Senna selalu terlihat seperti remaja perempuan yang riang di hadapan mereka, kontras dengan Yuna yang lebih banyak diam. Kini, semuanya terlihat heran mendengar keseriusan Senna. Morgan pun tak bisa menolak dan berdua mereka mulai memisahkan diri dari Yuna dan Dewi. Sesuai permintaan Senna, mereka mencari tempat yang lebih sepi. Gadis itu baru berhenti di taman kecil samping kediaman megah Morgan. Kursi roda Morgan ikut berhenti dan dia menunggu Senna berbicara. “Aku sudah mengetahuinya,” ucap gadis itu, memulai pembicaraan mereka. “Aku sudah tahu kalau kalian tinggal di kamar yang terpisah.” Untuk sesaat, jantung Morgan seakan berhenti berdetak. Senna mengatakannya dengan serius hingga Morgan hampir terkecoh. Meski demikian, Morgan berusaha mengulas senyum tipis dan mengendalikan keadaan. “Kau benar,” ucapnya, “Itu karena Yuna takut aku mengikuti—”“Tidak.” Senna menyela. “Aku tahu itu hanya alasan. Tidak perlu berpura-pura, Kak, aku tahu Kakak dan Kak Yuna hanya bersandiwara.”
“Bagaimana hasilnya, Dokter?” Morgan bertanya. Terhitung hampir satu jam pria itu berada di ruangan dokter pribadinya. Ini adalah jadwal kontrol pria itu. Benny berada di sisinya. Meski Calvin adalah asisten pribadi Morgan, tetapi pria itu lebih banyak memercayai Benny dalam urusan seperti ini. Dokter pria di depannya memandangi foto hasil rontgen, kemudian menggeleng pelan. “Masih belum ada perkembangan yang signifikan, Tuan,” jawabnya. Dia memberikan foto hitam putih tersebut ke arah Morgan. Pria itu tak terlalu mengerti cara membacanya, tetapi memang tak terlihat ada perbaikan dengan hasil minggu lalu. “Tulang-tulang, otot, dan syaraf di kaki Anda membutuhkan lebih banyak waktu untuk pulih. Saya tidak ingin mengatakannya, tetapi sepertinya Anda harus bersabar di kursi roda sampai beberapa minggu. Bahkan, aku khawatir Anda akan tetapi membutuhkannya selama bertahun-tahun,” jelas dokter itu. Morgan tak langsung menjawab. Penuturan dokter itu seperti akhir dari diagnosanya. Meng
“Apakah kau sudah gila, Delvin?” sentak Andrew, atasannya di firma hukum itu. Dia baru saja mengirimkan CV Yuna yang kelak akan menjadi sekretarisnya dan Andrew langsung memprotes. “Mempekerjakan wanita hamil sebagai sekretaris, kukira kau adalah salah satu pengacara terbaik di sini, Delvin,” ucap Andrew. Pria dengan wajah kasar dan garis wajah tegas itu duduk di kursinya dan bersikap seperti algojo yang siap menguliti ide gila Delvin itu. “Aku memang salah satu pengacara terbaik di sini. Karena itu aku memilihnya,” jawab Delvin dengan percaya diri. Andrew mengembuskan napas panjang. Ia sungguh tak habis pikir dengan anak buahnya yang satu itu. “Aku akan membuka lowongan sekretaris untukmu. Kalau perlu, aku akan mencari perempuan paling cantik dan teliti yang bisa menjadi sekretarismu, asalkan jangan wanita hamil, Delvin,” bujuk Andrew. Nada suaranya terdengar pelan, tetapi penuh penekanan, seakan ia tengah berbicara pada anak kecil. “Apa gunanya wanita cantik jika kerjanya han
Yuna berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan resah. Kamar gadis itu tampak berantakan. Seluruh isi koper dan lemarinya berada di lantai dan di ranjang. Yuna baru saja mencari-cari kemeja yang pantas untuk ia pakai besok, tetapi ia baru teringat jika ia tak membawa kemeja atau pakaian formal lainnya karena mengira tidak akan bekerja lagi. … haruskah ia pergi ke rumah ibunya untuk mengambil pakaian-pakaian itu? Yuna langsung menggelengkan kepala. Tidak bisa. Ibunya pasti akan langsung curiga. Jika dia tahu Yuna bekerja saat hamil, dia akan langsung menghampiri Morgan dan mendampratnya. Sebuah ide terbesit dalam benak Yuna. Daripada mengambil kemeja, lebih baik ia meminjam milik Morgan. Pria itu hampir mengenakan kemeja sepanjang waktu, pengecualian jika di rumah. Dia pasti memiliki banyak koleksi. Namun, Yuna langsung menggeleng dan bergidik ngeri saat membayangkan ia harus menghadapi Morgan yang sikapnya sedingin es. Ide lain kembali muncul dan Yuna langsung bergegas menuju
Menggoda Yuna selalu menjadi keseruan tersendiri bagi Delvin. Kali ini pun, Delvin hanya menggodanya sedikit dan wajah Yuna sudah memerah karena menahan napas. Gadis itu menelan saliva dengan gugup. Wajahnya masih terlihat tegang saat ia menggeleng satu kali, kemudian mengambil satu langkah mundur. "Ka—kau benar," katanya, mengembuskan napas secara teratur. "Akan sangat gawat jika itu terjadi. Kalau begitu, kita harus pergi sekarang," ucap Yuna. Wanita itu cepat-cepat melangkah pergi dan mendahului Delvin. Jantungnya berdebar-debar dan tubuhnya seakan bergidik tiap mencium aroma parfum maskulin dari tubuh pria itu. "Sadarlah, Yuna," gumamnya dalam hati, "Kau di sini untuk bekerja dan dia adalah bosmu." Yuna menggelengkan kepala dan menepuk pipinya berulang kali untuk menghilangkan pengaruh dari parfum dan karisma pria itu. "Masih di sini?" Tahu-tahu suara Delvin terdengar dari arah belakang dan membuat Yuna berjengit kaget. "Ayo pergi!" ajak Delvin. Yuna tersadar dari lamuna
Lastri baru saja keluar dari pusat perbelanjaan. Morgan memang mempercayakan urusan rumah dan perbelanjaan kepadanya. Sebelum pergi, ia terlebih dahulu mengecek kelengkapan perbelanjaannya. “Baiklah, sudah semua,” tuturnya, “Pak, minta tolong masukkan ke dalam bagasi, ya,” ucap Lastri kepada taksi yang telah ia pesan. Biasanya, Lastri akan diantar oleh seorang sopir, tetapi kini sopir itu mendapat tugas lain hingga akhirnya Lastri memilih memesan taksi. Semua barang belanjaannya sudah masuk. Pada titik ini, Lastri siap untuk memasuki taksi dan pulang, tetapi seorang wanita menghampirinya. “Bik Lastri, bisa kita bicara sebentar?” tanya wanita itu. Wajah Lastri berubah canggung. Tentu ia mengenal wanita berpakaian modis yang terlihat mencolok di depannya. Dia adalah Lina. Seketika Lastri teringat akan peringatan Morgan kepada Yuna untuk tidak menerimanya. Tampaknya, peringatan itu sama seperti perintah untuk menjauhinya. “A—ada apa, Bu?” tanyanya, terlihat enggan menuruti permin
Awalnya, Morgan tak berkutik saat mendapat laporan bahwa Yuna bekerja dengan pria asing yang tempo hari membantunya. Namun, setelah Morgan amati, hampi satu minggu Yuna terus-menerus pulang larut. Mulai dari pukul delapan, sembilan, hingga puncaknya kemarin hampir menyentuh pukul sebelas. Morgan selalu berada di kamarnya yang tertutup, tetapi ia dapat mendengar langkah kaki Yuna dengan jelas saat ia menaiki tangga. Bukan berarti Morgan peduli. Hanya saja, hal ini mengusik ketenangannya hingga hari ini, Morgan merelakan waktu istirahatnya. Pria itu tak kembali ke kamar, melainkan menunggu di ruang tamu yang bermandikan cahaya bulan. Menjelang pukul sembilan, Morgan mendengar bunyi kenop pintu diputar. Disusul derap langkah kaki. Hingga Yuna nyaris berteriak saat mendapati sosok Morgan tengah duduk di kursi rodanya. Pria itu memandang Yuna dengan tatapan datar dan dingin, persis seperti hantu. “Kamu belum tidur?” tanya Yuna, kemudian menyalakan lampu. Cahaya yang terang membuat Mor
“Kita ulangi,” ucap Lina dengan serius. “Kau tahu siapa dirimu, bukan?” Wanita itu bertanya. Di sisinya, ada seorang gadis muda berusia dua puluhan.Gadis berwajah sederhana dengan rambut panjang yang diikat ke belakang itu mengangguk. “Aku adalah Nita dari Bandung. Aku memiliki ibu yang sakit-sakitan dan bapak yang hanya serabutan. Aku terpaksa pergi ke Jakarta karena membutuhkan pekerjaan,” ucap Nita dengan lancar seolah telah menghafalnya. Kecuali namanya, semua informasi itu palsu dan buatan. Ia baru saja ditawari pekerjaan bernilai fantastis dan katanya ia harus menciptakan latar belakang yang mengenaskan agar diterima. Nita setuju untuk melakukannya demi pekerjaan barunya. “Bagus,” puji Lina, “Mulai sekarang, itulah identitas dan latar belakangmu,” tuturnya. Nita tersenyum dan mengangguk. Gadis itu tidak tahu wanita macam apa yang tengah menjalin kerja sama dengannya itu. Satu yang pasti, Lina berani menawarkan gaji tambahan sebesar lima juta hanya untuk mengamati. Itu taw