Share

BAB 4 : MLBK (MASA LALU BELUM KELAR)

Safira sampai di rumah hampir pukul dua belas malam. Sepulang dari bandara, ia tak langsung pulang ke rumah dan malah memilih untuk duduk-duduk di taman perumahan rumah. Pikirannya berkecamuk. Safira merasa, takdir seolah-olah mempermainkannya.

Perjodohan, Bima, Tante Nina yang sakit … oh tak adakah yang lebih buruk dari ini? 

Safira membuka botol air yang ia beli di supermarket. Menenggak airnya hingga tersisa separuh, berusaha menghilangkan rasa panas di tenggorokannya. 

Kenapa semua harus serumit ini?

Apakah dia sungguh harus menikah dengan Bima?

Apakah ia harus menuruti keinginan lelaki itu untuk memenuhi keinginan Tante Nina?

Pernikahan yang hanya berumur setahun? Apa itu mungkin untuknya yang sejujurnya juga ingin memiliki pernikahan sekali seumur hidup?

Haaa … Safira lagi-lagi menghela napas panjang. Ini terlalu berat untuknya.

Menikah dengan Bima adalah hal yang paling tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Setelah puas berpikir meskipun tak menemukan jawaban, gadis itu akhirnya memilih pulang dengan koper yang ia tarik. Padahal koper itu tak berat sama sekali, namun Safira merasa koper itu berisi semua masalah hidup yang tak ada habisnya. Berat banget!

Safira sudah akan menekan bel rumah, namun pintu rumah lebih dulu terbuka. Sang ayah ada di sana.

“Ya ampun, Mentari!" Safira tersenyum melihat wajah terkejut ayahnya. “Baru aja Ayah mau nyari kamu ke bandara. Kamu gimana sih, Nak, nomornya kok malah gak aktif?” Nada khawatir sangat terdengar jelas di kalimat sang ayah. Membuat Safira tak segan langsung memeluk pria paruh baya itu. Ia sangat rindu pada sosoknya.

“Iya, Ayah. Ponsel Tari lowbat.”

Ayah mengusap punggung sang anak sesaat dan melepasnya. “Ya sudah ayo masuk.” Ayah membantu membawakan koper Safira, dan mengikuti sang anak menuju kamarnya.

“Ibu? Tidur ya?” tanya Safira ketika sudah sampai di depan pintu kamarnya di lantai dua.

“Baru aja ketiduran. Nungguin kamu dari tadi gak datang-datang. Mau Ayah bangunin?”

Safira menggeleng, tersenyum tipis. “Nggak usah, Yah. Biar besok aja ngobrolnya.”

“Ya sudah.” Ayah mengangguk pelan. “Udah makan belum? Ibu kamu tadi ngangetin ayam kecap sama perkedel kentang kesukaan kamu lho. Makan dulu ya sebelum tidur.”

“Iya, Tari makan bentar lagi. Mau mandi dulu.”

“Jangan lupa hidupin air hangatnya,” saran Ayah. “Ayah temenin makan bentar lagi. Ayah nungguin kamu dari tadi.”

Safira melotot mendengarnya. “Lho kenapa nungguin Tari? Kenapa gak makan aja? Kalau Tari ternyata sampai rumahnya besok gimana?”

Ayah tertawa karena pertanyaan sang anak. “Duh kamu ini. Kan kamu pulang hari ini, Nak. Masa sampai rumahnya besok sih? Memangnya mau tidur di mana kalau gak tidur di rumah?”

Ah benar juga. Tapi menunggunya pulang hanya untuk makan bersama … sungguh Tari merasa bersalah. Apalagi ini sudah tengah malam!

“Udah gih, mandi dulu. Jangan lama-lama ya. Ayah tunggu di bawah.”

Akhirnya mau tak mau Safira mengangguk. “Tari gak lama. Kalau Ayah bener-bener kelaparan, makan duluan aja gak apa-apa.”

Sang ayah mengusap lengan Safira pelan. “Udah cepet mandi. Ayah turun ya.”

Safira masuk ke kamar setelah ayah turun ke lantai satu. Sebenarnya ia tak ingin makan dan hanya ingin tidur. Namun mengingat ayam kecap dan perkedel kentang, benar-benar menggugah nafsu makannya. Setidaknya dengan makan, tidurnya akan lebih nyenyak dan pikiran tentang Bima atau perjodohan akan terlupakan meskipun sebentar.

Yah … semoga saja.

***

Safira dan sang ayah makan dalam suasana hening. Sebenarnya banyak hal yang ingin Safira tanyakan, namun tenaganya sudah tak kuasa untuk bertanya ini itu. Padahal ia yakin jika sang ayah tak mungkin tak tahu menahu masalah ia yang dijodohkan dengan Bima.

Nasi di piringnya sudah habis, begitupula dengan sang ayah yang juga selesai dengan makanannya.

“Mau bicara sama Ayah? Atau besok aja sekalian sama ibu kamu?”

Yahh … ayah memang selalu seperti ini, kan? Dan kalau sudah ditawari seperti ini mana mungkin Safira menahan lagi. Kecuali kalau ayah hanya diam saja.

“Tadi Tari udah ketemu sama cowok yang mau dijodohkan ibu.”

Ayah diam, memberi ruang untuk anak gadisnya bercerita lebih banyak.

“Tari … nggak tahu harus gimana. Ayah udah tahu ya masalah ini?”

Ayah menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Ketemu sama Bima lagi … gimana rasanya? Kamu baik-baik aja, Nak?”

Nggak, Yah. Tari gak baik-baik aja ketemu dia lagi. Tari pengen nangis, pengen teriak, pengen marah. Lima tahun gak ketemu dan tiba-tiba kami ketemu lagi dengan keadaan kayak gini apa nggak berlebihan?

Namun semua yang ada di benaknya, hanya bisa Safira teriakkan di dalam hati. Ia tak mau membuat ayahnya khawatir. Sudah cukup raut khawatir itu Safira lihat sekarang.

“Tari gak apa-apa, cuma … kaget aja. Kami udah lima tahun gak ketemu semenjak putus, Yah.”

Ayah mengangguk pelan. Tentu sang ayah sangat tahu hal itu.

“Masalah perjodohan—”

“Tari …” Safira memotong pembicaraan sang ayah, “Tari bener-bener gak bisa nolak kan, Yah?”

“Kamu mau nolak, Nak? Nggak bisa dipikirin dulu?”

Safira diam, otaknya kembali berputar. Bima bilang, Tante Nina tidak mau menjalani operasi jika mereka berdua tidak menikah. Kalau begitu, keputusannya sama saja dengan keputusan tentang hidup dan mati seseorang.

Haaah … ini benar-benar di luar dugaan. Mana mungkin keputusannya untuk menikah sama dengan bertaruh nyawa?

Nggak masuk akal.

“Bima udah cerita, katanya Tante Nina sakit ya?”

Ayah mengangguk pelan. 

“Tari juga gak ada pilihan untuk nolak, kan? Dan Bima yang sebenarnya juga gak punya pilihan, akhirnya terpaksa harus nikah sama aku.”

Sang ayah diam. Namun tak lama, beliau berucap lagi, “Kamu bisa nolak kalau kamu mau. Karena bagaimanapun, kebahagiaanmu tetap nomor satu bagi ayah dan ibumu, Nak. Biar kami yang bicara sama Bima dan ibunya kalau kamu nolak.”

Hati Safira tersentil sewaktu mendengar ucapan ayah. Ia merasa lega karena nyatanya ia masih memiliki pilihan meskipun rasanya masih sulit untuk diterima.

“Tari …”

“Kamu boleh pikirin dulu, Nak. Jangan terburu-buru.”

“Tari mau bicara dulu sama Bima, Yah. Tari akan kasih jawaban langsung ke Bima. Boleh, kan?”

Ayah tersenyum. “Tentu. Biar nanti Ayah yang bicara sama Ibumu.”

Safira balas tersenyum. “Makasih, Yah. Ya udah, Tari naik dulu. Mau istirahat. Ayah juga istirahat ya, makasih udah nemenin Tari makan.”

“Tidur yang nyenyak, ya. Biar besok bisa enakan bangunnya.”

Safira tersenyum dan mengangguk pelan. Ia naik ke lantai dua setelah mencium pipi sang ayah. 

Bagaimanapun … tak ada hari yang lebih membuatnya merasa berat daripada hari ini. Namun setidaknya, berbicara dengan ayah bisa menghilangkan sedikit beban yang sejak tadi bergerumul di kepala dan hatinya.

Setidaknya begitu.

Iya, kan?

***

Pada nyatanya, bukan hanya Safira yang kepikiran tentang obrolan di bandara tadi. Tetapi Bima juga sama. Bahkan tak jauh beda.

Ketika Safira pergi begitu saja setelah ia mengatakan bahwa sang ibu sakit jantung dan harus dioperasi, itu cukup membuat Bima tertohok.

Safira mungkin akan menolak ajakannya untuk menikah. Safira mungkin akan semakin membencinya karena merasa bahwa ia memanfaatkan gadis itu. Atau mungkin, Safira yang semula sudah jauh, akan semakin jauh dan semakin tak bisa ia gapai lagi.

Bima benar-benar frustasi. Kenapa dengan bodohnya ia mengatakan tentang penyakit ibunya padahal ibunya sendiri sudah melarang untuk mengatakan itu?

Bodoh ya bodoh saja, Bima ….

Di malam yang sudah semakin larut dan nyaris berganti hari, Bima pergi ke salah satu bar yang memang sudah kerap kali menjadi pelarian ketika sedang suntuk seperti ini.

Bar 69, bar yang terkenal dengan para pengunjung kelas atas. Baik artis, pejabat, maupun konglomerat.

“Kenapa lagi lo?” Itu suara Monic. Perempuan yang dulu merupakan teman kuliahnya, kini merangkap sebagai pemilik utama Bar 69.

Dan juga … perempuan yang membuat hubungannya dan Safira kandas. Lima tahun lalu.

“Biasa. Gue mau bir dong, Mon. Lagi puyeng nih.”

Monic berdecak. “Ya elah, Bim, Bim. Nggak sekalian vodka? Nanggung amat mau mabok tapi minum bir.” Lalu gadis itu tertawa.

“Gak pengen mabok kok. Tapi pengen minum.”

Monic berdecak, namun ia tetap menyuruh pegawainya untuk mengambilkan dua kaleng bir. Satu untuknya dan satu untuk lelaki di sebelahnya ini.

“Jadi gimana … setelah ketemu dan duduk hadap-hadapan lagi sama Safira setelah sekian lama?”

Bima membuka kaleng bir dan langsung ia tenggak isinya sedikit. 

“Lega atau malah makin … kangen?”

Bima masih tak menyahuti pertanyaan Monic yang jujur saja, menohok hati kecilnya. Bima terlalu kaku untuk mengakui perasaan-perasaan itu dan seringkali membuat Monic kuwalahan sendiri karena sikapnya yang seperti itu.

“Kalau lo mau deket dan perbaiki hubungan lo sama dia, seenggaknya lo harus lebih berani, Bim,” ucap Monic. Perempuan itu juga turut meminum sedikit demi sedikit bir miliknya. “Jangan jadi penakut dan jangan jadi pengecut lagi,” lanjutnya. Ia melirik Bima yang masih tak mengatakan apapun. “Karena kalau lo masih bersikap begini, gak mau terus terang dan masih mendem semuanya sendiri, gue yakin … cepat atau lambat, bukan cuma benci sama lo, mungkin … lo beneran bakal kehilangan Safira. Lagi," final Monic dengan penekanan di akhir kalimat.

Ya, Bima tahu itu. 

Kehilangan ya?

Bukankah dirinya sudah biasa menghadapi kehilangan?

Tetapi yang jadi pertanyaan … apakah ia siap untuk kehilangan Safira sekali lagi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status