Dua bulan lalu di Sky’s Bakery (pertemuan Safira dan Dito setelah sekian lama).Safira mengajak Dito untuk duduk di dalam. Dua kopi instan ia sajikan di atas meja. Mereka duduk berhadapan, situasi canggung sangat Safira rasakan sekarang. Bertemu Dito setelah sekian lama, terlebih pertemuan terakhir mereka adalah tentang pernyataan perasaan pria itu. Sejak dulu bagi Safira, Dito adalah laki-laki baik. Dalam pekerjaan, Dito bisa dibilang sangat mapan. Di usianya yang ke tiga puluh, Dito sudah menjadi kepala koki di sebuah restoran dan ia juga sudah memiliki restoran sendiri. Perangainya sebagai lelaki baik sangat diacungi jempol. Saat bersama Dito, Safira selalu diperlakukan seperti ratu. Dito sosok yang perhatian, peka, dan selalu bisa mengayomi Safira dengan baik. Namun sayang, sebaik apapun Dito memperlakukannya Safira tidak pernah menganggap Dito lebih dari teman. Dito memang baik, tetapi Safira tidak cukup baik untuk Dito. Itu lah yang ada di pikiran Safira.Jadi ketika Safira m
Merasa bosan di rumah sendirian dan Safira tak kunjung kembali ke rumah meskipun waktu sudah menjelang malam, Bima mengambil jaket beserta kunci mobilnya untuk pergi ke suatu tempat. Sebelumnya, ia sudah membuat janji dengan Tomi agar pria itu juga menyusulnya ke sana.Ya ke mana lagi kalau bukan Bar 69 milik Monic.Sebenarnya Bima juga sedikit merasa bersalah pada perempuan itu karena tak mengundangnya ke pernikahan kemarin. Sebabnya tak usah ditanya, tentu saja karena masa lalu.Sekitar pukul setengah tujuh malam, Bima sampai di Bar 69. Karena masih sore, tentu saja suasana di sini masih sepi. Bima langsung bisa menemukan Monic yang tengah duduk seorang diri dengan laptop yang menyala di hadapannya.“Hai,” sapa Bima. Monic menoleh, ia mendelik karena tiba-tiba menemukan Bima ada di sini.“What the hell? Lo ngapain di sini Abhimana?”“Tolong birnya ya,” kata Bima kepada bartender yang tengan membersihkan gelas, tak jauh dari tempatnya duduk. “Ngapain lagi? Mau minum lah.”“Bahasa lo
“Gimana? Keberatan?” Safira bertanya lagi karena Bima tak kunjung menjawab. Ia mengerti jika pria pasti terkejut dengan permintaannya ini, jadi dia memutuskan untuk menunggu. Bima pasti sedang berpikir.“Penyesalan terbesar?” Bima seperti sedang kepayahan ketika mengulang ucapan Safira. “Kehilangan ayah, itu jadi salah satu penyesalan terbesar lo?”“Iya.” Safira meletakkan botol airnya di atas mini bar. Ia tersenyum tipis. “Kamu nggak tahu, kan?”“Jadi itu yang buat lo nangis segitunya di makam bokap?”Safira menghela napas, menatap ‘suami’nya lekat. “Sebelum pacaran sama kamu, aku lebih dulu sahabatan sama Lusi, Abhimana. Jadi sebelum pacaran sama kamu, kamu juga pasti tahu kalau aku lebih dulu kenal orangtua kamu. Kamu … nggak lupa soal itu, kan?”Bima diam.“Buatku, ayah dan ibumu itu sudah seperti orangtua kedua. Aku sangat menyayangi mereka sama seperti aku menyayangi ayah dan ibuku sendiri. Setiap ngeliat Om Arhan, aku sama seperti melihat ayahku. Jadi, gimana aku nggak sedih,
Safira sampai di rumah Bima sekitar pukul sebelas siang. Ketika sampai, wanita itu melihar Lusi yang tengah duduk di depan rumah seraya membaca novel. Safira tak langsung menghampiri, sampai ketika mata mereka bertemu, Safira tersenyum ke arah Lusi. Sedangkan Lusi hanya balas menatap, tanpa ada senyum sama sekali.Sejauh itukah jarak di antara mereka sekarang?Lusi masuk begitu saja ke rumah, namun ia tak sengaja berpapasan dengan Bima yang juga mengarah ke pintu. Bahu mereka bertabrakan, tetapi Lusi tetap meneruskan langkahnya untuk kembali ke kamar.“Udah datang.” Bima melihat Safira yang berjalan mendekat. Wanita itu membawa satu keranjang buah serta satu rantang makanan yang segera Bima alihkan ke tangannya sendiri.“Ibu?” tanya Safira.“Di dalam. Nonton tv kayaknya. Gue udah bilang kok kalau lo mau ke sini juga.”Safira mengangguk saja. Ia mengekori Bima untuk masuk ke rumah dan menemukan Tante Nina yang tengah menonton sinetron di ruang tengah. Safira tersenyum dan menghampiri w
Lusi duduk cukup lama di kafe itu. Dua cangkir vanila latte dan soft chewy cookies sudah ia habiskan. Perutnya sudah kenyang bahkan ia belum makan nasi siang ini. Tanpa sadar, ternyata di luar sedang hujan cukup deras. Lusi baru sadar karena ia duduk cukup jauh dari jendela dan sejak tadi ia mengenakan earpods.Saat matanya tak sengaja melihat ke arah bar counter kafe, Lusi dibuat terkejut karena pemandangan yang cukup asing. Di sana berdiri seorang wanita dengan sosok laki-laki di sebelahnya. Dua orang itu, meskipun Lusi hanya melihat dari belakang, tetapi ia langsung mengenali siapa mereka berdua.Namun yang membuat Lusi merasa asing, karena tangan lelaki itu yang memeluk pundak sang wanita.Tunggu … sejak kapan mereka saling mengenal? Dan … apa mereka sekarang punya hubungan khusus? Lalu Safira ... apa Safira tahu tentang ini?Persis ketika dua sejoli itu balik badan, refleks Lusi kembali menatap laptopnya meskipun sesekali ia melirik ke arah tempat duduk yang ia syukuri dua orang
Setelah makan malam, Safira memilih untuk langsung masuk kamar karena ibu mertuanya pun juga istirahat setelah minum obat.Di meja makan tadi, Bima menyinggung tentang ide Safira yang rencananya akan tinggal di sini setelah Tante Nina dioperasi. Wanita itu menyetujui, malah terlihat sangat senang karena Safira mengeluarkan ide itu.Namun yang tak disangka oleh Safira, Tante Nina malah bertanya begini.“Kalau kalian jagain Ibu, emangnya kalian nggak ada rencana bulan madu gitu? Ini sudah hari ketiga pernikahan kalian tapi kok Ibu lihat-lihat kalian malah sibuk sendiri-sendiri ya?”Astaga. Kenapa Safira tak berpikir sejauh itu ya? Bukankah harusnya mereka berpikir untuk setidaknya pura-pura saja menjalani bulan madu agar pernikahan mereka terasa lebih ‘real’?Dalam suasana canggung tadi, tak seperti Safira yang gelagapan Bima justru santai menikmati malamnya. Lusi yang juga ikut makan malam bersama mereka pun malah meliriknya, seperti ikut menunggu jawaban dari pertanyaan sang ibu.“Adu
“Ternyata lo tuh nggak berubah ya?”Perkataan Bima sontak membuat Safira merubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap ke arah Bima, meskipun tak bisa melihat jelas bagaimana ekspresi pria itu sekarang karena kurangnya cahaya. Ia berpikir, apa maksud dari kalimat ‘ternyata lo tuh nggak berubah ya?’ dari mulut pria itu tadi.“Maksudnya? Emang kamu tahu maksud dari ucapan adik kamu itu?”“Selain sahabat Lusi, jangan lupa kita juga pernah pacaran, Safira.” Bima tergelak pelan. Ia melirik ke arah Safira yang ternyata sudah duduk menghadap ke arahnya. Karena tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Bima turut duduk. Bima duduk bersandar di kepala ranjang. Sedangkan Safira duduk bersandar di kepala sofa. Sehingga kini keduanya duduk saling berhadapan karena letak sofa memang ada di bawah ranjang.“Apa sih kok jadi ke situ? Nggak jelas.” Safira jadi sewot sendiri karena tiba-tiba Bima mengatakan itu. Bima menahan tawa.“Ah pokoknya gitu. Lo sama Lusi emang harus bicara—”“Ya aku tau, cum—”“Tung
Tiga hari setelah pembicaraan di kamar rumah Bima, Safira tentu saja berusaha untuk bersikap seperti biasa. Sesuai kontrak. Meskipun kadang ia ingin bicara lebih banyak dengan pria itu, dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan niatnya.Nah untuk melakukan itu, Safira terus menghindar agar intensitas pertemuannya dengan Bima semakin berkurang. Ia akan pergi sebelum pria itu bangun dan pulang saat malam tepat ketika Sky’s tutup. Dan sepertinya Bima juga tak keberatan soal ini. Pria itu terkadang juga pulang saat larut, Safira tahu ketika ia melihat Bima baru sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam.Seperti biasa, pagi ini Safira pergi tanpa bertemu dengan Bima. Ia pergi setelah membuat sarapan yang akan ia makan di perjalanan. Setelah menikah, justru ia semakin sering ke Sky’s karena ia nyaris setiap hari pergi ke sana dan membuka toko sendiri dan lebih awal pula. Padahal biasanya, hanya hari Senin dan Rabu ia pergi ke Sky’s atau hanya ketika ia sedang gabut di rumah (biasanya ketik