Share

Pernikahan Kontrak Dengan Mantan Pacar Egois
Pernikahan Kontrak Dengan Mantan Pacar Egois
Penulis: Arunika Jae

BAB 1 : PERNIKAHAN (AWALAN)

Apa itu pernikahan?

Bagi setiap orang tentu pernikahan menjadi hal yang paling membahagiakan.

Pernikahan seharusnya menjadi awal kebahagiaan untuk sepasang lelaki dan perempuan yang saling mencintai hingga berani berjanji di hadapan Tuhan untuk saling mencintai sampai maut memisahkan.

Gaun yang indah, makanan yang berjajar rapi, tamu yang bersorak, hingga senyum dan doa-doa kebahagiaan yang akan selalu menyertai.

Ya, begitulah pernikahan yang perempuan manapun inginkan.

Namun bagaimana dengan Safira?

Tentu pernikahan itu bukanlah suatu hal yang mudah apalagi yang membahagiakan. Meskipun di bayangannya sejak dulu, pernikahan akan menjadi salah satu momen paling sakral serta paling membahagiakan dalam hidupnya.

Safira menatap dirinya yang sudah selesai dirias di depan cermin. Gaun pengantin yang menjuntai menutupi bagian atas hingga bawah tubuhnya benar-benar membuatnya terlihat elok nan indah. Safira tersenyum tipis–senyum untuk dirinya sendiri. Wanita itu sungguh tak ingin menyesali hari ini jika saja bukan laki-laki itu yang akan menjadi suaminya nanti.

Toktok

“Mentari?" Safira menolehkan kepalanya ke arah pintu kamar ketika nama kecilnya disebut dan pintu diketuk terdengar.

“Ayah?” Itu ayah.

Dengan susah payah mengangkat gaunnya, Safira berjalan mendekati sang ayah. Ia memeluk lelaki paruh baya itu penuh sayang.

“Gimana? Udah siap?”

Meskipun enggan, pada akhirnya Safira mengangguk. Mereka kini duduk kursi panjang yang terletak di bagian bawah ranjang queen size di kamar itu.

Sang ayah yang paham apa makna dari senyum anaknya itu hanya bisa tersenyum dan mengusap punggung anaknya lembut. Bagi ayah manapun, melihat anak gadisnya yang sebentar lagi akan menikah adalah hal yang paling menyedihkan sekaligus membahagiakan. Bagaimana tidak? Seorang ayah pasti akan sedih karena sebentar lagi putri kesayangannya sudah bukan lagi tanggung jawabnya, sudah bukan lagi miliknya dan bukan lagi haknya. Seorang ayah yang dengan lapang dada akan melepaskan putrinya. Namun yang lebih membuat bahagia adalah, ketika putri kecil yang dulu ia gendong, ia antarkan ke sekolah setiap hari dan yang ia manjakan saban waktu akhirnya telah menemukan penggantinya untuk membuatnya bahagia. Sosok yang akan dengan lantang mengatakan bahwa mereka akan mencintai sampai maut memisahkan. Bagi seorang ayah, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada itu.

“Tari …” Ayah menatap Safira dengan mata yang penuh dengan sorot kehangatan di sana. “Kamu bahagia, Nak?”

Safira menatap sang ayah lekat. Tak langsung menjawab. Sebab ia ragu harus menjawab apa atas pertanyaan itu.

“Tari …”

Safira tersadar, lalu ia mengangguk meskipun ia masih tidak tahu apa jawaban yang benar untuk pertanyaan itu. “Iya. Tari bahagia kok, Yah.”

Ayah tersenyum tulus. Senyum yang selalu Safira suka dari ayahnya. “Syukurlah kalau kamu bahagia.”

Safira mengangguk. Seketika ia takut untuk membalas tatapan sang ayah. Bagaimanapun, sejak kecil ayahnya selalu tahu saat ia berbohong. Entah bagaimana caranya. Padahal sebenarnya, sosok yang ia sebut sebagai ayah itu adalah bukan ayah kandungnya. Melainkan ayah sambungnya. Ayah kandungnya sudah meninggal ketika ia berusia lima tahun dan ayah yang bersamanya kini adalah seseorang yang menikah dengan ibunya ketika ia berusia sembilan tahun. Namun Safira selalu merasa, bahwa ayah yang kini bersamanya adalah ayah kandungnya alih-alih ayah tirinya. Dilihat dari bagaimana pria itu yang bisa memahami dan mengerti tanpa harus Safira mengatakan apa-apa.

“Mentari selalu tahu kan kalau Ayah akan selalu di sini? Ayah gak akan ke mana-mana kalau nanti Tari nyari Ayah.”

Safira tersenyum, mengangguk. “Tari paham.”

“Ayah akan bahagia kalau Tari bahagia, pun sebaliknya. Ayah akan sedih kalau Tari sedih. Jadi, Tari jangan sampai sedih ya. Tari bisa cari Ayah kalau Tari gak punya teman cerita. Ayah akan selalu jadi pendengar yang baik untuk anak Ayah.”

Dan ya, Ayah selalu begitu. Ayah selalu mengatakan hal yang sama sejak delapan belas tahun telah berlalu. Ayah yang selalu ada untuknya, mendengar tawa dan tangisnya meskipun kerap kali Safira enggan melakukan itu.

“Makasih Ayah.” Safira memeluk sang ayah dari samping. “Makasih udah jadi Ayah Tari. Ayah tahu kan kalau Tari sayang banget sama Ayah?”

Ayah tersenyum, mengusap lengan sang anak. “Tau dong. Tau banget. Makasih ya, Nak, udah jadi anak ayah yang kuat.”

“Eh ini dicariin malah pada di sini! Ayo, Tari, Ayah itu lho acaranya udah mau dimulai. Keluarga Bima juga udah datang. Buruan siap-siap.”

Safira menarik napas dan menghembuskannya berkali-kali ketika ayah menutup pintu setelah keluar kamar bersama ibu.

Untuk kali ini ayah, maaf karena Tari berbohong bahwa sebenarnya Tari nggak bahagia dengan pernikahan ini.

Meskipun sebenarnya ayah tahu itu, maaf karena Tari tetap memilih untuk berbohong.

***

Upacara pemberkatan berjalan lancar sekitar dua jam lalu. Saat ini, mereka sudah berada di gedung tempat resepsi pernikahan dilakukan. Karena undangan resepsi hanya mengundang keluarga dekat hingga teman-teman kedua mempelai saja, Safira bersyukur acara ini hanya berlangsung sekitar dua jam saja. Setidaknya, ia tak perlu lebih lelah dari ini.

“Capek?” Bima—laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu bertanya di sela-sela para tamu yang menyalami mereka berdua.

Safira hanya berdeham sebagai jawaban serta senyum yang merekah untuk para tamu.

“Duduk aja kalau capek. Bentar lagi juga kelar.” Ucapan Bima tak Safira indahkan lagi. Ia terlalu malas untuk bicara banyak dengan lelaki itu. Bukankah itu yang mereka janjikan di awal?

Tak akan banyak bicara atau ikut campur urusan masing-masing bahkan ada di point pertama.

Sampai dua jam berlalu, acara akhirnya selesai juga. Para tamu sudah tak ada lagi yang berdatangan. Tanpa basa-basi dengan Bima, Safira langsung beranjak dari singgasana tempat mereka duduk tadi dengan susah payah ia mengangkat gaunnya sendiri.

“Lo mau ke mana sih? Gak betah banget ya duduk di sebelah gue?”

Safira berdecak karena ucapan Bima, tetapi meski begitu ia membiarkan suaminya itu untuk membantu mengangkat gaunnya.

Suasana gedung juga masih ramai, hanya tersisa para sanak saudara yang masih enggan untuk pulang. Namun Safira memilih untuk tidak peduli dan langsung menuju kamar. Kalau ia berpamitan, yang ada dirinya malah tidak jadi beristirahat.

Sampai di kamar, keduanya masuk masih dengan suasana hening. Bima langsung melipir ke kamar mandi, sedangkan Safira melepas pernak-pernik yang ada di kepalanya. Ughh … ia benar-benar kelelahan dan ingin segera berbaring.

Ketika Safira melepas gaun, terdengar suara shower yang menandakan bahwa Bima sedang mandi. Setelah gaun dan semua pernak-pernik pernikahan sudah terlepas dari tubuhnya dan ia sudah berganti dengan baju yang lebih santai, Safira dengan segera naik ke tempat tidur. Badannya benar-benar remuk. Apalagi kakinya yang rasanya akan patah sebentar lagi jika ia bawa untuk berdiri.

“Mandi dulu, Fir.” Baru saja Safira terpejam, suara Bima kembali memaksanya untuk membuka mata.

Safira berdecak. Lagi-lagi hanya berdecak tanpa mengatakan apa-apa dan itu membuat Bima hanya bisa menghela napas kasar.

Sampai suara pintu kamar mandi tertutup, Bima mengacak rambutnya. Sedikit frustasi.

“Benci gue sepuas lo, Fir. Gue memang pantas dibenci sama perempuan baik kayak lo.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status