Share

BAB 2

Author: Katiram
last update Last Updated: 2025-05-26 16:03:34

BAB 2: Masalalu yang datang mengacau

Langit senja menggantung suram, seolah ikut merasakan lelah yang melilit tubuh Alya. Setelah kelas terakhir selesai, ia tidak langsung pulang ke kosan atau menjaga toko buku seperti biasanya. Hari ini, ia mulai pekerjaan baru, sebagai pelayan di sebuah kafe kecil yang buka dari sore hingga malam hari. Pekerjaan itu ia ambil karena kebutuhan semakin mendesak. biaya makan, obat ibunya, dan biaya hidup lainnya yang terus menumpuk.

Kafe itu terletak di daerah semi elit dekat kampus, bangunannya penuh kaca dengan interior modern. Ini bukan tempat yang mewah, tapi cukup untuk menarik kalangan menengah ke atas. Dengan seragam apron cokelat dan topi kecil di kepala, Alya berjalan cepat dari satu meja ke meja lain, membawa nampan penuh pesanan pelanggan.

Ia memaksakan senyum saat mengantarkan minuman. Tangan dan kakinya pegal, tapi pikirannya terus melayang ke rumah, pada ibunya yang sedang menahan nyeri lambung dengan air putih hangat dan bantal pemanas seadanya.

“Mbak Alya, meja tujuh pesan ulang, ya,” ucap seorang rekan kerjanya.

Alya mengangguk dan berjalan ke mesin kasir untuk mencatat ulang pesanan. Saat itu, pintu kafe terbuka. Suara bel kecil menggantung di udara, dan Alya menoleh sejenak.

Hatinya langsung mencelos.

Seorang pria dengan jaket denim dan senyum sinis masuk bersama dua temannya. Ia mengenakan topi miring dan jeans sobek-sobek. Matanya langsung menyapu seluruh ruangan hingga tertumbuk pada Alya.

Lutfi.

Pria yang dulu pernah ia cintai. Mantan yang dulunya manis dan perhatian, tapi berubah jadi buas dan menakutkan begitu hubungan mereka menjadi serius. Lutfi pernah mencoba menyentuh Alya lebih dari yang ia izinkan. Beruntung Alya cukup kuat untuk menolaknya dan memutuskan hubungan itu. Tapi sejak saat itu, Lutfi jadi sosok menyeramkan yang menaruh dendam dalam diam.

Dan malam ini, tampaknya dendam itu akan dilampiaskan.

Lutfi memilih duduk di meja yang persis berada di tengah kafe. Matanya menatap Alya dengan senyum miring. “Wah, lihat siapa yang jadi pelayan malam ini,” katanya dengan nada menyebalkan, cukup keras untuk didengar orang lain.

Alya pura-pura tak mendengar. Ia mengambil menu dan berjalan ke meja mereka.

“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” suaranya tenang, tapi tangannya sedikit gemetar.

“Kopi hitam. Sama... chicken wings, ya,” kata Lutfi. “Eh, kamu jangan lupa ya kasih ekstra sambal. Siapa tahu lidah kamu masih panas kayak dulu.”

Teman-temannya langsung tertawa. Alya menunduk dan mencatat, lalu buru-buru pergi. Tapi ia bisa merasakan mata-mata yang mulai melirik ke arahnya. Pelanggan lain mulai menyadari ada yang tidak beres.

Sepuluh menit kemudian, Alya kembali dengan nampan berisi pesanan. Ia meletakkan kopi dan makanan dengan hati-hati.

“Silakan dinikmati.”

Belum sempat ia berbalik, Lutfi mengambil gelas kopi panas itu dan dengan gerakan cepat menuangkannya ke atas kepala Alya. Cairan pahit mengalir membasahi rambut dan bajunya. Diikuti dengan seember tawa dari Lutfi dan teman-temannya.

“Ups! Maaf, tanganku terpeleset,” katanya dengan tawa puas.

Semua mata di kafe kini tertuju pada Alya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena panas kopi, tapi juga rasa malu yang menampar habis-habisan. Rambutnya lepek, bajunya basah, dan tangannya gemetar hebat. Ia menunduk, ingin lari, ingin lenyap.

Namun tiba-tiba, sesuatu menyelimuti tubuhnya.

Sebuah jas berwarna abu-abu gelap dililitkan ke pundaknya. Ukurannya jauh lebih besar dari tubuh mungil Alya. Hangat. Dan baunya parfum maskulin yang tajam dan elegan, langsung menusuk indera penciumannya. Alya mendongak perlahan.

Di hadapannya berdiri pria yang tak asing Arsen. Dosen dingin itu menatap Lutfi dan kawan-kawannya dengan wajah datar. Tapi ada bahaya yang mengintai dari tatapan itu. Dinginnya bukan lagi datar, tapi mengandung amarah yang terkontrol sempurna.

“Sudah selesai main-mainnya?” tanya Arsen pelan. Tapi tiap katanya seperti bilah baja yang ditajamkan.

Lutfi yang awalnya percaya diri, mendadak berdiri gugup. “Eh... ini cuma bercanda, Pak. Nggak usah ikut campur.”

“Bercanda?” Arsen mendekat satu langkah. “Kamu mempermalukan seorang perempuan di depan umum, menuangkan minuman panas ke kepalanya, dan kamu sebut itu bercanda?”

Lutfi berusaha tertawa, tapi suaranya terdengar aneh. “Saya nggak tahu jika anda disini, Pak. Maaf jika hal itu membuat Anda terganggu”

“Bukan soal itu. Ini soal moral.”

Arsen mendekat lagi, dan kali ini nada suaranya berubah tajam. “Keluar dari tempat ini. Sekarang.”

Lutfi menelan ludah. Salah satu temannya sudah menarik lengan bajunya. “Udah, bro. Cabut aja.”

Lutfi melirik Alya sekilas, tapi tatapan Arsen membuatnya cepat-cepat pergi bersama dua kawannya. Kafe kembali senyap, hanya terdengar bisik-bisik kecil dari pengunjung lain.

Alya masih berdiri kaku. Tangannya meremas ujung jas yang membungkus tubuhnya.

Arsen menoleh ke seorang staf. “Saya minta maaf atas kekacauan ini. Tolong biarkan dia istirahat.”

Staf mengangguk. “Iya, Pak.”

Kemudian Arsen menatap Alya. “Ayo. Keluar dari sini dulu.”

Alya tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mengikuti langkah Arsen ke luar kafe, menyusuri trotoar hingga mencapai mobil hitam yang terparkir rapi di pinggir jalan. Arsen membuka pintu penumpang dan membiarkannya masuk terlebih dahulu. Setelah itu, ia menyetir dalam diam.

Di dalam mobil, kehangatan menyelimuti mereka. Hujan mulai turun pelan, menampar kaca mobil dengan ritme lembut.

“Terima kasih, Pak,” ucap Alya lirih. Suaranya nyaris tidak terdengar.

Arsen meliriknya sekilas. “Aku bukan pahlawan. Aku hanya tidak tahan melihat orang seperti dia memperlakukanmu seperti itu. Dan Saya juga kebetulan lewat dan melihat kejadian itu dibalik tembok kaca kafe ini”

Alya menggigit bibir bawahnya. Air mata yang sejak tadi ditahannya mulai jatuh satu per satu. Ia menutup wajahnya dengan tangan, menahan isak sekuat tenaga.

Arsen berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi dan mematikan mesin. Ia menoleh dengan serius.

“Kamu baik-baik saja?”

Alya mengangguk, meski jelas tidak.

“Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa hubungi aku.”

Alya menatapnya bingung. “Kenapa... Bapak mau bantu saya?”

Arsen menarik napas pelan. “Karena aku pernah berada di posisi kamu. Kehilangan, kehabisan arah, dan merasa sendirian. Tapi ada seseorang yang dulu membantuku tanpa pamrih. Aku ingin melakukan hal yang sama untuk orang lain.”

Ia membuka dompet dan mengeluarkan kartu nama. Di sana hanya tertera namanya dan satu nomor pribadi.

“Aku tahu kamu keras kepala dan tidak suka berutang budi. Tapi kalau kamu di posisi yang terlalu sulit, telepon saja.”

Alya menerima kartu itu dengan tangan bergetar. “Saya... terima kasih.”

Arsen menyalakan mesin mobil lagi. “Aku antar kamu pulang. Kita bicara lagi nanti. Sekarang, kamu perlu istirahat.”

Malam itu, hujan turun makin deras. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, Alya merasa ada seseorang yang benar-benar melindunginya. Bukan karena cinta, bukan karena nafsu, tapi karena empati yang nyata.

Dan dari aroma jas yang membungkus tubuhnya, Alya tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 10

    Sorotan mata menusuk seperti ribuan jarum. Alya duduk membeku di kursinya, tubuhnya bergetar pelan. Hatinya sudah cukup lelah menahan rasa malu yang bertubi-tubi. Suara tawa mengejek Lutfi dan teman-temannya di sudut ruangan membuat dunia Alya seakan runtuh. Kalimat mereka berputar-putar di kepalanya: "Simpanannya om-om, ya?", "Enak banget hidup lu sekarang, tinggal naik mobil mahal, ya?", "Berapa bayarannya?"Alya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan amarah, malu, dan rasa tidak berdaya. Ia tahu, mencoba melawan hanya akan memperburuk keadaan. Mahasiswa lain hanya diam, sebagian menunduk, sebagian ikut tertawa kecil, seakan mengamini semua hinaan itu. Tangannya yang menggenggam pulpen tampak bergetar.Namun dalam sekejap, atmosfer ruang kelas berubah drastis. Suara langkah sepatu kulit terdengar menggema di koridor sebelum berhenti di ambang pintu. Dia adalah Arsen.Pria itu berdiri di sana, mengenakan setelan hitam elegan seperti biasa. Kehadirannya seperti badai yang me

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 9

    Alya memandangi layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Arsen. “Untuk sementara, jangan pulang dulu. Aku curiga Kakek mengirim orang untuk mengamati kita. Tetaplah di rumahku sampai situasi aman. Aku sudah bicara dengan rumah sakit juga agar perawatan Ibumu semakin intensif.” Alya menghela napas panjang. Ia duduk di balkon kamar lantai dua rumah Arsen, mengenakan hoodie abu dan celana panjang nyaman, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya. Langit mendung seakan mencerminkan isi hatinya. “Dia serius,” gumamnya lirih. Sudah tiga hari ia berada di rumah besar itu. Rumah yang awalnya terasa asing, kini mulai terasa seperti tempat pelarian paling aman, terutama karena kehadiran Yuni, pembantu paruh baya yang ramah dan tidak pernah memperlakukannya seperti tamu asing. Suara ketukan lembut terdengar di pintu balkon. “Alya, kamu sudah sarapan?” tanya Yuni dari dalam. Alya menoleh dan tersenyum tipis. “Belum, Bu. Nggak lapar,” jawabnya pelan. Yuni membuka pintu balkon

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 8

    Suara deru mesin mobil mewah terdengar nyaring dari arah gerbang. Alya yang sedang menyapu halaman depan menoleh cepat. Tatapannya langsung membeku saat melihat deretan mobil hitam berhenti berjajar, seperti rombongan tamu penting atau pejabat tinggi negara.Seorang pria paruh baya bersetelan rapi turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk seseorang yang tampak lebih tua, berwibawa, dan dikelilingi oleh tiga orang bodyguard berjas gelap.“Alya,” suara Arsen terdengar dari belakangnya. Pria itu baru saja keluar dari rumah dengan kaos santai dan celana jeans gelap, ekspresinya mendadak berubah tegang. “Masuk ke dalam. Sekarang.”“Siapa itu?” tanya Alya pelan, walau tubuhnya belum bergerak.“Masuk dulu,” ulang Arsen, kali ini dengan nada tegas.Tapi belum sempat Alya melangkah mundur, sosok pria tua itu sudah berdiri di depan halaman rumah mereka. Ia tinggi untuk usianya, kulitnya kecokelatan, rambut putihnya tersisir rapi ke belakang, dan sorot matanya tajam seperti elang. Alya merasa

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 7

    Suara detik jam di dinding ruang tamu rumah besar itu menggema di antara keheningan. Alya melangkah perlahan, menyeret koper kecilnya yang hanya berisi barang-barang penting. Arsen berjalan di depan, tanpa berkata banyak. Sejak menjemputnya dari rumah sakit pagi tadi, pria itu hanya berbicara seperlunya. "Kamar tamu ada di lantai dua, sebelah kiri. Kamu bisa menempatinya sementara waktu," ujar Arsen sambil membuka pintu rumah dengan kode digital. Alya mengangguk pelan. "Terima kasih." Mereka melangkah masuk. Rumah itu tampak seperti museum hidup, setiap sudutnya tertata sempurna, bersih, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat tinggal. Tidak ada aroma makanan dari dapur, tidak ada suara televisi menyala, bahkan tidak ada jejak kehangatan yang biasa ia temui di rumah kecilnya yang sederhana. "Kakekku akan datang lusa. Lebih baik kamu sudah di sini sebelum beliau tiba," lanjut Arsen datar. "Kamu sudah bilang ke beliau kalau kita... menikah?" Arsen berhenti sejenak, menoleh mena

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 6

    Jam dinding di ruang tunggu rumah sakit berdetak lambat, seolah menyadari bahwa waktu di tempat seperti ini tidak diukur dalam menit, melainkan dalam harapan dan ketakutan. Alya duduk menyandar di kursi keras berlapis plastik biru, kedua tangannya memeluk tubuh sendiri, mencoba menghangatkan diri dari dingin pendingin ruangan yang menusuk.Sudah dua malam ia tidur di sana, bergantian dengan perawat jaga untuk menemani ibunya yang masih belum bisa banyak bicara. Meskipun kondisi sang ibu mulai stabil, dokter belum mengizinkan kepulangan dalam waktu dekat. Organ dalamnya masih terlalu lemah, dan pengawasan intensif diperlukan.Sambil memeluk ransel lusuh di pangkuannya, Alya menatap kosong ke layar ponsel yang gelap. Ia baru sadar bahwa sejak beberapa hari terakhir, pesan dari Arsen tidak pernah ia balas. Bahkan, pesan terakhir pria itu masih belum ia baca."Alya?" Suara lembut perawat muda membuyarkan lamunannya.Ia mengangkat wajah, berusaha tersenyum. "Iya, Kak?"“Boleh ikut saya s

  • Pernikahan Kilat dengan Dosen Kaya Raya   BAB 5

    BAB 5: Janji di Bawah Langit SenjaDeru mesin infus menyatu dengan suara napas berat yang keluar dari dada ibu Alya. Di ruangan rumah sakit yang senyap, hanya ada bunyi detak jantung yang terekam dari alat monitor, serta langkah-langkah kaki suster yang sesekali berlalu-lalang di lorong. Alya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan tampak rapuh."Ibu...," bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya sembab karena menangis sepanjang malam.Ibu Alya membuka matanya perlahan. Sorot matanya lemah namun tetap hangat. Bibirnya bergerak pelan, nyaris tidak bersuara. "Alya… kamu belum pulang?"Alya menggeleng pelan. "Alya di sini aja, Bu. Temenin Ibu. Nggak usah mikirin apa-apa lagi."Ibu Alya menghela napas lemah. “Kamu harus kuliah. Kamu harus kerja. Jangan sampai semua terbengkalai cuma karena Ibu…”Alya menunduk, suaranya bergetar. "Bu, jangan bilang gitu. Ibu tahu kan, Alya nggak punya siapa-siapa lagi selain Ibu."Hening. Suara alat medis kembali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status