas bermain di bagian atas, ia mengikat tangan Nesya dan membuka kaki Nesya lebar-lebar, merasa kesal karena Nesya terus berteriak, lelaki itu langsung memasukkan miliknya ke dalam milik Nesya.
“Akhhh berhenti kak! Sakit..!!” Nesya menjerit, merasakan sakit yang luar biasa ketika sesuatu yang besar menerobos masuk di bawah sana, tangisnya semakin pecah, Fariz yang melihatnya malah semakin gencar untuk menyiksa gadis itu. Ia tersenyum mendapati darah yang mengalir di selangkangan Nesya.
Lelaki itu mulai memaju mundurnya tubuhnya, sesekali dia mendesah merasakan kenikmatan tiada tara, tidak peduli dengan Nesya yang terus memukul punggungnya.
“Berhenti hiks.. Kak Fariz aku mohon..” Nesya menatap sayu pada Fariz.
“DIAM!!” lelaki itu menampar pipi Nesya.
“Ahh kak.. hentikan!” tangannya yang sudah terlepas pun mencengkeram punggung Fariz.
Fariz menyeringai, mempercepat temponya dan menghentak-hentakkan sangat keras hingga Nesya mengerang, “berhenti k-kak...” lirih gadis itu di bawah kungkungan Fariz, dengan tubuh yang berguncang, Nesya terus meminta Fariz untuk berhenti, perlahan suaranya mulai melemah, gadis itu pingsan karena kelelahan.
Tubuh Fariz pun ikut ambruk di sebelah Nesya, Ia menatap Nesya yang sudah terkapar, “maafkan aku, ini tidak akan terjadi jika kakakmu tidak membunuh Amel,” ujarnya seraya mengusap keringat Nesya, dia pun bangkit dan mengangkat tubuh perempuan yang baru saja dia tiduri.
“Kau salah paham Kak, bukan Kak Abi yang membunuhku, dia ingin menyelamatkan Amel, namun sudah terlambat.” Lirih seorang gadis berambut panjang dengan pakaian serba putih.“Aku melihatnya, ya aku melihat Kak Abi menghampiriku, dia memangku kepalaku sebelum semua menjadi gelap.” Bibirnya yang pucat tersenyum, seolah menyesal karena dulu pernah menyia-nyiakan lelaki baik seperti Abi.“Tapi kakak? Kakak malah menyiksa Nesya! Bukankah dulu kau berjanji akan menjaganya seperti kau menjagaku? Tapi kenapa kau melakukan itu? Membuatnya hancur dan kini dia sedang mengandung anakmu! Baj*ngan!” kini mimik wajah yang awalnya sendu menjadi menyeramkan.“Aku benci Kakak! Kau iblis! Kau bukanlah Fariz kakakku!”“AMEL..!!” Fariz melebarkan netranya, masih mengatur nafasnya yang terengah-engah, dengan segera dia menyambar segelas air mineral yang terletak di nakas.“Mimpi itu lagi, kenapa hampir tiap
“BABIan!!” teriak mereka serempak seraya melambaikan tangannya kecuali satu pemuda yang tampak tidak peduli dengan kedatangan Nesya dan Fabian.“Damn! Mereka benar-benar,” Fabian memijit keningnya, entah kenapa dia bisa memiliki sepupu gila seperti itu.Nesya terkekeh geli mendengar teriakan dua sepupu sahabatnya itu.“Dasar tidak waras, namaku Fabian bukan Babian!” lelaki itu memukul kepala pemuda yang bernama Rey dan menjewer telinga adiknya yang bernama Baby.“Awwh lepas! Bang Ray!! Tolongin Baby,” gadis itu meronta, meminta agar Fabian berhenti menarik telinganya yang sudah memerah akibat ulahnya.“Itu akibatnya karena sudah tidak sopan denganku!” Fabian menjitak kening Baby membuat gadis itu meringis.“Dia siapa?” Ray yang sedari tadi diam menghampiri mereka.“Dia sahabatku. Nesya, kamu masuk sama Baby, aku ingin berbicara dengan dua manusia aneh ini!&r
Seorang gadis tampak sedang mencicipi rujak ala-ala dari seorang Radit, sementara lelaki itu tampak harap-harap cemas, semoga saja tak ada komentar yang nanti menyusahkan dirinya.“Kenapa rasanya seperti ini?” Nesya memuntahkan rujak itu, matanya mendelik tajam menatap sahabat sekaligus tangan kanan suaminya.“Memangnya seperti apa?” jawab Radit ketus, dia seolah sedang menjalani simulasi menjadi suami siaga dan pengertian, namun nyatanya ia tak kuat.Namun gadis itu hanya diam dengan tangan bersedekap, bibirnya bergetar, mungkin sebentar lagi dia akan menangis.“Jangan menangis, kau mau apa?” Radit mencoba menahan emosinya, dia menatap pipi gadis itu yang sudah basah.“Tidak ada, aku hanya ingin sendiri.”“Baiklah, aku akan pergi, karena suamimu saat ini sedang sakit,” ujar Fariz seraya melangkahkan kakinya ke luar rumah.Nesya terkejut, namun beberapa saat kemudian dia ters
“Bagaimana?” Seorang lelaki tampan menatap bawahannya yang menunduk, sudah dipastikan bahwa tidak ada kabar baik yang akan keluar dari bibir yang masih setia mengatup itu.“Maaf, Nona belum ditemukan,” jawab Radit ragu, dia merasa iba melihat Tuannya yang kini kurus, lingkaran hitam di bawah mata menandakan bahwa Fariz selama ini tidak bisa beristirahat dengan tenang.“Lalu bagaimana dengan anakku? Gadis itu kini mengandung darah dagingku, bagaimana jika perkembangannya buruk karena tidak mendapat nutrisi yang baik?” Sentak Fariz, sejak mengetahui bahwa Nesya mengandung, entah kenapa rasa dendamnya perlahan sirna, mungkinkah kehadiran malaikat kecil itu mampu memperbaiki hubungan yang nyaris berantakan itu?Radit mengepalkan tangannya, ingin sekali dia berteriak bahwa tidak perlu khawatir tentang pola makan Nesya, bahkan gadis itu dirawat dengan baik oleh lelaki itu. Namun dia juga tidak tega pada Nesya, melihat gadis itu baha
Sang surya mulai menampakkan sinarnya, namun seorang calon ibu muda masih betah bergelung di bawah selimut mengabaikan seorang laki-laki tampan yang sedari tadi menggerutu. “Jika saja dia tidak sedang hamil, mungkin aku sudah menendangnya dari sini!”“Hei, jangan mengumpatku atau nanti aku putuskan lehermu!” gumam Nesya dengan suara serak, tanpa merasa bersalah sedikit pun karena semalaman menyusahkan Radit.Lelaki itu berdesis, jika bukan karena Nesya yang merengek minta ditemani dengan alasan takut sendiri, Radit pasti sudah kembali ke apartemennya dan bisa beristirahat dengan tenang tanpa ada gangguan. Kini laki-laki itu harus menahan sakit dan pegal di sekujur tubuhnya karena harus tidur dengan posisi duduk ataupun di lantai.“Nesya, bangunlah. Sudah pagi, itu susu dan sarapanmu, aku pergi dulu,” ujarnya saat hendak keluar dari kamar Nesya.“Tunggu!” Nesya langsung menyingkap selimut dan melihat Radit ya
“Apa kakak akan pergi?” Nesya bertanya pada Radit yang sudah hendak keluar dari rumah itu.“Iya, aku akan mengatakan pada Tuan kalau aku tidak bis menemukanmu.” Radit tersenyum kecut, dia sudah membayangkan dirinya akan menjadi samsak hidup saat sudah berhadapan dengan Fariz.“Kenapa wajahmu seperti itu? Apa kamu tidak rela membantuku?” Nesya melotot tajam seraya berkacak pinggang, Radit pun semakin kesal, apa mungkin karena hidup berdampingan dengan Fariz membuat Nesya menyebalkan seperti ini.“Tapi...” raut wajah Nesya mendadak sedih, dengan bibir yang ditekuk, gadis itu ragu untuk mengutarakan maksudnya.“Apa?” lelaki tampan itu mengangkat sebelah alisnya, meski jujur dia sudah lelah menghadapi Nesya yang sedari tadi menyusahkannya.“Bisakah kakak tinggal di sini?? Aku takut jika berada di rumah sendirian, dan kenapa kakak membuat rumah seperti di hutan begini?” Nesya menata
Jika Nesya kini sedang berdebat perihal roti dengan anak buahnya, berbeda dengan Fariz yang dilanda kebingungan memilih istri atau perempuan yang dicintainya, di satu sisi dia ingat bahwa dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah, tapi di sisi lain, ada perempuan yang kini datang menagih janjinya.“Bukankah dulu kamu berjanji jika suatu saat nanti aku sudah sukses, maka kita akan menikah. Apa kamu masih mencintaiku seperti dulu?”Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Fariz, bohong jika Fariz sudah melupakan cintanya pada gadis berparas ayu itu, selain berpendidikan tinggi, gadis yang bernama Clara itu juga kini sudah berhasil menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang model. Tapi janji tetaplah janji, Fariz mengira jika Clara sudah melupakan janji itu, janji di mana jika Clara sudah sukses, barulah mereka melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Memang berat rasanya saat Fariz membiarkan orang terkasihnya untuk mengej
Hanya bisa menghela nafas karena harus mendengar tangisan beserta curhatan hati seorang istri dari bosnya. Namun seketika Radit panik bukan main saat tiba-tiba Nesya tak sadarkan diri, beberapa kali dia menepuk pipi gadis itu, hingga akhirnya pria itu yakin bahwa Nesya benar-benar pingsan dan membawanya ke klinik terdekat.“Apa??” Radit membulatkan matanya tak percaya, sesekali dia melirik Nesya dengan atribut sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Pria itu terkejut saat mendengarkan penjelasan dokter yang menangani Nesya.‘Hamil? Apa mereka melakukan atas dasar suka sama suka? Atau ini memang skenario Tuan Fariz?’ Pria yang dikenal sebagai tangan kanan Fariz itu tampak berpikir, ia bahkan tidak sadar bahwa Nesya sudah tidak berada di sana.“Maaf Mas, apa Anda tidak ingin menyusul istri Anda??”“Istri?” Radit mengernyitkan dahinya, bagaimana bisa dia dikatakan mempunyai istri jika menikah saja belum. Namun
“Kenapa ha? Kenapa??” Fabian menatap Nesya dengan tatapan yang susah diartikan, jelas dia kecewa saat mengetahui jika sahabatnya hamil yang ia pikir masih lajang. Harapannya untuk menjadi pasangan Nesya seketika sirna.“A-aku..” Nesya tak mampu melanjutkan ucapannya, gadis itu masih terus menangis. Dia bingung antara harus senang atau sedih.“Ceritakan semuanya, bukankah kita sahabat?” pemuda itu mulai bisa mengendalikan egonya, besar rasa kecewanya namun tak bisa mengalahkan rasa cinta yang sudah tertanam rapi di hatinya pada gadis cantik itu, Fabian merengkuh tubuh mungil yang sedang rapuh tersebut, mendekapnya dalam kenyamanan, membiarkan calon ibu muda itu menumpahkan kesedihannya.Dengan berderai air mata, Nesya menceritakan semuanya, sebuah untaian kalimat yang di dalamnya mengandung makna yang mendalam, menggambarkan betapa tertekannya Nesya selama ini. Isak tangis yang terdengar memilukan, bagaikan ribuan panah yang me