Share

Bab 2 : KOK BISA?

2 BULAN LALU

"Tari ... kamu jadi pulang hari ini, kan?"

Suara ibu langsung menyapa ketika Safira baru mengangkat panggilan. Hari ini wanita itu akan pulang ke Jakarta setelah selesai dengan urusan bisnisnya di Surabaya. Safira baru saja membangun cabang toko roti yang terletak di Surabaya dan sudah tiga bulan ia ada di kota ini untuk mengurus segala keperluan. Dan karena semuanya sudah selesai, ia berencana pulang hari ini.

"Iya, Bu. Pesawatku nanti jam tujuh. Ini aku masih siap-siap." Ketika ibu menelepon, Safira memang sedang merapikan barang-barang untuk ia masukkan ke koper. Tidak banyak yang dibawanya, karena memang ketika ke pergi dia memang tak membawa begitu banyak barang. Hanya beberapa helai pakaian santai, pakaian dalam, baju formal yang digunakan untuk meeting, laptop, serta berkas-berkas. Barang-barang yang tidak begitu penting kebanyakan dibelinya langsung ketika sampai di Surabaya. Jadi ketika kembali ke Jakarta, dia hanya membawa apa yang dibawa ketika berangkat saja.

"Tar, Ibu mau ngomong."

Safira tak langsung menyahut. Perasaannya langsung tak nyaman ketika mendengar suara ibu. Pasti ini tak jauh-jauh dari—

"Nanti setelah sampai bandara, kamu pergi ke alamat yang ibu kasih ya, Tar. Ibu mau temuin kamu sama seseorang."

Haah … hal ini sudah diduganya. Pasti masalah ini lagi dan ini sudah yang kesekian kali.

Tolong siapapun bantu Safira sekarang. Karena perempuan itu sudah benar-benar lelah sekarang.

"Lagi?" Safira menghela napas lelah. "Bu, aku kan baru sampai. Masa langsung disuruh mampir-mampir sih?"

"Nurut aja kenapa sih, Tar? Ini demi kamu juga."

Safira mengerucutkan bibir kesal, seraya menghela napas pasrah. Kalau sudah kata-kata sakti ibu keluar 'Ini demi kamu juga' itu berarti ibu lagi-lagi berusaha untuk menjodohkannya dengan laki-laki yang tak dikenal. Entah itu anak dari tetangga, anak dari kolega ayah, atau anak dari teman arisan ibu. Dan sepertinya, usaha ibu ini sudah lebih dari sepuluh kali.

"Terserah Ibu deh. Tapi kalau aku gak suka, jangan dipaksa ya, Bu. Aku gak buru-buru nikah, aku gak buru-buru pengen punya anak juga."

"Bukan kamu yang keburu, tapi Ibu, Tar. Ibu ini udah tua. Ibu juga sering sakit-sakitan. Umur Ibu takut gak nutut sama pernikahan kamu kalau Ibu nunggu kamu yang cari jodoh sendiri. Ibu juga pengen gendong cucu kayak ibu temen-temenmu."

Terkadang Safira kesal dengan ucapan ibu yang seenaknya itu. Kenapa ibu selalu bawa-bawa umur dengan urusan pernikahan? Kenapa ibu tidak berharap agar dia diberi umur yang panjang saja supaya bisa melihat anaknya menikah ketika benar-benar siap? Bukankah itu lebih baik dari apa yang dikatakannya barusan?

Apakah ibu tidak paham jika alasan sang anak belum mau menikah karena tidak siap dan takut karena belum menemukan laki-laki yang tepat?

Di umur yang genap dua puluh tujuh tahun, Safira sudah tak berniat berpacaran atau sekadar bermain-main. Perempuan itu ingin hubungan yang tepat dan serius agar tak membuang waktu dengan orang yang salah saja.

Dan selama ini, beberapa laki-laki yang terpaksa ia temui karena suruhan ibunya tak ada yang berniat menikah. Jika ditanya jawaban yang ia terima malah ngalor-ngidul gak jelas yang intinya mereka juga belum berniat menikah. Lalu kalau sudah begitu, tak ada alasan bagi Safira untuk melanjutkan hubungan mereka bukan?

"Pokoknya nanti ikut apa kata Ibu aja. Kali ini Ibu yakin kamu pasti cocok, Tar. Anaknya baik, sopan, dia dosen di universitas kamu dulu. Jadi temuin aja dulu ya. Semoga aja cocok."

"Kalau aku cocok dianya enggak, ya sama aja, Bu."

"Tenang aja. Ibu udah kasih foto kamu ke dia."

Safira berdecak. Baiklah, seperti yang sudah-sudah ia akan menuruti apa kata ibu dulu supaya cepat beres. Wanita itu akan menemuinya dulu. Kalau emang merasa gak cocok dia akan berhenti sampai di sana. Dan agar ibu tidak melakukan ini lagi, sepertinya dia juga harus segera mencari seseorang yang bisa diajak menikah.

Iya, Safira. Harusnya kamu melakukan itu sejak dulu. Tapi pada kenyataannya kamu yang menjauhi para lelaki yang mendekatimu, kan?

Hidup ini memang ribet.

"Kamu gak mau minta foto dia?"

"Kirim aja kalau Ibu punya."

"Ya nanti Ibu kirim."

"Iya."

"Ya sudah, Ibu matikan telponnya dulu. Hati-hati pulangnya ya, Tar. Ibu tunggu di rumah."

"Ya, Bu."

Setelah sambungan terputus, Safira membanting diri ke kasur. Jujur ia benar-benar sudah lelah dengan fase-fase ini. Fase dipaksa menikah karena keinginan orang tua, bukan karena keinginan sendiri.

Terakhir Safira menjalin hubungan ketika di tahun ketiga kuliah. Ia berhasil menjalin hubungan selama tiga tahun dengan seorang kakak tingkatnya yang juga merangkap sebagai kakak dari sahabatnya sendiri. Jadi, meskipun sebenarnya mereka sudah saling kenal sejak beberapa tahun, kakak dari sahabatnya itu baru memulai fase pendekatan ketika ia sudah masuk bangku kuliah.

Namun sayang, itu menjadi hubungan pertama dan terakhirnya. Mereka berdua putus karena alasan yang menurut Safira sudah tak bisa dimaafkan lagi. Lelaki yang mengaku sangat mencintainya itu malah berselingkuh, dan Safira memergokinya sedang berciuman dengan perempuan yang sangat Safira benci keberadaannya waktu itu.

Karena malas ribut, ribet dan sakit hati berkepanjangan lagi, Safira akhirnya memutuskan untuk tidak memulai hubungan lagi. Alih-alih karena ia belum move on dari mantan pacarnya, lebih karena ia malas melewati fase jatuh cinta yang itu-itu saja.

Berbunga-bunga - sakit hati - bertengkar - putus.

Bagai lingkaran setan yang tak akan ada ujungnya.

***

Safira sampai di bandara Soetta sekitar jam setengah sembilan malam. Sebenarnya, waktu-waktu sekarang itu sudah tak pantas untuk menemui orang asing. Tapi karena ini janji yang dibuat ibu alih-alih dirinya sendiri, jadi ya apa boleh buat.

Tempat janjian yang diberikan ibu ternyata hanya di kafe yang terletak di bandara. Safira bersyukur karena ia tak harus jalan jauh-jauh lagi. Badannya sudah benar-benar sangat remuk dan merindukan kasur.

Setelah memesan minuman, Safira duduk di salah satu kursi dan membuka pesan dari ibu. Beliau mengiriminya foto seseorang yang akan ditemuinya malam ini. Jika dilihat dari foto, pria itu lumayan. Terlihat tegas dan tampan. Yah memang sih, laki-laki yang diperkenalkan ibu tak pernah mengecewakan jika soal wajah.

Lima menit berlalu, seseorang yang perempuan itu tunggu datang juga. Dia langsung duduk di depan Safira begitu saja tanpa ucapan permisi. Namun begitu melihatnya ... jantung Safira terasa diremas oleh sesuatu. Dadanya seakan sesak. Dia ... kenapa dia ada di sini? Orang yang akan dikenalkan ibu padanya bukan dia, kan? Foto yang dikirim ibu padanya pun bukan foto dia.

"Safira ..." Dia memanggil perempuan itu dengan nada sesantai mungkin seiring dengan napas Safira yang sudah memburu tanpa sadar. "Gak lupa sama gue, kan?"

Tenggorokan Safira tercekat. Matanya memanas. Ya Tuhan ... kenapa ia harus bertemu sosok ini lagi? Dia ini, laki-laki yang membuatnya enggan untuk kembali jatuh cinta. Dia adalah laki-laki yang membuatnya tak bisa lagi membangun cinta dengan orang lain. Laki-laki ini jahat dan Safira sangat membencinya.

"Kamu ngapain di sini?" Safira meminum ice americano yang dipesannya tadi hanya agar tenggorokannya kembali normal. Sial. Bahkan untuk kembali menatap matanya, ia tidak bisa.

"Kenapa masih nanya? Kan ibu lo yang nyuruh ke sini?"

Jantung Safira seolah jatuh dari tempatnya. Dirinya sungguh tak salah dengar, kan? Ibunya yang menyuruh? Kalau begitu … apa laki-laki ini … yang akan dijodohkan dengannya?

KENAPA BISA??

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status