"Aku ikut, ya!" Sengaja aku menggandeng Mas Chandra dengan erat. Memperlihatkan kemesraanku pada Dinda.
"Iya, Sayang."
"Bram, apa kabar?" sapa Mas Chandra pada seorang laki-laki yang diperkirakan seumuran dengannya.
"Baik, Dra." Laki-laki bernama Bram itu menatapku dari bawah hingga atas, membuatku sedikit risih. "Istrimu yang?" tanyanya dengan eskpresi sedikit terkejut.
Ah, jadi dia yang bernama Bram. Aku ingat itu. Aku berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Bram yang di ajukan pada Mas Chandra.
"Dia istriku satu-satunya," jawab Mas Chandra dengan cepat. Peringgainya tiba-tiba berubah, bahkan dia sampai terpejam dalam waktu yang cukup lama.
Seperti baru menyadari situasi, Bram mengangguk cepat, dia menggaruk tengkuknya. "Ah, i-iya. Hai salam kenal, aku Bram."
Ragu-ragu aku menjabat tangannya. "Mila."
"Mas, kenapa di sini? Aku cari kamu, loh, dari tadi." Tiba-tiba Dinda muncul, menggandeng tangan Bram mesra. Tergambar jelas keterkejutan di mimik wajah Bram, tapi beberapa detik kemudian kembali normal saat dia mendapat kerlingan dari Mas Chandra.
Sementara itu, aku hanya menyeringai melihat akting ketiganya yang jelas-jelas tidak sempurna.
Mau membodohiku? Aku pikir tidak bisa. Karena, kalian memilih orang yang salah.
"Suamiku? Kenapa cincin yang melingkar di jari manisnya berbeda?" tanyaku sambil menyunggingkan senyuman termanis.
Ketiga langsung gelagapan, saling menatap satu sama lain. Mereka pikir, aku tidak sejeli itu sekarang.
"Ah, Mila i-itu karena kamu melihat dari sudut pandang yang berbeda." Seketika aku langsung menatap Mas Chandra yang menjawab secara spontan.
"Kenapa kamu menjawab seperti itu, Mas? Padaha aku belum berkata, dari mana aku tahu cincin Pak Bram dan Dinda berbeda." Tiba-tiba mereka langsung membisu ketika mendengar penuturanku.
Pintar sekali, dia menutupi benalu dalam rumah tangga kami. Miris!
"Ah, tapi yang Pak Chandra katakan benar juga, Mila," ucap Dinda dengan ekspresi setenang mungkin.
"Begitu, ya? Aku kira Pak Bram itu suami gadunganmu." Aku segera melepas cengkraman tangan dari Mas Candra. Berlama-lama dengan seorang pendusta membuatmu mual. "Selamat bersenang-senang, aku pergi dulu, ya, Mas, mau menemui kakak-kakakku."
"Tidak, Sayang. Mas, ikut, ya!" Mas Chandra menggandengku untuk menjauh dari Bram dan Dinda. Sebelum menjauh, aku sempat melirik Dinda yang mendelik.
***
"Chandra, kemari! Ikut gabung bersama kami," teriak Sela--kakak Perempuanku yang pertama.
Tepat di sampingnya, seorang laki-laki memakai tuksedo hitam tengah melambai ke arahku, tidak jauh dari tempat mereka berdiri seorang anak perempuan berusia tujuh tahunan tengah menyantap kue bersama Faris.
"Kak, apa kabar?" sapaku pada mereka berdua.
"Kabar baik," jawab Kak Sela.
Sementara itu, Ibu sedang mengobrol dengan Willy--Kakak laki-laki yang satunya lagi.
Drtt ....
Saat sedang mengobrol dengan Kak Sela, sesekali aku mencuri pandangan pada Mas Chandra yang sibuk memainkan ponsel. Baru ketika Mas Chandra menoleh, aku kembali berpura-pura bersikap biasa saja.
"Mas, ngapain bengong, sih?" tanyaku saat Mas Chandra hanya memandangi gawainya.
"Kamu, cantik banget. Mas, sampai terpesona begitu."
Cih! Rayuan buaya. Menjijikkan.
Kulirik Dinda yang masih mematung, kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh. Jadi, aku bisa melihatnya secara jelas dan tentunya seorang diri.
Dari info yang aku dapat dari Ibu, Bram ini ternyata suami dari teman lamanya. Sepertinya permainan kali ini akan lebih seru.
Cup!
Seketika sorakan terdengar saat Mas Chandra mendaratkan bibirnya di pipiku.
"Terima kasih, Mas," ucapku sambil membalas kecupannya.
Kuperhatikan kembali Dinda dari kejauhan, wajahnya tampak memerah padam, sementara itu kedua tangannya meremas ujung gaun hitam miliknya.
Rasakan, Dinda! Baru begitu saja cemburu. Apalagi aku yang telah di khianati oleh kalian dalam posisi sedang mengandung.
"Mas, mau ke mana?" tanya Mila saat aku melepas tautan tangannya.
"Mas, ijin ke kamar mandi dulu, ya, Sayang." Kubalas kecupan Mila di tangan dan pipinya. Tentu saja, sorakan kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.
***
"Dinda, jangan menangis, ya." Dari kejauhan kulihat Mas Chandra berusaha menenangkan Dinda yang terus terisak sambil menutup wajahnya mengunakan kedua tangannya.
Tadi, saat Mas Chandra melihat Dinda berlari, dia langsung ijin pergi ke kamar mandi. Padahal sebenarnya, mereka ingin bertemu.
Dari balik tembok, aku terus memperhatikan mereka berdua sambil merekamnya secara diam-diam. Untuk kujadikan bukti suatu saat nanti.
"Kamu, tega banget sama aku, sih," ucap Dinda disela-sela isak tangis.
Tega katanya? Dih! Dasar pelakor tidak tahu diri. Merasa paling tersakiti saja.
"Sayang, udah jangan nangis." Kugigit bibir bawah kuat-kuat, saat melihat keduanya tengah berpelukan. "Sayang, Mas, harus pergi kembali. Kamu jangan nangis, ya. Nanti, Mas, janji beliin kamu sesuatu."
"Beliin apa, Mas? Berlian, tas, baju branded atau apa?"
Bagaikan ternak di beri makan. Dinda langsung menyaut begitu saja, ketika mendengar penuturan Mas Chandra.
Hanya demi barang dan kemewahan semata, Dinda beraninya menyakiti perasaan sesama wanita. Miris! Beginilah kehidupan zaman sekarang.
"Rahasia!" jawab Mas Chandra sambil mengecup pipi Dinda
"Mas, kok gitu, sih!" Dinda memukul lengan Mas Chandra dengan cukup keras, hingga laki-laki itu meringis. "Mas, aku cemburu lihat kemesraan kamu sama Mila. Aku juga mau ada di posisi Mila.Kamu, mau 'kan menceraikan Mila demi aku?"
Tenang saja Dinda, suatu saat nanti Mas Chandra akan menjadi milikmu seutuhnya. Tapi, sesudah urusanku dengannya selesai. Karena, aku tidak ingin dia membawa sedikitpun harta. Kecuali, pakaian yang dia kenakan saat itu.
"Sabarlah, Dinda. Kamu tahu 'kan, kalau keluarga Mila itu sumber kekayaanku. Baru, ketika aku sudah mendapatkannya, aku akan menceraikannya."
Sesuai dugaan! Laki-laki itu hanya menginginkan hartaku. Untung saja, sebelum niat buruknya terlaksana, aku sudah lebih dulu mengetahuinya.
Tanpa sadar, tanganku terkepal kuat. Manik mataku memintai sembarang arah, mencari sesuatu. Hingga akhirnya pandanganku jatuh pada sebuah batu yang terdapat di samping pot bunga.
Kuraih batu tersebut, mencengkramnya kuat-kuat. Hampir saja aku kehilangan akal, apalagi ketika melihat Dinda dan Mas Chandra saling mencurahkan kerinduan mereka.
Tidak! Aku tidak bisa melakukan ini. Hal tersebut, hanya akan membuat luka ringan bagi mereka. Aku ingin mereka menderita seumur hidup, karena perbuatannya.
"Baiklah. Tapi, cepat belikan aku barang-barang mewah. Ya, itung-itung buat simpanan gitu.” Dinda terlihat memeluk lengan Mas Chandra, menyandarkan kepalanya di bahu.
"Iya, Sayang. Kamu tenang saja." Mas Chandra mengelus bahu Dinda yang tidak tertutup sempurna.
"Mas." Dinda semakin mendekat ke arah Mas Chandra dan hal yang tidak aku ingin lihat terjadi.
Mereka berdua saling memadu kasih, tanpa mempedulikan tempat maupun keadaanku. segera kumatikan kamera perekam, lalu mengelus perutku yang semakin hari, semakin membesar.
Aku tidak bisa menangis, karena memang aku tidak menginginkannya. Untuk apa menangisi kelakuan pria br*ngs*k dan wanita j*l*ng seperti itu.
Dari pada menangis, lebih baik aku membalas semua perbuatannya. Biar nanti, bukan aku yang meneteskan air mata kepedihan, tapi mereka.
Dinda, Mas Chandra. Pembalasan dariku akan segera tiba. Hidup kalian, tidak akan sebahagia ini lagi. Camkan itu!
***
Tidak di rasa, percakapanku dengan kedua orang tua Rama berlanjut dengan sedikit intens, tidak ayal bahkan Om Seto menceritakan bagaimana awal mula dia mengenal Ayahku.Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa menahan tangis, ketika Om Seto bercerita tentang kebaikan Ayahku, rasanya aku begitu bangga, meskipun Ayah sudah tiada, tetapi jasa dan perbuatan baiknya masih di ingat oleh orang-orang yang dulu mengenalnya."Semenjak Om dan Tante sibuk bekerja, kadang sampai pergi ke luar negeri selama beberapa tahun, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dan sekarang Om tidak menyangka, akan bertemu dengan putri dari teman baik, Om, dulu.""Saya juga tidak menyangka, akan bertemu dengan teman baik, Ayah."Om Seto tersenyum lebar, dia menyandarkan punggungnya pad kursi."Pertemuan ini benar-benar mengejutkan, seketika saja Om kembali teringat dengan janji semasa kuliah dulu."
Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu rencanakan, masalahnya aku dan Mas Chandra belum resmi bercerai, jadi aku sedikit malu jika harus bertemu dengan keluarga Rama.Takutnya mereka berpikir, jika aku sengaja mendekati anaknya yang masih melajang, karena sebentar lagi statusku berubah."Mil, kenapa wajahnya di tekuk seperti itu. Ada masalah?"Kebetulan karena malam ini hujan, jadinya aku terlalu sibuk mendengarkan suara rintikannya."Tidak ada, aku baik-baik saja."Sengaja aku tidak berkata yang sebenarnya pada Rama, karena memang tidak mungkin aku jujur padanya, jika aku sedikit tidak enak jika bertemu kedua orangtuanya.Tidak terasa, mobil yang di kendarai Rama mulai memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Aku tidak tahu, jika Rama memiliki rumah semewah ini.Perlahan aku keluar dari mobil, mematung di s
"Mau apa kalian ke sini?"Aku yang sedang asyik memainkan ponsel, lantas menoleh. Hari ini di rumah, hanya ada aku dan Ibu, sementara Faris pergi menginap dari kemarin dan sampai hari ini belum ada tanda-tanda dia akan segera pulang."Pergi! Untuk apa kalian menginjakkan kaki di sini."Mendengar Ibu yang terus berteriak, aku langsung menyimpan ponsel di atas meja dan segera bergegas keluar rumah.Kondisi Ibu memang belum sepenuhnya pulih. Lusa, Rama datang ke sini dan memeriksa kesehatan Ibu. Katanya Ibu hanya banyak pikiran dan kecapean saja, jadinya penyakit darah tingginya ikut kumat.Seketika aku langsung merasa bersalah pada Ibu, karena gara-gara aku, kondisinya jadi memburuk seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku dari ambang pintu, saat melihat Ibu sedang berdiri di depan pagar.Aku sedikit menyipit, ketika meli
"Mil, barusan siapa? Kayaknya itu bukan mobil Rama." Ibu yang baru saja pulang dari supermarket lantas langsung bertanya."Bram."Seketika Ibu langsung terbelalak saat mendengar ucapanku. "Apa! Untuk apa dia datang kemari? Mila, kamu tidak apa-apa, 'kan. Maksud ibu, dia tidak melakukan tindak kejahatan seperti waktu itu.""Tidak, Bu. Bram datang untuk meminta maaf."Ibu yang sedang berdiri, segera menghempaskan tubuh ke atas sopa. Hembusan napas berat terdengar, dia beberapa melirikku yang masih mematung."Rasanya Ibu tidak ingin percaya padamu. Tapi ... ah, yasudahlah syukur jika dia tidak melakukan kejahatan padamu."Seketika aku langsung menyunggingkan senyuman sambil menghampiri Ibu yang wajahnya nampak masam.Tanpa basa-basi, aku langsung memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkanku sampai bertaruh nyawa. Wanita paruh baya yang
"Bram! Apa yang membawamu datang kemari?" tanyaku pada sosok pria berkemeja biru dongker yang di padukan langsung dengan celana jeans hitam. "Tidak ada. Aku ... hanya ingin berkunjung saja." Aku mengangguk pelan, lalu segera mempersilahkan Bram masuk. Sebenarnya, aku sedikit takut dengannya, takut dia merencanakan hal buruk seperti beberapa saat yang lalu. Seperti menyadari ketakutanku, Bram langsung berkata, "Tidak usah takut atau canggung denganku. Aku kemari untuk meminta maaf padamu soal kejadian yang telah menimpamu." Aku sempat terdiam selama beberapa saat, sebenarnya aku masih marah dan kesal dengannya. Bagaimana bisa, Bram bertindak gila seperti itu, ditambah lagi posisiku saat itu sedang mengandung. Jika di pikirkan kembali, ingin sekali rasanya aku mencabik wajah dan mulutnya yang seenak jidatnya meminta maaf, padahal tindakannya sudah hampir mengancam n
"Rama, kapan kamu datang?" tanyaku pada sosok dokter muda yang tengah mengobrol dengan Ibu di ruang tengah. Penampilannya memang tidak jauh berbeda dari biasanya, tetap sama.Tampan dan menawan."Mungkin setengah jam yang lalu," jawab Rama sambil menoleh ke arahku, tidak lupa kedua sudut bibirnya ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.Aku menghampiri keduanya, lalu duduk tepat di hadapan Rama. "Ah, begitu. Maaf, aku baru sempat menemuimu sekarang. Tadi, aku harus mengurus Faris terlebih dahulu.""Tidak apa-apa, Mila. Aku paham keadaanmu. Tapi, Faris di mana? Kenapa dia tidak kelihatan." Rama nampak celingak-celinguk, memperhatikan seisi ruangan."Faris sedang bermain sepeda-sepedaan di taman belakang. Kamu mau menemuinya?""Tentu saja." Entah hanya penglihatanku saja atau bukan, tapi Rama nampak begitu berbinar. "Tan, saya permisi dulu, ya!"
"Mila, apa yang kamu lakukan padaku. Mila, cepat kembalikan semua milikku." Laki-laki yang tidak lain adalah Mas Chandra, langsung meraih tanganku menggenggamnya dengan cukup erat. "Milikmu apa? Coba jelaskan padaku." Aku menatapnya dengan cukup tajam, tidak peduli dengan Mas Chandra yang terus memelas sambil memohon-mohon padaku. "Ayah, kerja di sini? Kenapa Ayah gak pernah mau ketemu lagi sama Faris?" Aku yang awalnya sempat bersitegang dengan Mas Chandra, langsung menoleh ke arah Faris yang duduk di samping Ibu. Sebisa mungkin, Ibu nampaknya mengalihkan perhatian Faris dari Ayahnya, tapi sayangnya itu tidak berhasil. "Nak, maafkan Ayah. Tapi, Ayah janji, Ayah akan pulang." Mas Chandra menghampiri Faris, memeluknya dengan cukup erat. Hampir saja aku luluh, apalagi ketika melihat Faris begitu merindukan Ayahnya, tapi ketika mengingat kembali perbuatan buruk yang telah
Sudah satu bulan semejak kejadian tersebut, tidak banyak yang berubah dariku, hanya saja aku masih sedikit agak terpuruk.Namun, di sisi lain aku berusaha untuk tetap kuat dan tegar, karena bagaimanapun itu aku masih memiliki Faris, anak laki-lakiku yang harus aku urus dengan begitu baik."Bu, kita jadi menemui Dinda di tahanan?" tanyaku pada Ibu yang terlihat sibuk membolak-balikkan halaman majalah.Seketika Ibu langsung menoleh, setelah sebelumnya menghentikan pergerakan tangannya, saat aku mendaratkan bokong tepat di sampingnya. "Kamu yakin ini menemui Dinda kali ini?"Aku mengangguk pelan. "Tentu saja! Aku sudah siap sekarang. Aku--" tanpa terasa, mataku sedikit memanas. "Ingin menemui pembunuh dari anakku."Ibu sempat terdiam saat mendengar penuturannya. Hingga hembusan napas berat terdengar."Baiklah, kamu siap-siap dulu. Ibu tunggu di
"Aku tidak mau pergi dari rumah ini! Lagipula, ini adalah rumah yang suamiku belikan untukku," pekik Dinda sambil berbalik, dia menatapku tajam, tangannya terkepal kuat."Maaf, sebelumnya ada kesalahan. Suamimu tidak membelikannya, tapi mencicilnya." Sontak saja, wajah Dinda dan kedua orangtuanya langsung memerah padam setelah mendengar sindiran Ibu.Dinda segera menghampaskan tangan pria yang mencengkramnya, dia kembali berlari masuk ke halaman rumah dan tanpa di duga-duga, dia langsung mendorong tubuhku hingga perutku jatuh mengenai sisi teras."Ah, tolong." Aku meringis sambil memegang perut yang terasa begitu sakit."Mila!" pekik Ibu yang berada tepat di sampingku.Aku berusaha bangkit, di bantu oleh Bang Chandra dan Beberapa warga lainnya. Seketika aku langsung mematung, mulutku terbuka lebar, saat melihat cairan kental berwarna merah meluncur membasahi betisku.