Aku benar-benar tidak menduga akan rencana Ibu. Bahkan, akupun lupa jika hari ini adalah anniversary pernikahan kami. Mungkin, karena aku terlalu kecewa dengan Mas Chandra, sehingga tidak memperdulikan hal itu lagi.
Saat mobil kami tiba di depan rumah, seketika aku langsung tercengang ketika melihat dekorasi rumah yang cukup mewah. Aku tidak menyangka, hanya dalam hitungan jam saja, para orang-orang suruhan Ibu sudah melaksanakan tugasnya dengan cukup baik.
Kulirik Mas Chandra sekilas, laki-laki itu pun memperlihatkan ekspresi yang sama. Mungkin dia tidak menyangka, aku akan mempersiapkan hal seperti ini.
Ya, tentu saja aku bisa! Setelah mengetahui perselingkuhan Mas Chandra dengan Dinda, aku semakin tidak bisa menahan diri. Aku tidak ikhlas, jika uang hasil jerih payah suamiku, di pakai poya-poya oleh orang lain selain istri dan keluarganya.
"Mas, kamu suka kejutan dariku dan ibu, 'kan?" Kulirik Ibu sekilas yang sedang menyunggingkan senyuman, kemudian kembali beralih menatap Mas Chandra sepertinya masih terkejut.
"Tentu, saja! Tapi, untuk apa kamu melakukan ini? Kita bisa membuat pesta sederhana yang biasa kita lakukan," ucapnya sambil melepas sabuk pengaman.
"Dari pada uangmu tidak aku gunakan. Aku takut, ada pelakor yang menggoda dirimu, Mas." Setelah ikut melepaskan sabuk pengaman, kuraih tas yang ada di pangkuan dan siap untuk keluar. Tapi, tiba-tiba ucapan Mas Chandra menghentikan aktivitasku.
"Pelakor-pelakor, terus aja bahas itu."
Aku menoleh, menatap Mas Chandra tajam. "Kenapa marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?"
"Tidak ada, aku hanya ... tidak suka kamu membahas hal itu."
Aku tidak menghiraukan ucapan Mas Chandra dan lebih memilih keluar dari mobil bersama ibu. Kami berdua langsung menghampiri orang suruhan ibu, memastikan semua pekerjaan sudah selesai.
"Bagus, kalian sudah memastikan semuanya beres, 'kan?" tanya ibu sambil sesekali melirik ke arah samping, takut Mas Chandra mendengar percakapannya.
"Sudah, Bu. Beres!" jawab seorang pria berambut gondrong.
"Bagus! Uangnya sudah saya transfer."
Pria itu mengangguk, dia segera pamit dari hadapan ibu begitupun dengan orang-orang yang lainnya.
Melalui sudut mata, kulihat Mas Chandra begitu kesusahan mengeluarkan barang belanjaan kami yang jumlahnya tidak sedikit.
Seperti menyadari hal itu, Ibu langsung menarik tubuhku untuk cepat-cepat masuk ke rumah.
"Sudah, biarkan saja! Anak itu sesekali harus di berikan pelajaran."
Aku mengangguk setuju, karena bagaimanapun aku tidak bisa membantah perintah Ibu, juga aku sangat sakit hati dengan perbuatan Mas Chandra.
Rasanya sangat sulit bagiku untuk memaafkan semuanya, jika aku tidak memikirkan Faris dan Ibu, serta hanya memikirkan rasa sakit saja, mungkin detik ini juga aku sudah meminta cerai pada Mas Chandra.
Namun, jika di pikir-pikir kembali, hal itu pasti akan membuat Dinda kegirangan, dia pasti akan merasa menang akan diriku. Oleh sebab itu, aku akan mempermalukan Dinda terlebih dahulu, bagaimanapun caranya. Aku tidak terima! Atas perbuatannya.
Aku tidak peduli, walaupun statusnya adalah adik dari Dini--sahabatku. Karena, jika Dini masih ada di sini, dia pun pasti akan menentang keras keputusan adiknya.
"Bu, makanannya yang Ibu pesan kapan datang?"
"Nanti sore, Nak," jawab ibu mertua sambil melenggang ke kamar Faris. Tidak beberapa lama kemudian, dia kembali sambil menggendong Faris yang sedang memegang sebuah mobil-mobilan.
"Faris, udah makan, Bi?" tanyaku pada seorang wanita paruh baya berpakaian serba putih.
"Sudah, Bu," jawab seorang wanita berpakaian serba putih, rambutnya sengaja dia gulung.
"Baiklah, Bibi Sri boleh pulang."
Wanita bernama Sri itu mengangguk, dia langsung meraih tas selempang yang tergeletak di sofa, kemudian pamit kepadaku dan Ibu.
Selang beberapa menit kemudian, Mas Chandra datang sambil menenteng beberapa buah tas belanjaan. Dari jumlah yang aku lihat, masih banyak belanjaan lainnya yang tersisa di dalam mobil.
"Yang lainnya mana, Mas?" tanyaku sambil menatapnya intens.
Tidak beberapa lama kemudian, Mang Asep yang merupakan supir keluargaku datang. Untung saja, tadi kami tidak pergi bersama Mang Asep, bisa-bisa dia keceplosan soal rencana kami.
"Nih, Bu, semuanya sudah saya bawain."
"Ya sudah, makasih, Mang," jawab Ibu ketus, tidak seperti biasanya memang.
***
"Bu, bagaimana? Apa gaunku terlihat cantik?" tanyaku pada Ibu saat melihat pantulan tubuh di cermin yang berbalutkan gaun mewah. Sengaja rambutku gerai, kalung berlian, cincin serta gelang ikut menghiasi penampilanku.
"Kamu memang selalu cantik. Ibu heran, kenapa Chandra bisa tergoda wanita seperti Dinda, yang tidak apa-apanya sama sekali."
Ibu mendengus, terlihat jelas ketidaksukaan di raut wajahnya yang sudah sedikit menua.
"Ibu tidak melihat apapun dari diri Dinda. Dia tidak cantik dan tidak menarik sama sekali."
Aku hanya tersenyum tipis ketika mendengar penuturan Ibu. Benarkah aku cantik? Ah, aku bahkan sudah lama tidak memikirkan hal itu.
"Bu, bagaimana dengan keluarga Dinda? Jelas-jelas dari foto yang aku dapat, mereka semua terlibat."
Ibu menghampiriku, menepuk pundakku selama beberapa kali, berusaha memberiku kekuatan.
"Tenang, saja. Orang-orang suruhan Ibu sedang menyelidikinya. Apa mereka masih tinggal di kampung atau sudah tinggal di rumah Dinda." Ibu menoleh, menatap pantulannya di cermin. "Ibu tahu, apa yang harus dilakukan."
"Sayang, sudah siap belum? Para tamu sudah berkumpul." Tiba-tiba Mas Chandra menyembulkan kepala dari balik pintu. Dia terlihat sedang menggendong Faris yang sama-sama berbalutkan tuksedo hitam.
"Iya, Mas. Aku keluar sekarang." Aku merapikan penampilan sekali lagi. Aku harus cantik dan terlihat sempurna, melebihi Dinda si wanita pelakor yang memang tidak ada apa-apanya. "Aku masih bingung, bagaimana cara Ibu mengundang orang-orang, hingga terkumpul banyak dalam kurun waktu yang sebentar."
"Kamu seperti tidak tahu Ibu saja."
Aku tersenyum ketika mendengar penuturan Ibu. Benar juga, harusnya aku tahu akan hal itu.
Siapa yang tidak tahu Ibu, istri dari pemilik perusahaan terbesar. Teman-teman kantor, arisan bahkan kerabatnya pun cukup banyak.
Saat MC memanggil, aku langsung menggandeng Mas Chandra, serta Faris dan Ibu yang berjalan di belakang. Kami mulai memasuki tempat pesta. Sontak saja, semua pasang mata langsung memperhatikan ke arah kami, riuh tepuk tangan terdengar bergemuruh.
Dari sudut mata, kulihat Dinda sedang berdiri di ujung ruangan memakai gaun hitam selutut. Sesuai dugaan, dia datang sendirian.
"Mas, mau ke mana, sih?" Sepertinya Mas Candra baru menyadari kedatangan Dinda.
"Mau, itu ... ah, menemui teman."
Tidak di rasa, percakapanku dengan kedua orang tua Rama berlanjut dengan sedikit intens, tidak ayal bahkan Om Seto menceritakan bagaimana awal mula dia mengenal Ayahku.Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa menahan tangis, ketika Om Seto bercerita tentang kebaikan Ayahku, rasanya aku begitu bangga, meskipun Ayah sudah tiada, tetapi jasa dan perbuatan baiknya masih di ingat oleh orang-orang yang dulu mengenalnya."Semenjak Om dan Tante sibuk bekerja, kadang sampai pergi ke luar negeri selama beberapa tahun, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dan sekarang Om tidak menyangka, akan bertemu dengan putri dari teman baik, Om, dulu.""Saya juga tidak menyangka, akan bertemu dengan teman baik, Ayah."Om Seto tersenyum lebar, dia menyandarkan punggungnya pad kursi."Pertemuan ini benar-benar mengejutkan, seketika saja Om kembali teringat dengan janji semasa kuliah dulu."
Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu rencanakan, masalahnya aku dan Mas Chandra belum resmi bercerai, jadi aku sedikit malu jika harus bertemu dengan keluarga Rama.Takutnya mereka berpikir, jika aku sengaja mendekati anaknya yang masih melajang, karena sebentar lagi statusku berubah."Mil, kenapa wajahnya di tekuk seperti itu. Ada masalah?"Kebetulan karena malam ini hujan, jadinya aku terlalu sibuk mendengarkan suara rintikannya."Tidak ada, aku baik-baik saja."Sengaja aku tidak berkata yang sebenarnya pada Rama, karena memang tidak mungkin aku jujur padanya, jika aku sedikit tidak enak jika bertemu kedua orangtuanya.Tidak terasa, mobil yang di kendarai Rama mulai memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Aku tidak tahu, jika Rama memiliki rumah semewah ini.Perlahan aku keluar dari mobil, mematung di s
"Mau apa kalian ke sini?"Aku yang sedang asyik memainkan ponsel, lantas menoleh. Hari ini di rumah, hanya ada aku dan Ibu, sementara Faris pergi menginap dari kemarin dan sampai hari ini belum ada tanda-tanda dia akan segera pulang."Pergi! Untuk apa kalian menginjakkan kaki di sini."Mendengar Ibu yang terus berteriak, aku langsung menyimpan ponsel di atas meja dan segera bergegas keluar rumah.Kondisi Ibu memang belum sepenuhnya pulih. Lusa, Rama datang ke sini dan memeriksa kesehatan Ibu. Katanya Ibu hanya banyak pikiran dan kecapean saja, jadinya penyakit darah tingginya ikut kumat.Seketika aku langsung merasa bersalah pada Ibu, karena gara-gara aku, kondisinya jadi memburuk seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku dari ambang pintu, saat melihat Ibu sedang berdiri di depan pagar.Aku sedikit menyipit, ketika meli
"Mil, barusan siapa? Kayaknya itu bukan mobil Rama." Ibu yang baru saja pulang dari supermarket lantas langsung bertanya."Bram."Seketika Ibu langsung terbelalak saat mendengar ucapanku. "Apa! Untuk apa dia datang kemari? Mila, kamu tidak apa-apa, 'kan. Maksud ibu, dia tidak melakukan tindak kejahatan seperti waktu itu.""Tidak, Bu. Bram datang untuk meminta maaf."Ibu yang sedang berdiri, segera menghempaskan tubuh ke atas sopa. Hembusan napas berat terdengar, dia beberapa melirikku yang masih mematung."Rasanya Ibu tidak ingin percaya padamu. Tapi ... ah, yasudahlah syukur jika dia tidak melakukan kejahatan padamu."Seketika aku langsung menyunggingkan senyuman sambil menghampiri Ibu yang wajahnya nampak masam.Tanpa basa-basi, aku langsung memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkanku sampai bertaruh nyawa. Wanita paruh baya yang
"Bram! Apa yang membawamu datang kemari?" tanyaku pada sosok pria berkemeja biru dongker yang di padukan langsung dengan celana jeans hitam. "Tidak ada. Aku ... hanya ingin berkunjung saja." Aku mengangguk pelan, lalu segera mempersilahkan Bram masuk. Sebenarnya, aku sedikit takut dengannya, takut dia merencanakan hal buruk seperti beberapa saat yang lalu. Seperti menyadari ketakutanku, Bram langsung berkata, "Tidak usah takut atau canggung denganku. Aku kemari untuk meminta maaf padamu soal kejadian yang telah menimpamu." Aku sempat terdiam selama beberapa saat, sebenarnya aku masih marah dan kesal dengannya. Bagaimana bisa, Bram bertindak gila seperti itu, ditambah lagi posisiku saat itu sedang mengandung. Jika di pikirkan kembali, ingin sekali rasanya aku mencabik wajah dan mulutnya yang seenak jidatnya meminta maaf, padahal tindakannya sudah hampir mengancam n
"Rama, kapan kamu datang?" tanyaku pada sosok dokter muda yang tengah mengobrol dengan Ibu di ruang tengah. Penampilannya memang tidak jauh berbeda dari biasanya, tetap sama.Tampan dan menawan."Mungkin setengah jam yang lalu," jawab Rama sambil menoleh ke arahku, tidak lupa kedua sudut bibirnya ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.Aku menghampiri keduanya, lalu duduk tepat di hadapan Rama. "Ah, begitu. Maaf, aku baru sempat menemuimu sekarang. Tadi, aku harus mengurus Faris terlebih dahulu.""Tidak apa-apa, Mila. Aku paham keadaanmu. Tapi, Faris di mana? Kenapa dia tidak kelihatan." Rama nampak celingak-celinguk, memperhatikan seisi ruangan."Faris sedang bermain sepeda-sepedaan di taman belakang. Kamu mau menemuinya?""Tentu saja." Entah hanya penglihatanku saja atau bukan, tapi Rama nampak begitu berbinar. "Tan, saya permisi dulu, ya!"