Kenapa bisa?
Dengan sekuat tenaga, dengan keberanian yang berusaha ia kumpulkan agar terlihat kuat di depannya, Safira berusaha menatap mata lelaki itu. Teduh, dia masih menatapnya dengan cara yang sama seperti dulu. Tapi yang Safira lihat di sana adalah kerinduan dan kesedihan.
Rindu? Nggak salah tuh?
Lalu sedih? Kenapa sedih?
Dengan tangan terburu dan rasa tak percayanya, Safira merogoh bagian dalam tas untuk mengambil ponsel. Ia harus memastikan sekali lagi, melihat sekali lagi, foto yang dikirim ibu kepadanya.
Sialnya… Safira dengan tampang linglung nan bodohnya membandingkan foto di ponselnya dengan sosok di hadapannya sekarang. Matanya yang terlihat teduh, senyumnya yang begitu tulus …
Dan ah … benarkah sosok di depannya ini adalah mantan pacarnya lima tahun lalu? Kenapa lelaki ini sangat terlihat berbeda? Apa hanya karena kacamata yang dikenakannya sekarang? Apa karena di foto kulitnya terlihat lebih putih? Atau karena perawakannya sekarang yang terlihat lebih seksi dan berisi dibanding dulu?
Ah … Safira benar-benar seperti orang bodoh.
Bagaimana bisa ia tak mengenali sosok itu? Padahal jujur saja, perbedaan antara foto dan di realita tak ada perbedaan yang signifikan.
"Ibu lo temen nyokap gue ternyata. Mereka temen arisan. Singkat cerita, terjadilah perjodohan ini." Seolah tak peduli dengan apa yang dilakukan Safira dengan tingkah laku dan tampang bodohnya barusan, sosok itu menjelaskan alasannya berada di sini.
Safira menarik napas panjang. Ini sungguh di luar dugaan.
"Lusi tau soal ini?" Dan ya, sosok yang berhadapan dengan Safira kini adalah Bima–Abhimana Prasetya. Sosok yang pernah sangat Safira cintai sebelum Safira benci setengah mati sekarang. Kakak dari sahabatnya sewaktu SMA hingga di bangku kuliah—Lusi.
"Nggak. Mungkin nanti dia taunya pas kakaknya ini menikah."
Safira terkejut. "Kamu gila ya, Bim?"
Bima menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Safira mengalihkan pandangan, tak mau mereka bertatapan lebih lama.
"Gue gak mau nolak perjodohan ini."
Safira mengerutkan kening. Ia lebih terkejut dari sebelumnya. Apa yang dikatakan Bima sangat tak masuk di akal. Sungguh, ia tak mau bermain drama. Apalagi bersama orang ini. Itu lebih buang-buang waktu.
"Kenapa? Aku gak bisa nikah sama kamu."
"Lo pikir gue bisa? Gue gak mau nolak karena gue gak bisa. Lo lupa ya kalau ibu gue sayang banget sama lo?"
Ya Tuhan.. Safira harus apa sekarang?
"Kamu nggak pernah kasih tahu alasan kita putus ke Tante Nina ya, Bim? Aku yakin, kalau Tante Nina tahu alasan kita putus, beliau gak akan maksa kamu."
"Ibu gue tau kok." Lagi-lagi dengan nada santainya Bima menyahut perkataan gadis di depannya. Seolah apa yang dikatakannya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. "Ibu tahu alasan kita putus waktu itu."
"Terus kenapa masih maksa? Tante Nina mau aku nikahin anaknya yang brengsek ini?"
Bima mendengus, tersenyum sinis. "Lo benci sama gue ya? Kebencian lo ke gue itu gak pernah berubah, kan?" Tatapan Bima menajam. "Bukan cuma lo yang benci sama gue, Fir. Sama, gue juga benci sama lo."
Safira semakin tidak mengerti apa yang ada di pikiran seorang Abhimana. Ternyata hanya parasnya yang berubah. Tapi ... sikap dan sifat egoisnya sama sekali tidak berubah. Dia masih keras kepala dan mau menang sendiri. Bahkan kejadian terakhir yang membuat hubungan mereka putus, Safira sama sekali tak menerima kata maaf atau bahkan hanya sekedar penjelasan singkat. Abhimana hanya sibuk membenarkan kelakuannya yang bejat itu lalu pergi begitu saja.
"Ya kenapa kamu gak bisa nolak perjodohan ini? Tinggal tolak aja kali, aku juga bakalan bilang ke ibu kalau aku gak cocok sama kamu. Masa kamu mau nikah sama orang yang kamu benci alih-alih sama orang yang kamu cintai?”
Bima tertawa sinis. “Gue gak keberatan kok,” ujar Bima. “Gue gak keberatan menikah sama orang yang gue benci. Terus apa kata lo tadi? Gak cocok? Lo pikir nyokap kita rencanain perjodohan kali ini tanpa rencana gitu?”
Safira diam. Otaknya berputar, mencerna perkataan Bima. Kalau dipikir, itu tidak mungkin.
Terlebih dulu ketika ia berpacaran dengan Bima, ayah dan ibunya terlihat sangat menyukai lelaki ini. Bima sangat peduli dengan ayah dan ibunya, lelaki itu juga sangat menyayanginya. Namun ketika hubungan mereka berakhir, Safira tak menceritakan pada ibunya apa alasannya putus dengan Bima. Jadi mungkin, ibunya menganggap mereka putus baik-baik sehingga ketika menikah hubungan mereka bisa membaik seiring berjalannya waktu.
Tapi … apa itu mungkin?
“Lo gak bilang ya sama ibu lo apa alasan kita putus?”
Bima membuyarkan lamunan Safira. Perempuan itu menggeleng. “Buat apa juga. Gak penting.”
Bima mendengus.
“Nikah sama gue, Fir,” ucap Bima setelah beberapa saat mereka diselimuti keheningan. “Kata nyokap lo, lo udah beberapa kali dikenalin, dijodohin, tapi gak ada yang nyangkut. Mungkin nyokap lo udah putus asa karena katanya setelah putus dari gue lo gak pernah pacaran lagi dan sekalinya dijodohin lo nolak mulu. Dan seperti takdir, nyokap lo malah ketemu nyokap gue yang juga nyariin jodoh buat anaknya. Karena nyokap lo udah kenal baik sama gue dan nyokap gue juga begitu ke lo, jadi apa salahnya kalau kita coba dulu? Nikah sama gue gak seburuk itu.”
Safira mendengus. “Gak seburuk itu? Kamu gak lupa alasan kita putus kan?”
Bima diam.
“Bahkan sampai sekarang kamu gak kasih penjelasan apa-apa ke aku soal itu.”
Bima masih diam.
“Udahlah. Gak akan ada habisnya juga kalau ngobrolin ini sama kamu. Aku gak mau nikah sama kamu. Titik.”
Hening lagi. Safira melihat sosok di depannya tengah berpikir keras sekarang.
“Gue bisa jelasin,” ucapan Bima membuat Safira terkesiap. Jelasin apa?
“Tapi nggak sekarang,” lanjutnya. “Gue bakal jelasin kalau lo mau nikah sama gue.”
Safira mengerutkan kening. “Katanya kamu benci sama aku kan? Tapi kenapa maksa banget sih astaga. Motivasi kamu apa sih, Bim, ngelakuin ini? Jangan bilang … kamu masih cinta ya sama aku makanya maksa banget.”
Bima tertawa kecil. “Pede banget. Tapi ya lo emang begitu sih dari dulu. Selalu blak-blakan. Ternyata lo gak berubah.”
Safira berdecih.
“Gue punya alasan, dan gue bakalan kasih tahu kalau lo mau nikah sama gue nanti.”
“Emangnya kamu gak punya pacar gitu? Beneran jomblo? Atau emang udah punya pacar dan ibumu gak tau soal itu?”
Bima menghela napas. “Gue punya.”
Ha?
“Gue punya pacar.”
Buset..
“Tapi gue nggak bisa nikah sama dia.”
“Kenapa? Nyokap gak ngerestuin?”
Bima mengangguk. “Beda agama.”
Settt dah. Safira benar-benar melongo mendengar jawaban Bima.
“Terus kamu mau ngorbanin aku gitu? Berharap dengan nikah sama aku masalahmu dengan pacarmu selesai?”
Bima menggeleng. “Bukan gitu.”
“Terus?”
“Kita buat perjanjian aja biar gampang."
“Perjanjian apa?”
“Gue bakalan tetap kasih kebebasan lo selama menikah sama gue. Meskipun kita menikah kita ga perlu tahu urusan masing-masing. Lo tetap bisa bebas seperti sebelum menikah. Kita bisa hidup dalam satu atap tanpa harus mencampuri urusan masing-masing. Gimana?”
Safira diam.
“Seenggaknya orangtua lo gak bakalan maksa lo menikah lagi, kan? Juga, daripada lo menikah sama orang yang gak lo kenal, mending lo menikah sama gue dengan tawaran gue barusan. Yakin mau nolak? Umur lo juga gak muda lagi buat pacaran, kan?”
Safita berdeham. “Berapa lama?” tanya Safira.
“Satu tahun. Kalau mau lebih ya gak apa-apa.”
“Terus setelah setahun, kita cerai?”
Bima mengangguk. “Iya.”
“Pacarmu gimana?”
“Biar jadi urusan gue, lo gak perlu tahu.”
“Terus keuntungan buat kamu kalau kita menikah apa?”
“Ya biar nyokap gak ngusik gue lagi buat ikut perjodohan lah. Sama kayak lo. Meskipun beliau tahu gue punya pacar, nyokap masih terus maksa gue ikut perjodohan. Nyokap gue sakit, Fir. Dan nyokap mau gue nikah sama lo.”
Dan sejujurnya, Bima tak ingin menceritakan dan membawa-bawa penyakit sang ibu untuk masalah ini. Namun karena Safira sangat keras kepala menolaknya, akhirnya dengan terpaksa lelaki itu melakukannya.
Safira tercenung. “Tante Nina .. sakit?”
Bima mengangguk.
“Sakit apa?”
“Jantung dan harus segera dioperasi. Tapi nyokap gak mau dioperasi kalau gue gak nikah sama lo.”
Deg. Safira diam seribu bahasa.
“Jadi … tolong nikah sama gue ya, Fir. Seenggaknya sampai nyokap gue pulih. Setelahnya, terserah lo mau gimana sama pernikahan kita.”
Tuhan … sebenarnya ini apa sih?
Saat Safira meninggalkan rumah, lutut Bima terasa lemas. Ia memaki diri sendiri karena kembali bertindak pengecut dengan tidak berani mengejar wanitanya. Wanita yang sampai detik ini ia cintai.Ayah Safira, pria paruh baya itu juga tak bisa berbuat apa-apa. Bisa dibayangkan betapa hancur dan kecewanya sang anak hanya dengan melihat kedua matanya tadi.Padahal butuh waktu lama bagi Safira untuk memulihkan hatinya. Tetapi ternyata tak butuh waktu lama juga hatinya kembali dipatahkan karena perbuatan bodoh orang yang sama.Abhimana akan selalu menjadi alasan bagi Safira untuk merasakan patah hati.Ditambah ayah dan ibunya juga berkomplot dengan menyembunyikan kebenaran dan membuat Safira tidak tahu apapun.Siapapun bersalah di sini.Dan agaknya, kali ini Safira butuh waktu lama untuk kembali memulihkan hatinya.“Nak Bima …” Bima tetap memandang ke depan. Ke arah pintu ketika Safira dengan langkah terseok keluar dari rumah ini. Meskipun istrinya itu tak lagi ada di depannya, namun perasaa
Suasana rumah Bima yang awalnya penuh kehangatan dan canda tawa, dalam sekejap berubah menjadi ketegangan. Bu Anita dan Bu Nina yang menyadari ada suara tangis dari ruang depan dengan tergopoh ikut menyusul. Bu Anita terkesiap melihat anak gadisnya menangis hebat di sana dengan tangan yang terkepal menyentuh dada. Seakan menahan rasa sakit hebat di sana.“Ada apa? Ada apa ini?” Bu Anita segera memeluk Safira yang terus menangis. “Ayah, kenapa Safira, Yah? Bima? Ada apa, Bim?”Safira jatuh terduduk, membuat sang ibu yang tengah memeluknya ikut duduk. Pelukannya masih terasa di tubuh Safira yang seakan menggigil akibat fakta yang menyakitinya.“Bu … Ibu …”“Ya, Nak? Kenapa, Sayang? Bilang sama Ibu …” Sumpah demi apapun, terakhir Bu Anita melihat keadaan Safira kepayahan seperti ini itu lima tahun lalu. Ketika Bima mengakhiri hubungannya dengan sang anak, dan Safira yang terus mendekam di kamar berhari-hari.Semuanya membuat Bu Anita teringat, dan demi apapun wanita itu tak ingin apa yan
Ayah dan ibu Safira datang saat Safira tepat membuka pintu ketika dirinya hendak menunggu kedua orangtuanya di depan rumah. Senyum hangat langsung menyambut. Safira peluk ayah dan ibunya bergantian.“Kok nunggu di luar?” tanya sang ayah kepada anak yang tengah memeluk ibunya itu.“Iya gak apa-apa, Yah. Kangen soalnya aku, lama nggak ketemu Ayah sama Ibu.” Safira cekikian di akhir kalimatnya.Safira ini … meskipun sudah berumur dua puluh tujuh tahun dan sudah menikah, sifat anak kecilnya masih tidak hilang juga.“Ya udah yuk masuk. Makan malam sudah siap.”Safira mengambil alih satu keranjang buah yang ada di tangan ayahnya ke tangannya sendiri sebagai buah tangan untuk ibu mertuanya. Dia membiarkan ayah dan ibunya berjalan di depannya, dan tepat ketika melewati ruang tengah Bima menyambut kedatangan mereka.“Ayah sama Ibu sudah datang,” ujarnya dengan senyum. Ia menyalami kedua mertuanya bergantian.“Sehat, Nak?” tanya Ayah seraya menepuk-nepuk pundak Bima.“Sehat, Yah. Ayah juga, kan
Nanti malam Bu Anita dan Pak Yoga—kedua orangtua Safira— berencana pergi ke rumah besannya untuk menjenguk Bu Nina pasca operasi sekaligus makan malam bersama.Saat ini, Safira sudah sibuk di dapur. Sejak tadi wanita itu sudah berkutik dengan berbagai macam bahan masakan untuk persiapan kedatangan orangtuanya. Dibantu oleh Bima, tentu saja.“Tapi masakanmu sekarang lumayan loh, Fir. Nggak seburuk dulu,” ucap Bima di tengah-tengah ia mengiris bawang. Sedangkan Safira tengah menggoreng ayam.“Nggak seburuk dulu tuh maksudnya apa ya?” Safira berkacak pinggang. Tangannya memegang sutil yang seperti siap ia lemparkan kepada Bima yang duduk tak jauh darinya. “Ya … nggak seburuk itu.” Suara Bima memelan ketika melihat Safira. Ngeri juga kan kalau melihat sutil penggorengan itu melayang ke arahnya jika ia salah bicara.“Maksudnya dulu masakanku nggak enak gitu?” Safira bertanya sambil mengangkat beberapa potong ayam goreng yang sudah matang. Nanti ayam ini akan ia suwir untuk pelengkap soto
Kanin menemui Safira di Sky’s dan mengajak sahabatnya itu untuk duduk di kafe sebelah. Setelah memesan beberapa camilan sebagai teman bicara, Kanin melihat Safira dengan tatapan ragu. Ekspresi yang sangat jarang ia tunjukkan kepada sang sahabat.“Lo kenapa sih?” tanya Safira setelahnya. “Kok ngeliat gue kayak gitu?”Kanin menghela napas, menyeruput sedikit vanilla latte yang ia pesan sebelum Safira datang. Sejujurnya ia tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini.“Cerita aja, Kanin. Gak usah ragu-ragu kayak gitu,” ucap Safira lagi. “Gue janji gak akan cerita apapun ke Lusi.”Mengingat Lusi, Kanin menghela napas. “Lo pasti denger dari Bima ya, kalau gue deket sama Tomi? Makanya lo bilang kayak gitu ke gue semalem."Ah … ternyata benar. Safira tidak mengangguk atau menggeleng. Dia hanya menatap Kanin lurus. Safira ingin sahabatnya itu berkata dengan mulutnya sendiri tanpa paksaan. Sehingga Safira tidak perlu merasa bahwa ia memaksa Kanin untuk bercerita.“Iya, gue deket sama d
Sudah dua hari Safira menginap di rumah Tante Nina pasca ibu mertuanya itu dioperasi. Syukur semuanya berjalan lancar. Tante Nina sudah mulai menjalani masa pemulihan dan hanya perlu beberapa kali lagi untuk kontrol ke rumah sakit.Safira juga sudah menyuruh Lusi untuk segera menemukan pekerjaan yang cocok karena di rumah sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada Bima dan dirinya yang menjaga sang ibu.Nah sekarang, Safira berada di supermarket untuk belanja bulanan bersama Bima. Lusi ada di rumah menjaga ibu setelah tadi pergi ke kampus untuk bertemu dosen yang menawarinya bekerja sebagai asisten.Oh iya sebagai informasi, Bima juga akhirnya memilih untuk berhenti menjadi asisten dosen. Dia bilang, ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarganya. Toh katanya penghasilan dari pekerjaan utamanya sudah cukup. Jadi ia merasa tidak perlu untuk menyambi dengan pekerjaan lain.“Safira!”Safira tengah memilih beberapa sayuran ketika suara seseorang yang tak begitu ia kenal mema