LOGINAyudhia meregangkan kedua tangan di udara untuk mengurai sedikit ketegangan pada otot-ototnya yang kaku karena baru saja menyelesaikan pekerjaan yang Disya berikan.
“Akhirnya selesai juga,” gumamnya lalu menghela napas lega.
Ayudhia mengecek jam di ponselnya, dia melihat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh menit. Ayudhia segera membawa berkas itu ke ruangan Disya kemudian meletakkan dengan rapi di meja managernya itu
Ayudhia sedang memasukkan buku sketsa dan beberapa alat tulis ke dalam tas, dan merapikan alat-alat lainnya di sisi meja kantor Ayudhia, ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Arlo terpampang di layar.
“Halo, iya, Tuan,” sapa Ayudhia begitu menjawab panggilan itu.
“Di mana kamu?”
Suara datar dari seberang panggilan cukup menusuk di telinga Ayudhia.
“Saya masih di kantor. Ada beberapa pekerjaan yang tadi harus saya selesaikan hari ini juga.”
“Tunggu di sana.”
Ayudhia mengerutkan kening. Dia mau membalas ucapan Arlo, tetapi panggilan itu sudah berakhir.
Apa Arlo akan datang menjemputnya?
Ayudhia tidak yakin, mungkin Arlo menyuruh sopirnya.
Lobby Atelier sudah diselimuti kegelapan, hanya beberapa lampu sorot yang tersisa, membiaskan cahaya remang-remang di lantai marmer hitam. Ayudhia melangkah tergesa, suara tumit sepatunya menggema.
Di meja depan, satpam yang berjaga mengangkat kepala, matanya sedikit membesar melihat Ayudhia yang baru akan pulang. “Baru pulang, Mbak?” sapanya, nada suaranya terselip keheranan.
Ayudhia hanya tersenyum tipis, kelelahan terpancar jelas di wajahnya. “Iya, Pak. Banyak yang harus diselesaikan,” jawabnya singkat. Mungkin Bapak Satpam itu heran masih melihat karyawan Atelier di kantor selarut ini. “Mari, Pak,” pamit Ayudhia setelahnya, menganggukkan kepala dan sedikit tersenyum pada satpam tersebut.
Kemudian, Ayudhia memilih berdiri di depan lobby, sesekali mengecek pintu masuk area perusahaan, menunggu mobil yang datang menjemputnya. Dia memerhatikan sekitar, tempatnya berdiri sekarang yang paling terang karena banyak mendapat cahaya, sehingga sopir yang disuruh Arlo pasti bisa dengan mudah menemukannya di sana.
Beberapa saat kemudian, sorot lampu mobil memancar. Sebuah mobil hitam sedan mewah melaju perlahan, kemudian berhenti tepat di hadapan Ayudhia. Dia melangkah mendekat, berniat membuka pintu belakang, tetapi kaca jendela depan sudah lebih dulu terbuka. Ayudhia sedikit tersentak, melihat Arlo duduk di belakang kemudi.
“Masuk.”
Ayudhia bergerak kikuk membuka pintu mobil dan masuk. Ayudhia diam, begitu juga dengan Arlo. Mobil itu kini melaju meninggalkan area perusahaan ditemani keheningan yang menyelimuti kabin.
Saat keduanya masih sama-sama diam, suara dari perut Ayudhia memecah keheningan. Ayudhia langsung menyentuh perutnya sambil meringis malu. Pipinya terasa panas, Ayudhia sedikit melirik Arlo, berharap Arlo tidak mendengarnya. Perutnya tidak bisa diajak kompromi untuk menunggu mereka sampai di rumah.
“Kamu belum makan?” tanya Arlo tanpa menoleh sama sekali pada Ayudhia.
Ayudhia akhirnya menoleh pada Arlo, dengan rasa canggung dan senyum kecil dia menjawab, “Iya, belum sempat.”
Namun, Arlo kembali fokus menyetir, tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Ayudhia jadi ikut terdiam, menunggu mereka sampai di rumah saja. Akan tetapi, ternyata Arlo tidak langsung mengajaknya pulang. Pria itu justru menghentikan mobil di bahu jalan, di dekat sebuah warung kecil yang hanya buka saat malam hari.
Bibir Ayudhia merekah lebar. Dia buru-buru melepas seatbelt dan berkata, “Ini warung kesukaan saya, makanan di sini enak-enak. Kok Anda tahu ada warung ini di sini?” Ada rasa heran menyelimuti benaknya. Arlo, seorang pria yang selalu tampil rapi dan berkuasa, makan di pinggir jalan seperti ini? Rasanya agak aneh baginya.
“Hanya kebetulan lihat.”
Ayudhia menoleh pada Arlo yang sedang melepas sabuk pengaman kemudian turun dari mobil. Ayudhia mengangguk pelan, kebetulan melihat memang masuk akal. Ayudhia segera keluar menyusul Arlo.
Mereka akhirnya duduk berhadapan di warung makan itu. Makanan yang Ayudhia dan Arlo pesan sudah disajikan di meja. Ayudhia melirik Arlo yang bersiap makan, masih tak menyangka pria kaya raya seperti Arlo mau makan di pinggir jalan.
Ayudhia masih terus memandangi wajah Arlo. Dia tidak makan, tetapi malah menggunakan tangan untuk menyangga dagu, sedangkan sikunya bertumpu di meja. Ayudhia terus memandangi wajah pria yang menjadi suami kontraknya ini.
Tampan, hidungnya mancung, garis rahangnya begitu tegas dan kokoh, bahkan Arlo memiliki bulu mata yang sangat indah, pria ini begitu sempurna.
“Kenapa memandangiku?”
Ayudhia tersentak. Meskipun Arlo tak menatap Ayudhia, ternyata Arlo menyadari apa yang sedang dilakukannya. Tanpa sadar mengagumi suami kontraknya ini.
“Tidak ada,” balas Ayudhia lalu kembali mengambil alat makannya yang tadi sempat diletakkan di atas piring.
Namun, sebelum Ayudhia mulai makan, dia kembali menatap Arlo yang sedang mengunyah.
“Apa saya boleh minta sesuatu?” tanya Ayudhia.
“Apa kamu berhak meminta sesuatu dariku?”
Ayudhia memanyunkan bibir mendengar jawaban dingin Arlo.
“Padahal saya tidak akan meminta harta Anda, kenapa Anda bicara begitu,” protes Ayudhia lalu mengaduk-aduk makanannya.
Arlo akhirnya menatap Ayudhia yang cemberut.
“Minta apa?” tanya Arlo pada akhirnya.
Seketika senyum merekah di wajah Ayudhia.
“Anda akan mengabulkannya, ‘kan? Kalau begitu akan saya katakan waktu kita sudah sampai rumah,” jawab Ayudhia sambil tersenyum-senyum penuh arti.
Dahi Arlo berkerut samar, apa yang diinginkan oleh Ayudhia?
Andreas memakai setelan kemejanya. Dia mematut dirinya di depan cermin, tatapannya lurus tertuju pada bayangannya yang terpantul dari cermin, sedangkan tangannya sibuk memasukkan manik kancing satu persatu.Saat itu, Cassandra masuk ke dalam walk in closet. Dia menatap Andreas yang tak menoleh sama sekali padanya.Sambil melangkah menghampiri Andreas, Cassandra menatap suaminya sambil berkata, “Apa kamu mau menjenguk Papa lagi?”Andreas tak menjawab pertanyaan Cassandra. Dia menarik laci lalu mengambil jam tangan mewahnya dari dalam sana. Sambil memakai jam tangan, Andreas berkata, “Aku masih ada urusan bisnis di luar negeri. Penerbangan siang ini.”Cassandra membulatkan bola mata lebar, sebelum dia memprotes keputusan Andreas, suaminya sudah lebih dulu berkata, “Tidak ada urusan yang penting, tidak perlu menghubungiku jika bukan aku yang menghubungimu.”Setelah mengatakan itu, Andreas mengambil jasnya dari lemari.Cassandra tersentak mendengar ucapan Andreas. Dia menatap suaminya den
Setelah rapat selesai.Ayudhia bangkit dari duduknya, lantas melangkahkan kaki menuju tempat duduk suaminya. Dia menatap Arlo yang sedang berdiri dari kursi, sehingga Ayudhia bergegas menghampiri.Melihat kedatangan istrinya, Arlo langsung berkata, “Setelah ini langsung pulang.”Ayudhia tersentak mendengar ucapan suaminya padahal dia belum berucap sepatah kata pun. Namun, Ayudhia tetap berusaha tenang, dia tersenyum ke suaminya sebelum bicara.“Tapi aku mau membahas soal strategi pemasaran dengan yang lain, satu jam lagi, ya. Aku janji, setelah satu jam, aku akan pulang.” Ayudhia lalu menunjukkan telunjuk di depan wajahnya, tatapannya penuh memohon agar Arlo mengizinkan sekali itu saja.Arlo menatap datar sejenak pada Ayudhia yang sedang membujuknya. Dia menekuk lengan kirinya di udara untuk melihat jarum di arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.Setelahnya, Arlo kembali menatap pada Ayudhia yang masih menunggu izin darinya. “Baiklah, hanya satu jam. Setelahnya pulang bersama
Satu minggu berlalu.Pagi itu, Arlo melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Tatapannya tertuju ke ranjang, tetapi dia tak melihat keberadaan Ayudhia di sana.Mengalihkan pandangan ke pintu walk in closet yang terbuka, Arlo lantas melangkahkan kaki ke sana.Begitu masuk ke dalam ruangan itu, kedua kaki Arlo berhenti melangkah, lalu tatapannya tertuju pada Ayudhia yang sedang menyiapkan pakaiannya.“Sudah selesai,” kata Ayudhia.Arlo mengangguk. Dia kembali mengayunkan langkah mendekat pada Ayudhia.“Aku sudah siapkan pakaianmu,” kata Ayudhia dengan senyum merekah di wajahnya.Arlo berhenti tepat di depan Ayudhia, lalu dia memandang pakaian yang tergeletak di sofa sebelum menatap istrinya lagi.“Hari ini, apa kamu jadi berangkat ke Atelier?” tanya Arlo.Semalam Ayudhia membujuk Arlo agar mengizinkan pergi ke Atelier karena hari ini ada presentasi untuk sampel gaun yang akan diproduksi massal oleh Atelier.Mendengar pertanyaan Arlo, senyum Ayudhia merekah l
Henry urung menemui Andreas. Dia berbalik arah menemui Cassandra yang berada di balkon atas.Menatap sang mama di sana. Henry melangkah menghampiri Cassandra, lalu berdiri di samping sang mama yang sedang memandang ke halaman samping mansion mereka.Kedua telapak tangan Henry berpegangan di pembatas balkon, tatapannya tertuju lurus ke depan ke arah sang mama memandang, lalu berkata, “Papa selalu tak bisa ditemui jika baru saja kembali dari luar negeri.”Cassandra masih diam. Kecemasannya akan hal-hal yang mungkin dilakukan Andreas, membuatnya tak bisa tenang.Namun, anak buahnya melaporkan kalau Andreas hanya tinggal di hotel seharian saat sampai di negara yang baru dikunjungi, sebelum akhirnya kembali pulang karena panggilan dari Cassandra.“Kakek menginginkan anak kandung dari Papa, apa masih ada kemungkinan aku mewarisi semuanya?”Pertanyaan dari Henry membuat Cassandra menolehkan kepala ke samping. Dia menatap Henry yang memasang wajah putus asa.Cassandra menyentuh lengan Henry,
Di Mansion Andreas.Pria paruh baya itu duduk di ruang kerjanya bersama dengan Steven yang berdiri di depan mejanya.Steven tak berani bicara, dia hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Diam, sampai Andreas yang bicara karena majikannya sedang dalam mood yang sangat buruk.“Sudah selama ini dan anak buahmu belum bisa menemukannya?”Suara tegas dan dalam itu begitu menusuk telinga. Andreas menggerakkan kepala, mengarahkan tatapan tajamnya ke arah Steven berdiri.Belum juga Steven membalas perkataannya, Andreas kembali berkata, “Atau jangan-jangan kamu memang tidak serius mencarinya, Stev? Apa kamu berkhianat dariku?”Mendengar ucapan Andreas, Steve langsung mengangkat pandangannya mengarah pada Andreas, kepalanya menggeleng kuat, menyanggah apa yang Andreas tuduhkan.“Itu tidak benar, Tuan. Saya sudah ikut Anda puluhan tahun, saya tidak mungkin mengkhianati Anda. Anda yang paling memahami saya, Tuan.”Andreas mendengkus kasar. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengus
Sore hari, di rumah sakit Ayudhia dirawat.Dokter baru saja melakukan pengecekan pada kondisi Ayudhia.“Secara keseluruhan kondisi Bu Ayudhia sudah sangat baik, mungkin memar akibat benturan akan memudar lama, tapi itu tak masalah,” ucap dokter menjelaskan.Ayudhia mengangguk kecil.“Besok saya akan melakukan USG lagi untuk memastikan rahimnya sudah bersih dari sisa gumpalan darah akibat keguguran kemarin,” ucap dokter lagi.Mendengar kata ‘keguguran’, dada Ayudhia terasa nyeri lagi. Ekspresi wajahnya berubah sendu, walau detik berikutnya dia tersenyum saat dokter pamit meninggalkan ruang inapnya.Arlo menunggu sampai dokter dan perawat pergi, setelahnya dia menatap Ayudhia yang hanya diam.“Apa luka memarnya masih sangat sakit?” tanya Arlo.Ayudhia tersentak. Tatapannya beralih ke suaminya yang berdiri di samping ranjangnya. Sambil memulas senyumnya untuk menenangkan perasaan suaminya, Ayudhia lantas membalas, “Hanya sakit kalau tak sengaja tersentuh atau tersenggol saja, jika tidak,







