2 BULAN LALU
"Tari ... kamu jadi pulang hari ini, kan?"Suara ibu langsung menyapa ketika Safira baru mengangkat panggilan. Hari ini wanita itu akan pulang ke Jakarta setelah selesai dengan urusan bisnisnya di Surabaya. Safira baru saja membangun cabang toko roti yang terletak di Surabaya dan sudah tiga bulan ia ada di kota ini untuk mengurus segala keperluan. Dan karena semuanya sudah selesai, ia berencana pulang hari ini."Iya, Bu. Pesawatku nanti jam tujuh. Ini aku masih siap-siap." Ketika ibu menelepon, Safira memang sedang merapikan barang-barang untuk ia masukkan ke koper. Tidak banyak yang dibawanya, karena memang ketika ke pergi dia memang tak membawa begitu banyak barang. Hanya beberapa helai pakaian santai, pakaian dalam, baju formal yang digunakan untuk meeting, laptop, serta berkas-berkas. Barang-barang yang tidak begitu penting kebanyakan dibelinya langsung ketika sampai di Surabaya. Jadi ketika kembali ke Jakarta, dia hanya membawa apa yang dibawa ketika berangkat saja."Tar, Ibu mau ngomong."Safira tak langsung menyahut. Perasaannya langsung tak nyaman ketika mendengar suara ibu. Pasti ini tak jauh-jauh dari—"Nanti setelah sampai bandara, kamu pergi ke alamat yang ibu kasih ya, Tar. Ibu mau temuin kamu sama seseorang."Haah … hal ini sudah diduganya. Pasti masalah ini lagi dan ini sudah yang kesekian kali.Tolong siapapun bantu Safira sekarang. Karena perempuan itu sudah benar-benar lelah sekarang."Lagi?" Safira menghela napas lelah. "Bu, aku kan baru sampai. Masa langsung disuruh mampir-mampir sih?""Nurut aja kenapa sih, Tar? Ini demi kamu juga."Safira mengerucutkan bibir kesal, seraya menghela napas pasrah. Kalau sudah kata-kata sakti ibu keluar 'Ini demi kamu juga' itu berarti ibu lagi-lagi berusaha untuk menjodohkannya dengan laki-laki yang tak dikenal. Entah itu anak dari tetangga, anak dari kolega ayah, atau anak dari teman arisan ibu. Dan sepertinya, usaha ibu ini sudah lebih dari sepuluh kali."Terserah Ibu deh. Tapi kalau aku gak suka, jangan dipaksa ya, Bu. Aku gak buru-buru nikah, aku gak buru-buru pengen punya anak juga.""Bukan kamu yang keburu, tapi Ibu, Tar. Ibu ini udah tua. Ibu juga sering sakit-sakitan. Umur Ibu takut gak nutut sama pernikahan kamu kalau Ibu nunggu kamu yang cari jodoh sendiri. Ibu juga pengen gendong cucu kayak ibu temen-temenmu."Terkadang Safira kesal dengan ucapan ibu yang seenaknya itu. Kenapa ibu selalu bawa-bawa umur dengan urusan pernikahan? Kenapa ibu tidak berharap agar dia diberi umur yang panjang saja supaya bisa melihat anaknya menikah ketika benar-benar siap? Bukankah itu lebih baik dari apa yang dikatakannya barusan?Apakah ibu tidak paham jika alasan sang anak belum mau menikah karena tidak siap dan takut karena belum menemukan laki-laki yang tepat?Di umur yang genap dua puluh tujuh tahun, Safira sudah tak berniat berpacaran atau sekadar bermain-main. Perempuan itu ingin hubungan yang tepat dan serius agar tak membuang waktu dengan orang yang salah saja.Dan selama ini, beberapa laki-laki yang terpaksa ia temui karena suruhan ibunya tak ada yang berniat menikah. Jika ditanya jawaban yang ia terima malah ngalor-ngidul gak jelas yang intinya mereka juga belum berniat menikah. Lalu kalau sudah begitu, tak ada alasan bagi Safira untuk melanjutkan hubungan mereka bukan?"Pokoknya nanti ikut apa kata Ibu aja. Kali ini Ibu yakin kamu pasti cocok, Tar. Anaknya baik, sopan, dia dosen di universitas kamu dulu. Jadi temuin aja dulu ya. Semoga aja cocok.""Kalau aku cocok dianya enggak, ya sama aja, Bu.""Tenang aja. Ibu udah kasih foto kamu ke dia."Safira berdecak. Baiklah, seperti yang sudah-sudah ia akan menuruti apa kata ibu dulu supaya cepat beres. Wanita itu akan menemuinya dulu. Kalau emang merasa gak cocok dia akan berhenti sampai di sana. Dan agar ibu tidak melakukan ini lagi, sepertinya dia juga harus segera mencari seseorang yang bisa diajak menikah.Iya, Safira. Harusnya kamu melakukan itu sejak dulu. Tapi pada kenyataannya kamu yang menjauhi para lelaki yang mendekatimu, kan?Hidup ini memang ribet."Kamu gak mau minta foto dia?""Kirim aja kalau Ibu punya.""Ya nanti Ibu kirim.""Iya.""Ya sudah, Ibu matikan telponnya dulu. Hati-hati pulangnya ya, Tar. Ibu tunggu di rumah.""Ya, Bu."Setelah sambungan terputus, Safira membanting diri ke kasur. Jujur ia benar-benar sudah lelah dengan fase-fase ini. Fase dipaksa menikah karena keinginan orang tua, bukan karena keinginan sendiri.Terakhir Safira menjalin hubungan ketika di tahun ketiga kuliah. Ia berhasil menjalin hubungan selama tiga tahun dengan seorang kakak tingkatnya yang juga merangkap sebagai kakak dari sahabatnya sendiri. Jadi, meskipun sebenarnya mereka sudah saling kenal sejak beberapa tahun, kakak dari sahabatnya itu baru memulai fase pendekatan ketika ia sudah masuk bangku kuliah.Namun sayang, itu menjadi hubungan pertama dan terakhirnya. Mereka berdua putus karena alasan yang menurut Safira sudah tak bisa dimaafkan lagi. Lelaki yang mengaku sangat mencintainya itu malah berselingkuh, dan Safira memergokinya sedang berciuman dengan perempuan yang sangat Safira benci keberadaannya waktu itu.Karena malas ribut, ribet dan sakit hati berkepanjangan lagi, Safira akhirnya memutuskan untuk tidak memulai hubungan lagi. Alih-alih karena ia belum move on dari mantan pacarnya, lebih karena ia malas melewati fase jatuh cinta yang itu-itu saja.Berbunga-bunga - sakit hati - bertengkar - putus.Bagai lingkaran setan yang tak akan ada ujungnya.***Safira sampai di bandara Soetta sekitar jam setengah sembilan malam. Sebenarnya, waktu-waktu sekarang itu sudah tak pantas untuk menemui orang asing. Tapi karena ini janji yang dibuat ibu alih-alih dirinya sendiri, jadi ya apa boleh buat.Tempat janjian yang diberikan ibu ternyata hanya di kafe yang terletak di bandara. Safira bersyukur karena ia tak harus jalan jauh-jauh lagi. Badannya sudah benar-benar sangat remuk dan merindukan kasur.Setelah memesan minuman, Safira duduk di salah satu kursi dan membuka pesan dari ibu. Beliau mengiriminya foto seseorang yang akan ditemuinya malam ini. Jika dilihat dari foto, pria itu lumayan. Terlihat tegas dan tampan. Yah memang sih, laki-laki yang diperkenalkan ibu tak pernah mengecewakan jika soal wajah.Lima menit berlalu, seseorang yang perempuan itu tunggu datang juga. Dia langsung duduk di depan Safira begitu saja tanpa ucapan permisi. Namun begitu melihatnya ... jantung Safira terasa diremas oleh sesuatu. Dadanya seakan sesak. Dia ... kenapa dia ada di sini? Orang yang akan dikenalkan ibu padanya bukan dia, kan? Foto yang dikirim ibu padanya pun bukan foto dia."Safira ..." Dia memanggil perempuan itu dengan nada sesantai mungkin seiring dengan napas Safira yang sudah memburu tanpa sadar. "Gak lupa sama gue, kan?"Tenggorokan Safira tercekat. Matanya memanas. Ya Tuhan ... kenapa ia harus bertemu sosok ini lagi? Dia ini, laki-laki yang membuatnya enggan untuk kembali jatuh cinta. Dia adalah laki-laki yang membuatnya tak bisa lagi membangun cinta dengan orang lain. Laki-laki ini jahat dan Safira sangat membencinya."Kamu ngapain di sini?" Safira meminum ice americano yang dipesannya tadi hanya agar tenggorokannya kembali normal. Sial. Bahkan untuk kembali menatap matanya, ia tidak bisa."Kenapa masih nanya? Kan ibu lo yang nyuruh ke sini?"Jantung Safira seolah jatuh dari tempatnya. Dirinya sungguh tak salah dengar, kan? Ibunya yang menyuruh? Kalau begitu … apa laki-laki ini … yang akan dijodohkan dengannya?KENAPA BISA??Kenapa bisa?Dengan sekuat tenaga, dengan keberanian yang berusaha ia kumpulkan agar terlihat kuat di depannya, Safira berusaha menatap mata lelaki itu. Teduh, dia masih menatapnya dengan cara yang sama seperti dulu. Tapi yang Safira lihat di sana adalah kerinduan dan kesedihan.Rindu? Nggak salah tuh?Lalu sedih? Kenapa sedih?Dengan tangan terburu dan rasa tak percayanya, Safira merogoh bagian dalam tas untuk mengambil ponsel. Ia harus memastikan sekali lagi, melihat sekali lagi, foto yang dikirim ibu kepadanya. Sialnya… Safira dengan tampang linglung nan bodohnya membandingkan foto di ponselnya dengan sosok di hadapannya sekarang. Matanya yang terlihat teduh, senyumnya yang begitu tulus …Dan ah … benarkah sosok di depannya ini adalah mantan pacarnya lima tahun lalu? Kenapa lelaki ini sangat terlihat berbeda? Apa hanya karena kacamata yang dikenakannya sekarang? Apa karena di foto kulitnya terlihat lebih putih? Atau karena perawakannya sekarang yang terlihat lebih seksi dan berisi
Safira sampai di rumah hampir pukul dua belas malam. Sepulang dari bandara, ia tak langsung pulang ke rumah dan malah memilih untuk duduk-duduk di taman perumahan rumah. Pikirannya berkecamuk. Safira merasa, takdir seolah-olah mempermainkannya.Perjodohan, Bima, Tante Nina yang sakit … oh tak adakah yang lebih buruk dari ini? Safira membuka botol air yang ia beli di supermarket. Menenggak airnya hingga tersisa separuh, berusaha menghilangkan rasa panas di tenggorokannya. Kenapa semua harus serumit ini?Apakah dia sungguh harus menikah dengan Bima?Apakah ia harus menuruti keinginan lelaki itu untuk memenuhi keinginan Tante Nina?Pernikahan yang hanya berumur setahun? Apa itu mungkin untuknya yang sejujurnya juga ingin memiliki pernikahan sekali seumur hidup?Haaa … Safira lagi-lagi menghela napas panjang. Ini terlalu berat untuknya.Menikah dengan Bima adalah hal yang paling tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Setelah puas berpikir meskipun tak menemukan jawaban, gadis itu akhirnya
Safira turun dari kamarnya sekitar pukul sembilan pagi. Suasana rumah sudah sepi, mungkin sang ayah sudah berangkat ke kantor. Dan ibunya yang merupakan fanatic tanaman pasti sedang ada di halaman belakang untuk mengurus tanaman-tanamannya di Greenhouse mini miliknya.“Bu.” Safira menyapa sang ibu yang sedang menyiram tanaman-tanamannya. Anita–ibu Safira mendongak, mengalihkan tatapan ke arah sang anak yang tersenyum lebar. Wanita berusia lima puluh tahunan itu berdiri. “Akhirnya bangun juga kamu. Sudah sarapan?”Safira mengangguk. Tentu ia sudah makan sekaligus mandi. Kalau tidak mengisi daya sebelum berbicara dengan ibunya, mana mungkin ia memiliki tenaga.“Sini duduk. Kita bicara soal kemarin.” Yah bagaimanapun ia juga harus membicarakan ini dengan ibu. Safira juga ingin bertanya banyak hal pada wanita yang sudah melahirkannya ini.“Pasti kamu punya banyak pertanyaan kan buat Ibu?” Ibu menuangkan teh dari teko ke dua cangkir yang ada di atas meja. Safira menduga ibunya pasti sud
Safira mengajak Bima bertemu di kafe dekat Sky’s Bakery—toko roti miliknya sekitar pukul empat sore. Dan dia sudah duduk di sini selama lima belas menit, namun Bima tak kunjung datang. Atau … laki-laki itu tak akan datang ya?Sampai lonceng pintu masuk kafe berbunyi, lamunan Safira buyar. Akhirnya Bima datang dengan kemeja biru yang digulung sampai siku, kacamata yang bertengger di pangkal hidung serta tas yang ada di lengan kirinya. Khas seorang dosen muda.“Sorry lama. Gue telat banget ya?” Bima menangkap cangkir yang sudah kosong di atas meja. Ia tersenyum tipis. “Udah makan?”Safira hanya mengangguk. “Gue pesen dulu kali ya, Fir? Tunggu ya?” Tanpa menunggu persetujuan Safira, Bima segera pergi untuk memesan. “Satu gelas amerikano dingin dan sandwich.” Tanpa sadar Safira menggumam. Tak lama, Bima datang dengan pesanannya. Safira mengerjap. Ternyata tebakannya salah. Bima tak lagi memesan americano. Namun sandwich tetap menjadi makanan andalannya ketika pergi ke kafe.“Lagi ngura
Sepulang dari kafe, Safira pergi ke rumah Kanin—satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak kuliah setelah kepergian Lusi. Sungguh, ia butuh distraksi sekarang dan berharap pikiran kalut di kepalanya sekarang bisa berkurang ketika berbicara dengan Kanin. Jarak antara kafe dengan rumah Kanin hanya berkisar sekitar sepuluh menit jika jalanan tidak macet kalau menggunakan mobil. Namun karena sekarang adalah jam rawan macet, Safira baru sampai tiga puluh menit kemudian.“Dari Sky’s?” Kanin bertanya langsung ketika membukakan pintu untuk sahabatnya itu. Bisa dilihat dengan jelas bagaimana wajah lelah dan stress Safira sekarang. Ugh … padahal ini pertemuan pertama mereka sejak Safira kembali ke Jakarta. Tetapi dia sudah memasang wajah cemberut gitu.Safira masuk tanpa menjawab. Ia duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Kanin menuju dapur untuk mengambil minuman sebelum akhirnya turut duduk di sebelah Safira. “Minum dulu.” Kanin menyerahkan sekotak jus jambu pada Safira yang sudah ia tusukkan s
Ada satu hal yang sengaja Bima tak ceritakan pada Safira. Satu yang menurutnya, jika ia menceritakan ini sekarang maka itu akan membuat Safira semakin jauh dan membatalkan rencana pernikahan mereka.Saat ini Bima sudah berada di rumah orangtuanya. Sudah tiga hari sejak pertemuan awal dengan Safira sampai pada pertemuan kedua, ia sama sekali belum memberikan kabar pada ibunya. Dia memang berniat akan menceritakan semua, ketika Safira sudah menyetujui perjodohan mereka. Dan sekarang lah waktunya.Bima masuk ke rumah dengan langkah pelan. Rumah ini masih sepi dan dingin seperti biasa. Lelaki itu jadi sedikit merasa bersalah pada sang ibu karena beberapa hari ini membiarkan wanita yang melahirkannya itu sendirian di rumah.“Ibu?” Bima mengetuk pintu kamar sang ibu. Sampai ketika ibu menyuruh masuk, barulah Bima membuka pintunya. “Ibu?” Bima tersenyum saat menemukan ibu duduk di meja rias. Wanita itu terlihat habis mandi dengan wajah yang begitu segar.“Akhirnya pulang juga kamu.” Bima me
Jakarta di hari Senin memang bukan main macetnya. Yah, bukan hari Senin aja sih tetapi nyaris setiap hari. Terlebih di jam kerja seperti sekarang. Hampir dua puluh menit mobil Safira tidak bergerak karena terjebak kemacetan yang membuatnya frustasi. Sandwich yang ia buat di rumah beserta lagu Maroon 5 berjudul One More Night terputar dari tape mobil sedikit berhasil mengusir kejenuhannya. Namun ia tetap saja lelah terjebak macet seperti ini. Pagi ini Safira akan pergi ke Sky’s setelah tiga bulan ia meninggalkan toko rotinya itu. Ia cukup rindu dengan dapur Sky’s dan peralatan yang biasanya ia gunakan untuk bereksperimen membuat berbagai macam jenis roti baru. Sampai ponsel yang ia letakkan di atas dasbor bergetar, membuat Safira berhenti bersenandung. Wanita itu meminum air lebih dulu dan mengecilkan volume tape mobil sebelum mengangkat panggilannya.Nama Bima tersemat di sana.“Halo?” Suara Bima menyapa indra pendengaran Safira.“Ada apa?” tanya Safira to the point. Ini adalah per
(Tahun pertama Safira dan Bima pacaran; di rumah Bima. Sekitar empat tahun lalu.)“Loh, Safira?”Bu Nina terkejut saat membuka pintu rumah ketika mendapati Safira yang tiba-tiba berada di sini dengan satu kresek besar di tangannya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu nyengir dan menyalami tangan ibu dari sahabat dan pacarnya tersebut. “Tapi Lusi sama Bima belum pulang dari kampus. Kamu nggak ada kelas emang?”“Safira baru pulang dari kampus kok, Tan. Langsung ke sini deh,” ujarnya. Masih dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya itu.“Oh gitu. Ya sudah masuk sini.” Bu Nina merangkul pundak Safira, mengarahkannya untuk masuk. “Kamu bawa apa itu kok banyak banget?”“Tante Nina nggak sibuk, kan?” Safira bertanya penuh harap. Karena ia memiliki rencana yang ingin dia lakukan bersama calon mertuanya ini—hehe, amin.“Nggak sih. Kenapa?”Seolah seperti pemilik rumah, Safira menarik Bu Nina pergi ke arah dapur dan meletakkan satu kresek besar belanjaannya ke atas meja. “Bikin bolu yuk,