Mag-log inTepat pada malam perjamuan keluarga Johari, perjodohan antara Danilea Johari dan Jeriko Nicholas resmi diumumkan. Lea, yang sama sekali tidak mengetahui rencana tersebut, sontak terkejut mendengar keputusan sepihak dari sang ayah. Namun, di penghujung acara, suasana mendadak berubah. Seorang pria tak dikenal muncul dan memperkenalkan dirinya sebagai bagian dari keluarga Johari. Johan, yang semula terlihat sumringah menyambut Jerry, seketika berubah murka. Siapa sebenarnya pria asing yang muncul tanpa diundang itu? Rahasia apa yang disembunyikan keluarga Johari? Dan benarkah pernikahan Danilea dan Jeriko akan tetap berlangsung setelah malam yang mengejutkan itu?
view moreDi malam hari yang dingin, lampu gantung bergaya barok menerangi ruang perjamuan malam keluarga Johari. Meja panjang berbahan kayu walnut dan terbalut marmer kini mulai terisi dengan menu-menu mewah, seperti Oysters Rockefeller, Caviar, Rack Of Lamb, dan Sampanye sebagai penutupnya. Namun, sebelum hidangan itu disantap, seorang pria berwibawa memusatkan perhatian semua orang kepadanya.
“Perhatian semuanya! Malam ini kita kedatangan tamu spesial, kenalkan ini Jeriko Nicholas biasa dipanggil Jerry,” ucap Johan, pria berwibawa itu. Dengan gelagat yang sangat tenang dan cool, pria asing itu berdiri lalu membungkuk memberikan rasa hormat, seolah-olah bangsawan kerajaan yang tengah memperkenalkan diri dengan sangat elegan namun tetap sopan. “Jadi Jerry ini anak dari Om Leon, rekan bisnis ayah. Dan tujuan Jerry ada disini ingin ayah perkenalkan dengan putri tunggal Johari, yaitu Danilea Johari,” sambung Johan. Mendengar pengumuman itu, raut wajah anggota lain menjadi terkejut, seolah-olah mereka baru mendengarnya kali ini. Terutama Lea, saat namanya disebut, ia langsung menoleh ke arah Johan dengan tatapan mata yang sangat tajam. “What! Tapi untuk kepentingan apa aku harus mengenal Jerry?” Lea memandang ayahnya dengan sorot mata tak percaya. Johan menarik napas dalam, lalu berbicara dengan tenang, “Tolong dengarkan Ayah dulu. Jangan menyela, Ayah belum selesai bicara.” “Lea, sekarang usiamu sudah 25 tahun, kan? Sudah saatnya Ayah memberikan tanggung jawab kepadamu untuk mengurus salah satu anak perusahaan Morning Group. Dalam proyek baru ini, kita akan menjalin aliansi bisnis dengan Olympus Group yang kini diwariskan kepada Jerry. Karena itu, Ayah dan Om Leon sepakat menjodohkan kamu dan Jerry sebagai pewaris aliansi kedua grup ini,” jelas Johan dengan nada mantap. “Tapi… ” Ucapan Lea terpotong. Dengan anggun, Nyonya Johari mengedipkan mata ke arah Lea, seolah memberi isyarat tanpa suara. Wanita berkulit putih dan berambut panjang itu segera menangkap maksud ibunya. Lea pun terdiam sejenak, berusaha meredakan pikirannya yang mulai berkecamuk. “Jerry, ayo silahkan dicicipi hidangannya, tante sendiri yang memilih hidangan ini loh.” Dengan sedikit tersenyum Nyonya Johari menawarkan hidangannya. “Thank you atas hidangan anda Nyonya Johari, ini terlihat sangat perfect. I liked it!” Pria tampan itu memberikan reaksinya usai menyantap sesuap caviar dari piringnya. Dibuka oleh santapan pertama Jerry, semua anggota ikut menyantap hidangan masing-masing. Terkecuali Lea, yang sedari tadi hanya memotong-potong Rack of Lamb di piringnya. Lea hanya menundukkan kepalanya sambil sesekali melamun, seperti entah pergi kemana pikirannya saat itu. “Jerry ini hebat loh! Tahun lalu lulus S2 di Harvard University, lihat sekarang dia bisa merintis bisnis agency internasional di Paris,” ucap Johan sumringah sambil memotong Rack of Lamb di piringnya. “Dan hebatnya lagi, baru tadi sore dia kasih kabar ke ayah sampai di Jakarta, tapi lihat, bisa-bisanya dia sudah makan caviar disini. Hahaha…” Sambung Johan, tertawa membicarakan keantusiasan Jerry. “Ah! Bisa saja tuan ini. Ini hanya hal kecil saja kok.” Kemudian Jerry meneguk sampanyenya. “Lihat Lea, ini dia pria sejati yang pas untuk kamu. Tampan, jenius, sukses dan yang paling penting siap siaga dua puluh empat jam untuk kamu. Benarkan Jerry? Hahaha..” Johan semakin sumringah dan terus memuji Jerry. “Hahaha.. Wow hebat sekali pria di sampingku ini, bahkan aku tidak tahu seekor singa bisa terbahak-bahak.” Sindir Lea lirih. “Uhuk!” Jerry tersedak mendengar gumam lirih Lea. “Are you fine, Jerry?” Nyonya Johari mengulurkan sepotong tisu kepada Jerry. “I'm Fine. It’s okay,” ucap Jerry. “Ooiya. Sepertinya Jerry dan William ini seusia loh, tahun lalu William juga menyelesaikan S2-Nya di Jerman,” ucap Nyonya Johari mengalihkan suasana. “Hahaha.. Jerry ini lulusan Bisnis Internasional di Harvard University dan sekarang bisnisnya berkembang pesat di skala internasional. Mana mungkin dibandingkan dengan William. Yang benar saja,” ucap Johan mengagungkan Jerry. “Ahh.. Mungkin, next time kita bisa satu project, William?” Jerry berusaha mengalihkan suasana. “Huft.” William menghela nafas. “Sorry Jerry but I'm a graduate in Psikologi at the Ruhr University Bochum. Tapi kalau suatu hari nanti kamu ada keperluan denganku bisa langsung menghubungiku, ini silahkan.” William mengulurkan kartu namanya ke arah Jerry. “It’s okay.” Jerry menyimpan kartu itu di sakunya. Di tengah obrolan malam itu, Lea hanya terdiam sambil sesekali menatap layar ponselnya. Dari gestur tubuhnya ia terlihat sedikit gelisah, seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. Samar-samar terdengar suara ketukan-ketukan kecil dari hak tinggi berwarna merah yang membalut kaki mulusnya. Tanpa ia sadari suara samar itu terdengar oleh Jerry yang sedari tadi memperhatikan gestur Lea. “Ooiya Lea, kamu sendiri tertarik menjalin aliansi bisnis denganku kan?” Tiba-tiba Jerry memecah lamunan Lea. “Oh, Sure.” Lea menjawab singkat. “Kalau sekarang kesibukan Lea apa? Atau hobby mungkin?” ucap Jerry sedikit canggung. “Maaf tuan Jerry. Sayang sekali, tapi di dunia ini ada juga orang yang tidak suka mengutarakan privasinya. Dan terkadang juga, beberapa hal bisa diketahui tanpa harus mengungkapkannya,” jelas Lea. “Ahh yaa. Misterius dan cukup menarik.” Jerry tersenyum tipis kemudian meneguk sampanye. “Kalau untuk perjodohan ini bagaimana, apa kamu tertarik?” Jerry terus mengintrogasi Lea. “Dan maaf lagi tuan Jerry, apa pendapatmu tentang aku yang baru saja mengetahui hal ini sekarang?” ucap Lea sedikit kesal. “Dan satu lagi tuan, untuk keputusanku yang satu ini tidak akan mengubah hal apapun. Jadi tolong tenanglah tuan Jeriko Nicholas!” Sambung Lea dengan sedikit tekanan, seakan dirinya tidak ingin ada pertanyaan lanjutan. Lea semakin merasa tidak nyaman dengan keberadaan Jerry di sampingnya. Suasana menjadi canggung, seolah keheningan di antara mereka saling menekan. Sesekali ia melirik ke arah jam tangan, yang kini menunjukkan pukul 21.30 WIB. Waktu yang terus bergulir menandakan malam semakin larut, dan ia mulai gelisah ingin segera mengakhiri pertemuan itu. “Ehem. Terima kasih, Tuan dan Nyonya Johari. Makan malam ini sungguh berkesan. Karena malam sudah larut, sebaiknya saya pamit pulang,” ucap Jerry dengan sopan. “Tenang saja Jerry, tante sudah menyiapkan kamar tidur khusus untuk kamu. Jadi, tante harap tidak ada yang mengecewakan malam ini,” ucap Nyonya Johari. Belum sempat Jerry memutuskan untuk tinggal, seseorang masuk ke dalam Neon. “Hallo! Selamat malam tuan Johan Johari yang terhormat!” Seorang pria berambut gondrong dibalut pakaian casual dengan lantang menyapa Johan. Mendengar suara yang familiar baginya, Lea menoleh ke belakang. “Aabbii!!” Seru Lea lirih. “Mau apa kamu menginjakkan kaki di rumah saya!” Johan berdiri dan berteriak ke arah pria asing itu. “Maaf tuan Johan, anda mengenal pria ini?” Jerry terkejut oleh kehadiran pria asing di hadapannya.Suara tamu undangan mereda pelan, seolah seluruh ruangan ikut menahan nafas begitu nada pertama mengalun dari panggung. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut ke wajah Abi, membuatnya tampak seperti pusat gravitasi baru dari pesta malam itu.Lea terpaku.Tidak, lebih tepatnya tercabik.Suara itu. Lagu itu.Suara yang dulu membangunkan pagi mereka. Suara yang menyanyikan lagu ulang tahunnya diam-diam di dapur. Suara yang mengisi ruang kosong apartemen mereka saat hujan turun. Dan lagu itu, lagu khusus diciptakan saat pertama kali mereka bersama.Dan sekarang, suara yang sama gemerincing indah, lagu yang indah, di pesta mewah untuk orang lain.Jerry melihat perubahan ekspresi Lea dalam hitungan detik. Dari percaya diri, tenang, lalu runtuh tanpa suara.Lea memegang punggung kursi begitu kuat sampai buku jarinya memutih. “Kenapa dia…?” Suaranya hampir tak terdengar.Jerry mendekat satu langkah, memastikan
Bandara sore itu dipenuhi suara langkah cepat, roda koper yang beradu dengan lantai, dan panggilan penerbangan yang bersahutan. Namun di tengah keramaian, suasana Lea dan Jerry justru lebih tenang dibanding beberapa jam sebelumnya. Pertemuan intens dengan keluarga Johari sudah mereka lewati. Kini fokus utama mereka hanya satu : menghadiri pernikahan putri dari salah satu klien terbesar agensi Jerry.Di area check-in, antrian mengular panjang. Di samping mereka berdiri trolley berisi dua koper milik Lea dan satu koper hitam milik Jerry.Lea memperbaiki posisi tas jinjingnya, menarik napas panjang. “Aku masih memikirkan rundown acara besok. Kamu yakin kita sudah cukup siap?”Jerry, yang berdiri sedikit di belakang Lea, menoleh ke layar ponselnya sebelum menjawab. “Sudah. Aku sudah koordinasi dengan tim event. Kita hanya perlu hadir di welcome dinner malam ini, sisanya mereka yang urus.”Lea mengangguk, meski sorot matanya tetap c
Perjalanan menuju Delmaré Restaurant terasa lebih panjang dari seharusnya. Klakson bersahutan, rambu merah tak kunjung berubah hijau, dan setiap menit terasa seperti ancaman.Lea menggigit bibir bawahnya cemas.“Jer… kita terlambat lima belas menit. Ayahku benci ketidakdisiplinan.”Jerry melirik jam tangannya santai. “Itu bukan salahmu. Jakarta yang salah desain.”Lea menjitak lengannya pelan. “Serius, Jerry! Ini penting.”Jerry memperlambat nafas lalu menatap Lea dengan cara yang membuat dunia di luar kaca mobil seolah berhenti.“Aku ada disini. Kamu tidak sendirian. Apapun yang terjadi di dalam nanti, kamu keluar dengan kepalamu tetap tegak. Deal?”Lea menelan ludah. Ia mengangguk, meski hatinya berdebar seperti genderang perang.***Sesampainya di Delmaré, mereka langsung diarahkan menuju ruang VIP.Pintu kaca buram itu terasa lebih berat dari pintu restoran biasa. Mungkin karena beban emosi
Lea membeku di tengah parkiran basement mall, seperti karakter yang baru menyadari dirinya tersesat ke dalam episode drama orang kaya padahal kostumnya salah genre.Ia menunduk pelan.Sandal bulu fuzzy warna krem.Celana tidur longgar.“Tidak… ini bukan sekadar salah outfit. Ini penghinaan terhadap mode di tempat umum.”Mendengar seruan frustasi Lea, Jerry menurunkan pandangannya. Ia memindai dari atas ke bawah.Satu detik.Dua detik.…Sepuluh detik.Sudut bibirnya mulai naik. Tanda bahaya level merah.“Lea… itu sandal atau anak hamster yang kamu injak?”Lea menutup wajah dengan kedua tangan. “Jer, ini bukan waktu bercanda! Kenapa kamu nggak bilang kalau aku keluar pakai sandal bulu dan CELANA TIDUR?!”Jerry mengangkat bahu santai, seolah hal itu sangat normal. “Kupikir kamu nyaman dengan penampilan itu. Dan… jujur, aku sudah lihat lebih buruk di Starbucks subuh-subuh.”
Jerry sempat terdiam satu detik, lalu pecah.Ia menunduk ke setir sambil tertawa terbahak bahak, bahunya sampai naik turun.“A-aku… Hahaha… Lea, serius? Baru juga jalan lima menit!” katanya di sela-sela tawa.Lea memalingkan wajah ke jendela, menutupi pipinya yang memerah dengan kedua tangan.“Jangan ketawa gitu, Jer,” gumamnya nyaris tak terdengar, suaranya tenggelam oleh rasa malu dan tawa Jerry.Jerry mencoba menghentikan tawanya, tapi gagal lagi ketika menatap ekspresi Lea yang cemberut malu-malu.“Sorry… Tapi kali ini kelewat lucu, Lea. Kamu tuh bisa bikin pagi aku jauh lebih menyenangkan, tau nggak?”Lea menatapnya dengan tatapan setengah kesal, setengah ingin tenggelam ke dalam kursi mobil.“Kamu keterlaluan Jer, ini sangat memalukan.”Jerry tersenyum hangat, lembut matanya mencuri pandang ke pipi Lea yang merona.“Oke, sekitar seratus meter lagi ada penjual bubur yang enak. Kita makan d
Keheningan setelah pertanyaan William masih terasa menggantung di benak Lea, bahkan setelah ia pulang dari rumah sang kakak.Namun satu hal sudah jelas : dia sudah memilih.William menutup buku catatan kecil di pangkuannya, lalu berdiri perlahan. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul 23.30.“Sudah cukup untuk malam ini,” ucapnya lembut. “Kamu sudah membuat keputusan yang besar, dan aku bangga kamu tidak melakukannya dalam kondisi panik.”Lea mengangguk. Raut wajahnya tidak lagi goyah masih lelah, namun jauh lebih tegap dibanding ketika ia pertama kali masuk ke ruangan tadi.William menatap keduanya bergantian. “Istirahatlah. Besok akan jadi hari panjang. Aku akan mengatur waktu membicarakan ini dengan ayah dan bunda, setelah ada kabar akan langsung kuhubungi.”Lea tersenyum tulus dan penuh harap. “Terima kasih untuk semuanya. Aku sangat berharap ini berhasil.”Itu membuat William hampir tersenyum emosional, tapi ia han






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments