Safira sampai di rumah hampir pukul dua belas malam. Sepulang dari bandara, ia tak langsung pulang ke rumah dan malah memilih untuk duduk-duduk di taman perumahan rumah. Pikirannya berkecamuk. Safira merasa, takdir seolah-olah mempermainkannya.
Perjodohan, Bima, Tante Nina yang sakit … oh tak adakah yang lebih buruk dari ini?
Safira membuka botol air yang ia beli di supermarket. Menenggak airnya hingga tersisa separuh, berusaha menghilangkan rasa panas di tenggorokannya.
Kenapa semua harus serumit ini?
Apakah dia sungguh harus menikah dengan Bima?
Apakah ia harus menuruti keinginan lelaki itu untuk memenuhi keinginan Tante Nina?
Pernikahan yang hanya berumur setahun? Apa itu mungkin untuknya yang sejujurnya juga ingin memiliki pernikahan sekali seumur hidup?
Haaa … Safira lagi-lagi menghela napas panjang. Ini terlalu berat untuknya.
Menikah dengan Bima adalah hal yang paling tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Setelah puas berpikir meskipun tak menemukan jawaban, gadis itu akhirnya memilih pulang dengan koper yang ia tarik. Padahal koper itu tak berat sama sekali, namun Safira merasa koper itu berisi semua masalah hidup yang tak ada habisnya. Berat banget!
Safira sudah akan menekan bel rumah, namun pintu rumah lebih dulu terbuka. Sang ayah ada di sana.
“Ya ampun, Mentari!" Safira tersenyum melihat wajah terkejut ayahnya. “Baru aja Ayah mau nyari kamu ke bandara. Kamu gimana sih, Nak, nomornya kok malah gak aktif?” Nada khawatir sangat terdengar jelas di kalimat sang ayah. Membuat Safira tak segan langsung memeluk pria paruh baya itu. Ia sangat rindu pada sosoknya.
“Iya, Ayah. Ponsel Tari lowbat.”
Ayah mengusap punggung sang anak sesaat dan melepasnya. “Ya sudah ayo masuk.” Ayah membantu membawakan koper Safira, dan mengikuti sang anak menuju kamarnya.
“Ibu? Tidur ya?” tanya Safira ketika sudah sampai di depan pintu kamarnya di lantai dua.
“Baru aja ketiduran. Nungguin kamu dari tadi gak datang-datang. Mau Ayah bangunin?”
Safira menggeleng, tersenyum tipis. “Nggak usah, Yah. Biar besok aja ngobrolnya.”
“Ya sudah.” Ayah mengangguk pelan. “Udah makan belum? Ibu kamu tadi ngangetin ayam kecap sama perkedel kentang kesukaan kamu lho. Makan dulu ya sebelum tidur.”
“Iya, Tari makan bentar lagi. Mau mandi dulu.”
“Jangan lupa hidupin air hangatnya,” saran Ayah. “Ayah temenin makan bentar lagi. Ayah nungguin kamu dari tadi.”
Safira melotot mendengarnya. “Lho kenapa nungguin Tari? Kenapa gak makan aja? Kalau Tari ternyata sampai rumahnya besok gimana?”
Ayah tertawa karena pertanyaan sang anak. “Duh kamu ini. Kan kamu pulang hari ini, Nak. Masa sampai rumahnya besok sih? Memangnya mau tidur di mana kalau gak tidur di rumah?”
Ah benar juga. Tapi menunggunya pulang hanya untuk makan bersama … sungguh Tari merasa bersalah. Apalagi ini sudah tengah malam!
“Udah gih, mandi dulu. Jangan lama-lama ya. Ayah tunggu di bawah.”
Akhirnya mau tak mau Safira mengangguk. “Tari gak lama. Kalau Ayah bener-bener kelaparan, makan duluan aja gak apa-apa.”
Sang ayah mengusap lengan Safira pelan. “Udah cepet mandi. Ayah turun ya.”
Safira masuk ke kamar setelah ayah turun ke lantai satu. Sebenarnya ia tak ingin makan dan hanya ingin tidur. Namun mengingat ayam kecap dan perkedel kentang, benar-benar menggugah nafsu makannya. Setidaknya dengan makan, tidurnya akan lebih nyenyak dan pikiran tentang Bima atau perjodohan akan terlupakan meskipun sebentar.
Yah … semoga saja.
***
Safira dan sang ayah makan dalam suasana hening. Sebenarnya banyak hal yang ingin Safira tanyakan, namun tenaganya sudah tak kuasa untuk bertanya ini itu. Padahal ia yakin jika sang ayah tak mungkin tak tahu menahu masalah ia yang dijodohkan dengan Bima.
Nasi di piringnya sudah habis, begitupula dengan sang ayah yang juga selesai dengan makanannya.
“Mau bicara sama Ayah? Atau besok aja sekalian sama ibu kamu?”
Yahh … ayah memang selalu seperti ini, kan? Dan kalau sudah ditawari seperti ini mana mungkin Safira menahan lagi. Kecuali kalau ayah hanya diam saja.
“Tadi Tari udah ketemu sama cowok yang mau dijodohkan ibu.”
Ayah diam, memberi ruang untuk anak gadisnya bercerita lebih banyak.
“Tari … nggak tahu harus gimana. Ayah udah tahu ya masalah ini?”
Ayah menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Ketemu sama Bima lagi … gimana rasanya? Kamu baik-baik aja, Nak?”
Nggak, Yah. Tari gak baik-baik aja ketemu dia lagi. Tari pengen nangis, pengen teriak, pengen marah. Lima tahun gak ketemu dan tiba-tiba kami ketemu lagi dengan keadaan kayak gini apa nggak berlebihan?
Namun semua yang ada di benaknya, hanya bisa Safira teriakkan di dalam hati. Ia tak mau membuat ayahnya khawatir. Sudah cukup raut khawatir itu Safira lihat sekarang.
“Tari gak apa-apa, cuma … kaget aja. Kami udah lima tahun gak ketemu semenjak putus, Yah.”
Ayah mengangguk pelan. Tentu sang ayah sangat tahu hal itu.
“Masalah perjodohan—”
“Tari …” Safira memotong pembicaraan sang ayah, “Tari bener-bener gak bisa nolak kan, Yah?”
“Kamu mau nolak, Nak? Nggak bisa dipikirin dulu?”
Safira diam, otaknya kembali berputar. Bima bilang, Tante Nina tidak mau menjalani operasi jika mereka berdua tidak menikah. Kalau begitu, keputusannya sama saja dengan keputusan tentang hidup dan mati seseorang.
Haaah … ini benar-benar di luar dugaan. Mana mungkin keputusannya untuk menikah sama dengan bertaruh nyawa?
Nggak masuk akal.
“Bima udah cerita, katanya Tante Nina sakit ya?”
Ayah mengangguk pelan.
“Tari juga gak ada pilihan untuk nolak, kan? Dan Bima yang sebenarnya juga gak punya pilihan, akhirnya terpaksa harus nikah sama aku.”
Sang ayah diam. Namun tak lama, beliau berucap lagi, “Kamu bisa nolak kalau kamu mau. Karena bagaimanapun, kebahagiaanmu tetap nomor satu bagi ayah dan ibumu, Nak. Biar kami yang bicara sama Bima dan ibunya kalau kamu nolak.”
Hati Safira tersentil sewaktu mendengar ucapan ayah. Ia merasa lega karena nyatanya ia masih memiliki pilihan meskipun rasanya masih sulit untuk diterima.
“Tari …”
“Kamu boleh pikirin dulu, Nak. Jangan terburu-buru.”
“Tari mau bicara dulu sama Bima, Yah. Tari akan kasih jawaban langsung ke Bima. Boleh, kan?”
Ayah tersenyum. “Tentu. Biar nanti Ayah yang bicara sama Ibumu.”
Safira balas tersenyum. “Makasih, Yah. Ya udah, Tari naik dulu. Mau istirahat. Ayah juga istirahat ya, makasih udah nemenin Tari makan.”
“Tidur yang nyenyak, ya. Biar besok bisa enakan bangunnya.”
Safira tersenyum dan mengangguk pelan. Ia naik ke lantai dua setelah mencium pipi sang ayah.
Bagaimanapun … tak ada hari yang lebih membuatnya merasa berat daripada hari ini. Namun setidaknya, berbicara dengan ayah bisa menghilangkan sedikit beban yang sejak tadi bergerumul di kepala dan hatinya.
Setidaknya begitu.
Iya, kan?
***
Pada nyatanya, bukan hanya Safira yang kepikiran tentang obrolan di bandara tadi. Tetapi Bima juga sama. Bahkan tak jauh beda.
Ketika Safira pergi begitu saja setelah ia mengatakan bahwa sang ibu sakit jantung dan harus dioperasi, itu cukup membuat Bima tertohok.
Safira mungkin akan menolak ajakannya untuk menikah. Safira mungkin akan semakin membencinya karena merasa bahwa ia memanfaatkan gadis itu. Atau mungkin, Safira yang semula sudah jauh, akan semakin jauh dan semakin tak bisa ia gapai lagi.
Bima benar-benar frustasi. Kenapa dengan bodohnya ia mengatakan tentang penyakit ibunya padahal ibunya sendiri sudah melarang untuk mengatakan itu?
Bodoh ya bodoh saja, Bima ….
Di malam yang sudah semakin larut dan nyaris berganti hari, Bima pergi ke salah satu bar yang memang sudah kerap kali menjadi pelarian ketika sedang suntuk seperti ini.
Bar 69, bar yang terkenal dengan para pengunjung kelas atas. Baik artis, pejabat, maupun konglomerat.
“Kenapa lagi lo?” Itu suara Monic. Perempuan yang dulu merupakan teman kuliahnya, kini merangkap sebagai pemilik utama Bar 69.
Dan juga … perempuan yang membuat hubungannya dan Safira kandas. Lima tahun lalu.
“Biasa. Gue mau bir dong, Mon. Lagi puyeng nih.”
Monic berdecak. “Ya elah, Bim, Bim. Nggak sekalian vodka? Nanggung amat mau mabok tapi minum bir.” Lalu gadis itu tertawa.
“Gak pengen mabok kok. Tapi pengen minum.”
Monic berdecak, namun ia tetap menyuruh pegawainya untuk mengambilkan dua kaleng bir. Satu untuknya dan satu untuk lelaki di sebelahnya ini.
“Jadi gimana … setelah ketemu dan duduk hadap-hadapan lagi sama Safira setelah sekian lama?”
Bima membuka kaleng bir dan langsung ia tenggak isinya sedikit.
“Lega atau malah makin … kangen?”
Bima masih tak menyahuti pertanyaan Monic yang jujur saja, menohok hati kecilnya. Bima terlalu kaku untuk mengakui perasaan-perasaan itu dan seringkali membuat Monic kuwalahan sendiri karena sikapnya yang seperti itu.
“Kalau lo mau deket dan perbaiki hubungan lo sama dia, seenggaknya lo harus lebih berani, Bim,” ucap Monic. Perempuan itu juga turut meminum sedikit demi sedikit bir miliknya. “Jangan jadi penakut dan jangan jadi pengecut lagi,” lanjutnya. Ia melirik Bima yang masih tak mengatakan apapun. “Karena kalau lo masih bersikap begini, gak mau terus terang dan masih mendem semuanya sendiri, gue yakin … cepat atau lambat, bukan cuma benci sama lo, mungkin … lo beneran bakal kehilangan Safira. Lagi," final Monic dengan penekanan di akhir kalimat.
Ya, Bima tahu itu.
Kehilangan ya?
Bukankah dirinya sudah biasa menghadapi kehilangan?
Tetapi yang jadi pertanyaan … apakah ia siap untuk kehilangan Safira sekali lagi?
Safira turun dari kamarnya sekitar pukul sembilan pagi. Suasana rumah sudah sepi, mungkin sang ayah sudah berangkat ke kantor. Dan ibunya yang merupakan fanatic tanaman pasti sedang ada di halaman belakang untuk mengurus tanaman-tanamannya di Greenhouse mini miliknya.“Bu.” Safira menyapa sang ibu yang sedang menyiram tanaman-tanamannya. Anita–ibu Safira mendongak, mengalihkan tatapan ke arah sang anak yang tersenyum lebar. Wanita berusia lima puluh tahunan itu berdiri. “Akhirnya bangun juga kamu. Sudah sarapan?”Safira mengangguk. Tentu ia sudah makan sekaligus mandi. Kalau tidak mengisi daya sebelum berbicara dengan ibunya, mana mungkin ia memiliki tenaga.“Sini duduk. Kita bicara soal kemarin.” Yah bagaimanapun ia juga harus membicarakan ini dengan ibu. Safira juga ingin bertanya banyak hal pada wanita yang sudah melahirkannya ini.“Pasti kamu punya banyak pertanyaan kan buat Ibu?” Ibu menuangkan teh dari teko ke dua cangkir yang ada di atas meja. Safira menduga ibunya pasti sud
Safira mengajak Bima bertemu di kafe dekat Sky’s Bakery—toko roti miliknya sekitar pukul empat sore. Dan dia sudah duduk di sini selama lima belas menit, namun Bima tak kunjung datang. Atau … laki-laki itu tak akan datang ya?Sampai lonceng pintu masuk kafe berbunyi, lamunan Safira buyar. Akhirnya Bima datang dengan kemeja biru yang digulung sampai siku, kacamata yang bertengger di pangkal hidung serta tas yang ada di lengan kirinya. Khas seorang dosen muda.“Sorry lama. Gue telat banget ya?” Bima menangkap cangkir yang sudah kosong di atas meja. Ia tersenyum tipis. “Udah makan?”Safira hanya mengangguk. “Gue pesen dulu kali ya, Fir? Tunggu ya?” Tanpa menunggu persetujuan Safira, Bima segera pergi untuk memesan. “Satu gelas amerikano dingin dan sandwich.” Tanpa sadar Safira menggumam. Tak lama, Bima datang dengan pesanannya. Safira mengerjap. Ternyata tebakannya salah. Bima tak lagi memesan americano. Namun sandwich tetap menjadi makanan andalannya ketika pergi ke kafe.“Lagi ngura
Sepulang dari kafe, Safira pergi ke rumah Kanin—satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak kuliah setelah kepergian Lusi. Sungguh, ia butuh distraksi sekarang dan berharap pikiran kalut di kepalanya sekarang bisa berkurang ketika berbicara dengan Kanin. Jarak antara kafe dengan rumah Kanin hanya berkisar sekitar sepuluh menit jika jalanan tidak macet kalau menggunakan mobil. Namun karena sekarang adalah jam rawan macet, Safira baru sampai tiga puluh menit kemudian.“Dari Sky’s?” Kanin bertanya langsung ketika membukakan pintu untuk sahabatnya itu. Bisa dilihat dengan jelas bagaimana wajah lelah dan stress Safira sekarang. Ugh … padahal ini pertemuan pertama mereka sejak Safira kembali ke Jakarta. Tetapi dia sudah memasang wajah cemberut gitu.Safira masuk tanpa menjawab. Ia duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Kanin menuju dapur untuk mengambil minuman sebelum akhirnya turut duduk di sebelah Safira. “Minum dulu.” Kanin menyerahkan sekotak jus jambu pada Safira yang sudah ia tusukkan s
Ada satu hal yang sengaja Bima tak ceritakan pada Safira. Satu yang menurutnya, jika ia menceritakan ini sekarang maka itu akan membuat Safira semakin jauh dan membatalkan rencana pernikahan mereka.Saat ini Bima sudah berada di rumah orangtuanya. Sudah tiga hari sejak pertemuan awal dengan Safira sampai pada pertemuan kedua, ia sama sekali belum memberikan kabar pada ibunya. Dia memang berniat akan menceritakan semua, ketika Safira sudah menyetujui perjodohan mereka. Dan sekarang lah waktunya.Bima masuk ke rumah dengan langkah pelan. Rumah ini masih sepi dan dingin seperti biasa. Lelaki itu jadi sedikit merasa bersalah pada sang ibu karena beberapa hari ini membiarkan wanita yang melahirkannya itu sendirian di rumah.“Ibu?” Bima mengetuk pintu kamar sang ibu. Sampai ketika ibu menyuruh masuk, barulah Bima membuka pintunya. “Ibu?” Bima tersenyum saat menemukan ibu duduk di meja rias. Wanita itu terlihat habis mandi dengan wajah yang begitu segar.“Akhirnya pulang juga kamu.” Bima me
Jakarta di hari Senin memang bukan main macetnya. Yah, bukan hari Senin aja sih tetapi nyaris setiap hari. Terlebih di jam kerja seperti sekarang. Hampir dua puluh menit mobil Safira tidak bergerak karena terjebak kemacetan yang membuatnya frustasi. Sandwich yang ia buat di rumah beserta lagu Maroon 5 berjudul One More Night terputar dari tape mobil sedikit berhasil mengusir kejenuhannya. Namun ia tetap saja lelah terjebak macet seperti ini. Pagi ini Safira akan pergi ke Sky’s setelah tiga bulan ia meninggalkan toko rotinya itu. Ia cukup rindu dengan dapur Sky’s dan peralatan yang biasanya ia gunakan untuk bereksperimen membuat berbagai macam jenis roti baru. Sampai ponsel yang ia letakkan di atas dasbor bergetar, membuat Safira berhenti bersenandung. Wanita itu meminum air lebih dulu dan mengecilkan volume tape mobil sebelum mengangkat panggilannya.Nama Bima tersemat di sana.“Halo?” Suara Bima menyapa indra pendengaran Safira.“Ada apa?” tanya Safira to the point. Ini adalah per
(Tahun pertama Safira dan Bima pacaran; di rumah Bima. Sekitar empat tahun lalu.)“Loh, Safira?”Bu Nina terkejut saat membuka pintu rumah ketika mendapati Safira yang tiba-tiba berada di sini dengan satu kresek besar di tangannya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu nyengir dan menyalami tangan ibu dari sahabat dan pacarnya tersebut. “Tapi Lusi sama Bima belum pulang dari kampus. Kamu nggak ada kelas emang?”“Safira baru pulang dari kampus kok, Tan. Langsung ke sini deh,” ujarnya. Masih dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya itu.“Oh gitu. Ya sudah masuk sini.” Bu Nina merangkul pundak Safira, mengarahkannya untuk masuk. “Kamu bawa apa itu kok banyak banget?”“Tante Nina nggak sibuk, kan?” Safira bertanya penuh harap. Karena ia memiliki rencana yang ingin dia lakukan bersama calon mertuanya ini—hehe, amin.“Nggak sih. Kenapa?”Seolah seperti pemilik rumah, Safira menarik Bu Nina pergi ke arah dapur dan meletakkan satu kresek besar belanjaannya ke atas meja. “Bikin bolu yuk,
Safira membanting dirinya ke kasur. Ia menutup matanya dengan lengan karena air mata yang terus ingin keluar. Beruntung kedua orangtuanya sedang tak ada, jadi ia tak perlu membuat alasan atau berbohong tentang kenapa dia menangis padahal baru pulang dari rumah Bima.“Sialan kamu, Bim.” Safira menarik napas panjang. Sesaknya sedikit berkurang seiring tangisnya yang sudah mereda.Sebenarnya, ada begitu banyak alasan yang membuat Safira menangis sesenggukan seperti tadi. Dari awal ia masuk ke rumah Bima dan kedatangannya disambut oleh Tante Nina jantungnya sudah ingin meledak. Safira menahan dengan keras agar tangisnya tak segera tumpah. Lalu setelahnya, sambutan Tante Nina yang begitu baik dan hangat seperti biasa. Menganggap semua baik-baik saja dan yang lalu seakan tak pernah terjadi. Menganggap mereka hanyalah dua orang yang sudah lama tak bertemu. Itu memang benar. Namun yang membuat Safira harus lebih menekan perasaannya adalah ketika ia sadar, bahwa tak ada yang baik-baik saja den
Safira tak menyangka jika dua bulan sungguh berlalu begitu cepat. Pernikahannya dengan Bima sungguh dilakukan dan meskipun keduanya kini tengah berada di kamar yang sama, Safira masih enggan untuk percaya sepenuhnya bahwa ia sungguh gila karena menikahi mantan pacarnya yang egoisnya bukan main itu.Begitu selesai mandi, Safira mendapati Bima yang tengah melihat ke arah luar jendela dengan pakaian yang lebih santai. Namun begitu lelaki itu sadar jika Safira sudah berada di belakangnya, Bima berbalik dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa sekalipun melirik ke arah wanita yang perhari ini sudah menjadi istrinya.Sadar kalau dirinya diabaikan, Safira hanya mengangkat kedua bahunya. Merasa tak keberatan sama sekali. Beda dari sebelumnya, mereka tentu sudah harus melakukan apapun yang tercantum di atas kontrak. Tidak berbicara hal tak penting. Betul?Jadi setelah mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, Safira langsung naik ke atas ranjang. Tidak berniat menunggu Bima selesai mandi, ia lan