Share

4. Moskow

" Sudah saatnya kau bangkit, sayang," ujar kakek seraya membuka hordeng jendela.

Cahaya silau masuk membuatku menggeliat. Rasanya nyaman sekali berada dikasur empuk di pagi yang sejuk ini.

Aku sudah satu minggu berada dirumah kakek tanpa keluar sama sekali. Kerja ku hanya makan tidur dan berpikir. Aku berjanji akan ikut kakek hari ini ke suatu tempat.

Kakek hanya tinggal seorang diri dirumah yang sederhana ini. Sebenarnya selama ini, aku hanya tau rumah kakek yang ada di kanada.

Setiap liburan aku dan Josh akan menginap disana selama beberapa hari. Disana ada asisten rumah tangga kakek yang mengurus semua keperluan kami.

Kakek selalu mengajak kami main ski saat bersalju. Melatihku memanah dengan berburu rusa di hutan bersamanya. Kadang kami juga main baseball untuk melatih kecepatanku.

Aku tidak menyadari sudah dilatih sejak kecil. Di sekolah juga aku mengikuti kelas karate meskipun aku tidak pernah ikut dalam turnamen.

Ibu dan ayah melarangku untuk ikut serta.

Setelah selesai bersiap, kakek membawaku berkeliling Moskow selama satu jam. Barulah dia membawaku ke tempat tujuan kami sebenarnya.

Kakek sempat membelikan aku beberapa potong pakaian yang tak sempat aku bawa. Bahkan paman tidak menyiapkannya untukku.

Kami sampai disebuah gedung besar mirip benteng. Kakek memakai pakaian dinasnya. Sementara aku memakai kaos dan jeans belel. Sungguh kontras.

Kami masuk kedalam ruangan, yang sepertinya merupakan kantor kakek. Aku bisa duduk nyaman di sofa tamu sementara kakek memeriksa beberapa hal penting.

Tak lama, beberapa orang dengan wajah serius dan licik masuk. Membuatku merasa takut dan ingin berlari, namun kakek memeluk pinggangku untuk duduk bersamanya.

Aku ingat, salah seorang wanita itu mirip dengan rekan paman Moriarty yang datang kerumah sakit tempo hari. Kilat mata yang sama, lengkung bibir, gurat kening dan potongan rambutnya.

Aku sempat berpikir mereka kembar. Tapi setelah aku perhatikan lebih seksama mereka bukan kembar, melainkan memiliki profesi yang sama.

"Perkenalkan, Natalya Kazeev," katanya memperkenalkan diri.

Aku menggamit tangannya juga dengan sopan, "Hannah Thompson,"

"Kita langsung saja ke intinya," kata Natalya kaku.

Aku melirik kakek yang hanya membalas senyuman. Aku sempat berpikir kenapa para pria disini tidak ada yang memperkenalkan diri padaku?

"Jadi, Hannah. Apakah kau bersedia bergabung bersama kami?"

"Jelaskan secara rinci apa tepatnya itu," jawabku gusar.

Natalya menaikkan alisnya pada kakek, lalu dia mencoba tersenyum hangat padaku.

"Kami merupakan organisasi yang membentuk pribadi mata-mata wanita yang cerdas, memikat dan mematikan di dunia,"

Aku mengangguk paham, tentu saja ini tentang mata-mata. Betapa naifnya aku bertanya sebelumnya.

Kakek memang sedikit menjelaskan tentang semua hal yang terjadi di antara keluarga kami. Dia tidak memaksaku untuk bergabung, tapi aku begitu sakit hati dengan paman Moriarty hingga ingin membalas dendam.

Ditambah lagi adikku Josh masih dalam pengawasan mereka. Bagaimana bisa aku hidup tenang? Satu-satunya yang bisa aku lakukan sekarang adalah dengan bergabung.

Kakek sudah menjelaskan rincian bagaimana tepatnya pelatihan itu. Sebuah tempat kejam yang tidak berperikemanusiaan.

"Kau harus tau segalanya agar siap. Kakek tidak dapat membantumu disana. Kau hanya dapat keluar jika berhasil,"

"Jika tidak?" kurasa aku sudah tau jawabannya.

"Kau akan dimusnahkan, karena dianggap sudah mendapatkan informasi tentang organisasi,"

Aku cukup terkejut, meskipun itu alasan yang masuk akal. Tenggorokanku tercekat, hingga menelan air ludah dengan susah payah.

"Intinya, jika sudah maju aku tidak bisa mundur?" tanyaku untuk memastikan sekali lagi.

Mereka semua mengangguk bersamaan, kecuali satu pria yang sejak tadi mengawasiku bagai elang yang mengincar mangsa.

Kakek mengusap bahuku lembut, "tidak ada yang dapat memaksamu, cucuku. Hanya kau yang dapat membuat keputusannya,"

"Tentu, Kakek. Tapi ada yang lebih mendesak dari sekedar kemauanku," jawabku tertekan.

Bayangan Josh memakai banyak kabel ditubuhnya mengisi pelupuk mataku. Suara terakhir sebelum aku tak sadarkan diri, terngiang-ngiang di otakku setiap waktu.

Setelah menarik nafas dalam dan meyakinkan diri. Akhirnya aku mengangguk setuju dengan mantap. Kakek tampak rileks disebelahku.

"Kakek bangga padamu,"

"Terima kasih kek,"

"Bagus kalau begitu, besok bawa saja dia padaku, Gregory," ujar Natalya dengan suara lantang.

Aku curiga Natalya seusia dengan kakek, mengingat bagaimana mereka berinteraksi.

Mereka semua berpamitan, kecuali pria elang itu. Sedikitpun, dia tidak mengalihkan pandangannya padaku. Tapi dia juga tidak tersenyum atau menyapaku.

"Siapa dia kek?" kataku bertanya seraya duduk seakan tidak terlalu tertarik.

"Siapa?" tanya kakek pura-pura tidak tau. Dia menahan senyuman.

" Pria bermata elang itu, dia terus mengawasiku tapi tidak mau menyapaku,"

"Oh, nanti kau akan mengenalnya," jawab kakek enteng.

Aku melihatnya tak percaya, bisa- bisanya kakek melirikku dengan tatapan geli. Aku merasa dia sedang menggodaku.

***

Keesokan harinya, aku sudah bersiap sejak matahari terbit. Kakek rupanya sudah pergi untuk lari pagi. Selama disini aku memang selalu bangun terlambat, jadi tidak tau apa kegiatan kakek sejak bangun tidur.

Setelah sarapan yang tenang, kami berangkat.

Kabut menyelimuti pagi yang sedikit mendung karena awan gelap yang tipis. Seakan mengancam akan hujan sewaktu-waktu.

Aku mencoba memperhatikan jalan yang kami lalui. Awalnya kami pergi ke arah barat kota Budapest. Lalu melewati hutan pinus yang sejuk.

Angin sepoi-sepoi meniup wajahku. Aroma hutan pinus membuat saraf-sarafku terasa tenang. Aku yakin akan mengingat saat melewati jalan ini meski dengan mata tertutup.

Perjalanan terasa panjang sekali, aku sampai mengantuk karena memulai hari lebih awal. Pantas saja kakek memintaku bangun lebih awal.

"Apakah masih jauh kek?" keluhku sambil menguap.

"Sebentar lagi sampai,"

"Sejak tadi kakek bilang begitu, tapi kita belum sampai juga," gerutuku kesal.

Kakek tergelak mendengar nada sinisku, "kau mirip ibumu," katanya setelah tawanya berhenti.

Aku langsung melihat kakek, menatapnya penuh arti. Kakek mengalihkan pandangannya dariku. Gurat sedih menghiasi wajahnya yang terlihat lelah.

"Aku merasa paling mengenal ibuku kek, ternyata tidak begitu," ucapku kecewa.

Kakek menghembuskan nafas berat. Dia membelokkan mobil ke kiri kemudi, memasuki semak-semak yang tinggi dan basah.

Jalan setapak yang licin serta akar-akar pohon besar menyembul membuatku sedikit gugup. Tapi kakek begitu santai dan menikmati perjalanan ini.

Tepat saat aku melihat cahaya, pemandangan luar biasa menghiasi mataku.

Sebuah danau nan cantik tersembunyi di dalam hutan. Kakek menepikan mobil.

"Ayo, kakek tunjukkan sesuatu,"

Aku menurut saja. Mengikuti kakek menyusuri sepanjang danau yang dibasahi embun. Tampak sebuah pohon ek besar raksasa dikelilingi bentangan bunga cosmos, daisy dan aku seperti melihat bunga petunia warna-warni.

Kakek menaiki tangga kayu, diatas pohon ek itu terdapat sebuah pondok kecil berlumut. Aku sedikit takut, karena tangga yang licin dan pondok yang terlihat rapuh.

Begitu sampai di atas, seketika aku bergumam takjub.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status