Share

2. Kejutan

Aku mengemudi sendiri saat pulang kerumah. Paman Moriarty ingin mengantarkan tapi aku menolaknya karena ingin mendapatkan waktu untuk memikirkan tawaran paman.

Ada sebuah mobil yang aku kenali terparkir di depan rumah saat aku sampai. Dengan perasaan campur aduk aku berusaha menenangkan diri.

Itu adalah kakek, ayah dari ibuku. Jika semua identitas ibu palsu, bisa jadi dia juga kakek palsu bukan?. Sebelum turun dari mobil, aku minum sebotol air mineral untuk membasahi tenggorokanku yang tercekat.

Aku menatap cermin sebentar dan melakukan senam wajah. Apapun yang aku tau akan aku lupakan selama bersama kakek.

Aku berlari dengan senyuman getir dengan air mata tertahan. Saat melihat kakek berdiri di depan pintu aku langsung memeluknya erat, seperti biasa yang aku lakukan sejak kecil.

"Cucuku sayang," Kakek juga memelukku dengan hangat.

Aku mulai menangis sesegukan di dadanya yang bidang. Semua rasa sakit, kekhawatiran dan pikiranku yang kalut tertumpah ruah di depan kakek.

"Kakek hanya ingin mengetahui kabarmu, bagaimana dengan keadaan Josh? Katanya dia koma?"

Sepersekian detik itu aku terkejut. Bagaimana kakek bisa tau kabar itu? Padahal kami belum memberitahu siapapun. Tapi aku bersikap seolah itu hal yang wajar.

"Dokter masih melakukan diagnosa lebih lengkap untuk mengambil tindakan, Kek." Jawabku menunduk sedih.

Kakek tersenyum lemah, dia mengecup keningku sambil menepuk-nepuk pundakku agar tenang.

"Jangan khawatir, Josh prajurit yang kuat. Dia akan sadar sebentar lagi sayang. Kau harus jaga dirimu baik-baik,"

"Baiklah kek,"

Kakek berpamitan pulang. Aku merasa lega saat melihat mobilnya sudah hilang dari pandangan. Setidaknya kakek tidak curiga aku sudah mengetahui banyak hal.

Aku mengemasi baju-baju ke dalam koper. Tak lupa boneka T-rex kesayangan Josh juga aku bawa. Paman berpesan aku tidak boleh terlalu lama dirumah.

Dia juga memberitahuku beberapa tempat penyimpanan senjata yang dimiliki ibu. Aku mematikan lampu dan menutup jendela. Memastikan semua pintu sudah terkunci.

Ibuku suka membuat kue. Dan didapurnya dia memiliki alat masak yang sangat lengkap, termasuk oven besar yang berada dibawah kompor.

Aku membuka oven dan meraba Langit-langitnya sampai aku menemukan satu tombol persegi yang rata. Aku menekannya hingga berbunyi suara "klik" Lalu sebuah laci muncul dari bawah oven.

Aku membuka laci tersembunyi itu dan mendapati pistol pendek berwarna hitam pekat. Melihat itu tanganku gemetaran. Meskipun sudah menduganya, aku tetap saja terkejut.

Bukannya aku takut memegang pistol itu. Sejak kecil ibu selalu membawaku pergi ke pelatihan menembak, memanah, berkuda, dan latihan renang rutin setiap minggu.

Ibu selalu beralasan itu merupakan cara kami menghabiskan waktu sesama wanita. Aku senang sekali karena kami bisa melakukan banyak hal seru hanya sesama wanita. Bahkan aku lebih banyak foto bersama ibu ketimbang ayah.

Aku memeriksa pistol itu berisi tapi belum dikokang. Jadi aku menyimpannya di pinggan untuk berjaga.

Aku tidak tau alasan kakek datang kesini. Tapi aku melihat gelagat aneh dari caranya melihat kerumah kami. Dia juga terlihat gugup dan kikuk saat aku memeluknya tadi.

Setelah semu persiapan selesai, aku bergegas keluar rumah. Sekeliling rumah sangat sunyi. Biasanya, jika hampir senja seperti ini, banyak orang berlalu lalang pulang dari taman, pulang kerja, atau anak-anak yang berlarian, ada pula yang bersepeda.

Mungkin hanya perasaan ku saja yang berpikir parno. Suara jangkrik terdengar begitu keras sangking sunyinya. Aku membuka pintu mobil dengan tangan gemetar.

Angin aneh meniup tengkukku. Memaksaku berpaling dan begitu terkejut saat melihat sebuah peluru datang kearahku.

Jangan terkejut! Aku sudah terbiasa mendapat pelatihan militer dari ibuku secara diam-diam. Bahkan ayah juga sering melatihku di pekarangan belakang rumah.

Sekian detik yang lamban itu aku menunduk. Beruntung peluru itu hanya menembus kaca depan mobilku bukan kepalaku.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk ke mobil dan tancap gas. Peluru mulai datang lagi satu persatu. Dari situ aku tau penembaknya hanya satu orang. Jika lebih, aku sudah mati.

Sambil mengemudi dengan ketakutan aku merogoh kantong celanaku, merutuki kenapa saat genting seperti ini susah sekali mengeluarkan ponselku dari dalam sana.

Karena kesal aku hanya terus ngebut untuk sampai kerumah sakit. Setelah memastikan keadaan aman, aku mengendap-ngendap masuk hingga bertemu paman yang menabrakku.

Astaga! Aku terlompat kaget.

"Hannah! Ada apa?" tanya paman panik.

Aku tau bagaimana rupaku saat ini. Pantulan di cermin sudah menjelaskan kenapa paman bisa tau aku sedang ketakutan.

Karena bibirku kelu, paman langsung memapahku ke kamar Josh.

Keadaan disana membuatku lebih takut lagi. Ada sepuluh pria kekar dengan wajah sangar sedang berjaga. Mataku melotot dan bibirku hampir terbang.

Paman mengerti dan dia memintaku duduk sambil menyuguhkan minum. Paman selalu memberiku air putih. Dia sangat menjaga kesehatan.

"Bisa kau ceritakan apa yang membuat wajahmu pucat?" tanya paman lembut, dia duduk menghadapku.

"Ada yang mencoba membunuhku, kurasa," jawabku tidak yakin.

Paman menautkan alisnya, "maksudmu?"

"Jika dia berniat membunuhku tentu dia bisa Paman, tapi dia hanya menakuti aku dengan semua peluru nyasar itu,"

Senyuman sinis terbit diwajah paman, "kau memang cerdas, pantas saja mereka mengincarmu setelah ibumu mengakhiri hidupnya,"

"Apa?" suaraku meninggi mendengar kata "incar".

" Nak, seorang gadis yang lahir dari seorang mata-mata yang luar biasa cerdas dan cantik, ditambah seorang ayah yang juga berjiwa militer, tentu akan menjadi incaran negara manapun,"

Aku terdiam, tidak bisa menanggapi lagi. Paman lalu pindah disebelahku dan mengusap punggungku pelan.

"Paman yakin kau menguasai semua yang dikuasai ibumu dan kakakku,"

"Benar, tapi mungkin tidak semuanya,"

"Ingat semua hadiah yang paman berikan?"

Aku mengangguk. Semua mainan itu masih ku simpan rapi di dalam loteng. Ayah menyulap loteng menjadi ruang bermain kami.

Jadi aku akan naik kesana setiap malam sebelum tidur untuk memecahkan kasus yang diberikan paman. Semua itu akan ditukar dengan hadiah nantinya.

"Berapa banyak yang kau ingat?" tanya paman senang.

Aku berpikir, "hampir semuanya,"

"Bagus, itu cukup untuk bekalmu nanti,"

"Bekal apa?" seketika panik menelusup ke seluruh tubuhku.

Paman hanya tersenyum penuh arti. Kemudian semuanya menjadi gelap karena aku jatuh mencium lantai dengan kepala melayang-layang.

Hal terakhir yang aku ingat adalah, suara Josh yang memanggilku.

"Josh! Josh! Josh!"

Bibirku berusaha mengucapkan nama adikku sekuat yang aku bisa. Tapi itu sia-sia, karena suaraku tenggelam bersama kesadaran ku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status