Share

3. Gregory Zakharov

Hannah!

Hannah!

Hannah!

Aku menoleh ke arah suara. Tempat ini sunyi, yang aku lihat hanya warna putih. Tidak ada apapun yang bisa aku lihat.

Tapi suara itu begitu mendesakku untuk menemukan nya.

Siapa disana?

Aneh, aku tidak dapat bersuara. Aku menyentuh wajahku, dan bibir ku masih tertempel di tempatnya. Tapi kenapa aku tidak bisa bicara sama sekali?

Keanehan ini hanya dapat terjadi di alam mimpi. Begitu lah otakku menyadarkan ku. Hingga aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun.

Hannah!

Suara itu semakin dekat. Dan kali ini, aku bisa merasakan bibirku bergerak, kelopak mataku berkedut, dan tanganku dipegang seseorang.

Aku membuka mata, tapi kemudian aku menjerit ketakutan.

"Ada apa ini?" Pekik ku ketakutan.

Paman Moriarty berdiri disebelahku. Sementara aku duduk di kursi roda seraya diikat kuat. Untung saja mulutku tidak di bungkam.

"Paman! Ada apa ini? Kenapa aku diikat dan siapa mereka semua!" aku berkata dengan marah. Baru saja aku mempercayainya.

Paman tidak melihat ke arahku. Dia hanya tersenyum mencebik. Aku melihat arah pandangannya dan melihat kakek berdiri di sana.

Sebuah helikopter militer dengan mesin menyala masih menunggu dibelakangnya. Aku menatap nanar paman Moriarty. Untuk apa dia melakukan ini padaku.

Tidak terasa pipiku basah. Bibirku kelu sambil kugigit kuat-kuat lidahku. Entah siapa lagi yang bisa aku percaya. Disaat menyedihkan seperti ini, aku baru ingat Josh.

"Dimana adikku, Paman?" Tanyaku marah.

"Dia baik-baik saja," hanya itu yang keluar dari mulutnya, tapi dia sama sekali tidak menatapku.

Aku merasa janggal dengan sikap paman. Dan soal kakek, aku lebih tidak percaya lagi. Meskipun aku sudah dapat menduga siapa dia sebenarnya.

"Lepaskan cucuku, Moriarty!" Bentak kakek marah.

"Aku yakin dia tidak akan kabur, jangan membuatnya tergores sedikitpun!" tambah kakek lagi.

Aku hanya diam memandanginya dari jauh.

Tawa geli keluar hingga bergemuruh dari dada pamanku. Dia mencebik mengejek kakek seraya mengusap hidungnya.

" Gregory Zakharov! Kau pikir aku sekejam dirimu hah? " jawab paman begitu tenang.

Apa maksud perkataan paman? Tapi sepertinya kakek terlihat sangat mengkhawatirkan aku?

"Diam!" Geram kakek kesal. Dia melihatku dengan memohon.

"Kau pasti bertanya nak, apa dia benar kakekmu?" tanya paman padaku. Aku hanya diam.

"Dia benar-benar kakek kandungmu, ayah dari ibumu Anna Zakharov. Tapi sayangnya, dia begitu kejam hingga mampu mengorbankan putri semata wayangnya untuk misi bunuh diri!"

Pernyataan bagaikan petir di siang bolong bagiku. Sekejam itukah kakek? Apakah kepentingan negaranya dapat membutakan mata hatinya? Aku menggeleng sambil menangis.

Kakek menatapku dengan wajah bersalah. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Menatap benda itu lama hingga ia dapat mengumpulkan kembali keberaniannya.

"Aku punya apa yang kau minta!" kata kakek seperti ingin mengalihkan arus pembicaraan.

"Ingat cucuku sebagai gantinya!"

"Tentu saja, ambil saja dia!" kata Paman seraya tertawa.

"Paman!, apa-apaan ini?" tanyaku gusar. Meminta penangkalan dari paman.

"Maaf Hannah, paman lebih membutuhkan informasi itu daripada kau. Seorang gadis hanya membuatku semakin kerepotan,"

Paman meminta maaf, tapi tidak sedikitpun rasa sesal tersirat dari kata-katanya yang ambigu. Tapi yang aku pikirkan hanya adikku saat ini.

"Mana Josh! Aku ingin membawa adikku Josh!" aku berusaha meronta-ronta dari ikatan.

Paman dengan tenang menunggu kakek yang sedang berjalan kearah kami. Sementara aku masih berusaha melepaskan diri.

"Kumohon! Biarkan aku membawa adikku paman! Dia butuh aku!"

Aku begitu putus asa, meminta seperti pengemis. Tapi paman sedikitpun tidak bersimpati padaku. Dia masih menatap lekat kehadiran kakek.

"Mana Josh!" tanya kakek dengan suara menggelegar.

"Kesepakatan kita hanya Hannah, Josh masih dalam perawatan. Tenang saja, dia akan baik-baik saja," jawab paman tenang.

Kakek memberikan sebuah tas kecil pada paman. Kemudian paman memberikan kunci untuk membuka rantai yang membelengguku.

Aku tidak peduli dan tidak ingin mengetahui apa yang menjadi alat tukar untukku. Aku hanya ingin mengambil adikku bersamaku.

Josh!

"Tenanglah, kakek harus menyelamatkanmu lebih dulu. Nanti kita akan pikirkan cara menyelamatkan Josh," Bisik kakek seraya melepas ikatanku.

Aku diam, tapi dadaku terasa dihimpit batu raksasa hingga membuat hatiku remuk. Adikku yang malang. Padahal aku membayangkan akan melihatnya bangun setelah aku sadar .

Kakek membawaku dengan kursi roda. Kakiku masih lemas, dan baru tersadar air minum yang diberikan paman pasti mengandung obat bius.

Aku melihat paman dengan tatapan memohon. Tapi dia bersikap dingin lalu pergi masuk kedalam mobilnya. Aku merasa sangat lemas, terlepas dari sisa obat yang aku minum.

"Kakek, tolong selamatkan Josh, dia membutuhkan aku kek," rengekku sesegukkan

"Tenang sayang, kita pasti kembali untuk menyelamatkan adikmu. Bedebah itu tidak akan mau memberi adikmu secara percuma," jawab kakek marah.

Alu sangat terpukul. Sepanjang perjalanan menggunakan helikopter yang harusnya menjadi pengalaman pertama bagiku, berasa biasa saja. Seolah itu hanya membawaku pada kematian.

Seandainya Josh ada bersamaku saat ini. Bisa kubayangkan bagaimana senangnya dia. Josh pasti akan terus bertanya banyak hal, saat sudah sampai rumah , dia akan menggambarnya dan menyebutkannya satu persatu.

Josh memang autis. Tapi dia memiliki otak superior. Ayah sudah melakukan tes IQ saat Josh berkelakuan aneh. Dia di diagnosa mengidap Autis tapi memilki kecerdasan luar biasa.

Bahkan Josh sangat mahir dalam ilmu IT. Membenahi barang-barang elektronik merupakan hal yang mudah bagi adik kesayanganku itu.

Sekarang, aku semakin jauh darinya. Entah bagaimana keadaannya saat ini. Aku masih mengingat suaranya memanggilku ketika aku hampir tidak sadarkan diri.

"Sayang, tenanglah nak. Kita harus kuat untuk Josh!" kakek berusaha menenangkan ku.

Aku hanya diam. Mencoba mencerna kembali apa yang sedang terjadi. Begitu teganya paman menjualku untuk sebuah informasi militer.

Dia menuduh kakek kejam, lalu dia apa? Aku tidak kuat lagi.

***

"Kau sudah meras lebih baik?" tanya kakek khawatir.

Aku hanya mengangguk lemah. Terpaksa bangun karena aku merasa lapar. Kakek bilang, aku pingsang selama beberapa jam. Mungkin sisanya aku hanya tertidur.

"Kita dimana kek?" tanyamu sambil mengedarkan pandangan.

Keliling ruangan itu memiliki desain berbeda dari rumah amerika kebanyakan. Aku sudah tau kami dimana meskipun kakek tidak menjelaskannya.

"Dirumah kakek, sayang. Kau istirahat saja lagi. Kita akan membicarakan langkah selanjutnya ketika sudah siap,"

Aku berpikir sebentar. Yang dikatakan kakek ada benarnya juga. Aku harus segar bugar untuk dapat berpikir jernih. Jika dipikirkan sekarang, aku rasanya hanya ingin menembak paman Moriarty.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status