Safira turun dari kamarnya sekitar pukul sembilan pagi. Suasana rumah sudah sepi, mungkin sang ayah sudah berangkat ke kantor. Dan ibunya yang merupakan fanatic tanaman pasti sedang ada di halaman belakang untuk mengurus tanaman-tanamannya di Greenhouse mini miliknya.
“Bu.” Safira menyapa sang ibu yang sedang menyiram tanaman-tanamannya.
Anita–ibu Safira mendongak, mengalihkan tatapan ke arah sang anak yang tersenyum lebar. Wanita berusia lima puluh tahunan itu berdiri. “Akhirnya bangun juga kamu. Sudah sarapan?”
Safira mengangguk. Tentu ia sudah makan sekaligus mandi. Kalau tidak mengisi daya sebelum berbicara dengan ibunya, mana mungkin ia memiliki tenaga.
“Sini duduk. Kita bicara soal kemarin.”
Yah bagaimanapun ia juga harus membicarakan ini dengan ibu. Safira juga ingin bertanya banyak hal pada wanita yang sudah melahirkannya ini.
“Pasti kamu punya banyak pertanyaan kan buat Ibu?” Ibu menuangkan teh dari teko ke dua cangkir yang ada di atas meja. Safira menduga ibunya pasti sudah menebak bahwa ia akan kemari dan mereka akan berbicara di sini sampai menyiapkan teh segala.
Safira menggumam, ia menyesap sedikit teh yang terasa sangat manis ini. Eh .. apa sebenarnya rasa teh ini tidak terlalu manis ya? Tetapi karena sejak semalam ia sangat pusing seakan habis menelan pil pahit, teh ini bisa terasa lebih manis dari biasanya yang dibuat ibu.
Ah sudahlah...
“Jadi gimana? Udah kamu pikirin? Ibu juga sudah dengar cerita dari ayahmu. Tadi malam kamu cerita sama ayah, kan?”
Safira menarik napas dan menghelanya pelan. Wanita itu bingung. Haruskah ia menceritakan semuanya? Haruskah ia bercerita tentang apa alasannya putus dengan Bima? Apakah tidak akan terdengar sebagai alasan? Begitu banyak pertanyaan di pikirannya sampai ia muak sendiri. Safira benar-benar bingung.
“Apa menurut Ibu, Safira harus menerima Bima?” Gadis itu terlihat berpikir, pandangannya lurus ke depan–menerawang. “Setelah apa yang dia lakuin ke aku?”
Apakah ia memang harus menceritakan soal ini?
“Memangnya apa yang dilakuin Bima ke kamu?” Ibu masih terus menatap ke arah putrinya sambil sesekali menyesap tehnya. “Kalau diingat-ingat kamu memang nggak pernah cerita ke ibu dan ayah tentang alasanmu putus sama dia. Dulu kamu cuma diem di kamar, nggak mau makan, sampai ayah dan ibu bingung kamu sebenarnya kenapa. Ibu mau coba hubungi Bima tapi takut salah. Sampai akhirnya, Ibu gak sengaja denger kamu nangis kenceng banget pas tengah malam sampai robek-robek foto yang ternyata foto kamu sama Bima.” Mengingat kejadian bertahun-tahun itu, Bu Anita menghela napas. “Tapi Ibu sedikit bersyukur karena keesokannya kamu sudah mau keluar kamar seolah nggak terjadi apa-apa. Tapi Ibu tahu kalau kamu lagi terluka dan ayah sama Ibu nggak bisa bertanya alasannya karena kami tahu kamu pasti akan cerita sendiri kalau kamu sudah siap.” Kini Safira menoleh dan menatap ke arah ibunya. Ia tidak tahu ternyata itulah yang ada di pikiran sang ibu selama ini. Mereka bukannya tidak ingin tahu, tapi mereka lebih kepada menjaga perasaannya. Safira merasa terenyuh, ia tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih. "Dan untuk alasan kenapa kamu putus sama Bima, apa kamu mau cerita soal itu sama Ibu? Apa itu yang jadi pertimbanganmu bakalan nerima perjodohan ini atau enggak?"
Safira hanya bisa menatap sang ibu lama. Ia benar-benar bingung. Haruskah ia bercerita? Tidak apakah ia merusak citra Bima yang sangat baik menjadi Bima yang tukang selingkuh?
Yah lagipula kenapa ia harus memikirkan citra Bima, kan? Oke, ia akan bercerita soal ini.
"Bi--"
“Lalu … kamu mau tahu nggak alasan kenapa Ibu mau jodohin kamu sama Bima?”
Eh? Jadi sebenarnya ibunya ini mau dengar ceritanya gak sih?
Namun Safira tetap diam. Memberikan ruang pada sang ibu untuk melanjutkan bicaranya.
Dan memang inilah yang tidak Safira mengerti. Bukankah tahap awal dari semua ini harusnya orangtuanya ini bertanya apa alasan mereka putus dulu alih-alih dengan urutan langsung dipertemukan dengan Bima?
“Karena Tante Nina? Karena Tante Nina sakit jantung dan harus dioperasi secepatnya, dan kalau Bima nggak nikah sama aku beliau gak mau dioperasi, kan?”
Sang ibu mengangguk. “Alasan kamu benar tapi nggak sepenuhnya benar, Nak.”
Safira mengerutkan kening bingung. Tidak sepenuhnya benar? Apa maksudnya sih?
“Terus, Ibu tahu nggak kalau Bima itu sebenarnya punya pacar tapi nggak direstui sama Tante Nina soalnya beda agama?”
Bu Anita mengangguk.
“Terus … Ibu tetep mau aku nikah sama Bima? Terus kenapa juga Ibu gak bilang dari awal kalau yang mau dijodohkan sama aku kali ini itu Bima?"
"Lho? Kan Ibu sudah kasih fotonya ke kamu. Ibu gak salah dong? Memangnya kamu gak ngeliat foto yang Ibu kirim? Jelas-jelas itu foto Bima."
Ah ya.. Itu benar.. Safira tak bisa menyangkal. Benar-benar skak mat. Ugh..
"Kamu beneran gak liat atau beneran gak tau yang Ibu kirim itu foto Bima?" Kali ini Bu Anita bertanya dengan nada yang benar-benar terkejut.
Safira meringis. Sekali lagi ia merutuki dirinya sendiri. Mengingat kebodohannya semalam apalagi.
"Yah.. Bima kelihatan lebih dewasa sekarang. Penampilannya beda banget sama waktu masih pacaran sama Tari." Safira berusaha menetralkan tenggorokannya. Ia berusaha menghindari tatapan jahil sang ibu. "Jadi ya... jangan salahin Tari dong kalau Tari gak ngenalin Bima."
Bu Anita sontak tertawa. "Astaga, Nak. Ada-ada saja kamu ini. Tapi pas kelihatan aslinya dia gak jauh beda kan sama sewaktu masih pacaran sama kamu?"
Safira mengangguk samar. Sang Ibu semakin tertawa.
Mencoba mengabaikan tawa ibunya, Safira berujar, "Tari ... beneran nggak bisa nolak perjodohan ini ya, Bu?"
“Memangnya, kamu sudah ngambil keputusan buat nolak Bima, Tar?” Tawa ibu langsung lenyap. Pembicaraan kembali serius.
Safira diam, mulutnyang seharusnya menjawab ia akan menolak Bima tertahan di tenggorokan. Kepalanya seakan berputar, berpikir lagi dan lagi sebenarnya apa yang ia inginkan. Apakah ia sungguh akan menerima pernikahan ini? Apakah ia perlu melakukan ini? Apakah jika menerima ia sungguh melakukan ini demi kesehatan Tante Nina atau karena perasaannya?
Safira menyugar rambutnya, ia sungguh frustasi.
“Selama lima tahun ini … kamu beneran sudah bener-bener lupain dia? Perasaanmu buat Bima, beneran sudah hilang?”
Safira tak langsung menjawab, lagi-lagi ia pertanyaan itu membuatnya bingung.
Dan ia juga bingung sendiri, kenapa ia bingung karena pertanyaan ini? Apakah selama ini perasannya tentang Bima masih abu-abu antara sudah move on atau malah gagal move on?
Gagal move on?
Yang benar saja lah, Safira …
“Aku udah lupain dia dari lama, Bu. Buat Tari, Bima gak lebih dari sekedar masa lalu. Tapi ternyata Ibu malah jodohin dia sama Tari. Gak masuk akal.” Untuk yang kesekian kali, Safira menghela napas. Keadaan ini sungguh tak bisa berhenti membuatnya frustasi dan berhenti berpikir.
“Kalau kamu memang sudah lupain dia, kenapa selama ini kalau Ibu jodohin sama orang lain gak pernah ada yang nyantol? Kamu seakan nyari alasan yang menurut Ibu terlalu dibuat-buat.”
“Ha? Terlalu dibuat-buat? Emang Tari pernah begitu?”
Bu Anita mengangguk yakin. “Tapi ya akhirnya Ibu tahu kenapa kamu nolak mereka.”
“Kan Tari sudah bilang, Bu, kalau Tari nolak mereka ya karena mereka gak ada niat serius sama Tari. Kalau Tari nanya apa mereka mau nikah sama Tari, jawaban mereka gak jauh-jauh dari ‘kita kan bisa kenalan dulu, pelan-pelan, kalau cocok lanjut kalau gak cocok ya gak masalah. Jadi teman aja.’ Cih, padahal kan Tari gak lagi cari temen.”
Sang ibu tertawa karena ucapan anak satu-satunya itu. “Lho, kan bener jawaban mereka. Kalian bisa kenalan pelan-pelan buat tau cocok apa enggak. Kamu gak mau pacaran bukan berarti kamu gak mau ngenalin lebih jauh soal orang yang bakalan jadi suamimu kan, Nak? Semua itu bisa dibicarakan dan dilakuin pelan-pelan kalau kamu mau dan bersedia. Lain lagi kalau kamu memang gak mau dan gak minat. Itu beda lagi.”
Sial. Perkataan ibu benar lagi. Tepat sasaran.
“Tapi meskipun begitu, Ibu gak pernah nanya lebih atau bantah keputusanmu, kan? Kalau kamu sudah bilang gitu Ibu cuma iya-iya aja dan gak nanya lebih banyak.”
Itu benar dan Safira menyadarinya. Namun buruknya, Ibu malah melakukannya lagi–menjodohkannya lagi–dan membuatnya mengulang perkataan yang sama untuk yang kesekian kali.
“Karena Ibu sadar, mungkin, dari laki-laki yang coba Ibu kenalkan sama kamu, gak ada yang seperti Bima.”
Safira tercenung. Iya kah begitu?
“Ibu apaan sih? Kenapa jadi dibandingin sama Bima?”
Bu Anita hanya tersenyum setelahnya.
“Tapi untuk masalah ini, perjodohan Tari sama Bima, Tari bener-bener gak bisa nolak, kan, Bu?"
Seolah sudah tahu ia akan bertanya lagi sebelum mendapatkan jawaban memuaskan, sang ibu tersenyum tulus. “Kamu gak akan bilang kalau Bima juga bilang ‘kita kan bisa kenalan dulu, pelan-pelan, kalau cocok lanjut kalau gak cocok ya gak masalah. Jadi teman aja.’ Gitu kan, Tar? Yaah, meskipun Ibu udah tahu Bima gak akan bilang begitu sih.”
Safira ingin tertawa, tapi ia hanya meringis. Untuk kali ini, akhirnya ia tidak bisa menggunakan kata-kata andalannya setiap kali ia dijodohkan.
“Sebenarnya ayah dan Ibu masih sama, masih menyerahkan segala keputusan sama kamu. Tapi untuk kali ini, tolong dipikirin dulu ya, Nak. Dipikir sampai kamu benar-benar yakin dan gak akan buat kamu menyesal. Ibunya Bima pasti bakalan ngerti kalau akhirnya kamu nolak perjodohan ini. Nggak ada yang bisa dipaksakan toh ini juga tentang masa depanmu, kan?”
Safira menggaruk belakang telinganya, Semua orang menyerahkan keputusan ini kepadanya, tetapi kenapa ia merasa seperti semua orang memaksanya untuk menerima? Tidak adakah kalimat yang lebih bisa membuatnya tenang?
“Kata ayahmu, kamu bakalan ngomong langsung sama Bima, kan, soal jawabanmu?”
Safira mengangguk.
“Ya sudah kalau begitu. Kamu memang harus ngomong dari hati ke hati sama Bima. Jangan pakai emosi, dan dengan kepala dingin. Ibu tahu kamu pasti tahu apa yang terbaik.” Bu Anita mengusap punggung sang anak. Safira tersenyum, sentuhan itu berhasil membuatnya lebih tenang.
“Ibu gak akan kecewa kan sama apapun keputusan Tari nanti? Kalau Tari beneran nolak Bima, Ibu gak akan marah sama Tari, kan?”
“Gak apa-apa. Ibu gak berhak marah sama kamu, begitupula ibunya Bima. Selama kamu ngobrol sama Bima dan jelasin dengan baik tanpa emosi tentang alasan kamu nolak dia, itu sudah cukup buat kami para orangtua.”
Safira menghela napas lega--setidaknya untuk saat ini. Ibu dan ayahnya menyerahkan semua keputusan di tangannya itu sudah cukup. Dan untuk selanjutnya, ia akan mengajak Bima untuk bertemu. Membicarakan apa yang mesti mereka bicarakan. Baik itu tentang masa lalu ataupun tentang masa depan.
Safira menarik napas panjang. Lagi dan lagi.
Kamu pasti bisa, Safira. Jangan goyah. Karena kamu sudah beneran move on dari Bima.
Eh?
Iya, kan?
Saat Safira meninggalkan rumah, lutut Bima terasa lemas. Ia memaki diri sendiri karena kembali bertindak pengecut dengan tidak berani mengejar wanitanya. Wanita yang sampai detik ini ia cintai.Ayah Safira, pria paruh baya itu juga tak bisa berbuat apa-apa. Bisa dibayangkan betapa hancur dan kecewanya sang anak hanya dengan melihat kedua matanya tadi.Padahal butuh waktu lama bagi Safira untuk memulihkan hatinya. Tetapi ternyata tak butuh waktu lama juga hatinya kembali dipatahkan karena perbuatan bodoh orang yang sama.Abhimana akan selalu menjadi alasan bagi Safira untuk merasakan patah hati.Ditambah ayah dan ibunya juga berkomplot dengan menyembunyikan kebenaran dan membuat Safira tidak tahu apapun.Siapapun bersalah di sini.Dan agaknya, kali ini Safira butuh waktu lama untuk kembali memulihkan hatinya.“Nak Bima …” Bima tetap memandang ke depan. Ke arah pintu ketika Safira dengan langkah terseok keluar dari rumah ini. Meskipun istrinya itu tak lagi ada di depannya, namun perasaa
Suasana rumah Bima yang awalnya penuh kehangatan dan canda tawa, dalam sekejap berubah menjadi ketegangan. Bu Anita dan Bu Nina yang menyadari ada suara tangis dari ruang depan dengan tergopoh ikut menyusul. Bu Anita terkesiap melihat anak gadisnya menangis hebat di sana dengan tangan yang terkepal menyentuh dada. Seakan menahan rasa sakit hebat di sana.“Ada apa? Ada apa ini?” Bu Anita segera memeluk Safira yang terus menangis. “Ayah, kenapa Safira, Yah? Bima? Ada apa, Bim?”Safira jatuh terduduk, membuat sang ibu yang tengah memeluknya ikut duduk. Pelukannya masih terasa di tubuh Safira yang seakan menggigil akibat fakta yang menyakitinya.“Bu … Ibu …”“Ya, Nak? Kenapa, Sayang? Bilang sama Ibu …” Sumpah demi apapun, terakhir Bu Anita melihat keadaan Safira kepayahan seperti ini itu lima tahun lalu. Ketika Bima mengakhiri hubungannya dengan sang anak, dan Safira yang terus mendekam di kamar berhari-hari.Semuanya membuat Bu Anita teringat, dan demi apapun wanita itu tak ingin apa yan
Ayah dan ibu Safira datang saat Safira tepat membuka pintu ketika dirinya hendak menunggu kedua orangtuanya di depan rumah. Senyum hangat langsung menyambut. Safira peluk ayah dan ibunya bergantian.“Kok nunggu di luar?” tanya sang ayah kepada anak yang tengah memeluk ibunya itu.“Iya gak apa-apa, Yah. Kangen soalnya aku, lama nggak ketemu Ayah sama Ibu.” Safira cekikian di akhir kalimatnya.Safira ini … meskipun sudah berumur dua puluh tujuh tahun dan sudah menikah, sifat anak kecilnya masih tidak hilang juga.“Ya udah yuk masuk. Makan malam sudah siap.”Safira mengambil alih satu keranjang buah yang ada di tangan ayahnya ke tangannya sendiri sebagai buah tangan untuk ibu mertuanya. Dia membiarkan ayah dan ibunya berjalan di depannya, dan tepat ketika melewati ruang tengah Bima menyambut kedatangan mereka.“Ayah sama Ibu sudah datang,” ujarnya dengan senyum. Ia menyalami kedua mertuanya bergantian.“Sehat, Nak?” tanya Ayah seraya menepuk-nepuk pundak Bima.“Sehat, Yah. Ayah juga, kan
Nanti malam Bu Anita dan Pak Yoga—kedua orangtua Safira— berencana pergi ke rumah besannya untuk menjenguk Bu Nina pasca operasi sekaligus makan malam bersama.Saat ini, Safira sudah sibuk di dapur. Sejak tadi wanita itu sudah berkutik dengan berbagai macam bahan masakan untuk persiapan kedatangan orangtuanya. Dibantu oleh Bima, tentu saja.“Tapi masakanmu sekarang lumayan loh, Fir. Nggak seburuk dulu,” ucap Bima di tengah-tengah ia mengiris bawang. Sedangkan Safira tengah menggoreng ayam.“Nggak seburuk dulu tuh maksudnya apa ya?” Safira berkacak pinggang. Tangannya memegang sutil yang seperti siap ia lemparkan kepada Bima yang duduk tak jauh darinya. “Ya … nggak seburuk itu.” Suara Bima memelan ketika melihat Safira. Ngeri juga kan kalau melihat sutil penggorengan itu melayang ke arahnya jika ia salah bicara.“Maksudnya dulu masakanku nggak enak gitu?” Safira bertanya sambil mengangkat beberapa potong ayam goreng yang sudah matang. Nanti ayam ini akan ia suwir untuk pelengkap soto
Kanin menemui Safira di Sky’s dan mengajak sahabatnya itu untuk duduk di kafe sebelah. Setelah memesan beberapa camilan sebagai teman bicara, Kanin melihat Safira dengan tatapan ragu. Ekspresi yang sangat jarang ia tunjukkan kepada sang sahabat.“Lo kenapa sih?” tanya Safira setelahnya. “Kok ngeliat gue kayak gitu?”Kanin menghela napas, menyeruput sedikit vanilla latte yang ia pesan sebelum Safira datang. Sejujurnya ia tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini.“Cerita aja, Kanin. Gak usah ragu-ragu kayak gitu,” ucap Safira lagi. “Gue janji gak akan cerita apapun ke Lusi.”Mengingat Lusi, Kanin menghela napas. “Lo pasti denger dari Bima ya, kalau gue deket sama Tomi? Makanya lo bilang kayak gitu ke gue semalem."Ah … ternyata benar. Safira tidak mengangguk atau menggeleng. Dia hanya menatap Kanin lurus. Safira ingin sahabatnya itu berkata dengan mulutnya sendiri tanpa paksaan. Sehingga Safira tidak perlu merasa bahwa ia memaksa Kanin untuk bercerita.“Iya, gue deket sama d
Sudah dua hari Safira menginap di rumah Tante Nina pasca ibu mertuanya itu dioperasi. Syukur semuanya berjalan lancar. Tante Nina sudah mulai menjalani masa pemulihan dan hanya perlu beberapa kali lagi untuk kontrol ke rumah sakit.Safira juga sudah menyuruh Lusi untuk segera menemukan pekerjaan yang cocok karena di rumah sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada Bima dan dirinya yang menjaga sang ibu.Nah sekarang, Safira berada di supermarket untuk belanja bulanan bersama Bima. Lusi ada di rumah menjaga ibu setelah tadi pergi ke kampus untuk bertemu dosen yang menawarinya bekerja sebagai asisten.Oh iya sebagai informasi, Bima juga akhirnya memilih untuk berhenti menjadi asisten dosen. Dia bilang, ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarganya. Toh katanya penghasilan dari pekerjaan utamanya sudah cukup. Jadi ia merasa tidak perlu untuk menyambi dengan pekerjaan lain.“Safira!”Safira tengah memilih beberapa sayuran ketika suara seseorang yang tak begitu ia kenal mema