“Bicara apa kamu?” Suara Arlo yang dalam dan dingin itu memotong, membuat Ayudhia dan Elvano terkejut secara bersamaan. Elvano menoleh ke belakang punggungnya. Buru-buru dia melepas tangan Ayudhia yang sejak tadi digenggam, lalu melangkahkan kaki dengan cepat berpindah ke belakang Ayudhia. “Tolong aku, Kakak Ipar,” bisik Elvano, tepat di telinga Ayudhia. “Arlo pasti akan menghajarku.” Ayudhia hanya bisa berdiri kaku, bingung, terjebak di antara dua saudara itu. Ayudhia menoleh sedikit, menatap Elvano yang sedikit membungkukkan badan agar bisa bersembunyi di belakang tubuhnya yang lebih mungil. “Suamimu ini selain dingin, dia juga galak dan suka menganiayaku,” lanjut Elvano berbisik. Tatapan Arlo datar. Dia mengambil satu langkah maju, tangannya terkepal, namun Arlo berhenti saat melihat Ayudhia yang berdiri canggung di antara mereka. Merasa harus melakukan sesuatu untuk meredakan suasana yang aneh ini, Ayudhia memutar kepalanya sedikit. Namun, belum sempat Ayudhia mengatakan se
“Jaga ucapanmu.” Suara Arlo tegas dan dalam. “Anak kecil sepertimu tahu apa?” “Kamu bilang aku anak kecil?” Kedua tangan Elvano terangkat di atas pinggang dan matanya melotot ke arah Arlo. “Usiaku hanya selisih lima tahun lebih muda darimu, aku juga sekarang sudah magang di RDJ, kenapa kamu suka sekali mengataiku anak kecil?” Satu sudut bibir Arlo terangkat. “Masih tidak sadar diri.” Bagi Arlo, Elvano masih suka bersikap kekanak-kanakan meski usianya sudah 23 tahun. Sejak kecil, adiknya itu terlalu dimanja oleh orang tua dan keluarga mereka yang lain, membuat Elvano belum bisa bersikap dewasa di usianya sekarang. Elvano menatap Arlo yang diam dengan tatapan serius. Dia diam dan mencoba mengamati ekspresi wajah yang sang kakak tunjukkan. Lalu, Elvano bergerak cepat ke kursi yang ada di depan meja kerja Arlo lalu mendudukkan tubuhnya di sana, kedua tangannya terlipat di atas meja, tatapan matanya kini berubah ingin tahu. “Jadi, benar kalau kalian menikah buru-buru bukan karena dia
Bola mata Elvano membulat sempurna. Rahangnya jatuh. “Tunggu. Apa? Istri?” katanya tak percaya, sebelum tawa keras dan mengejek meledak darinya, menggema di seluruh kamar.“Mana mungkin, aku tidak percaya,” sanggah Elvano sambil berusaha menghentikan tawa dan menggelengkan kepala pelan lalu kedua tangannya berkacak pinggang, “kamu pikir aku bodoh?” Matanya yang tadi geli kini melotot ke arah kakaknya, sebelum telunjuknya kembali teracung pada Ayudhia. “Dia istrimu? Tidak mungkin. Jelas-jelas kamu ini suka main wanita, mau mengelak apa lagi?” Arlo tidak menjawab. Dia mengusap wajahnya dengan satu tangan, gerakan lelah yang menonjolkan garis rahangnya yang tegas. Wajahnya sedingin es, namun ada kilatan kekesalan yang berbahaya di matanya saat mendengar ocehan adiknya yang sembarangan itu.Elvano mengalihkan pandangan pada Ayudhia, dia memperhatikan tubuh Ayudhia dari atas kepala hingga kaki, lalu matanya kembali tertuju pada Arlo. “Sudah berapa puluh wanita yang sudah kamu bawa pulang
Tubuh Ayudhia membeku saat telapak tangan besar itu menyentuh perutnya dan perlahan merabanya. Jantungnya berdegup cepat sampai-sampai Ayudhia meneguk ludah kasar.Tidak bisa, bukan begini juga kesepakatan pernikahan mereka.Bibir Ayudhia bergerak untuk bicara, tetapi telinganya sudah lebih dulu menangkap suara dari arah belakangnya.“Arlo, ke mana otot perutmu? Kamu jadi langsing sekali? Seperti perempuan.”Bola mata Ayudhia membulat sempurna. Suaranya tersekat ketika indera pendengarannya menangkap suara pria lain. Dia menurunkan pandangan dan melihat telunjuk pria itu menusuk-nusuk perutnya perlahan.Kepanikan menyergahnya. Seketika Ayudhia meraih tangan besar itu lalu menghempaskannya dengan kuat ke belakang punggungnya lalu Ayudhia melompat dari ranjang begitu saja dengan jantung yang berdegup cepat.Kulit wajah Ayudhia memucat dengan napas tak beraturan saat memandang ke ranjang. Dia merapat di dinding sambil memperhatikan pria yang ada di atas ranjang kini sedang memandang ke a
Langkah Ayudhia kembali terhenti ketika telinganya mendengar perintah dari Arlo.Tatapan mata Ayudhia kembali terarah pada Arlo yang sudah memandangnya.Langkah Ayudhia berubah haluan ke arah Arlo duduk. Saat tiba di samping sofa, tatapan Ayudhia tertuju pada tangan Arlo yang menepuk sofa di samping pria itu.“Duduklah di sini,” perintah Arlo.Ayudhia menganggukkan kepala pelan. Perlahan dia melangkah lebih dekat ke arah Arlo duduk, lalu mendudukan tubuhnya di tempat yang Arlo tepuk.Ada kotak obat di atas meja, Ayudhia menatap sejenak kotak itu, lalu pandangannya kembali tertuju pada Arlo.Arlo sedikit membungkukkan badan ke arah meja, lalu membuka kotak obat yang ada di hadapannya. Tangannya terulur ke kotak dan mengambil obat dari dalam sana.Ayudhia memperhatikan apa yang Arlo ambil, lalu dia berkata, “Saya bisa mengobati lutut saya sendiri, Tuan.”Sayangnya, tidak ada tanggapan dari Arlo. Dia tetap memegang obat merah di tangan, lalu menuang pelan di kapas seperti siang tadi.Arlo
Fiona melangkah keluar dari kafe setelah selesai bertemu dengan Disya. Dia terus mengayunkan langkah menuju mobil yang terparkir di samping kafe, lalu segera masuk untuk meninggalkan tempat itu.Fiona sudah menyalakan mesin mobilnya, tetapi dia tak segera memacu mobilnya meninggalkan tempat itu.Fiona diam seraya menatap lurus ke depan, kedua tangannya berpegangan ke stir mobil.‘Apa aku harus diam saja melihatnya tenang di Atelier?’Satu sudut bibir Fiona tertarik ke atas, menciptakan lengkungan sinis di wajahnya.Fiona melepas kedua tangan dari stir lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Tangannya merogoh tas yang dia letakkan di kursi samping kemudi, lalu mengeluarkan ponselnya dari sana.Jempol Fiona menyapu layar ponselnya, mencari-cari sebuah kontak yang tersimpan di daftar kontak miliknya.Saat menemukan nomor yang dicari, senyum Fiona merekah lebar. Dia menekan tanda hijau di samping nomor itu, saat terdengar suara panggilan terhubung, Fiona segera menempelkan ponselnya