Saat malam hari.Arlo dan Ayudhia sudah sama-sama beristirahat. Ayudhia tidur dengan posisi miring memunggungi suaminya. Dia tidur dengan sangat nyenyak, sampai tiba-tiba telinganya mendengar suara Arlo yang merintih dengan racauan pelan.Ayudhia membuka kelopak matanya perlahan sebelum membalikkan tubuhnya dengan pelan ke arah sang suami berbaring.Ketika tatapannya tertuju ke wajah Arlo yang basah karena keringat dengan ekspresi gelisah yang tersirat jelas di wajah suaminya, Ayudhia bangkit setengah berbaring untuk membangunkan Arlo.Ayudhia ingin menyentuh lengan Arlo, tetapi dia lebih dulu melihat bibir Arlo bergerak dengan suara lirih dan samar-samar terdengar di telinga Ayudhia.Tak bisa mendengar dengan jelas, Ayudhia mendekatkan telinga ke bibir Arlo agar bisa mendengar apa yang Arlo igaukan.Saat telinganya sudah berada begitu dekat, dia mendengar jelas suara rintihan Arlo diikuti panggilan ‘Ma, Pa, Ay’.Menjauhkan telinga dari bibir Arlo, Ayudhia langsung menatap pada Arlo y
Arlo menatap begitu serius, menunggu jawaban Ayudhia.Ayudhia menatap bergantian pada Arlo dan Theo, sebelum dia membalas, “Waktu aku menemui pengemis itu di depan butik Mama, aku memberikan roti dan air kepadanya. Saat itu, aku melihat punggung tangan kanannya ada bekas luka lebar, kupikir bukan apa-apa, mendengar ceritamu, jadi kurasa benar itu penculik yang menyakitimu.”Arlo menegakkan badan, ternyata yang Ayudhia ingat soal pertemuan dengan pengemis, dia sempat berharap Ayudhia ingat dengan kejadian penculikan mereka.“Aku pikir dia benar-benar pria tua yang malang, ternyata dia pria yang kejam. Menyesal aku memberi minum pada pria jahat itu!” gerutu Ayudhia pada akhirnya.Theo masih berdiri, melipat kedua tangan di depan dada dengan ekspresi wajah menggelap. “Jadi, sudah dipastikan kalau benar pria itu ada maksud. Dia pasti sedang memantaumu.”Arlo hanya diam, wajahnya kembali memucat.“Jika sudah begini, kita memang harus waspada, ‘kan? Apalagi pengemis itu seolah membayangi ki
Ayudhia mendengar nada panggilan sudah terputus. Dia menatap panik pada suaminya yang masih pucat tetapi bisa-bisanya berkata tidak apa-apa.Menatap istrinya yang cemas, dengan nada suara pelan, Arlo berkata, “Aku benar-benar baik-baik saja, Ay.”“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik saja, huh? Lihat wajahmu, pucat seperti orang tipes, ditambah tanganmu saja gemetaran begini, kamu masih bilang kalau kamu baik-baik saja?” omel Ayudhia.Setelah mengomel, mata Ayudhia tiba-tiba berkaca-kaca, bahkan kini ujung matanya mulai mengeluarkan buliran bening yang menetes begitu saja.“Aku tuh cemas lihat kamu begini, bagaimana bisa kamu bilang kalau baik-baik saja,” omel Ayudhia lagi.Melihat Ayudhia bicara dengan suara tertahan karena menahan tangisnya, Arlo begitu terkejut sampai berkata, “Kenapa sampai nangis begitu? Aku benar-benar tidak kenapa-napa.”Air mata Ayudhia semakin meluncur deras, menghapus pelan wajahnya yang basah, dia berkata, “Bagaimana aku tidak nangis kalau lihat kamu begini
Ayudhia menoleh ke pintu ruang makan, tatapannya tertuju ke sana, menunggu suaminya yang juga tak kunjung datang.Kening Ayudhia berkerut samar, dia mulai penasaran, siapa yang menghubungi suaminya, sampai Arlo begitu lama menerima panggilan itu.“Kenapa dia lama sekali, aku sudah lapar,” keluhnya.Ayudhia mengembuskan napas pelan. Dia akhirnya bangkit dari duduknya, melangkah menuju pintu ruang makan, lalu mencari keberadaan Arlo yang dia temukan di ruang tengah.Melangkah mendekat dengan senyum mengembang di wajah, Ayudhia menyadari kalau suaminya yang kini berdiri memunggungi dirinya sekarang ini sedang gemetaran.Ayudhia menghampiri dengan cepat, saat tangan menyentuh lengan Arlo, Ayudhia memanggil, “Arlo.”Saat Arlo menoleh padanya, Ayudhia tersentak melihat wajah pucat Arlo. Menangkup pipi Arlo dengan kedua tangan, Ayudhia menatap panik saat bertanya, “Ada apa? Siapa yang menghubungimu? Kenapa kamu gemeteran begini?”Ayudhia langsung memeluk Arlo, tangannya mengusap-usap lembut p
Setelah bicara dengan Bams. Aksa pergi ke kamar menemui Alina yang sejak tadi di dalam. Dia menghampiri Alina lalu bergabung dengan sang istri yang sudah menatapnya sejak tadi.Menatap suaminya dengan penuh antusias, Alina segera bertanya, “Bagaimana? Bams kasih informasi apa?” Aksa menceritakan apa yang tadi Bams katakan, termasuk soal satu penculik yang belum ditemukan setelah keluar dari penjara.Mendengar cerita Aksa, Alina meremat jemarinya. Tatapannya begitu cemas dengan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan dari raut wajahnya.“Bagaimana ini? Kok bisa penculik itu hilang gitu aja?”Aksa mengembuskan napas kasar. Dia juga mulai mencurigai ada yang tak beres dan semakin waspada.Menatap Alina yang cemas, Aksa meraih telapak tangan Alina dan menggenggamnya erat saat dia berkata, “Bams sudah bergerak untuk mencari penculik itu, aku juga sudah memintanya mengecek informasi soal pengemis yang kamu ceritakan waktu itu.”Alina dibuat terkejut dengan ucapan Aksa. “Apa ada kemungkian
Pria pincang dengan satu mata cacat yang dicurigai Arlo sebagai pengemis mencurigaan, kini sedang melangkah pelan memasuki warung makan yang ada di area pasar tradisional. Mengedarkan pandangan sebelah matanya yang masih berfungsi normal, pria itu menjatuhkan tatapan pada seorang pria lain yang sedang menyantap makanan di sana. Pria itu melangkah menghampiri, begitu sampai di meja tempat orang yang dicarinya sedang makan, pria itu langsung mendudukkan tubuhnya. “Dito?” Pria yang sedang makan itu terkejut melihat temannya itu. “Beberapa hari tak terlihat setelah bebas, sekarang kamu muncul di sini,” kata pria dengan seluruh rambut dipenuhi uban itu. Sebelum kembali memasukkan makanan ke mulut, dia kembali bertanya, “Ada apa menemuiku?” Dito, pria pincang dengan satu mata cacat itu tersenyum tipis, setelahnya dia berkata, “Sepertinya kamu menjalani hidup dengan sangat damai setelah keluar dari penjara.” “Memangnya mau apa lagi, hidup tetap harus berjalan walau kita mantan narapidana