Apa itu pernikahan?
Bagi setiap orang tentu pernikahan menjadi hal yang paling membahagiakan.Pernikahan seharusnya menjadi awal kebahagiaan untuk sepasang lelaki dan perempuan yang saling mencintai hingga berani berjanji di hadapan Tuhan untuk saling mencintai sampai maut memisahkan.Gaun yang indah, makanan yang berjajar rapi, tamu yang bersorak, hingga senyum dan doa-doa kebahagiaan yang akan selalu menyertai.Ya, begitulah pernikahan yang perempuan manapun inginkan.Namun bagaimana dengan Safira?Tentu pernikahan itu bukanlah suatu hal yang mudah apalagi yang membahagiakan. Meskipun di bayangannya sejak dulu, pernikahan akan menjadi salah satu momen paling sakral serta paling membahagiakan dalam hidupnya.Safira menatap dirinya yang sudah selesai dirias di depan cermin. Gaun pengantin yang menjuntai menutupi bagian atas hingga bawah tubuhnya benar-benar membuatnya terlihat elok nan indah. Safira tersenyum tipis–senyum untuk dirinya sendiri. Wanita itu sungguh tak ingin menyesali hari ini jika saja bukan laki-laki itu yang akan menjadi suaminya nanti.Toktok“Mentari?" Safira menolehkan kepalanya ke arah pintu kamar ketika nama kecilnya disebut dan pintu diketuk terdengar.“Ayah?” Itu ayah.Dengan susah payah mengangkat gaunnya, Safira berjalan mendekati sang ayah. Ia memeluk lelaki paruh baya itu penuh sayang.“Gimana? Udah siap?”Meskipun enggan, pada akhirnya Safira mengangguk. Mereka kini duduk kursi panjang yang terletak di bagian bawah ranjang queen size di kamar itu.Sang ayah yang paham apa makna dari senyum anaknya itu hanya bisa tersenyum dan mengusap punggung anaknya lembut. Bagi ayah manapun, melihat anak gadisnya yang sebentar lagi akan menikah adalah hal yang paling menyedihkan sekaligus membahagiakan. Bagaimana tidak? Seorang ayah pasti akan sedih karena sebentar lagi putri kesayangannya sudah bukan lagi tanggung jawabnya, sudah bukan lagi miliknya dan bukan lagi haknya. Seorang ayah yang dengan lapang dada akan melepaskan putrinya. Namun yang lebih membuat bahagia adalah, ketika putri kecil yang dulu ia gendong, ia antarkan ke sekolah setiap hari dan yang ia manjakan saban waktu akhirnya telah menemukan penggantinya untuk membuatnya bahagia. Sosok yang akan dengan lantang mengatakan bahwa mereka akan mencintai sampai maut memisahkan. Bagi seorang ayah, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada itu.“Tari …” Ayah menatap Safira dengan mata yang penuh dengan sorot kehangatan di sana. “Kamu bahagia, Nak?”Safira menatap sang ayah lekat. Tak langsung menjawab. Sebab ia ragu harus menjawab apa atas pertanyaan itu.“Tari …”Safira tersadar, lalu ia mengangguk meskipun ia masih tidak tahu apa jawaban yang benar untuk pertanyaan itu. “Iya. Tari bahagia kok, Yah.”Ayah tersenyum tulus. Senyum yang selalu Safira suka dari ayahnya. “Syukurlah kalau kamu bahagia.”Safira mengangguk. Seketika ia takut untuk membalas tatapan sang ayah. Bagaimanapun, sejak kecil ayahnya selalu tahu saat ia berbohong. Entah bagaimana caranya. Padahal sebenarnya, sosok yang ia sebut sebagai ayah itu adalah bukan ayah kandungnya. Melainkan ayah sambungnya. Ayah kandungnya sudah meninggal ketika ia berusia lima tahun dan ayah yang bersamanya kini adalah seseorang yang menikah dengan ibunya ketika ia berusia sembilan tahun. Namun Safira selalu merasa, bahwa ayah yang kini bersamanya adalah ayah kandungnya alih-alih ayah tirinya. Dilihat dari bagaimana pria itu yang bisa memahami dan mengerti tanpa harus Safira mengatakan apa-apa.“Mentari selalu tahu kan kalau Ayah akan selalu di sini? Ayah gak akan ke mana-mana kalau nanti Tari nyari Ayah.”Safira tersenyum, mengangguk. “Tari paham.”“Ayah akan bahagia kalau Tari bahagia, pun sebaliknya. Ayah akan sedih kalau Tari sedih. Jadi, Tari jangan sampai sedih ya. Tari bisa cari Ayah kalau Tari gak punya teman cerita. Ayah akan selalu jadi pendengar yang baik untuk anak Ayah.”Dan ya, Ayah selalu begitu. Ayah selalu mengatakan hal yang sama sejak delapan belas tahun telah berlalu. Ayah yang selalu ada untuknya, mendengar tawa dan tangisnya meskipun kerap kali Safira enggan melakukan itu.“Makasih Ayah.” Safira memeluk sang ayah dari samping. “Makasih udah jadi Ayah Tari. Ayah tahu kan kalau Tari sayang banget sama Ayah?”Ayah tersenyum, mengusap lengan sang anak. “Tau dong. Tau banget. Makasih ya, Nak, udah jadi anak ayah yang kuat.”“Eh ini dicariin malah pada di sini! Ayo, Tari, Ayah itu lho acaranya udah mau dimulai. Keluarga Bima juga udah datang. Buruan siap-siap.”Safira menarik napas dan menghembuskannya berkali-kali ketika ayah menutup pintu setelah keluar kamar bersama ibu.Untuk kali ini ayah, maaf karena Tari berbohong bahwa sebenarnya Tari nggak bahagia dengan pernikahan ini.Meskipun sebenarnya ayah tahu itu, maaf karena Tari tetap memilih untuk berbohong.***Upacara pemberkatan berjalan lancar sekitar dua jam lalu. Saat ini, mereka sudah berada di gedung tempat resepsi pernikahan dilakukan. Karena undangan resepsi hanya mengundang keluarga dekat hingga teman-teman kedua mempelai saja, Safira bersyukur acara ini hanya berlangsung sekitar dua jam saja. Setidaknya, ia tak perlu lebih lelah dari ini.“Capek?” Bima—laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu bertanya di sela-sela para tamu yang menyalami mereka berdua.Safira hanya berdeham sebagai jawaban serta senyum yang merekah untuk para tamu.“Duduk aja kalau capek. Bentar lagi juga kelar.” Ucapan Bima tak Safira indahkan lagi. Ia terlalu malas untuk bicara banyak dengan lelaki itu. Bukankah itu yang mereka janjikan di awal?Tak akan banyak bicara atau ikut campur urusan masing-masing bahkan ada di point pertama.Sampai dua jam berlalu, acara akhirnya selesai juga. Para tamu sudah tak ada lagi yang berdatangan. Tanpa basa-basi dengan Bima, Safira langsung beranjak dari singgasana tempat mereka duduk tadi dengan susah payah ia mengangkat gaunnya sendiri.“Lo mau ke mana sih? Gak betah banget ya duduk di sebelah gue?”Safira berdecak karena ucapan Bima, tetapi meski begitu ia membiarkan suaminya itu untuk membantu mengangkat gaunnya.Suasana gedung juga masih ramai, hanya tersisa para sanak saudara yang masih enggan untuk pulang. Namun Safira memilih untuk tidak peduli dan langsung menuju kamar. Kalau ia berpamitan, yang ada dirinya malah tidak jadi beristirahat.Sampai di kamar, keduanya masuk masih dengan suasana hening. Bima langsung melipir ke kamar mandi, sedangkan Safira melepas pernak-pernik yang ada di kepalanya. Ughh … ia benar-benar kelelahan dan ingin segera berbaring.Ketika Safira melepas gaun, terdengar suara shower yang menandakan bahwa Bima sedang mandi. Setelah gaun dan semua pernak-pernik pernikahan sudah terlepas dari tubuhnya dan ia sudah berganti dengan baju yang lebih santai, Safira dengan segera naik ke tempat tidur. Badannya benar-benar remuk. Apalagi kakinya yang rasanya akan patah sebentar lagi jika ia bawa untuk berdiri.“Mandi dulu, Fir.” Baru saja Safira terpejam, suara Bima kembali memaksanya untuk membuka mata.Safira berdecak. Lagi-lagi hanya berdecak tanpa mengatakan apa-apa dan itu membuat Bima hanya bisa menghela napas kasar.Sampai suara pintu kamar mandi tertutup, Bima mengacak rambutnya. Sedikit frustasi.“Benci gue sepuas lo, Fir. Gue memang pantas dibenci sama perempuan baik kayak lo.”Saat Safira meninggalkan rumah, lutut Bima terasa lemas. Ia memaki diri sendiri karena kembali bertindak pengecut dengan tidak berani mengejar wanitanya. Wanita yang sampai detik ini ia cintai.Ayah Safira, pria paruh baya itu juga tak bisa berbuat apa-apa. Bisa dibayangkan betapa hancur dan kecewanya sang anak hanya dengan melihat kedua matanya tadi.Padahal butuh waktu lama bagi Safira untuk memulihkan hatinya. Tetapi ternyata tak butuh waktu lama juga hatinya kembali dipatahkan karena perbuatan bodoh orang yang sama.Abhimana akan selalu menjadi alasan bagi Safira untuk merasakan patah hati.Ditambah ayah dan ibunya juga berkomplot dengan menyembunyikan kebenaran dan membuat Safira tidak tahu apapun.Siapapun bersalah di sini.Dan agaknya, kali ini Safira butuh waktu lama untuk kembali memulihkan hatinya.“Nak Bima …” Bima tetap memandang ke depan. Ke arah pintu ketika Safira dengan langkah terseok keluar dari rumah ini. Meskipun istrinya itu tak lagi ada di depannya, namun perasaa
Suasana rumah Bima yang awalnya penuh kehangatan dan canda tawa, dalam sekejap berubah menjadi ketegangan. Bu Anita dan Bu Nina yang menyadari ada suara tangis dari ruang depan dengan tergopoh ikut menyusul. Bu Anita terkesiap melihat anak gadisnya menangis hebat di sana dengan tangan yang terkepal menyentuh dada. Seakan menahan rasa sakit hebat di sana.“Ada apa? Ada apa ini?” Bu Anita segera memeluk Safira yang terus menangis. “Ayah, kenapa Safira, Yah? Bima? Ada apa, Bim?”Safira jatuh terduduk, membuat sang ibu yang tengah memeluknya ikut duduk. Pelukannya masih terasa di tubuh Safira yang seakan menggigil akibat fakta yang menyakitinya.“Bu … Ibu …”“Ya, Nak? Kenapa, Sayang? Bilang sama Ibu …” Sumpah demi apapun, terakhir Bu Anita melihat keadaan Safira kepayahan seperti ini itu lima tahun lalu. Ketika Bima mengakhiri hubungannya dengan sang anak, dan Safira yang terus mendekam di kamar berhari-hari.Semuanya membuat Bu Anita teringat, dan demi apapun wanita itu tak ingin apa yan
Ayah dan ibu Safira datang saat Safira tepat membuka pintu ketika dirinya hendak menunggu kedua orangtuanya di depan rumah. Senyum hangat langsung menyambut. Safira peluk ayah dan ibunya bergantian.“Kok nunggu di luar?” tanya sang ayah kepada anak yang tengah memeluk ibunya itu.“Iya gak apa-apa, Yah. Kangen soalnya aku, lama nggak ketemu Ayah sama Ibu.” Safira cekikian di akhir kalimatnya.Safira ini … meskipun sudah berumur dua puluh tujuh tahun dan sudah menikah, sifat anak kecilnya masih tidak hilang juga.“Ya udah yuk masuk. Makan malam sudah siap.”Safira mengambil alih satu keranjang buah yang ada di tangan ayahnya ke tangannya sendiri sebagai buah tangan untuk ibu mertuanya. Dia membiarkan ayah dan ibunya berjalan di depannya, dan tepat ketika melewati ruang tengah Bima menyambut kedatangan mereka.“Ayah sama Ibu sudah datang,” ujarnya dengan senyum. Ia menyalami kedua mertuanya bergantian.“Sehat, Nak?” tanya Ayah seraya menepuk-nepuk pundak Bima.“Sehat, Yah. Ayah juga, kan
Nanti malam Bu Anita dan Pak Yoga—kedua orangtua Safira— berencana pergi ke rumah besannya untuk menjenguk Bu Nina pasca operasi sekaligus makan malam bersama.Saat ini, Safira sudah sibuk di dapur. Sejak tadi wanita itu sudah berkutik dengan berbagai macam bahan masakan untuk persiapan kedatangan orangtuanya. Dibantu oleh Bima, tentu saja.“Tapi masakanmu sekarang lumayan loh, Fir. Nggak seburuk dulu,” ucap Bima di tengah-tengah ia mengiris bawang. Sedangkan Safira tengah menggoreng ayam.“Nggak seburuk dulu tuh maksudnya apa ya?” Safira berkacak pinggang. Tangannya memegang sutil yang seperti siap ia lemparkan kepada Bima yang duduk tak jauh darinya. “Ya … nggak seburuk itu.” Suara Bima memelan ketika melihat Safira. Ngeri juga kan kalau melihat sutil penggorengan itu melayang ke arahnya jika ia salah bicara.“Maksudnya dulu masakanku nggak enak gitu?” Safira bertanya sambil mengangkat beberapa potong ayam goreng yang sudah matang. Nanti ayam ini akan ia suwir untuk pelengkap soto
Kanin menemui Safira di Sky’s dan mengajak sahabatnya itu untuk duduk di kafe sebelah. Setelah memesan beberapa camilan sebagai teman bicara, Kanin melihat Safira dengan tatapan ragu. Ekspresi yang sangat jarang ia tunjukkan kepada sang sahabat.“Lo kenapa sih?” tanya Safira setelahnya. “Kok ngeliat gue kayak gitu?”Kanin menghela napas, menyeruput sedikit vanilla latte yang ia pesan sebelum Safira datang. Sejujurnya ia tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini.“Cerita aja, Kanin. Gak usah ragu-ragu kayak gitu,” ucap Safira lagi. “Gue janji gak akan cerita apapun ke Lusi.”Mengingat Lusi, Kanin menghela napas. “Lo pasti denger dari Bima ya, kalau gue deket sama Tomi? Makanya lo bilang kayak gitu ke gue semalem."Ah … ternyata benar. Safira tidak mengangguk atau menggeleng. Dia hanya menatap Kanin lurus. Safira ingin sahabatnya itu berkata dengan mulutnya sendiri tanpa paksaan. Sehingga Safira tidak perlu merasa bahwa ia memaksa Kanin untuk bercerita.“Iya, gue deket sama d
Sudah dua hari Safira menginap di rumah Tante Nina pasca ibu mertuanya itu dioperasi. Syukur semuanya berjalan lancar. Tante Nina sudah mulai menjalani masa pemulihan dan hanya perlu beberapa kali lagi untuk kontrol ke rumah sakit.Safira juga sudah menyuruh Lusi untuk segera menemukan pekerjaan yang cocok karena di rumah sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada Bima dan dirinya yang menjaga sang ibu.Nah sekarang, Safira berada di supermarket untuk belanja bulanan bersama Bima. Lusi ada di rumah menjaga ibu setelah tadi pergi ke kampus untuk bertemu dosen yang menawarinya bekerja sebagai asisten.Oh iya sebagai informasi, Bima juga akhirnya memilih untuk berhenti menjadi asisten dosen. Dia bilang, ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarganya. Toh katanya penghasilan dari pekerjaan utamanya sudah cukup. Jadi ia merasa tidak perlu untuk menyambi dengan pekerjaan lain.“Safira!”Safira tengah memilih beberapa sayuran ketika suara seseorang yang tak begitu ia kenal mema