Malam turun perlahan di atas langit Jakarta. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, menembus kaca jendela kantor yang mulai gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang, meninggalkan lorong yang kini sepi dan dingin.
Lea berdiri di depan meja kerjanya, menatap map dan laptop yang sudah tertutup. Tangannya masih terasa berat bukan karena pekerjaan, tapi karena satu benda kecil di dalam tasnya: kunci apartemen dari Jerry.Ia mengeluarkannya perlahan. Gantungan logam dengan logo “Arandra Suites” berkilau di bawah cahaya redup.Kunci yang ia tolak tapi entah bagaimana, kini ada di tangannya.Mungkin Jerry meletakkannya diam-diam di dalam tas sebelum ia sempat menolak lagi.Lea memejamkan mata. Sebagian dirinya ingin mengembalikan kunci itu besok pagi. Tapi bagian lain bagian yang letih, yang ingin rehat sejenak dari luka dan keputusan besar berbisik pelan : “Mungkin kamu butuh tempat untuk bernafas.”Ia menarik nafas panjang dan menaMalam turun perlahan di atas langit Jakarta. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, menembus kaca jendela kantor yang mulai gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang, meninggalkan lorong yang kini sepi dan dingin.Lea berdiri di depan meja kerjanya, menatap map dan laptop yang sudah tertutup. Tangannya masih terasa berat bukan karena pekerjaan, tapi karena satu benda kecil di dalam tasnya: kunci apartemen dari Jerry.Ia mengeluarkannya perlahan. Gantungan logam dengan logo “Arandra Suites” berkilau di bawah cahaya redup.Kunci yang ia tolak tapi entah bagaimana, kini ada di tangannya.Mungkin Jerry meletakkannya diam-diam di dalam tas sebelum ia sempat menolak lagi.Lea memejamkan mata. Sebagian dirinya ingin mengembalikan kunci itu besok pagi. Tapi bagian lain bagian yang letih, yang ingin rehat sejenak dari luka dan keputusan besar berbisik pelan : “Mungkin kamu butuh tempat untuk bernafas.”Ia menarik nafas panjang dan mena
Lea berdiri tegak di depan Abi, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Nafasnya bergetar, tapi suaranya ia paksa tetap tenang.“Abi, pulanglah.”Abi terhenti, matanya memohon penuh harap. “Lea, jangan begini. Aku tahu aku salah, aku tahu aku terlambat, tap…”Lea mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. “Aku sudah bilang. Keputusanku bulat. Tidak ada lagi yang bisa kamu katakan untuk mengubahnya.”Abi menelan ludah, wajahnya semakin kusut. “Kamu benar-benar sudah tidak ada ruang sedikitpun untukku?”Lea menarik napas panjang, menahan gemuruh dalam dadanya. “Yang tersisa hanya luka, Abi. Dan aku tidak mau terus hidup di dalamnya. Aku harus melanjutkan hidupku dan sekarang aku masih ada meeting penting. Tolong, jangan buat ini lebih sulit.”Hening panjang menyelimuti ruangan. Abi menunduk, bahunya bergetar.Tiba-tiba pintu ruang meeting kecil itu terbuka. Jerry muncul dengan jas biru tuanya, tatapannya bergeser cepat
Lea menatap layar ponselnya yang masih menyala. Nama Abi muncul di notifikasi pesan, diikuti tanda panggilan tak terjawab dari Jerry. Dadanya terasa ditarik ke dua arah yang berlawanan masa lalu yang baru saja ia tinggalkan, dan masa depan yang entah bisa ia percaya atau tidak.Ia menghela napas panjang, meletakkan ponsel itu menghadap ke bawah di meja.“Tidak sekarang.”“Tidak di jam kerja.”Namun pikirannya tetap berputar. Apa yang ingin Abi katakan? Apakah ia sudah menerima surat panggilan? Atau justru Abi mencoba menggagalkan tekadnya? Sementara itu, Jerry pria yang belakangan begitu dekat dengannya mengulurkan tangan di saat Lea berada di titik paling rapuh. Tapi justru itulah yang membuatnya semakin ragu.Ketukan pintu kembali terdengar.“Bu, Pak Jerry sudah datang untuk meeting jam dua,” suara Sella dari luar.Lea menutup matanya sebentar, lalu menegakkan tubuh. “Baik. Persilakan masuk.”Pintu terbuka, Je
Abi masih terduduk di ruang tamu, wajahnya pucat dengan foto-foto yang berserakan di meja. Udara malam itu terasa begitu berat, seolah seluruh dunia menekan pundaknya.Sementara itu, Lea berjalan keluar dari apartemen dengan langkah gemetar tapi pasti. Keputusan yang ia ucapkan barusan bukan lagi sekadar ancaman—itu adalah akhir yang nyata.***Pagi harinya, matahari baru saja naik ketika Lea melangkah keluar dari mobilnya, berdiri di depan gedung Pengadilan Agama. Wajahnya tampak tegas meski kantung mata memperlihatkan bahwa ia tak tidur semalaman.Di dalam tasnya, ia membawa dokumen-dokumen penting: buku nikah, salinan KTP, dan berkas-berkas lain yang semalam ia siapkan dengan tangan bergetar. Setiap lembar kertas itu adalah bukti tekadnya untuk mengakhiri pernikahan yang selama ini hanya menyisakan luka.Sella sempat menelepon sejak pagi, menanyakan keadaan, tapi Lea memilih untuk tidak menjawab. Kata-kata Jerry kembali terngiang:
Restoran The Sky Lounge makin sepi, hanya tersisa beberapa meja dengan cahaya temaram lampu gantung. Jerry menutup map kulit hitam berisi kontrak yang baru saja ditandatangani Lea, lalu menatapnya lama, seolah ingin memastikan sesuatu.“Lea,” suaranya rendah, tenang, tapi sarat tekanan. “Mulai sekarang, jangan terlalu terbuka pada siapa pun. Bahkan pada Sella sekalipun.”Lea terbelalak, sedikit terkejut. “Sella? Asisten pribadiku? Dia sudah bersamaku bertahun-tahun, Jerry. Dia lebih seperti adik bagiku daripada bawahan.”Jerry menyandarkan tubuh ke kursi, kedua tangannya bertaut. “Itu justru masalahnya. Kau terlalu percaya padanya. Dan dalam permainan ini, kepercayaan berlebihan bisa membunuhmu.”Lea mengernyit, dadanya terasa berat. “Apa maksudmu? Kau curiga Sella berkhianat?”Jerry menatapnya dalam, matanya dingin. “Aku tidak bilang begitu. Tapi aku tahu, Daniel punya cara untuk merusak lingkaran terdekat lawannya. Satu bisikan, satu ta
Darah Lea seakan membeku. Ponselnya masih bergetar di meja, nama Abi menyala jelas di layar, bersama pesan yang menghantam jantungnya tanpa ampun."Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu semuanya."Tangannya refleks menekan layar agar getaran itu berhenti. Ia menatap Jerry dengan wajah pucat, hampir kehilangan kata. Jerry, yang sejak tadi mengamati dengan sorot tajam, perlahan mengangkat alis.“Ada masalah?” tanyanya tenang, tapi nada suaranya mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan.Lea menelan ludah, lalu menggeleng cepat. “Tidak. Hanya pesan kantor.” Ia mencoba terdengar ringan, namun suara bergetar membuat kebohongan itu terlalu rapuh.Jerry menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap mengawasi tiap gerak-gerik Lea. “Abi?” tebaknya dingin.Lea tak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi yang nyaris runtuh. Jemarinya meremas flashdisk yang kini sudah berada di genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan di tenga